22 Okt 2011

Karangan Tentang Buya Hamka

Sang Bapak Telah Pergi
Oleh Kons Kleden

Suatu hari di bulan Desember tahun lampau 1980, saya mendapat kesempatan untuk mengobrol dengan Buya di rumahnya di bilangan Kebayoran Baru.
Bukan konsultasi agama (saya sendiri beragama Katholik), melainkan untuk wawancara. Janji sebenarnya beberapa hari sebelumnya. Namun ketika saya datang ternyata Buya tak ada di rumah, karena ada undangan mendadak untuk suatu acara penting. Pembatalan itu disampaikan oleh ibu (istri Buya) kepada saya disertai permintaan maaf darinya. Agaknya Buya adalah orang yang sungguh menghargai janji. Walaupun sudah ada permintaan maaf, ia masih juga meninggalkan surat undangan tersebut dan minta kepada ibu untuk memperlihatkan kepada saya.
Sesuai janji, setengah lima sore saya sudah berada di rumahnya. Wawancara mulai diadakan jam lima. Namun melihat tamu yang antri di depan rumah, waktu itu saya ragu apakah janji tersebut dapat dipenuhi. Tua muda, pria maupun wanita berderet dari depan pintu hingga ke pagar. Semuanya punya satu tujuan: bertemu dengan Buya. Saya pun ikut menunggu.
Di samping saya duduk seorang laki – laki setengah tua dengan tas berwarnya hitam. Mengisi waktu luang saya sengaja mengajaknya ngobrol, dan dari tampang bawaannya saya menduga agaknya ia seorang yang senang berkelana. Dugaan itu ternyata benar paling tidak menurut ceritanya. Katanya ia seorang yang telah berkeliling ke seluruh Indonesia. Di samping berdagang juga mendalami agama Islam. Dan hasil dari pertualangan dan pendalaman agamanya itu dituangkan dalam sebuah buku yang akan diterbitkan.
    “lalu apa tujuan anda datang bertemu Buya?” Tanya saya
    “saya ingin meminta restu dari Buya tentang buku yang saya tulis di samping meminta Buya menulis sedikit sambutan,” jawabnya
Selang beberapa waktu datang seorang pria yang kelihatan kumal. Ia bersalaman dan ngobrol bersama kami. Menilik pakaiannya ia seperti gelandangan saja. Tujuan bertemu Buya adalah untuk meminta sumbangan untuk dirinya. Menurut ceritanya, keluarganya tertimpa musibah, entah apa, dan camat serta kepala desa da RT dan RW (rumahnya di Tanjung Priok) memberikan keterangan resmi mengenai musibah tersebut (surat – surat keterangan yang  dibawanya semua diperlihatkannya kepada kami).
Ternyata ia yang malahan yang diterima oleh Buya. Sama hangatnya, sama penuh perhatiannya, seperti  Buya menerima tamu – tamu yang datang bermobil dan berdasi. Setelah berbincang – bincang sebentar (Buya menerima tamu di beranda rumah sehingga tamu – tamu yang lainnya pun dapat melihatnya) dengan laki – laki yang berpakaian gelandangan tersebut. Buya masuk ke rumah dan keluar lagi menyerahkan sesuatu ke dalam tangan tamunya. Mataku masih sempat melirik bahwa di dalam tangan Buya terselip beberapa lembar uang ribuan. Melihat hal itu ada perasaan kecil di dalam diri saya berhadapan dengan Buya.
Wawancara itu sendiri tentang kehidupan di tahun 1981. Bagaimana perkembangan agama, apakah kehidupan akan lebih baik dan sebagainya. Semacam ramalan  bertitik tolak dari keadan negeri kita dewasa ini. Buya waktu itu sangat optimis perkembangan agama (Islam) dalam tahun 1981 nanti. Kata Buya:
    “coba perhatikan betapa besar minat dan perhatian angkatan muda sekarang terhadap kehidupan beragama. Demikian pula di kalangan apa yang sering disebut sebagai kaum terpelajar, semangat untuk memperdalam pengertian tentang agama makin tumbuh”.
    “sebelum ini kita sulit membayangkan bahwa orang – orang seperti Soedjatmoko, Subadio Sastro Satomo pergi menunaikan ibadah haji. Demikian pula halnya dengan istri – istri mereka. Sungguh satu perkembangan yang tidak disangka – sangka. Selain itu di kalangan artis, apakah pemain film atau penyanyi kesadaran akan pentingnya kehidupan beragama makin besar. Pendek kata hampir semua kalangan, tumbuh kesadaran beragama yang semakin meningkat. Untuk kesemua perkembangan tersebut kita wajib mengucapkan syukur alhamdulillah. Insya Allah di tahun 1981 mendatang, perkembangan akan lebih baik lagi”.
Pendeknya dari keseluruhan uraian Buya waktu itu, ia sangat optimis terhadap masa depan negeri ini, khususnya perkembangan kehidupan beragama.
Waktu ternyata berjalan demikian cepat. Tahun 1981 ternyata memasuki akhir bulan 7.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mari kita membaca dengan hati plus mata