2 Nov 2012

KEPEMIMPINAN VISIONER

Pendahuluan
Pada dasarnya manusia dibekali kemampuan memimpin (khalifah fil-ardhi), tapi kebanyakan manusia kurang mampu dalam mengelola potensinya tersebut.
Kata pakar memimpin itu seni, bukan hanya sekedar ilmu yang dijejali dengan hubungan sebab-akibat dan probabilitas saja, tapi kerja seni yang mampu menempatkan fungsi-fungsi keahlian seorang bawahan menggerakkan rantai organisasi berjalan sebagaimana mestinya, tanpa mengurangi kebebasan seorang bawahan tersebut untuk  mewujudkan inisiatif dan kreatifitasnya sehingga visi utama organisasi tercapai. Seperti perumpamaan debu tayamum yang mampu menggantikan fungsi air sebagai media sekaligus kekuatan yang bisa merubah tubuh yang najis (organisasi yang kacau dan stagnan) menjadi tubuh yang suci (organisasi yang baik dan dinamis).
A.    KEPEMIMPINAN
Kepemimpinan secara global dapat diartikan adalah suatu perilaku yang dapat mempengaruhi, mengatur, serta mengkondisikan untuk suatu tujuan tertentu. Menurut Sarros dan Butchatsky (1996), kepemimpinan dapat didefinisikan sebagai suatu perilaku dengan tujuan tertentu untuk mempengaruhi aktifitas anggota kelompok untuk mencapai tujuan bersama yang dirancang untuk memberikan manfaat individu dan organisasi.
Kepemimpinan itu memiliki posisi yang strategis untuk mendinamiskan sekaligus mengendalikan perilaku organisasi, sehingga fungsi-fungsi seluruh bagian organisasi berjalan efisien dan efektif. Setelah itu kepemimpinan tak cukup berarti lagi kecuali sebatas sebagai perekat atau simbul efisiensi dan efektifitas itu sendiri.
Dalam Islam kepemimpinan itu sarat dengan tanggung-jawab yang sangat besar karena secara filosofis terkait dengan kewajiban simbiosis dan kolaboratif antara yang ilahiyah, yang insaniyah dan bahkan yang alamiyah. Belum lagi jika dilihat dari dimensi kepentingan diri dan kenpentingan sosial. Oleh karena itu dalam akhlak Islam “jabatan” tak boleh diminta apalagi direbut dengan muslihat kotor (rekayasa politik golongan) itu sangat tidak islami artinya tidak ilahiyah, tidak insaniyah dan tidak alamiyah. Orang yang meminta jabatan itu adalah orang yang sombong kepada Allah dan tidak tawadhu’ kepada Rasulullah Saw, maka tak pantas diberi jabatan.
Syarat seorang pemimpin itu diumpamakan seperti “air” ia mampu membersihkan tubuh yang kotor, menghidupkan pohon yang mati, dan setia menuju dataran yang paling rendah. Jadi Islam mensyaratkan pemimpin puncak itu seperti air yang mampu membersihkan organisasi dari masalah yang dihadapi, mampu mengembangkan organisasi menjadi besar dan sehat, dan  selalu berorientasi kepada kesejahteraan dan kesuksesan bersama. Sementara pemimpin dibawahya dan staf, ya paling tidak  seperti “debu tayamum” yang mampu berfungsi sebagai pengejawantah dan pelaksana kebijaksanaan pemimpin puncak. Demikian pula proses suksesi harus mengalir seperti air, tak boleh ada rekayasa kecuali menjalankan prinsip-prinsip leadership. Maka hasil evaluasi  kemampuan yang sudah dibuktikan dalam perjalanan kariernyalah yang menjadi pertimbangan utama suksesi.
A.    KEPEMIMPINAN VISIONER
Pemimpin itu harus memiliki visi besar yang mulia dan mampu mengawal visi-nya tersebut dari segala macam ancaman dan tantangan baik internal maupun eksternal. Juga mampu diwujudkan dalam bentuk rencana program yang terukur capaiannya, dan punya peluang besar untuk dilaksanakan karena didukung oleh  data yang sudah teruji validitas-nya, serta visi yang diagungkan itu memang merupakan mimpi semua stageholder dan bisa jadi mungkin  mimpi mulia semua manusia.
 Untuk mengukur seorang pemimpin yang memiliki visi seperti “air” dan paling tidak seperti “debu tayamum” yang mampu menyehatkan lembaga dan mensejahterakan, dapat diukur dengan kekuatan ketaatannya kepada Allah dan Rasul-Nya.
“Hai orang-orang yang beriman, ta’aitilah Alloh dan taatilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Alloh (alQur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Alloh dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. Annisaa 4 : 59)
Di dalam ayat tersebut, sebelum kata Allah dan Rasul-Nya didahului kata ‘athi’u yang berarti taatilah, sedangkan sebelum kata ulil amri tidak disebutkan kata ‘athi’u. Menurut para mufassir itu merupakan isyarat bahwa keaatan kepada ulil amri itu sanat ditentukan oleh bagaimana ketaatan pemimpin itu kepada Alloh dan RasulNya. Ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya bersifat mutlaqoh (tanpa syarat), sedangkan ketaatan kepada ulil amri bersifat muqayyadoh (bersyarat). Pada masalah yang sama Rasululloh SAW menetapkan sebuah kaidah ketaatan, dalam sabdanya: “la tha’atan lil makhluqin fi ma’shiyatil Khaliq”, artinya tiada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Khaliq (Alloh).
Kewajiban hidup dalam suatu tatanan dimana ada pemimpin dan ada yang dipimpin sangat jelas dalam Islam. Karena di dalam hadist yang lain Rasulullah Shollallahu Alaihi Wa Sallam bersabda:
“Tidak halal (dibenarkan) bagi tiga orang muslim yang berdiam di suatu tempat, kecuali apabila mereka memilih dan mengangkat salah satu di antara mereka sebagai pemimpin.” (HR Abu Daud).
Dari ayat dan kedua hadist tersebut jelas memilih pemimpin adalah kewajiban agama yang tidak boleh diabaikan, dan partisipasi umat Islam dalam memilih pemimpin merupakan bagian dan ibadah kepada Alloh yang akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak. Menurut lbnu Taimiyah, tujuan kepemimpinan adalah memperbaiki segi-segi duniawi yang sangat erat hubungannya dengan agama: pertama, membagikan harta antara siapa-siapa yang berhak menerimanya; dan yang kedua, menghukum orang-orang yang melanggar ketentuan undang-undang.
 Seseorang dikatakan layak menjadi pemimpin visioner jika memenuhi sepuluh muwashofat (karakter), sebagai berikut:
1.  salimul aqidah (bersih akidahnya):
Seorang pemimpin harus memiliki keimanan yang kokoh, bersih dari sifat-sifat syirik, dan menghukum dengan hukum yang tidak bertentangan dengan hukum-hukum Alloh . Kebersihan aqidah ditandai dengan keimanan yang kokoh terhadap rukun iman dan keyakinan kepada Tauhidulloh. Selalu mengikhlaskan niat dalam setiap tindak tanduknya.
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa.” (al-Baqoroh:177)
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh[294], dan teman sejawat, Ibnu sabil[295] dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.”  (Qs. An-Nisa:36)
2.  Shahihul ibadah (benar ibadahnya):
Seorang pemimpin harus menjalankan hidup dalam rangka ibadah, baik secara khusus maupun umum. Dia harus mendirikan sholat, menunaikan zakat, berpuasa di Bulan Ramadhan, dan menunaikan ibadha haji ke Baytullah. Karena dia wajib menjalankan kepemimpinannya sebagai bagian dari pengabdian, ketundukan, dan ketaatannya kepada Alloh Ta’ala, sehingga ia menjalankan kepemimpinan tersebut dengan ikhlas dan ihsan (professional), sebagaimana sabda Rosululloh Shollailahu Alaihi Wa Sallam “Sesunguhnya Allah mewajibkan ihsan terhadap semua urusan.”
“Tuhan (yang menguasai) langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya, Maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadat kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?” (Maryam:65)
3.  matinul khuluq (kokoh akhlaknya):
Seorang pemimpin harus jujur (siddiq) dan menjadi qudwah atau contoh yang baik bagi rakyatnya. Dari segi moralitas Dia menjalankan kepemimpinan dengan penuh amanah, adil, hikmah , empati, tidak mengancam, menindas, dan menyakiti hati rakyat. Jangan jadi pemimpin ummat jika masih suka bermaksiat baik secara sembunyi-sembunyi apalagi terang-terangan.
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”. (Al ahzab:21)
4.  Qadirun ‘alal kasbi (mandiri dan produktif):
Seorang pemimpin harus kompeten, mampu menunjukkan kreativitas dan potensi yang dimilikinya. Kalau pekerjaan kecil saja membutuhkan inovasi dan dinamisasi, apalagi pekerajan memimpin suatu negara misalnya. Seharusnya dia memiliki inisiatif mensejahterakan dan memakmurkan rakyatnya dengan program-program ekonomi yang tepat.
“...(siksaan) yang demikian itu adalah karena Sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan merubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu merubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri, dan Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (Al-anfal 53.)
5.  Mutsaqaful fikri (luas pemikirannya):
Seorang pemimpin harus cerdas (fathonah), visioner memiliki wawasan yang luas, yang mencakup pengetahuan tentang administrasi negara. politik, hukum, dan agama. sehingga membuatnya mampu berijtihad terhadap kasus-kasus dan hukum-hukum. Dengan karakter mutsaqaful fikri ini juga seorang pemimpin harus komunikatif (tabligh), mampu menyampaikan ide dan gagasannya dapat difahami oleh seluruh lapisan masyarakat.
6.  Qowiyul jismi (kuat fisiknya):
Seorang pemimpin dituntut memiliki fisik yang kuat tida lamban, loyo, atau mudah ngantuk. Adalah kebiasaan Rosululloh Shollallahu Alaihi Wa Sallam jika beliau ingin mengangkat seseorang menjadi panglima perang, maka disuruhnya orang tersebut menjadi imam sholat dan melakukan khutbah. Karenanya tatkala Rosul Shollallahu Alaihi Wa Sallam menyuruh Abu Bakar tampil menjadi imam, maka kaum Muslimin mengangkatnya pula sebagai pemimpin perang. Imam sholat menunjukkan adanya jaminan moral, sedangkan pemimpin perang menunjukkan jaminan kekuatan fisik, keberanian dan ketegasan. Maka seorang pemimpin harus tegas dan berani menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar.
7.  Mujahidun Iinafsihi (bersungguh-sungguh mengendalikan dirinya):
Seorang pemimpin harus bersungguh-sungguh dan mampu mengendalikan hawa nafsunya, tidak otoriter, arogan, dan memaksakan kehendak kepada orang lain . Dia harus menjauhi sifat pemarah atau sifat egois (mementingkan din sendiri), selalu harus tertanam dalam dirinya bahwa ia merupakan “khodimul Ummah” (pelayan ummat).
“Dan Adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya. Maka Sesungguhnya syurgalah tempat tinggalnya.” (an-Naaziat:40-41)
8.  Munazhamun fi syu’unihi (mampu menata semua urusannya):
Seorang pemimpin harus mampu mengatur semua urusannya dengan baik, mampu mengelola potensi anggota atau bawahannya, serta mampu bermusyawarah dengan baik. Pemimpin yang tidak mampu mengurus (memenej) akan menimbulkan kekacauan.
Nabi Muhammad SAW dalam salah satu hadist yang sudah sangat sering kita dengar mengatakan bahwa, "Jika suatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya (tidak memiliki kapasitas untuk mengembannya), maka tunggulah saat kehancurannya" (H. R. Bukhari bab Ilmu).
9.  Haritsun ‘ala waqtihi (mampu memelihara waktunya):
Seorang pemimpin harus mampu memelihara waktunya dengan efektif dan efisien, tidak lalai dan melakukan perbuatan yang mubazir. Pemimpin memberikan waktunya untuk kepentingan ummat dan bangsanya meskipun juga perlu menjaga keseimbangan waktu untuk diri dan keluarganya. Pemimpin yang sholeh dan efektif digambarkan Rosululloh Shollallohu Alaihi Wa Sallam sebagai “ruhbanun bil lail wa fursanun bin nahar”, seperti rahib di malam hari dan seperti penunggang kuda di siang hari
10.  Nafi’un Iighairihi (bermanfaat bagi orang Iain) :
Seorang pemimpin tidak boleh egois dan harus mementingkan kemaslahatan umat dan rakyat di atas kepentingan pribadi, keluarga atau kelompok, sehingga ia dicintai oleh rakyatnya. Dalam satu hadist Rosululloh Shollallohu Alaihi Wa Sallam bersabda:
“sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lain.” Rasululloh Shollallohu Alaihi Wa Sallam juga menjelaskan bahwa salah satu kriteria pemimpin yang baik yaitu;
“kalian mencintai mereka (pemimpin), dan merekapun mencintai kalian. Kalian mendo’akan mereka dan mereka pun mendo’akan kalian. Dan seburuk-buruk pemimpin kalian adalah mereka yang membenci kalian dan kalian pun membenci mereka, kamu melaknat mereka dan mereka pun melaknat kalian “.(HR Thabrani)
kesimpulan
     Jadi Pemimpin visioner memiliki empat peran penting yaitu sebagai penentu arah, agen perubahan, juru bicara, dan pelatih. Penentu arah yang baik harus dapat menyusun berbagai langkah menuju sasaran yang dapat diterima sebagai suatu kemajuan riil oleh semua orang di dalam organisasi. Agen perubahan yang baik harus mampu mengantisipasi berbagai perkembangan di dunia luar, memperkirakan implikasi terhadap organisasi, dan menciptakan Sense Of Urgency. Pelatih yang baik, harus mampu memberi tahu orang lain dimana tempat berpijak, apa arti visi, dan apa yang akan dilakukan untuk merealisasikan visi.
Syarat menjadi pemimpin visioner adalah cerdas dan kritis. Sedang peran penting pemimpin visioner itu ada empat, antara lain; penentu arah, agen perubahan, juru bicara, dan pelatih.


Daftar Pustaka

Qur’an terjemah
Tafsir an-Nur
Shohih Bukhari
www.http//Rodhi, makalah Kepemimpinan Visioner

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mari kita membaca dengan hati plus mata