15 Jan 2014

METODE PENETAPAN HUKUM DALAM MAJELIS TARJIH MUHAMMADIYAH



Oleh Dedi Hariadi

I.         PENDAHULUAN
Secara sosiologi diakui bahwa masyarakat senantiasa mengalami perubahan. Perubahan suatu masyarakat dapat mempengaruhi pola pikir dan tata nilai yang ada pada masyarakat tersebut. Semakin maju cara berpikir suatu masyarakat, maka mestinya akan semakin terbuka untuk menerima kemajuan ilmu dan teknologi. Bagi umat beragama, khususnya Islam, kenyataan ini dapat menimbulkan masalah, terutama apabila kegiatan itu dihubungkan dengan norma-norma agama. Akibatnya, pemecahan atas masalah tersebut diperlukan, sehingga syariat Islam dapat dibuktikan tidak bertentangan dengan kemajuan ilmu dan teknologi. Lebih dari itu, juga dapat diyakini bahwa syariat Islam akan selalu sesuai untuk setiap masyarakat dimanapun dan kapanpun mereka berada.

Dalam menghadapi permasalahan-permasalahan kontemporer yang berkembang di tengah-tengah masyarakat, Muhammadiyah sebagai salah satu organisasi sosial keagamaan yang sering dikenal sebagai gerakan Islam, gerakan da’wah dan gerakan tajdid[1] tentunya memiliki metodologi dalam menjawab tantangan zaman yang berkembang tersebut. Sejalan dengan hal itu, maka Majlis Tarjih Muhammadiyah yang dibentuk pada tahun 1982 semakin dituntut untuk meningkatkan peranannya dalam menyelesaikan persoalan-persoalan akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kalau dahulu hanya membahas tentang ibadah yang bersifat mahdhoh saja, tapi mulai pada tahun 1968 Majlis ini telah memulai membahas tentang masalah-masalah muamalah seperti bunga bank, bayi tabung, asuransi, dll.[2]
Untuk itu, dalam hal metode yang dipakai dan ditetapkan oleh Majlis Tarjih Muhammadiyah tersebut, maksud penulis adalah ingin mengetahui dasar-dasar dalam proses pengambilan keputusan hukum sebagai jawaban terhadap masalah-masalah yang timbul di tengah masyarakat yang terus berkembang ini. Adapun masalah yang akan menjadi bahan kajian penulis adalah berkenaan dengan Bagaimanakah  metode yang telah ditetapkan oleh Majlis Tarjih Muhammadiyah dalam penetapan hukum?.

II.      PEMBAHASAN
II.1. Sumber Hukum dan posisi Ijtihad dalam Muhammadiyah
               Seluruh umat Islam dalam berbagai madzhab dan aliran meyakini bahwa Al Quran dan Hadits adalah sumber utama dalam penetapan hukum Islam. Diantara dua sumber itu, al Quran merupakan rujukan utama dalam menetapkan hukum. Sedangkan hadits adalah sebagai penjelas terhadap al Quran. Tentu penjelasan nabi tidak boleh bertentangan dengan dengan apa yang dijelaskan al Quran.[3]
               Muhammadiyah sebagai gerakan Islam juga berpendapat  bahwa sumber utama dalam penetapan hukum adalah al Quran dan al-Hadits as-Syarif sebagaimana yang tertuang dalam Himpunan Majelis Tarjih Muhammadiyah yang menyebutkan bahwa “Dasar mutlak untuk berhukum dalam agama Islam adalah al Quran dan al Hadits as-Syarif.”[4] Dan juga ditegaskan dalam halaman sebelumnya bahwa “Agama yakni Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW ialah apa yang diturunkan Allah dalam Quran dan yang tersebut dalam Sunnah yang shahih, berupa perintah-perintah dan larangan serta petunjuk untuk kebaikan manusia di dunia dan akhirat.”[5]  Dengan kata lain bahwa sumber ajaran Islam diyakini oleh Muhammadiyah adalah Quran dan Sunnah sohihah. Sedangkan yang dimaksud dengan sunnah shahihah adalah sunnah maqbulah, yang ketika itu disepakati pergantian redaksinya dalam Munas Tarjih di Malang tahun 2000 lalu.[6]
               Kemudian untuk menghadapai persoalan-persoalan baru, sepanjang persoalan baru itu tidak berhubungan dengan ibadah mahdoh dan tidak terdapat nash sharih  dalam al Quran dan Hadits, maka Muhammadiyah mempergunakan ijtihad dan istinbath dari nash-nash yang ada melalui persamaan illat.[7] Pernyataan ini menunjukkan bahwa bagi Muhammadiyah ijtihad bukan sumber hukum, melainkan metode penetapan dalam hukum Islam.[8]
II.2. Metode Ijtihad dalam Tarjih Muhammadiyah
               Dalam mencari hukum yang ada dalam al Quran, ulama ushul menempuh dengan jalan ; 1) Istinbath, dengan memahami nash yang qath’i, 2) Ijtihad, terhadap nash yang belum menunjukkan hukum satu masalah, 3) Ijtihad juga dalam memahami masalah yang hanya ditunjukkan oleh jiwa nash, yakni kemaslahatan.
               Rumusan itu dituangkan ke dalam bentuk istilah : 1) Ijtihad Bayani, 2) Ijtihad Qiyasi, dan 3) Ijtihad Istislahi . Pokok-pokok rumusan tersebut adalah sebagai berikut:[9]
1.      Ijtihad Bayani
Ijtihad bayani adalah pola ijtihad yang berkaitan dengan kajian kebahasaan (semantik) yaitu kapan suatu lafal diartikan secara majaz, bagaimana memilih salah satu arti dari lafal musytarak (ambiguitas), mana ayat yang umum yang diterangkan secara ‘am atau mubayyan dan mana pula yang khusus yang menerangkan khas atau mubayyin, mana ayat yang qat’i dan mana pula ayat yang dhanni, kapan dalil itu bersifat perintah yang dianggap wajib dan kapan pula dianggap sunat, kapan larangan itu dianggap haram dan kapan pula dianggap makruh dan seterusnya.[10] Dengan arti lain bahwa ijtihad Bayani adalah menjelaskan hukum yang kasusnya telah terdapat dalam nash  Al Quran dan Hadits.[11] Contoh : kesepakatan tentang iddah perempuan yang telah digauli dan masih kedatangan haidh adalah tiga quru’.
Menurut Ulama’ Hanafiah, ada lima bayan, bayan-bayan dimaksud adalah sebagai berikut :
a.       Bayan Taqrir, yaitu penjelasan dalam rangka mengungkapkan suatu makna dengan dasar-dasar lain, yang memberikan tambah jelasnya yang dimaksud, baik antara makna kata-kata maupun ungkapan dalam nash atau dalil.
b.      Bayan Tafsir, yaitu penjelasan suatu lafal atau kata-kata, sehingga nash tersebut menjadi lebih jelas maksudnya.
c.       Bayan Taghyir, yaitu keterangan-keterangan yang mengubah dari makna dhahir menjadi makna yang dituju, seperti kata-kata yang mengandung pengecualian. Dalam hal ini, usaha yang dilakukan adalah mencari mukhassis yang umum tadi.
d.      Bayan Tabdil, yaitu usaha mencari penjelasan dengan jalan nasakh. Maksudnya, mencari apakah ada nasikh mansukh dalam hukum masalah yang dicari oleh seorang mujtahid.
e.       Bayan Dlarurah, yaitu keterangan yang tidak disebutkan, tetapi tidak boleh tidak harus diungkapkan,. Bayan itu tidak berupa kata-kata, tetapi sesuatu yang didiamkan. [12]
2.      Ijtihad Qiyasi
Ijtihad qiyasi juga disebut dengan ta’lili, secara umum ijtihad ini adalah ijtihad yang  dilakukan untuk mendapatkan hukum suatu masalah yang tidak ada nashnya secara langsung.[13]
Dalam pola ijtihad ini dimasukkan semua penalaran yang menjadikan ‘illat sebagai titik tolaknya. Disini dibahas cara-cara menemukan ‘illat, persyaratan, dan penggunaannya di dalam qiyas dan istihsan serta pengubahan hukum itu sendiri sekiranya ditemukan ‘illat baru (sebagai pengganti yang lama). [14] Contoh : perintah untuk mengambil zakat hanya dari tiga jenis tanaman yaitu gandum, kurma, anggur. Yang kemudian dianalogikan dengan makanan pokok.
3.      Ijtihad Istislahi
Ijtihad Istislahi adalah ijtihad yang mengidentifikasi masalah-masalah yang tidak mempunyai nash khusus sebagai rujukan.[15]
Pola ini dapat ditempuh dengan berbagai metode berikut :
a.       Metode Istihsan
b.      Metode Sadduz Dzaro’i
c.       Metode Maslahah Mursalah
d.      Metode Urf yang tidak bertentangan dengan nash dan tidak mendatangkan mafsadah.[16]
Artinya bahwa prinsip dalam metode ijtihad istislahi ini menempuh tiga tingkatan, yaitu Dharuriyat, Hajjiyat, Tahsiniyat.[17]
                        Secara umum rumusan metode ijtihad Muhammadiyah adalah sebagaimana yang tersebut diatas, hal ini dapat kita lihat dari pokok-pokok Manhaj Tatrjih Muhammadiyah, point satu yang menyebutkan bahwa “di dalam beristidlal, dasar utamanya adalah al-Qur'an dan as-Sunnah ash-Shahihah (al Maqbulah). Ijtihad dan istinbath atas dasar illah terhadap hal-hal yang tidak terdapat di dalam nash, dapat dilakukan. Sepanjang tidak menyangkut bidang ta'abbudi, dan memang merupakan hal yang diajarkan dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia. Dengan perkataan lain, Majelis tarjih menerima ijtihad, termasuk qiyas, sebagai cara dalam menetapkan hukum yang tidak ada nash-nya secara langsung.”, point ke-8 “Menggunakan asas sadd-u'l-dzara'i untuk menghindari terjadinya fitnah dan masfsadah” point ke-9 “Menta'lil dapat dipergunakan untuk memahami kandungan dalil-dalil al-Qur'an dan as-Sunnah sepanjang sesuai dengan tujuan syari'ah. Adapun qaidah: a-hukmu yadiru ma'a illatihi wujudan wa'adaman dalam hal-hal tertentu dapat berlaku” point ke-13 “Dalam bidang ibadah yang diperoleh ketentuan-ketentuannya dari al-Qur'an dan as-Sunnah, pemahamannya dapat menggunakan akal, sepanjang diketahui latar belakang dan tujuannya. Meskipun harus diakui bahwa akal bersifat nisbi, sehingga prinsip mendahulukan nash daripada akal memiliki kelenturan dalam menghadapi perubahan situasi dan kondisi” point ke-14 “Dalam hal-hal yang termasuk al-umur-u dunyawiyah yang tidak termasuk tugas para nabi, penggunaan akal sangat diperlukan, demi kemaslahatan umat. [18]
III.   PENUTUP

1.      Kesimpulan
Dalam penetapan hukum yang dilakukan oleh Muhammadiyah, khususnya dalam Majelis Tarjih Muhammadiyah adalah dengan menggunakan tiga metode ijtihad, yaitu ; a. Ijtihad Bayani, yakni menjelaskan hukum yang kasusnya telah terdapat dalam nash Al Quran dan al Hadits. b. Ijtihad Qiyasi / Ta’lili, yakni menyelesaikan kasus baru dengan menganalogikan kasus yang hukumnya telah diatur dalam al Quran dan al Hadits sebelumnya. c. Ijtihad Istislahi, yakni menyelesaikan beberapa masalah yang kasusunya tidak terdapat dalam kedua sumber (Quran-Sunnah) dengan cara menggunakan penalaran didasarkan atas maslahat.
Dengan demikian bahwa dapat dikatakan metode ijtihad yang dilakukan oleh Muhammadiyah dalam masalah mu’amalat dunyawiyah selalu bertumpu pada maqasid asy-syariah dengan memperhatikan hal yang bersifat daruriyat, hajjiyat, dan dhoruriyat. Wallahu a’lam Bis Showab
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Asjmuni,  Manhaj Tarjih Muhammadiyah Metode dan Aplikasinya,  Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Djamil, Fathurrahman, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, Jakarta : Logos, 1995.
Kamal, Mustafa,  Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam, Yogyakarta : Persatuan, 1988
Mu’allim, Amir dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam, Yogyakarta: UII Press, 2001.
Munir , Ahmad, Manhaj Ijtihad Majlis Tarjih, Makalah dalam Rapat Konsolidasi dan Kajian Tarjih PWM Jawa Timur, disampaikan pada tanggal 08 Juli 2001 di Surabaya.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan Majelis Tarjih Muhammadiyah, tth.



[1] Mustafa Kamal, Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam, Yogyakarta : Persatuan, 1988, hal. 48-49
[2] Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, Jakarta : Logos, 1995, hal. 07.
[3] Ibid hal. 70-71
[4] Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan Majelis Tarjih Muhammadiyah, tth,  cet. III hal. 278.
[5] Ibid hal. 276
[6] A. Munir , Manhaj Ijtihad Majlis Tarjih,makalah dalam Rapat Konsolidasi dan Kajian Tarjih PWM Jawa Timur, disampaikan pada tanggal 08 Juli 2001 di Surabaya
[7] Pimpinan Pusat Muhammadiyah, op. cit. hal. 278
[8] Fathurrahman Djamil, op. cit. hal. 70
[9] Asjmuni Abdurrahman, Manhaj Tarjih Muhammadiyah Metode dan Aplikasinya,  Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, cet. V hal. 105-106.
[10] Amir Mu’allim dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam, Yogyakarta: UII Press, 2001, Ed. 1,cet. 2 hal . 61.
[11] Fathurrahman Jamil, op. cit. Hal. 78
[12] Asjmuni Abdurrahman, op. cit. Hal. 106
[13] Ibid hal 107
[14] Amir Mu’allim dan Yusdani, op. cit. Hal. 62
[15] Ibid
[16] Asjmuni Abdurrahman , op. cit. Hal 108-109
[17] Amir Mu’allim dan Yusdani, op. cit. Hal 62-63
[18] Asjmuni Abdurrahman, op. cit. hal 12-13

2 komentar:

  1. mantap, bermanfaat, thanks

    BalasHapus
  2. sebaiknya karya tulis ini boleh di copy paste, agar lebih bermanfaat
    kalau gak boleh di copy paste, hanya akan sejkedar begini saja

    BalasHapus

Mari kita membaca dengan hati plus mata