22 Okt 2011

Catatan Latar Belakang Kehidupan Buya Hamka

Oleh H. Rusydi

Haji Abdul Malik Karim Amrullah adalah
putera Dr. Syaikh Abdulkarim Amrullah. Beliau adalah pelopor dari Gerakan Islam Kaum Muda di Minangkabau yang memulai gerakannya pada tahun 1906 setelah kembali dari Mekkah.
Yang digerakkan oleh Syaikh Abdulkarim Amrullah yang terkenal dengan sebutan Haji Rasul diwaktu mudanya, adalah menentang ajaran Rabithah, yang menghadirkan guru dalam ingatan, salah satu sistem yang ditempuh oleh penganut – penganut terikat apabila mereka akan memulai mengerjakan suluk. Setelah itu beliau menyatakan pendapat yang lain yang berkenaan dengan masalah khilafiyah.
Di zaman hebat pertentangan kaum muda dan kaum tua  itulah atau 1325 Hijiriyah lahir puteranya yang bernama Abdul Malik. Dan seketika Gerakan kaum muda itu menerbitkan majalah Al – Munir pada bulan April 1911. Abdul Malik, yang kemudian dikenal sebagai Hamka berusia 3 tahun. Sebab itu maka sejak kecilnya ia telah mendengar perdebatan – perdebatan yang sengit antara kaum muda dengan kaum tua tentang faham – faham agama.
Pada tahun 1918, yaitu setelah Malik berusia 10 tahun ayahnya mendirikan Pondok Pesantren di Padang Panjang dengan nama “Sumatera Thawalib”.
Bersamaan dengan permulaan pertumbuhan Pesantren itu Abdul Malik alias Hamka menyaksikan kegiatan ayahnya dalam menyebarkan faham dan keyakinan. Pada tahun 1922 dia pun melihat bagaimana sambutan ayahnya tentang kedatangan gurunya dan sahabatnya Syaikh Thaher Jalaluddin Al – Azhari dari Malaya.
Akhir 1922 itu pula mulai datangnya pergerakan Komunis ke Minangkabau, dipelopori oleh H. Dt. Batuah dan Natar Zainuddin. Datuk Batuah adalah bekas guru utama dari Sumatera Thawalib. Tetapi pada tahun 1923 kedua pemimpin itu diasingkan ke Belanda ke Indonesia Timur, yang satu ke Kalabahi dan yang satu lagi ke Kefanunu. Kemudian dipindahkan ke Digoel.
Akhir 1924 (dalam usia 16 tahun) berangkat ke tanah, langsung ke Yogyakarta. Di sanalah dia berkenalan dengan Pergerakan Islam Modern kepada H.O.S Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusuma, R.M. Soejopranoto dan H. Fakhruddin, yang kesemua beliau – beliau itu mengadakan kursus – kursus pergerakan di gedong Abdi Dharmo di Pakualam Yogyakarta. Di sanalah dia dapat mengenal perbandingan antara Pergerakan Politik Islam, yaitu Syarikat Islam atau Hindia Timur dan gerakan sosial Muhammadiyah.
Setelah beberapa waktu lamanya di Yogyakarta, dia pun berangkat menuju Pekalongan, menemui gurunya dan suami kakaknya A.R. Sutan Mansur. Ketika itu beliau ini menjadi ketua Muhammadiyah Cabang Pekalongan. Di sana berkenalan dengan Citrosuarno, Mas Ranuwiharjo, Mas Usman Pujotomo dan mendengar tetapi belum berkenalan, seorang pemuda yang bernama Muhammad Roem.
Juli 1925 barulah dia kembali ke Padang Panjang dan turut mendirikan Tabligh Muhammadiyah di rumah ayahnya di Gatangan Padang Panjang.
Pada akhir tahun 1925 itu juga A.R. Sutan Mansur kembali ke Sumatera Barat dan menjadi Muballigh dan penyebar Muhammadiyah dalam daerah itu. Setelah tahun 1925 itu Hamka telah menjadi pengiring A.R. Sutan Mansur dalam kegiatan Muhammadiyah.
Februari 1927 Hamka berangkat ke Mekkah dan Juli 1927, dia pulang ke Medan. Dia sempat bermukim di Mekkah selama 6 bulan, bekerja pada sebuah percetakan dan setelah itu baru dia pulang. Pada Akhir 1927 itu A.R. Mansur singgah di Medan ketika pulang dari Lhok Seumawe (membangun Muhammadiyah di Aceh). Beliau singgah di Medan dan membawa Hamka pulang ke kampung, yang waktu itu menjadi guru agama di sebuah perkebunan.
Kongres Muhammadiyah ke – 18 di Solo turut dihadiri oleh Hamka dan pulang dari sana (1928) dia turut membangun Pimpinan Muhammadiyah di Padang Panjang, sejak menjadi Ketua Cabang Muhammadiyah Padang Panjang.
Pada 5 April 1929 dia kawin dengan Siti Raham. Dia sendiri baru usia 21 tahun dan isterinya 15 tahun. Kemudian dia pun aktif sebagai Pengurus Muhammadiyah Cabang Padang Panjang menghadapi Kongres Muhammadiyah ke – 19 di Minangkabau.
Tahun 1930 dia diutus oleh Cabang Muhammadiyah Padang Panjang mendirikan Muhammadiyah di Bengkalis. Dari sana langsung menghadiri Kongres Muhammadiyah ke – 20 di Yogyakarta (1930).
Akhir tahun 1931 dia diutus oleh Pengurus Besar Muhammadiyah Yogyakarta ke Makassar menjadi Muballigh Muhammadiyah dalam tugas khsusus menggerakkan semangat menyambut Kongres Muhammadiyah ke – 21 (Mei 1932) Makassar.
1933 menghadiri Kongres Muhammadiyah di Semarang. Tahun 1934 kembali ke Padang Panjang dan turut bersama ayahnya dan gurunya A.R. Sutan Mansur dan Wakil P.B. Haji Mukhtar menghadiri Konferensi Daerah di Sibolga. Dan sejak itu pula tetap menjadi Anggota Majelis Konsul Muhammdiyah Sumatera Tengah sampai pindahnya ke Medan.
22 Januari 1936 pindah ke Medan memimpin Majalah Pedoman Masyarakat dan mencampungkan diri dalam gerakan Muhammadiyah Sumatera Timur. Kongres Seperempat Abad di Betawi turut dihadirinya sebagai utusan dari Medan.
Sejak H. Mohammad Said, Konsul Muhammadiyah Sumatera Timur meninggal dunia, Hamka – lah yang terpilih jadi Pimpinan Muhammadiyah Sumatera Timur sampai Jepang masuk (1942). Baru melatakkan jabatan pada Desember 1945, langsung pindah ke Sumatera Barat.
Mulai Mei 1946 dipilih oleh Konferensi Muhammadiyah Sumatera Barat menjadi Ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah Daerah Sumatera Barat, menggantikan kedudukan S.Y. Sutan Mangkuto yang telah diangkat menjadi Bupati R.I di Solo. Pimpinan Muhammadiyah Sumatera Barat ini dipegangnya sampai Penyerahan Kedaulatan pada tahun 1949.
Turut mengadakan pembangunan Muhammadiyah kembali pada Kongres Muhammadiyah ke – 31 di Yogyakarta pada tahun 1950 dan untuk selanjutnya turut menyusun Anggaran Dasar Muhammadiyah yang baru dan membuat rumusan Kepribadian Muhammadiyah.
Maka kongres Muhammadiyah ke – 32 di Purwokerto 1935, dia terpilih menjadi Anggota Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Maka tiap – tiap diterimanya pencalonan pada kongres – kongres sesudah Purwokerto itu (Palembang, Yogyakarta, Makassar dan Padang) selalu di dicalonkan untuk duduk tetap dalam Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Tetapi oleh karena mengingat kesanggupan sudah berkurang maka mulai Kongres di Makassar 1971, Hamka memohon agar kalau ada lagi yang mencalonkan namanya, dia tidak bersedia lagi buat duduk jadi Anggota Pusat Pimpinan Muhammadiyah, karena kesehatan yang sudah berkurang – kurang.
Sejak Kongres Makassar 1971 itu beliau telah ditetapkan menjadi Penasehat Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Dan setelah kongres di Padang pada tahun 1975 sampai akhir hayatnya tetap menjadi penasehat Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
 Tahun kelahirannya yang merupakan masa – masa permulaan bangkitnya gerakan kaum muda di Minangkabau yang dipelopori oleh ayahnya kemudian keikut sertaannya dalam organisasi Muhammadiyah sejak dari tingkat yang paling bawah dan umur yang masih sangat muda, sampai hari tuanya, adalah faktor utama yang membentuk pribadinya.
Di samping aktifnya pada Muhammadiyah, setelah terjadinya persetujuan Roem – Royen Statemen, dan gencatan senjata Indonesia Belanda. Dia berangkat ke Jakarta yang kemudian diikuti oleh keluarganya, istri dan tujuh orang anak.
Tahun 1950 memulai karir sebagai Pegawai Kementerian Agama yang apada waktu itu Menterinya K.H. Wahid Hasyim. Dalam tugas sebagai golongan F itu, diserahi tugas mengajar dibeberapa Perguruan Tinggi Islam; Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) Yogyakarta, Universitas Islam Jakarta, Fakultas Hukum dan Falsafah Muhammadiyah di Padang Panjang, Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar dan Universitas Islam Sumatera Utara (UISU).
Tahun 1950 itu pula menunaikan rukun haji kedua kalinya, sebagai Anggota Majelis Perjalanan Haji Indonesia, dengan kapal Kota Baru, milik KPM. Selesai menunaikan rukun haji, beliau mengadakan lawatan ke beberapa Negara Arab atas biaya dar Penerbit Gapura, kemudian mengarang kisah lawatan itu menjadi beberapa buku yang diterbitkan oleh penerbit itu. Buku – buku itu antara lain:
    Mandi Cahaya di Tanah Suci
    Di Lembah Sungai Nil
    Di Tepi Sungai Dajlah

Inilah pengalaman pertamanya mengadakan lawatan ke luar negeri dan dalam kesempatan itulah dia bertemu dengan para pengarang  Mesir yang telah lama dikenalnya lewat karya – karya mereka. Antara lain Thaha Hussein, Fikri Abadhah dan bertemu pula dengan mufti Palestina, Almarhum Amin Al – Hussein. Lawatan ini dikatakannya sebagai menambah luasnya cakrawala pandangannya.
Tahun 1952 mendapat undangan dari State Departement atau Depertemen Luar Negeri Amerika mengadakan kunjungan ke Negara itu selama empat bulan. Perjalanan ke Amerika itu melalui Eropa dan pulangnya lewat Australia. Kunjungan ini merupakan perkenalannya yang pertama dengan dunia Barat. Dari lawatan itu dia mengarang buku Empat Bulang di Amerika.
Setelah Pemilihan Umum pertama (1955), Hamka dicalonkan jadi Anggota DPR, mewakili Daerah Pemilihan Masyumi Jawa Tengah. Tetapi dia telah menyatakan tidak bersedia untuk duduk dan menyediakan dirinya dipilih hanya sebagai pengumpul suara saja. Tetapi sedang dia berada di Makassar menjadi Dosen terbang Universitas Muslim Indonesia (UMI), Pimpinan Pusat Muhammadiyah minta dengan sangat agar dia menerima langsung jadi Anggota DPR.
Penanda – penanda telegram itu ialah Ketua Umum Muhammadiyah dan gurunya sendiri A.R. Sutan Mansur. Karena tunduk pada guru dan kesadaran berorganisasi dalam Muhammadiyah, dioa menerima sebagai Anggota Konstituate. Sebab Muhammadiyah di waktu itu adalah Anggota Istimewa dari Masyumi.
Pada awal tahun 1958, turut sebagai delegasi Indonsia menghadiri Simposium Islam di Lahore bersama Prof. Hasbi Assiddiqi dan K.H. Anwar Musaddad.
Setelah itu, meneruskan perjalanan ke Mesir. Dalam satu pertemuan dengan pemuka – pemuka Islam di Mesir, dia mengucapkan pidato yang berjudul Pengaruh Mohammad Abduh di Indonesia. Hamka menguraikan tentang kebangkitan gerakan – gerakan Islam modern Sumatera Thawalib, Muhammadiyah, Al – Irsyad dan Persis di Indonesia awal abad ke dua puluh.
Pidato itu dianggap sebagai promosi mendapatkan gelar Doktot Honoris Causa oleh Universitas Al – Azhar Kairo. Dalam ijazah tertera istilah Arabnya Ustadz Fakhriyah.
Beliau menceritakan pada penulis bahwa dari Mesir dia pergi ke Mekkah melakukan ‘umrah, bertepatan dengan tanggal 17 Februari 1958, yaitu lahirnya yang ke – 50 tahun.
Waktu itu, dia berdoa di bawah lindungan Ka’bah agar sisa umurnya bermanfaat bagi meneruskan cita –cita yang telah dirintis oleh ayahandanya melalui Sumatera Tahwalib dan Organisasi Muhammadiyah yang dimasukinya.
Selagi berada di tanah suci itu, terjadilah pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), dia mendengar berita bahwa Pasaman dibom oleh tentara dari pusat. Peristiwa pemberontakan di Sumatera Barat itu menyebabkan dia mempersingkat lawatannya.
Dalam sidang Konstituante di Bandung dia berpidato menolak gagasan Presiden Sukarno hendak menerapkan Demokrasi terpimpin.
Setelah Dewan Konstituante dibubarkan Juli 1959 dan dibubarkan pula Partai Masyumi oleh Sukarno tahun 1960. Hamka memusatkan kegiatannya pada Da’wah Islamiyah dan memimpin jama’ah Masjid Agung Al – Azhar yang terletak di depan rumahnya sambil terus duduk dalam Pimpinan Pusat Muhammadiyah atas pilihan Muktamar.
Juli 1959 menerbitkan majalah tengah bulanan Panji Masyarakat bersama K.H. Fakih Usman yang isinya menitik beratkan soal – soal kebudayaan dan pengetahuan Islam. Panji Masyarakat dibreidel oleh Sukarno tanggal 17 Agustus 1960, karena majalah itu memuat karangan DR. Muhammad Hatta yang terkenal “ Demokrasi Kita”. Dimana Muhammad Hatta mengeritik dengan tajam konsepsi “Demokrasi Terpimpin” dan pelanggaran – pelanggaran konstitusi yang dilakukan oleh Sukarno.
Tahun 1959 itu pula Hamka berhenti sebagai pegawai negeri, mematuhi peraturan yang dikeluarkan Rezim Sukarno yang tidak memperkenankan pegawai golongan F merangkap sebagai anggoata salah satu partai, apalagi partai Masyumi yang dibubarkan tahun 1960.
Tahun 1962 menerbitkan majalah Gema Islam yang dipimpin oleh Letnan Jenderal Sudirman dan Brigadir Jenderal Muchlas Rowi, sebagai pengganti majalah Panji Masyarakat yang dibreidel oleh Sukarno.
Tahun 1964, ditangkap dengan tuduhan melanggar Penpres Anti Subversif. Kemudian dibebaskan setelah berakhirnya kekuasaan Orde Lama Sukarno tahun 1966.
Tahun 1967 setelah tegaknya Orde Baru di bawah Presiden Suharto, majalah Panji Masyarakat kembali diterbitkan, dan Hamka menjadi Pemimpin Umumnya, sampai akhir hayatnya dalam kedudukan sebagai Pemimpin Umum majalah itu yang berkembang pesat mencari oplah  50.000 terbit tiga kali sebulan.
Dalam majalah yang diterbitkannya, haluan yang tetap dipertahankannya ialah ajaran tajdid yang dibawa Perguruan Thawalib dan Muhammadiyah meskipun secara formil hal itu tidak dinyatakan dengan terang – terangan.
Tahun 1975 ketika diminta menjadi Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia, Hamka lebih dahulu berkonsultasi dengan Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Demikianlah selintas latar belakang cita – cita dan perjuangan Hamka.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mari kita membaca dengan hati plus mata