17 Okt 2011

Pengembangan Kurikulum

Review Buku
Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam
di sekolah, Madrasah
dan Perguruan Tinggi
pengarang: Prof. Dr. Muhaimin, M.A.
oleh:M. Feri Firmansyah (09110029)
Jurusan Tarbiyah
Fakultas Agama Islam
Universitas Muhammadiyah Malang
2011
Bab I
Pendahaluan
A.    Pengertian Kurikulum
Pengertian yang lama tentang kurikulum lebih menekankan pada mata pelajaran atau mata kuliah di sekolah atau perguruan tinggi, yang harus ditempuh untuk mencapai suatu ijazah atau tingkat; juga keseluruhan pelajaran yang disajikan oleh suatu lembaga pendidikan (Nasution, 1982). Atau menurut al Syaibani (1979) terbatas pada pengetahuan – pengetahuan yang dikemukakan oleh guru atau sekolah atau institusi pendidikan lainnya dalam bentuk mata pelajaran atau kitab – kitab karya ulama terdahulu, yang dikaji begitu lama oleh para peserta didik dalam tiap tahap pendidikannya.
Demikan pula definisi yang tercantum dalam UU Sisdiknas Nomor 2/ 1989. Definisi kurikulum yang tertuang dalam UU Sisdiknas Nomor 20 / 2003 dikembangkan kearah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Dengan demikian, ada tiga komponen yang termuat dalam kurikulum yaitu tujuan, isi, dan bahan pelajaran, serta pembelajaran, baik yang berupa strategi pembelajaran maupun evaluasinya.
Masing – masing defenisi dengan penekanannya tersebut akan mempunyai implikasi tertentu dalam pengembangan kurikulum. Kurikulum yang menekankan pada isi bertolak dari asumsi bahwa masyarakat bersifat statis, sedangkan pendidikan berfungsi memlihara dan mewariskan pengetahuan, konsep – konsep dan nilai – nilai yang telah ada, baik nilai Ilahi maupun nilai insan.

B.    Pendidikan Agama Islam atau Pendidikan Islam?
Menurut Muhaimin (2003), bahwa pendidikan agama Islam merupakan salah satu bagian dari pendidikan Islam. Istilah “pendidikan Islam” dapat dipahami dalam beberapa perspektif, yaitu
1.    Pendidikan menurut Islam, atau pendidikan yang berdasarkan Islam, dan sistem pendidikan yang Islami, yaitu pendidikan yang dipahami dan dikembangkan serta disusun dari ajaran dan nilai – nilai fundamental yang terkandung dalam sumber dasarnya, yaitu Al – Quran dan As – Sunnah/ hadist.
2.    Pendidikan ke – Islaman atau pendidikan agama Islam, yakni upaya mendidikkan agama Islam atau ajaran Islam dan nilai – nilainya agar menjadi way of life (pandangan sikap hidup) seseorang.
3.    Pendidikan dalam Islam, atau proses dan praktik penyelenggaraan pendidikan yang berlangsung dan berkembang dalam sejarah umat Islam. Dalam arti proses bertumbuh kembangnya Islam dan umatnya, baik Islam sebagai agama, ajaran maupun sistem budaya peradaban sejak zaman Nabi Muhammad s.a.w. sampai sekarang. Jadi, dalam pengertian yang ketiga ini istilah “pendidikan Islam” dapat dipahami sebagai proses pembudayaan dan pewarisan ajaran agama, budaya dan peradaban umat Islam dari generasi ke genarasi sepanjang sejarah.

Dalam konteks kajian atau penelitian untuk mengembangkan pendidikan Islam tersebut, Azra (1999) mengumakan bahwa pendidikan Islam hanya terfokus pada tiga kategori, yaitu (1) kajian sosio – historis pendidina Islam; (2) kajian pemikiran dan teori pendidikan Islam; (3) kajian metologis pendidikan Islam.
Jika ditilik dari aspek program dan praktik penyelenggaraannya, setidak –tidaknya pendidikan Islam dapat dikelompokkan dalam lima jenis, yaitu (1) pendidikan pondok pesantren dan madrasah diniyah, yang menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebut sebagai pendidikan keagamaan; (2) pendidikan madrasah, yang saat ini disebut sebagai sekolah umum yang berciri khas agama Islam; (3) pendidikan umum yang bernafaskan Islam, penyelenggaranya berada dibawah naungan yayasan atau organisasi Islam; (4) pelajaran agama Islam yang diselenggarakan di lembaga – lembagai pendidikan sebagai suatau mata pelajaran atau mata kuliah saja; (5) pendidikan Islam dalam keluarga atau di tempat – tempat ibadah.

C.    Pengembangan Kurikulum PAI
Dalam realitas sejarahnya, pengembangan kurikulum tersebut ternyata mengalami perubahan – perubahan paradigm, walaupun paradigma itu masih dipertahankan hingga sekarang. Hal ini dapat dicermati dari fenomena berikut: (1) perubahan dari tekanan pada halafan dan daya ingatan tentang teks – teks dari ajaran – ajaran agama Islam kepada pemaham dengan tujuan untuk mencapai tujuan pembelajaran PAI; (2) perubahan dari cara berfikir tekstual, normative dan absolutis kepada cara berfikir historis, empiris dan kontekstual dalam memahami dan menjelaskan ajaran – ajaran dan nilai agama Islam;  (3) perubahan dari tekanan pada produk atau hasil pemikiran keagamaan Islam dari para pendahulunya kepada metologinya sehingga menghasilkan produk tersebut; dan (4) perubahan dari pola pengembangan kurikulum PAI yang hanya mengandalkan pada para pakar dalam memilih dan menyusun isi kurikulum PAI kearah keterlibatan yang luas dari pakar, guru, peserta didik, masyarakat untuk mengindentifikasi tujuan PAI dan cara – cara mencapainya.
D.    Fungsi Kurikulum PAI
Bagi sekolah/ madrasah yang bersangkutan:
a.    Sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan agama Islam
b.    Pedoman untuk mengatur kegiatan – kegiatan pendidikan agama Islam di sekolah /madrasah.
c.    Melakukan penyesuaian
d.    Menghindari keterulangan sehingga boros waktu
e.    Menjaga kesinambungan
Bagi masyarakat:
a.    Masyarakat sebagai pengguna lulusan (user)
b.    Adanya kerja sama yang harmonis dalam hal pembenahan dan pengembangan kurikulum PAI.


E.    Proses Pengembangan Kurikulum
Dalam menyusun perencanaan ini didahului ole hide – ide yang akan dituangkan dan kembangkan dalam program. Ide kurikulum bisa berasal dari:
1.    Visi yang dicanangkan
2.    Kebutuhan stakeholders (siswa, masyarakat, pengguna, lulusan), dan kebutuhan untuk studi lanjut.
3.    Hasil evaluasi kurikulum sebelumnya dan tuntutan perkembangan iptek dan zaman.
4.    Pandangan – pandangan para pakar dengan berbagai latar belakang
5.    Kecenderungan era globalisasi, yang menuntut seseorang untuk memiliki etos belajar sepanjang hayat, melek sosial, ekonomi, politik, budaya dan teknologi.

Bab II
Mencermati Pengembangan Pendidikan Agama Islam di Sekolah / perguruan tinggi

A.    Pendidikan Agama Islam dalam Sorotan
Masalah dekadansi moral telah dirasakan sangat mengglobal seiring dengan perubahan tata nilai yang sifatnya mendunia. Di belahan bumi mana pun kerap kali dapat disaksikan berbagai gaya hidup yang bertentangan dengan etika dan nilai agama. Berbagai pendekatan telah dan sedang dilakukan untuk menyelamatkan masa depan peradaban manusia dari rendahnya perilaku moral. Pendidikan akhlak bukan hanya dirasakan oleh masyarakat yang mayoritas penduduknya beragama Islam, tapi kini sudah mulai diterapkan diberbagai Negara. Di Jerman misalnya, pelajaran agama Islam juga sudah masuk pada kurikulum sekolah mereka.
Menurut Thomas (1997), bahwa: “school can never be free of values. Transmitting values to students occurs implicity through the content and material to which students are exposed as part of the formal curriculum as well as through the hidden curriculum”. Hal ini mengandung makna bahwa kegiatan pendidikan di sekolah, baik melalui pembelajaran di dalam kelas atau diluar kelas, tidak pernah bebas nilai. Isi dan materi kurikulum yang diberikan kepada peserta didik pun secara impilisit akan momor (memuat /mengandung) transmisi nilai, yang terwujud sebagai bagian dari kurikulum formal maupun melalui kurikulum sebagai bagian dari kurikulum formal maupun melalui tersembunyi. Karena itu, pada dasarnya pendidikan sekolah hanya selalu mengajarkan nilai – nilai baik direncanakan atau tidak.

B.    Berbagai Kritik terhadap PAI
Selama ini pelaksanaan pendidikan agama Islam yang berlangsung di sekolah masih mengalami banyak kelemahan. Mochtar Buchari (1992) menilai pendidikan agama masih gagal. Kegagalan ini disebabkan karena praktik pendidikannya hanya memperhatikan aspek kognitif semata dari pertumbuhan kesadaran nilai – nilai agama, dan mengabaikan pembinaan aspek afektif dan konatif – volitif, yakni kemauan dan tekad untuk mengamalkan nilai – nilai ajaran agama. Akibatnya terjadi kesenjangan antara pengetahuan dan pengalaman, antara gnosis dan praxis dalam kehidupan nilai agama. Atau dalam praktik pendidikan agama berubah menjadi pengajaran agama, sehingga tidak mampu membentuk pribadi – pribadi bermoral, padahal intisari dari pendidikan agama adalah pendidikan moral (Harun Nasution, 1995).
Menurut istilah Amin Abdullah (1998), pendidikan agama lebih banyak terkosentrasi pada persoalan – persoalan teoritis keagamaan yang bersifat kognitifm dan kurang concern terhadap persoalan bagaimana mengubah pengetahuan agama yang kognitif menjadi “makna” dan “nilai” yang perlu diinternalisasikan dalam diri peserta didik lewat berbagai cara, media dan forum.
Towaf (1996) telah mengamati adanya kelemahan – kelemahan pendidikan agama Islam di sekolah, antara lain:
1)    Pendekatan masih cenderung normative, dalam arti pendidikan agama menyajikan norma yang sering kali tanpa ilustrasi konteks sosial budaya, sehingga peserta didik kurang menghayati nilai – nilai agama sebagai nilai yang hidup dalam keseharian
2)    Kurikulum pendidikan agama Islam yang dirancangkan di sekolah sebenarnya lebih menawarkan minimum kompetensi atau minimum informasi.
3)    Para guru PAI kurang berupaya menggali berbagai metode yang mungkin bisa dipakai untuk pendidikan agama
4)    Keterbatasan sarana /prasarana, sehingga persoalan cenderung seadanya.



C.    Paradigma Pengembangan PAI di Sekolah/ Perguruan Tinggi Umum
1.    Paradigma Dikotomis
Pendidikan (agama) Islam seolah – olah hanya mengurusi persoalan ritual dan spiritual, sementara kehidupan ekonomi, politik, seni – budaya, ilmu pengetahuan dan tekhnologi serta seni dan sebagainya dianggap sebagai urusan duniawi yang menjadi bidang garap pendidikan non agama. Pandangan dikotomi inilah yang menimbukan dualism dalam sistem pendidikan. Istilah pendidikan agama dan pendidikan umum, atau ilmu agama dan ilmu umum sebenarnya muncul dari paradigm dikotomis tersebut.
Para dikotomis mempunyai implikasi terhadap pengembangan pendidikan agama Islam yang lebih berorientasi pada keakhiratan, sedangkan masalah dunia dianggap tidak penting serta menekankan pada pendalam al – ‘ulum al – diniyah (ilmu – ilmu keagamaan) yang merupakan jalan pintas untuk menuju akhirat, sementara sains (ilmu pengetahuan) dianggap terpisah dari agama.

2.    Paradigma Mekanisme
Di dalam kamus besar bahasa Indonesia (1996), secara etimologis mechanism berarti hal kerja mesin, cara kerja suatu organiasi atau hal saling bekerja seperti mesin, yang masing – masing bergerak sesuai dengan fungsinya. Paradigma mechanism ialah memandang kehidupan terdiri atas berbagai aspek, dan pendidikan dipandang sebagai penanaman dan pengembangan seperangkat niali kehidupan yang masing – masing bergerak dan berjalan menurut fungsinya.
Relasi yang bersifat horizontal – lateral (independen), mengandung arti bahwa beberapa mata pelajaran (mata kuliah) yang ada dan pendidikan agama mempunyai hubungan sederajat yang independen, dan tidak saling berkonsultasi. Relasi yang bersifat literal – sekuensial, berarti diantara masing – masing mata kuliah tersebut mempunyai relasi sederajat yang saling berkonsultasi. Sedangkan relasi vertical – linier berarti menundukkan pendidikan agama sebagai sumber nilai atau sumber konsultasi, sementara seperangkat mata pelaksanaan (mata kuliah) yang lain adalah termasuk pengembangan nilai – nilai insane yang mempunyai relasi veritkal – linier dengan agama (Muhaimin, 2001)
3.    Paradigm Organism
Meminjam istilah Biologi, organism dapat berarti susunan bersistem dari berbagai bagian jasad hidup untuk suatu tujuan (Depdikbud, 1996). Dalam konteks pendidikan Islam, paradigm organism bertolak pandangan bahwa aktivitias kependidikan merupakan suatu system yang teridiri atas komponen – komponen yang hidup bersama dan bekerjasama secara terpadu menuju tujuan tertentu, yaitu terwujudnya hidup religious atau dijiwai oleh ajaran dan nilai – nilai agama.
Kebijakan pengembangan madrasah berusaha mengakomodasikan tiga kepentingan utama, yaitu: (1) sebagai wahana untuk membina ruh atau praktik hidup keislaman; (2) memperjelas dan memperkokoh keberadaan madarasah sederajat dengan system sekolah, sebagai wahana pembinaan warga Negara yang cerdas, berpengatahuan, berkepribadian serta produktif; dan (3) mampu merespon tuntuttan – tuntutan masa depan, dalam arti sanggup melahirkan manusia yang memiliki kesiapan memasuki era globalisasi, industrialisasi maupun era informasi (Fadjar, 1998).
Secara konseptual – teoretis pendidikan agama di sekolah berfungsi sebagai: (1) pengembangan keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt. Serta akhlak mulia peserta didik seooptimal mungkin; (2) penanaman nilai ajaran Islam sebagai pedoman mencapai kebahagian hidup di dunia dan akhirat; (3) penyesuaian mental peserta didik terhadap lingkungan fisik dan sosial; (4) perbaikan kesalahan – kesalahan, kelemahan – kelemahan peserta didik dalam keyakinan, pengamalan ajaran agama Islam dalam kehidupan shari – hari; (5) pencegahan dari ha – hal negative budaya asing yang dihadapinya sehari – hari; (6) pengajaran tentang ilmu pengetahuan keagamaan secara umum; (7) penyaluran untuk mendalami pendidikan agama ke lembaga pendidikan yang lebih tinggi

D.    Peranan Guru / Pendidik Agama Islam
No.    Fungsi Guru    Karakteristik dan Tugas
1    ustadz    Orang yang berkomitmen terhadap profesionalitas, yang melekat pada dirinya sikap dedikatif, komitmen terhadap mutu proses dan hasil kerja, serta sikap continous improvement.
2    Mu’allim    Orang yang menguasai ilmu dan mampu mengembangkannya serta menjelaskan fungsinya dalam kehidupan, menjelaskan dimensi teoritis dan praktisnya atau sekaligus melakukan transfer ilmu / pengetahuan, internalisasi serta implementasi (amaliah)
3    murabby    Orang yang mendidik dan menyiapkan peserta didik agar mampu berkreasi, serta mampu mengatur dan memelihara hasil kreasinya untuk tidak menimbulkan mala petaka bagi dirinya, masyarakat dan alam sekitarnya.
4    mursyid    Orang yang mampu menjadi model atau sentral identifikasi diri, atau menjadi pusat anutan, teladan dan konsultan bagi peserta didiknya.
5    mudarris    Orang yang memiliki kepekaan intelektual dan informasi, serta memperbaharui pengetahuan dan keahliannya secara berkelanjutan, dan berusaha mencerdaskan peserta didiknya, memberantas kebodohan mereka serta melatih keterampilan sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya.
6    Mu’addib    Orang yang mampu menyiapkan peserta didik untuk bertanggung jawab dalam membangun peradaban berkualitas di masa depan.


E.    Model – model Evaluasi Pembelajaran PAI
Inilah model – model evaluasi pendidikan, antara lain:
1.    Jika yang akan dites adalah kemampuan dasar (aptitude), maka digunakan evaluasi norma /kelompok (norm/ Group Refresenced Evaluation).
2.    Jika yang akan dites adalah prestasi belajar (achievement), maka digunakan evaluasi acuan patokan (Creterian Refrenced Evaluation).
3.    Jika yang akan dites adalah kepribadian (personality), maka digunakan evaluasi acuan etik. Pendidikan agama Islam banyak terkait dengan masalah ini.

F.    Penciptaan Suasana Religius di Sekolah/ Madrasah/ Perguruan Tinggi
Penciptaan suasana religious di sekolah / madrasah/ perguruan tinggi memiliki landasan kuat. Setidak – tidaknya dapat dipahami dari landasan filosofis Indonesia yaitu Pancasila.

Bab III
Filsafat Pendidikan Islam dan Implikasinya Terhadap Pengembagan Kurikulum PAI

A.    Hakikat Filsafat Pendidikan Islam
Dalam pembahasan filsafat pendidikan, persoalan – persoalan tersebut dapat disederhanakan ke dalam tiga persoalan pokok, yaitu pandangan mengenai realita yang dipelajari oleh Metafisika atau ontology, pandangan mengenai pengetahuan yang dipelajari oleh epistemologi, dan pandangan mengenai nilai – nilai yang dipelajari oleh aksiologi, termasuk di dalamnya etika dan estetika.
Hakikat pendidikan Islam sebagaimana yang telah dikemukakan oleh para ahli dapat ditilik dari ketiga persoalan tersebut (ontology, epistemology dan aksiologi). Langgulung (1998) misalnya mendefenisikan pendidikan Islam ditinjau dari tiga pendekatan, yaitu (1) menganggap pendidikan sebagai pengembangan potensi; (2) cenderung melihatnya sebagai pewarisan budaya; dan (3) menganggapnya sebagai interaksi antara potensi dan budaya.

B.    Urgensi Filsafat Pendidikan Islam
Berfilsafat dan mendidik adalah dua tahap kegiatan tapi dalam satu usaha. Berfilsafat ialah memikirkan dengan seksama nilai – nilai dan cita – cita yang lebih baik. Sedangkan mendidik ialah usaha untuk merealisasikan nilai – nilai dan cita – cita itu dalam kehidupan dan dalam ke pribadian manusia.
Persoalan – persoalan yang mendasar tentang pendidikan dibahas dan dipecahkan menurut teori filsafat. Sebagai implikasinya diperlukan bangunan filsafat pendidikan. Sebagai implikasinya diperlukan bangunan filsafat pendidikan yang kokoh dalam pelaksanaan sistem pendidikan. Jika tidak demikian dikhawatirkan akan terjadi: (1) pendidikan yang terapung – apung (tanpa tujuan); (2) tujuan – tujuan pendidikan akan samar – samar (meragukan), bertentangan dan tidak menunjang kesetiaan; (3) ukuran – ukuran dasar pendidikan menjadi sangat longgar; (4) ketidakmenentuan peranan pendidikan dalam suatu masyarakat; (5) sekolah – sekolah akan memberikan kebebasan kepada peserta didik; (6) sekolah akan menjadi sangat secular dan mengabaikan agama.

Bab IV
Pendekatan – Pendekatan dalam Pengembangan Kurikulum PAI

A.    Pendekatan Subjek Akademis
Pendekatan subjek akademis dalam menyusun kurikulum pendidikan atau program pendidikan didasarkan pada sistematisasi displin ilmu masing – masing. Setiap pengetahuan memiliki sistematisasi tertentu yang berbeda dengan sistematiasi ilmu lainnya. Pengembangan kurikulum subejek akademis dilakukan dengan cara menetapkan terlebih dahulu mata pelajaran / mata kuliah apa yang harus dipelajari peserta didik, yang diperlukan untuk (persiapan) pengembangan displin ilmu.
B.    Pendekatan Humanistis
Pendekatan humanistis dalam pengembangan kurikulum bertolak dari ide “memanusiakan manusia”. Penciptaan konteks yang akan memberikan peluang manusia untuk menjadi lebih human, untuk mempertinggi harkat manusia merupakan dasar filosofi, dasar teori, dasar evaluasi dan dasar pengembangan program pendidikan.
Dengan demikian “memanusiakan manusia” berarti usaha memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan alat – alat potensialnya seoptimal mungkin untuk dapat difungsikan sebagai sarana bagi pemecahan masalah – masalah hidup dan kehidupan, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta budaya manusia, dan pengembangan sikap iman dan takwa kepada Allah Swt.
Nilai – nilai akidah dan akhlak Islam dikembangkan melalui proses keterpaduan antara pengetahuan, perasaana atau penghayatan dan tindakan sehingga peserta didik memilik karakter sebagai seorang muslim dan mukmin yang shaleh. Hal ini sebagai mana dikemukakan oleh Lickona (1991), bahwa untuk mendidik karakter dan nilai – nilai yang baik kepada peserta didik diperlukan pendekatan terpadu antara ketiga kompenen berikut
1.    Moral Knowing, yang meliputi: (1) moral awareness; (2) knowing moral values; (3) perspective – taking; (4) moral reasoning; (5) decision making; (6) self – knowledge.
2.    Moral feeling, yang meliputi: (1) conscience; (2) self – esteem; (3) emphaty; (4) loving the god; (5) self – control; (6) humality
3.    Moral Action, yang mencakup: (1) competence; (2) will; (3) habit

C.    Pendekatan Teknologis
Pendekatan teknologis dalam menyusun kurikulum atau program pendidikan bertolak dari analisis kompetensi yang dibutuhkan untuk melaksanakan tugas – tugas tertentu. Materi yang diajarkan, criteria evaluasi sukses, dan strategi belajarnya yang ditetapkan sesuai dengan analisis tugas (job analisis) tersebut.
Dalam pengembangan kurikulum PAI, pendekatan tersebut dapat digunakan untuk pembelajaran PAI yang menekankan pada know how atau cara menjalankan tugas – tugasnya tertentu. Misalnya cara menjalankan shalat, haji, puasa, zakat dan seterusnya.
Pendekatan teknologis ini sudah tentu mempunyai keterbatasan – keterbatasan, antara lain: ia terbatas pada hal – hal yang dirancang sebelumnya, baik yang menyangkut proses pembelajaran maupun produknya. Karena adanya keterbatasan tersebut, maka pembelajaran pendidikan agama Islam tidak selamanya dapat menggunakan pendekatan teknologsi
D.    Pendekatan Rekonstruksi Sosial
Pendekatan rekonstruksi sosial dalam menyususn kurikulum atau program pendidikan keahlian bertolak dari problem yang dihadapi dalam masyarakat, untuk selanjutnya dengan memerankan ilmu – ilmu dan teknologi, serta bekerja secara kooparatif dan kolaboratif, akan dicarikan upaya pemecahannya munuju pembentukan masyarakat yang lebih baik.


Bab V
Model Pengembangan Kurikulum di Madrasah

A.    Madrasah dan Semangat Desentralisasi Pendidikan
Dilihat dari sejarahnya setidak – tidaknya ada dua factor penting yang melatarbelakangi kemunculan madrasah, yaitu: pertama, adanya pandangan yang mengatakan system pendidikan Islam tradisional dirasakan kurang bisa memenuhi kebutuhan pragmatis masyarakat: kedua, adanya kekhawatiran atas cepatnya perkembangan persekolahan Belanda yang akan menimbukan pemikiran sekuler di Masyarakat.
    Kata madrasah adalam isim makan dari kata: darasa – yadrusu – darsan wa durusan wa dirasan, yang berarti terhapus, hilang bekasnya, menghapus, menjadikan using, melatih, mempelajari (al – Munjid, 1986). Dilihat dari pengertian ini, maka madrasah berarti merupakan tempat mencerdaskan para peserta didik, menghilangkan ketidaktahuan atau memberantas kebodohan mereka, serta melatih keterampilan mereka sesuai bakat, minat dan kemampuannya.

B.    Perlunya Madrasah Merespon Tantangan Pendidikan Nasional
Secara umum pendidikan nasional sedang menghadapi dua tantangan yang berat, yaitu tantangan internal dan eksternal. Secara internal, kita telah dihadapkan pada hasil studi internasional yang selalu menempatkan kita dalam posisi jufu kunci untuk pendidikan dan ranking atas untuk korupsi.
Memperhatikan kondisi tersebut di atas, maka di antara solusi yang ditawarkan adalah: (1) penempuhan studi lanjut; (2) pendalaman pengetahuan; (3) peningkatan keterampilan; (4) penyelenggaraan diskusi antarteman dan (5) penukaran lingkungan kerja.

C.    Menyoroti Keberadaan Kurikulum Madrasah
Sebagai akibat dari kemandulan keilmuan yang dimiliki output madrasah, maka Menteri Agama Tarmidzi Taher mencoba menawarkan kebijakan dengan jargon “madrasah sebagai sekolah umum yang berciri khas Islam,” yang muatan kurikulumnya sama dengan sekolah non – madrasah. 
H.A. Malik Fadjar memantapkan eksistensi madrasah untuk memenuhi tiga tuntutan minimal dalam peningkatan kualitas madrasah, yaitu: (1) bagaimana menjadikan madarasah sebagai wahana membina ruh atau praktik hidup keislaman; (2) bagaimana memperkokoh keberadaan madrasah sehingga sederajat dengan system sekolah; (3) bagaimana madrasah mampu merespon tuntutan masa depan guna mengantisipasi perkembangan iptek dan era globalisasi.
D.    Gambaran Umum Pengembangan Kurikulum Madrasah (Sebuah Model Alternatif)
Dalam konteks pendidikan di madrasah, maka kurikulum atau program pendidikannya perlu dirancang dan diarahkan untuk membantu, membimbing, melatih serta mengajar dan menciptakan suasana agar peserta didik dapat mengembangkan kualitas IQ, EQ, CQ dan SQ. pendidikan IQ menyangkut peningkatan kualitas Head agar peserta didik menjadi orang yang cerdas, pintar dan lain – lain. Pendidikan EQ menyangkut peningkatan kualitas Heart agar rendah hati, menjaga diri (self – esteem), berempati, cinta dan tidak terburu – buru mengambil keputusan. Peningkatan CQ menyangkut peningkatan kualitas Hand agar peserta didik nanti dapat menjadi agen of change, mampu membuat inovasi atau menciptakan hal – hal yang baru. Pendidikan SQ menyangkut peningkatan kualitas Honest agar peserta didik menjadi orang yang beriman dan bertakwa kepada Allah, berakhlak mulia, bersikap amanah dalam memegang jabatan, dan memiliki sifat siddiq, amanah, tabligh, fathonah dan lain – lain.


Bab VI
Model Pengembangan Kurikulum Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) Berbasis Kompetensi
A.    Gambaran Umum tentang KBK di PTAI
Melalui pengembangan kurikulum berbasis kompetensi diharapkan agar:
1.    Mutu pendidikan lebih terjamin
2.    Lebih dapat kebutuhan lapangan kerja; dan
3.    Peran PTAI sebagai agen perubahan masyarakat perubahan dapat lebih terpenuhi.
B.    Landasan Pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi
Secara epistemologis, pengembangan kurikulum berbasis kompetensi (KBK) memeliki dasar rasional tertentu, yaitu (1) siapa yang akan dijadikan peserta didik?; (2) apa kompetensi hasil didik, sebagai apa?; (3) siapa yang membutuhkan hasil didik, berapa jumlahnya dan bagaimana jenjang karier yang tersedia di masyarakat?; dan (4) bagaimana proses pendidikannya agar tujuan yang dinginkan terwujud?
Adapun jika dilihat dari prinsip dasar – dasar Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) adalah sebagai berikut.
a.    Menekankan pada hasil (outcomes)
b.    Outcomes merupakan kompetensi yang dapat diukur
c.    Evaluasi keberhasilan merupakan pengukuran penguasaan kompetensi yang telah dicapai oleh peserta didik.
d.    Relevansi lebih besar pada pekerjaan dan tugas – tugas nyata dan dunia kerja
e.    Menekankan pada kemampuan berpikir lebih tinggi

C.    Macam – macam Kompetensi Lulusan PTAI
Menurut Kepmendiknas 045/ U/2002, bahwa kompetensi yang diharapkan dari lulusan sarjana S1 adalah sebagai berikut:
a.    Kompetensi utama, yaitu merupakan core competencies yang diharapkan dikuasai oleh lulusan dari bidang studi tersebut yang kemudian disebut kurikulum inti.
b.    Kompetensi pendukung, yaitu merupakan kompetensi – kompetensi yang dibutuhkan untuk menunjang core competencies yang diharapkan.
c.    Kompetensi lain, yaitu kompetensi yang dianggap perlu untuk melengkapi keuda kompetensi di atas.

D.    Kerangka Pikir Pengembangan SKL
Standar Kompetensi Lulusan (SKL), adalah seperangkat kompetensi lulusan yang dibakukan dan diwujudkan dengan hasil belajar peserta didik. Standar ini bermanfaat sebagai dasar penilaian dan pemantuan proses kemajuan dan hasil belajar peserta didik.
    Adapun tujuan Standar Kompetensi Lulusan (SKL) adalah sebagai berikut.
1.    Mewujudkan standar nasional dan institusional kompetensi lulusan
2.    Memberikan acuan dalam merumuskan criteria, kerangka dasar pengendalian, dan quality assurance (jaminan mutu) lulusan.
3.    Memperkuat profesionalisme lulusan melalui standarisasi lulusan secara nasional dengan tetap memperhatikan tuntutan institusional, yaitu mewujudkan visi dan misi PTAI.

E.    Contoh Pengembangan SKL untuk Komponen Kompetensi Dasar PTAI
Contoh pengembangan skl untuk Komponen Kompetensi Dasar PTAI
1.    Landasan Konseptual, yang meliputi visi dan misi, landasan Sosio – Historis, landasan Filosofis Religius dan landasan yuridis.
2.    Landasan Empris
3.    Tugas, fungsi dan Uraian Tugas Lulusan PTAI
4.    Kompetensi Lulusan PTAI
5.    Standar kompetensi bahan kajian

F.    Contoh Model Pengembangan Standar Kompetensi Lulusan Program Studi Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah
Inilah contoh – contoh pengembangan Standar Kompetensi Lulusan Program Studi Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah
a.    Deskripsi Program Studi, ini terdiri atas visi, misi, tujuan dan karakteristik
b.    Fungsi dan tugas lulusan
c.    Standar kompetensi lulusan
d.    Standar kompetensi bahan kajian
e.    dan lain - lain



1 komentar:

Mari kita membaca dengan hati plus mata