17 Nov 2012

Mental Baja Bekal Menggapai Cita-Cita

Sebuah Feature dari Ahmad Mushollin



Berani Hidup, kenapa harus malu. Itulah yang sering tersirat dari wajah kalem seorang  penjual gorengan yang juga seorang mahasiswa. Ia adalah M. Feri Firmansyah, mahasiswa Tarbiyah semester VII di Universitas Muhammadiyah Malang yang berasal dari Sumbawa dan tinggal di masjid al-Ma’un Sengkaling kecamatan Dau Malang. Selama menjalani hidup sebagai mahasiswa ia mencari cara untuk bekerja demi mendapat uang saku sekaligus  meringankan beban orang tuanya. Berbagai pekerjaan ia jalani hanya sekedar untuk mendapatkan tambahan uang saku yang dibagi dengan adiknya. “Saya harus bisa mencari uang sendiri karena tidak mesti orang tua saya mengirim untuk bulanan saya, walau mengirim uang saku harus saya bagi dengan adik saya” tuturnya.

Sebelum menjadi mahasiswa ia telah terbiasa bekerja membantu orang tuanya, sehingga ingin menjadi mahasiswa sukses pun ia tekadkan dengan nekat kuliah sambil bekerja untuk menggapai cita-cita yaitu menjadi businesman atau penulis. Jauh sebelum memutuskan menjadi penjual gorengan, Feri pernah mencoba berbagai usaha. Salah satunya pada semester I ia pernah bekerja menjadi kuli bangunan. Jika nguli bangunan ia harus mengambil waktu hari libur, misalkan libur semester sehingga tidak ada kesempatan untuk bisa menikmati liburannya. Selain itu pekerjaan lain juga ia jalani. Feri sempat bekerja sebagai penjual madu dari salah satu ustadznya dan menjadi tukang pijat. Namun karena hasil tak sesuai dengan yang ia harapkan akhirnya memilih kerja sebagai penjual gorengan. “sejak semester I sampai semester III saya pernah bekerja jadi kuli bangunan, jualan madu, tukang pijat, pokoknya banyak lah” ujarnya.
Menjual gorengan tersebut ia mulai pada semester IV setahun yang lalu. Feri memilih kerja menjual gorengan karena pekerjaan itu memang saat ini ia bisa kerjakan dan juga banyak peminat khususnya teman-teman sekampusnya. Setiap pagi sebelum berangkat kuliah ia harus ke warung  salah satu jamaah masjid al-Ma’un untuk mengambil gorengan untuk dijajakan di kampus. Beberapa hal terkait dengan menjual gorengan yang harus ia lakukan cenderung lebih mudah karena selain menjualkan milik orang, teman-teman sekampusnya juga senang dengan gorengan yang dijajakannya. Lapar dan capek menjadi alasan mengapa gorengan yang ia jajakan laris serta banyak peminatnya. Dengan menjual gorengan untung yang didapatkan pun cenderung lebih terlihat hasilnya. Berkaca dari pengalaman yang didapat itulah akhirnya ia berprofesi sebagai penjual gorengan sekaligus belajar sebagai mahasiswa. “Pekerjaan ini lebih bisa dan senang saya lakukan serta hasilnya pun lebih besar dan lebih ringan dari kuli bangunan, jual madu, dan tukang pijat karena pekerjaan itu tak mesti hasilnya,” ungkapnya sambil senyum.
Setiap gorengannya dipatok harga seribu rupiah. Barang dagangan yang dijajakan tidak setiap hari habis dibeli orang. Kadang masih menyisakan lebih dari seperlima dari gorengan yang ada. Jika terdapat sisa, mahasiswa penyabar itu terpaksa menjajakan di kos-kos temannya. Meski dengan harga yang jauh lebih murah Feri tetap berusaha agar barangnya dapat terjual lagi. Namun, Jika memang tak layak jual dengan berat hati feri terpaksa memakannya atau dikasihkan pada teman sekamarnya. “Ya kadang habis, kadang juga masih sisa, kalau sisa, misalnya pastel itu saya datangi kos-kos teman untuk jual lagi selakunya,” terangnya sambil menundukkan kepala.
Saat ditanya pendapatan, mahasiswa semester VII itu agak kesusahan menjawab. Hal itu karena gorengan yang habis dijualnya ternyata hanya dapat mencukupi kebutuhan makan dan beli sabun. meskipun demikian, mahasiswa santun tutur katanya itu masih berusaha untuk menyisakan lembar demi lembar uang dari pendapatannya untuk ditabung. Feri berharap dari tabungan itu bisa ia gunakan untuk keperluan yang lain misalkan beli buku dan lain-lain. “Setiap hari kandang ada seribu atau dua ribu yang bisa saya tabung,” ungkapnya.
Bekerja sambil belajar ia lakoni demi cita-citanya untuk dapat mengenyam pendidikan setinggi mungkin. Rasa iri pun sempat terbersit dalam dirinya ketika melihat teman-temannya yang bisa belajar dan mendapat uang saku dari orang tua. Namun ia tidak bisa seperti itu karena faktor ekonomi keluarga yang kurang mampu maka ia harus mencari sendiri untuk tambahan uang saku sekaligus melatih kemandirian. “Kadang saya iri dengan teman-teman yang dapat uang saku cukup dari orang tuanya tapi saya tidak bisa karena keluarga saya bukan keluarga mampu saya harus berusaha sendiri agar cukup uang saku saya” sambung Feri.
Setiap hari Feri bangun pagi-pagi ketika azan subuh berkumandang. Seperti biasa setelah menunaikan sholat subuh ia harus membersihkan mesjid yang ia diami, namun demikian ia tidak digaji sepeserpun. Terpenting baginya adalah dapat tempat tinggal tanpa dipungut biaya menjadi alasannya. Setelah membersihkan masjid ia harus mempersiapkan dagangannya dengan pergi ke warung mbok Nah untuk mengambil gorengannya. Biasanya ia mampu membawa dua hingga setengah keranjang dagangan untuk dibawa ke kampus. Sekitar pukul 06.30 dengan sepeda kayuhnya feri berangkat ke kampus dengan membawa dagangannya, tapi tak mesti ia bisa tepat waktu sampai di kampus kadang di tengah jalan ban sepedahnya bocor kadang juga rantainya putus.   
Tidak ada kata malu, itu yang menjadi kunci utama ia untuk bisa berjuang dan sengat demi menggapai cita-cita. Dari perjuangannya setiap hari harus mengayuh sepedah untuk menjajakan dangangan dan belajar ia berharap semua orang tahu tentang pelajaran hidup yang sesungguhnya, yaitu tidak malu terus berusaha dan berusaha. Ia tersadar bahwa kehidupan itu adalah perjuangan untuk menggapai impian tidak semata senang-senang dan suatu saat pasti akan memperoleh hasil yang sesuai harapan. Ini menjadi motivasi tersendiri bagi mahasiswa semester VII untuk semangat ia belajar dan bekerja. “Saya tidak pernah merasa putus asa dan malu dengan kondisi saya yang seperti ini, demi cita-cita saya rela melakukan apa saja,” santunnya dengan lugu.
Kendati cita-cita belum tercapai, namun ia bersyukur dapat kuliah di salah satu perguruan tinggi kampus putih UMM malang. Betapa tidak, seorang anak yang berasal dari keluarga sederhana mampu melanjutkan kuliah jauh sampai ke Malang. Hal ini benar-benar disyukuri Feri sebagai anugerah dari yang kuasa. Untuk itu, ia tidak pernah mengeluhkan beratnya bertahan hidup tanpa kiriman orang tua. Baginya, mampu terus belajar merupakan hal yang lebih penting dari pada selalu mengeluh.  
Ia pun menuturkan agar semua orang dapat mengambil hikmah dari profesinya dan kehidupan yang ia jalani. Menurutnya hidup merupakan ujian, siapa yang tahan ujian ia akan mendapatkan kemudahan dan keberuntungan. “Bersusah-susah dahulu bersenang-senang kemudian,” pesanya mengakhiri.A_mush







Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mari kita membaca dengan hati plus mata