15 Jan 2014

HUKUM ISLAM ANTARA WAHYU DAN PEMIKIRAN MANUSIA



Oleh Dedi Hariadi
.    A. Hukum Islam dan Tantangan Modernitas

Agama samawi sebelum islam, mempunyai kaapasitas jangkauan waktu dan tempat yang terbatas, sifat temporer itu dibatasi dengan kehadiran nabi muhammad SAW , seperti ajaran musa as , dead line-nya adalah ketika ajaran isa as tiba, berbeda dengan itu, agama islam yang dibawa oleh nabi muhammad merupakan agama terahir dan penutup.[1]
Islam diyakini sebagai agama yang universal , tidak dibatasi oleh waktu dan tempat tertentu. Al-qur’an menyatakan bahwa lingkup keberlakuan ajaran islam yang dibawa oleh nabi muhammad adalah untuk seluruh umat manusia, dimanapun mereka berada. Oleh sebab itu , islam seyogyanya dapat diterima oleh semua umat manusia dimuka bumi ini, tanpa harus ada konflik dengan keadaan dimana ia berada.[2]


1.      Ibadah dan Mu’amalah
Gambaran tentang kemampuan syari’at islam dalam menjawab segala persoalan dapat diketahui dengan mengemukakan beberapa prinsip syari’at islam mengenai tatanan hidup secara pertikal ( antara manusia dengan tuhan ) dan secara horizontal ( antara manusia dengan manusia). Kebanyakan ahli Fiqih telah menetapkan kaidah bahwa segala sesuatu yang beerhubungan dengan materil dan mu’amalah adalah boleh kecuali ada dalil yang menunjukkan keharamannya.[3] Kaedah tentang sesuatu dari segi pemanfaatannya adalah boleh, namun pelaksanaanya harus dengan cara yang patut. Kaedah ini mencangkup segala sesuatu yang tidak ada dalil khusus untuknya. Karena sesuatu yang telah ada dalil syara’ yang khusus untuknya, tidak butuh pada kaedah ini untuk mengetahui hukumnya.[4]
Kaidah diatas berlawanan dengan kaidah hukum dalam bidang ibadah. Dalam bidang ibadah, syari’at islam menetapkan sendiri garis-garisnya. Disini dikemukakan nash-nash yang tidak dapat ditafsirkan lain, sehingga terjaga dari kesimpangsiuran. Dalam bidang yang disebut terakhir ini, terdapat kaidah bahwa ibadah tidak dapat dilakuakan kecuali apabila ada dalil yang menunjukkan bahwa sesuatu itu telah diperintahkan oleh Allah dan Rosulnya.[5] Pada prinsipnya perbuatan baok itu batal ( tidak dapat diterima) samapai adanya dalil yang memerintahkan untuk melakukannya. Dalam pokok-pokok manhaj majelis tarjih dirumuskan :
“ dalam bidang ibadah yang diperoleh ketentuan dalam Al-qur’an dan al-sunnah pemahannya dapat menggunakan akal sepanjang diketahui latar belakang dan tujuannya, meskipun harus diakui bahwa akalbersifat nisbi, sehingga prinsip mendahulukan nash dari pada akal memiliki kelenturan dalam menghadapi situasi dan kondisi.[6]
Berdasarkan prinsip diatas bahwa prinsip modernisasi , dalam arti meliputi segala bentuk mu’amalah diizinkan oleh syari’at islam, selama tidak bertentangan dengan jiwa syari’at islam itu sendiri. Menyadari bahwa kehidupan dan kebutuhan manusia selalu berkembang dan berubah , syari’at islam dalam bidang mu’amalah, pada umumnya mengatur dan menetapkan dasar-dasar secara umum. Sedangkan perinciannya diserahkan kepada umat islam dimanapun mereka berada.[7]
Olehkarenanya beberapa pemikir islam memberikan ruang pada akal untuk melakukan ijtihad dengan tidak terpaku pada teks literal semata. Seperti misalkan teori hudud  yang ditelorkan oleh syahrur yang memberikan ruang yang begitu besar pada penggunaan akal dan pengetahuan empiris dalam memproduksi hukum. Diakuinya kebebasan manusia dalam mengendalikan kehidupannya sendiri dengan menciptakan hukum yang relevan untuk situasi, zaman, dan kondisi sendiri dengan tetap menaati rambu-rambu Allah.[8]
2.      Qath’i al-Dalalah dan Zhanni al-Dalalah
Pada dasarnya ajaran islam dapat dibedakan menjadi dua kelompok:
a.       Ajaran islam yang bersifat absolut, universal dan permanent, tidak berubah dan tidak dapat diubah. Termasuk kelompok ini adalah ajaran islam yang tercantum dalam Al-qur’an dan Asunnah muttawatir  yang penunjukkanya telah jelas ( qath’i al-dalalah).
b.      Ajaran islam yang bersifat relatif, tidak universal dan tidak permanent,melainkan dapat diubah dan berubah. Termasuk dalam ajaran ini adalah ajaran islam yang dihasilkan melalui proses ijtihad( fiqih).[9] Penghapusan fiqih yang tidak diperlukan oleh zaman merupakan keharusan. Yakni persoalan-persoalan yang tidak terjadi lagi pada zaman ini, seperti sejumlah besar hukum-hukum yang berkaitan dengan perbudakan[10]. Fiqih harus berkaitan dengan kenyataan, menjelaskan hikmah-hikmah , penjelasan hikmah –hikmah yang terkandung dalam syari’at perlu dilakukan sehingga bisa diterima oleh akal, dan membuat hati tenang. [11]Dalam persepektif sosiologi ilmu pengetahuan diyakini bahwa semua pengetahuan dan pemikiran walaupun berbeda tingkat dan keragamanya akan dibatasi oleh lokasi struktur sosial dan proses historisnya. Inilah yang dikatakan oleh mannheim bahwa science and thought are bound to location within the social structur and historical process. Olehkarena itu, sikap fuqaha yang hanya mengutip dan mensyarah tulisan-tulisan ulama zaman dulu tanpa dibarengi dengan pembacaan kritis terhadapnya, dalam sosiologi ilmu pengetahuan , dianggap sebagai tindakan yang bermasalah.maslah yang sudah jelas adalah bahwa fiqih produk masa lalu akan mengalami kelumpuhan jika langkah yang ditempuh hanya mendaur ulang fiqih lama.[12]

B.     Sifat dan Karakteristik Hukum Islam
sistem hukum islam yang dibawa Rosulullah SAW mempunyai beberapa karakteristik yang membuatnya berbeda dengan sistem yang lain . berikut dibawah ini beberapa sifat dan karakteristik hukum islam.
1.      Sempurna
Syari’at islam diturunkan dalam bentuk yang umum dan garis besar permasalahannya. Olehkarena itu, hukumnya bersifat tetap , tidak berubah disebabkan berubahnya masa dan berlainan tempat. Untuk hukum-hukum yang lebih rinci, syari’at islam hanya menetapkan kaedah dan patokan umum. Penjelasannya dan rinciannya diserahkan pada ijtihad pemuka masyarkat.  Dengan menetapkan patokan umum tersebut , syari’at islam dapat benar-benar menjadi petunjuk yang universal, dapat diterima disemua tempat dan setiap saat. Setiap saat umat manusia dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan garis-garis kebijaksanaan al-qur’an
Penetapan al-qur’an tentang hukum islam dalam bentuk yang global dan simpel itu dimaksudkan untuk memberikan kebebasan pada umat manusia untuk melakuakan ijtihad sesuai dengan situasi dan kondisi zaman. Dengan sifat yang global ini diharapkan hukum islam dapat berlaku disepanjang masa.[13]
2.      Elastis
Hukum islam bersifat elastis ( lentur dan luwes), ia meliputi segala lapangan dan bidang kehidupan manusia.
Hukum islam mempunyai kemampuan bergerak dan berkembang, mempunyai daya hidup, dapat membentuk diri sesuai dengan perkembangan dan kemajuan zaman. Prinsip –prinsip hukum islam dan kaidah-kaidah universalnya bisa mengakomodasi semua tuntutan waktu dan tempat, kapan dan dimanapun. Bukan berarti hukum islam itu berubah –uabah tergantung siapa, kapan dan dimana tetapi karena hukum islam itu mempunyai dua dimensi hukum.[14]
a.       Hukum yang berhubungan dengan prinsip-prinsip hukum islam dan kaidah-kaidah universal dan permanen, tidak berubah dengan berubahnya waktu dan tempat. Sebagai contoh, berlaku adil dan lainnya.
b.      Hukum yang berhubungan dengan tekhnis dan operasionalnya, diamana hukum tersebut nisa dipengaruhi oleh tuntutan waktu dan tempat. Sebagai contoh , untuk mencapai keadilan itu ada tekhnis dan mekanismenya.[15]
3.      Universal dan Dinamis
Ajaran islam bersifat universal. Ia meliputi seluruh alam tanpa tapal batas, tidak dibatasi pada daerah tertentu seperti ruang lingkup  ajaran ajaran nabi yang sebelumnya. Ia berlaku bagi orang arab dan orang ajam ( non arab).[16]
4.      Sistematis
Arti dari kata bahwa hukum islam itu bersifat sistematis adalah bahwa hukum islam itu mencerminkan sejumlah doktrin yang bertalian secara logis. Beberapa lembaganya saling berhubungan satu dengan yang lainnya. 
Perintah shalat dalam al-qur’an senantiasa diiringi dengan perintah zakat, berulang-ulang allah berfirman ; mkana dan minumlah  kamu, tetapi janganlah berlebihan.
Dari ayat tersebut islam tidak dipahami sebagai ajaran spritual yang mandul. Dalam hukum islam seorang dilarang hanya “ bermu’amalah” dengan allah dengan melupakan dunia. Dalam islam allah memerintahkan utnuk menvacari rezeki tapi melarang imperial dan kolonial ketika mencari rezeki tersebut.[17]
5.      Hukum Islam Bersifat Taa’quli an Ta’abuddi
Sebegitu jauh hukum islam hanya mempunyai dua dasar pokok al-qur’an dan sunnah. Disamping dua sumber pokok tersebut adalagi sumber poko yang lain yaitu konsensus masyarakat ( ulama’). Seperti diterangkan dimuka, syari’at islam mencangkup bidang mu’amalah dan ibadah . dalam bidang ibadah terkandung nilai-nilai ta’abuddi/ghairu ma’qulah al-ma’na irrasional. Arinya manusia, manusia tidak boleh beribadah kecuali dengan apa yang telah disyariatkan. Dalam bidang ini tidak ada pintu ijtihad bagi manusia.   Sedangkan bidang mu’amalah, didalamnya terkandung nilai-nilai ta’aquli/ ma’qullah al-ma’na rasional. Artinya umat islam dituntut untuk berijtihad guna membumikan ketentuan-ketentuan syari’at tersebut.[18]
Dalam bukunya Muhammad Syafi’i Antonio menjelaskan dengan detail tentang karakteristik ajaran /hukum islam diantaranya adalah robbaniyah, takamul syumul, jalbu al-masolih, qillatu attaklif, raf’u al-haroj, al-adalah, murunah, wasathiyah, idela dan realistis,tadaruj.[19]
C.    Hukum Islam : Antara Positivisme dan Idealisme
1.      Positivisme Hukum
a.       Positivisme
Positivisme adalah metode berpikir yang hanya mengakui fakta-fakta positif dan penomena-penomena yang bisa diobservasi, hubungan obyektif fakta-fakta dan hukum-hukum yang menentukannya, dan meninggalkan semua penyelidikan yang ,menjadi sebab-sebab atau asal-usul tertinggi. Comte membedakan tiga tahap evolusi dalam pemikiran manusia. Teori tersebut terkenal dengan nama” teori tiga tahap”.[20]
Berdasarkan teori tiga tahap , seluruh sejarah pemikiran manusia berevolusi dari stadium ( tahap) teologi  ( mistis) ke tahap  falsafi , dan akhirnya tiba pada stadium  positivism  sebagai kemenangan pasti akal. Dalam tahap teologis , semua penomena dijelaskan dengan sebab-sebab supernatural dan yang bersifat illahi yang mengacu kepada tuhan yang tidak terjangkau oleh panca indera. Tahap kedua pemikiran diarahkan menuju prinsip-prinsip dan ide-ide tertinggi. Mencari hakikat segala sesuatu. Kemudian dalam tahap positivism orang mengucapkan selamat tinggal untuk selama-lamanya pada dunia dewa-dewa dan hakikat-hakikat, dan membatasi penyelidikan ilmu penegetahuan pada  “ fakta”. Langkah terakhir ini menolak semua hipotesis di dalam filsafat dan membatasi diri pada observasi empiric dan hubungan fakta-fakta dibawah bimbingan metoe-metode yang dipergunakan dalam ilmu-ilmu alam.[21]


b.      Hukum dan Positivisme
Satu-satunya jalan masuk ke kenyataan dalam positivisme adalah ilmu pengetahuan positif. Emikian juga dengan positivisme hukum, ia hanya mengenal satu jalan masuk ke hukum, yaitu jalan pengetahuan hukum positif. Dia menetapkan pada ajaran hukum batas-batas yang ketat, yang mengakibatkan masukan filsafat dan etika dihidari sekali. Satu-satunya landsan legitimasi yang dapat diberikan kepada hukum positif adalah dasar yang berlandaskan keyakinan-keyakinan sosial.[22]
c.       Aliran-Aliran positivisme Hukum
Di dalam aliran ini ada dua sub aliran yang terkenal, yaitu Aliran Positivisme Hukum Analitis dan aliran Hukum Positivisme pragmatik.
1.      Positivisme Hukum Analitis
John Austin , seorang yuris inggris yang hidup antara tahun 1790-1859, adalah tokoh yang telah memformulasikan sistem positivisme hukum analitis dengan sangat komprehensif. Ia mendefinisikan hukum sebagai sesuatu aturan yang ditentukan untuk membimbing mahluk berakal yang telah memiliki kekuatan mengalahkannya. Jadi, hukum bagi aliran positivisme analitis berarti a command of the lawgiver i( perintah dari pembentuk undang-undang atau penguasa).[23]
Menurut austin , ilmu yurisprudensi membicarakan hukum –hukum positif , tanpa memperhatikan baik dan buruknya hukum-hukum itu. Hukum dianggap sebagai sesuatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup . hukum secara tegas dipisahkan dari mioral dan keadilan. Terdapat empat unsur penting , menurut austin ketika sesuatu itu dikatakan sebagai hukum, yaitu : perintah, sanksi, kewajiban, dan kedaulatan.[24] keberhasilan dari aliran ini terlihat pada bentuk kepastian hukum yang benar-benar terjamin pada masing-masing negara yang menganutnya. Akan tetapi dari ajaran tersebut yang telah berkembang pada konsep para pemikir di Barat, ajaran-ajran dari hukum positif yang analitis ini juga mempunyai banyak kelemahan di sana-sini. Adapun titik kelemahannya yang pokok, bahwa aliran hukum positif yang analitis itu cenderung membuat suatu kekuatan dari penguasa untuk membentuk suatu pemerintahan absolut.[25]
2.      Positivisme Hukum Pragmatis
Positivisme pragmatis , sebagai gerakan kaum realis amerika , merupakan lawan dari teori Austin. Positivisme pragmatis melihat hukum-hukum sebagai karya dan fungsi bukan sebagai yang tertulis di dalam kertas .inti dari pendekatan pragmatis pada problem-problem hukum adalah tidak mengikuti apa yang tercatat diatasa kertas. Sudah tentu ia sangat umum sifatnya. Untuk mengkongkritkan apa yang ada dalam pikirannya, para relais berbalik pada ilmu-ilmu pengetahuan yang mulai mengamati perilaku manusia dalam masyarakat, terutama ekonomi, kriminologi, sosiologi umum , dan psikologi, dan mencoba memanfaatkan bagi ilmu hukum.[26]

      2.Positivisme dan Idealisme
Dalam teori hukum , positivisme dan idealisme digambarkan saling bertentangan. Teori-teori idealistik didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan dan berkaitan dengan hukum yang seharusnya. Filsafat hukum idealis ,dipergunakan metode deduksi dalam menarik hukum dari azaz-azaz yang didasarkan pada manusia sebagai mahluk etis rasional. [27]
3.      Hukum Islam ( Hukum Sempurna)
Tuhan adalah maha sempurna, dengan demikia, hukum islam sebagai hukum yang ditentukannya tentu juga sempurna. Karena, jika terjadi sebaliknya, maka akan ada anggapan bahwa asal usul ketidaksempurnaan itu adalah Allah, dan ini justru tidak mungkin terjadi. Ia maha kuasam maha mengetahui dan maha ada, sehingga hukumnya  maha meliputi. Jadi hukumnya adalah universal dan untuk sepanjang zaman yang beresumber kepada dua yaitu Al-qur’an dan al-hadist.[28]
Positivisme dan idealisme dalam hukum islam , benar-benar harmonis antara satu dengan yang lain. Pernyataan ini sesuai dengan firman Allah : Allah menurunkan kitab dengan membawa kebenaran dan neraca,[29] demi jiwa dan penyempurnaanya penciptaannya, kemudian dia mengilhamkan kepadanya jalan kefasikan dan ketaqwaannya. Sungguh beruntunglah bagi yang mensucikannya dan sebaliknya , sungguh merugi bagi orang yang mengotorinya[30].
Secara theologis , islam diyakini sebagai sistem nilai dan ajaran yang bersifat illahiyah, transenden,abadi, dan berlaku universal. Dari persepektif lain, ketika islam dipahami sebagai ajaran dan sisitem nilai, islam dapat dipandang sebagai penomena budaya. Demikian pula ketika pemeluk islam berinteraksi dengan  sesamanya dalam mengamalkan ajaran agamanya, atau ketika ia berinteraksi dengan  non-muslim , islam dapat dipandang sebagai penomena sosial, baik ketika islam tampil dlam bentuk doktrin dan paham-paham keagamaan, institusi-institusi dan interaksi antar pemeluk  dan antar lembaga keagamaan, islam sangat terbuka terhadap pengaruh situasi dan dinamika lokal. Dari perspektif inilah, islam menjadi kontekstual, dapat berubah dan berbeda-beda fenomenanya, baik dalam formulasi ajarannya maupun pemahaman dan ekspresi pengamalan para pemeluknya.[31]
Dengan demikian , hukum islam merupakan hukum yang bersumber dari wahyu tuhan, sekaligus melibatkan penalaran dan analisis manusia yang memahami wahyu itu. Ijtihad yang dilkukan oleh para yuris muslim merupakan bukti kongkrit keterlibatan manusia dalam menggali hukum yang hidup dalam masyarakat.[32]





DAAFTAR PUSTAKA
Djamil, Faturrahman, H.Dr., Filsafat Hukum Islam, cet. II, Jakarta: Logos Wacana  Ilmu, 1997.
Al-qardawi , Yusuf, Dr,. Fiqih Taysir, cet. I, Jakarta Timur: Pustaka Al-kautsar, 2001. Terjemah
Abdurrahman, Asjimuni, H,Dr,. Prof . Manhaj Tarjih, cet. V, yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Djumhur Salikin, Adang, Dr,. Reformasi Syari’ah dan HAM dalam Islam, cet. I, yogyakarta: GAMA MEDIA,2004.
Syafi’i antonio, Muhammad, Dr,. Muhammad SAW The Super leader The Super Manager, cet I, Jakarta : Tazkia Publising, 2007
Karim Zidan, Abdul, Dr,. 100 kaidah Fiqih Dalam Kehidupan Sehari-Hari, cet I. Jakarta: pustaka Al-kautsar, 2008.
Fanani, Muhyar, Dr,. “ Fiqih Madani Konstruksi Hukum Islam di Dunia Modern, cet I. Yogyakarta: LkIs, 2010




[1] . dr. Faturrahman Jamil, “ Filsafat Hukum Islam” ( jakarta: Logos Wacana Ilmu: 1999) hal 39.
[2] . ibid hal 39
[3] . ibid hal 40
[4] . Dr. Abdul Karim Zaidan,” 100 Kaidah Fiqih Dalam Kehidupan Sehari-Hari ( jakarta: pustaka al-kautsar: 2008) hal 227.
[5] . dr. Faturrahman Jamil, “ Filsafat Hukum Islam”. Hal 41
[6] . prof.Drs. H. Asjimuni Abdurrahman, “ Manhaj Tarjih Muhammadiyah”. ( yogyakarta: pustaka pelajar:2001) hal 75-76
[7] . ibid: hal 42
[8] . Dr. Muhyar Fanani, “ Fiqih Madani Konstruksi Hukum Islam di Dunia Modern” . ( Yogyakarta : LkiS: 2010) . hal 303.
[9] .lihat Filsafat Hukum Islam hal 43.
[10] . DR. Yusuf Al-qardawi , “ Fiqih Taiysir “ ( jakarta utara : Pustaka Al-kautsar: 2001) terjemh hal 10
[11] . ibid hal 10
[12] . Lihat Muhyar Fanani hal 304-305
[13] . lihat Faturrahman Djamil hal 46-47
[14] . Dr. Muhammad Syafi’i Antonio, “ Muhammad SAW The Super leader The Super Manager,”( Jakarta: Tazkia Publishing; 2007). Hal 232.
[15] . ibid hal 232.
[16] . lihat surat Sabi’ :28
[17] . lihat Dr. Faturrahman Djamil. MA hal 51
[18] .lihat Faturrahman Djamal hal 51-52
[19]  Lihat M Syafi’i Antonio hal 227.
[20] . lihat Faturrahman Djamal hal 53
[21] . lihat Faturrahman Djamal hal 54
[22] . lihat Faturrahman Djamal hal 55
[23] . lihat Faturrahman Djamal hal 66
[24] . lihat faturrahman djamil hal 57
[26] . lihat faturrahman djamil hal 61
[27] . lihat faturrahman djamil hal 63
[28] . lihat faturrahman djamil hal 64
[29] . Qs. Asyura : 17
[30] . Qs. Al-syams : 7-10
[31] . Dr. Adang Djumhur Salikin “ Reformasi Syari’ah dan HAM dalam Islam”. ( yogyakarta: GAMA MEDIA: 2004) hal 53
[32] . lihat faturrahman djamil  hal 65

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mari kita membaca dengan hati plus mata