3 Apr 2014

PENGEMBANGAN KURIKULUM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM Prof. Dr. H. Muhaimin


“RESUME”

Oleh :
Syamsul Abdu Rochman
(09110013)

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
TAHUN AJARAN 2011/2012



PENGEMBANGAN KURIKULUM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
BAB I
Pengertian kurikulum
Kata “kurikulum” berasal daribahasa yunani yang semula di gunakan dalam bidang olahraga, yaitu currere yang berarti jarak tempuh lari, yakni jarak yang harus di tempuh dalam kegiatan berlari mulai dari start hingga finish. Dalam bahasa arab, istilah “kurikulum” diartikan dengan manhaj, yakni jalan yang terang, atau jalan terang yang dilalui oleh manusia dalam bidang kehidupannya. Dalam konteks pendidikan, kurikulum berarti jalan terang yang dilalui oleh pendidik/guru dengan peserta didik untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan sikap serta nilai-nilai.

Pengertian kurikulum yang dikemukakan oleh para ahli rupanya sangat bervariasi, tetapi dari beberapa devinisi itu dapat di tarik benang merah, bahwa di satu pihak ada yang menekankan pada isi pelajaran atau mata kuliah, dan di lain pihak lebih menekankan pada proses atau pengalaman belajar. Pengertian yang lama tentang kurikulum lebih menekankan pada isi pelajaran atau mata kuliah, dalam artian sejumlah mata pelajaran atau kuliah di sekolah ataupun perguruan tinggi, yang di tempuh untuk mencapai suatu ijazah atau tingkat, juga keseluruhan pelajaran yang disajikan suatu lembaga pendidikan (Nasution, 1982).  Definisi yang dikemukakan oleh kemp, Morrison dan Ross (1994) menekankan pada isi mata pelajaran dan keterampilan-keterampilan yang memuat dalam suatu program pendidikan. Demikian pula definisi kurikulum yang tertuang dalam UU sisdiknas nomor 20/2003 dikembangkan ke arah seperangkat rencana dan peraturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Dengan demikian ada tiga komponen yang yang termuat dalam kurikulum yaitu, tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara pembelajaran.
Pendidikan Agama Islam atau Pendidikan Islam?
Banyak orang meracukan pengertian istilah “pendidikan agama islam” dan “pendidikan islam”. Kedua istilah ini dianggap sama, sehingga ketika seseorang berbicara tentang pendidikan islam ternyata isinya terbatas pada agama islam, atau sebaliknya ketika seseorang berbicara tentang pendidikan agama islam justru yang di bahas didalamnya adalah tentang pendidikan islam. Padahal kedua istilah ini memiliki substansi yang berbeda.
Tafsir (2004) membedakan antara pendidikan agama islam (PAI) dan pendidikan islam. PAI dibakukan sebagai nama kegiatan mendidikkan agama islam, PAI sebagai mata pelajaran seharusnya dinamakan “agama islam”, karena yang di ajarkan adalah agama islam bukan pendidikan agama islam.
Menurut Muhaimin (2003), bahwa pendidikan agama islam merupak salah satu bagian dari pendidikan islam,. Istilah “pendidikan islam” dapat dipahami dalam beberapa perspektif, yaitu :
1.    Pendidkan menurut islam, atau pendidikan yang berdasarkan islam, dan/atau sistem pendidikan yang islami, yakni pendidikan yang dipahami dan dikembangkan serta di susun dari ajaran dan nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam sumber dasarnya, yaitu alquran dan al-sunnah/hadist.
2.    Pendidikan ke-islaman atau pendidikan agama islam, yakni upaya mendidikkan agama islam atau ajaran islam dan nilai-nilainya, agar menjadiway of life (pandangan dan sikap hidup) seseorang.
3.    Pendidikan dalam islam, atau proses dan praktik penyelenggaraan pendidikan yang berlangsung dan berkembang dalam sejarah umat islam. Dalam arti proses bertumbuhkembangnya islam dan umatnya, baik islam sebagai agama, ajaran maupun sistem budaya dan peradaban, sejak zaman Nabi Muhammad saw. sampai sekarang.
Sungguhpun demikian, dari beberapa definisi tersebut intinya dapat dirumuskan sebagai berikut : pendidikan islam merupakan sistem pendidikan yang diselenggarakan atau didirikan dengan niat untuk mengejahwantakan ajaran dan nilai-nilai islam dalam kegiatan pendidikannya.
Jika ditilik dari aspek program dan praktik penyelenggaraannya, setidak-tidaknya pendidikan islam dapat dikelompokkan ke dalam lima jenis, yaitu (1) pendidikan pondok pesantren dan madrasah diniyah; (2) pendidikan madrasah; (3) pendidikan umum yang bernafaskan islam; (4) pelajaran agama yang diselenggarakan di  lembaga-lembaga pendidikan; (5) pendidikan islam dalam keluarga atau di tempat-tempat ibadah.

Pengembangan Kurikulum PAI
Dalam realitas sejarahnya, pengembangan kurikulum tersebut, ternyata mengalami perubahan-perubahan paradigm. Hal ini dapat di cermati dari fenomena berikut : (1) perubahan dari tekanan pada hafalan dan daya ingat tentang teks-teks dari ajaranajaran agama Islam; (2) perubahan dari cara berfikir tekstual, normatife, dan absolutis kepada cara berfikir historis, empiris, dan konsektual dalam memahami dan menjelaskan ajaran-ajaran dan nila-nilai agama Islam; (3) perubahan dari tekanan pada produk atau hasil pemikiran keagamaan islam dari para pendahulunya kepada proses atau metodologinya sehingga menghasilkan produk tersebut; (4) perubahan dari pola pengembangan kurikulum PAI yang hanya mengandalkan para pakar dalam memilih dan menyusun kurikulum PAI kea rah keterlibatan yang luas dari para pakar, guru, peserta didik, masyarakat untuk mengidentifikasi tujuan PAI dan cara-cara mencapainya.

Funfsi Kurikulum
1.    Bagi sekolah/madrasah yang bersangkutan :
a.    Sebagai alat untuk mencapai tujuan pendidikan agam Islam yang diinginkan atau dalam istilah KBK di sebut standart kompetensi PAI, meliputi fungsi dan tujuan pendidikan nasional, kompetensi lintas kurikulum, kompetensi tamatan/lulusan, kompetensi bahan kajian PAI, kompetensi mata pelajaran PAI, kompetensi mata pelajaran.
b.    Pedoman untuk mengatur kegiatan-kegiatan pendidikan agama islam sekolah/madrasah
2.    Bagi sekolah/madrasah di atasnya :
a.    Melakukan penyesuaian;
b.    Menghindari keterulangan sehingga boros waktu;
c.    Menjaga kesinambungan
3.    Bagi masyarakat :
a.    Masyarakat sebagai pengguna lulusan (user), sehingga sekolah/madrasah harus mengetahui hal-hal yang menjadi kebutuhan masyarakat dalam konteks pengembangan PAI;
b.    Adanya kerjasama yang harmonis dalam hal pembenahan dan pengembangan kurikulum PAI.
Proses Pengembangan Kurikulum
Ide kurikulum berasal dari :
1.    Visi yang dicanangkan.
2.    Kebutuhan stakeholders (siswa, masyarakat, pengguna lulusan), dan kebutuhan untuk studi lanjut.
3.    Hasil evaluasi kurikulum sebelumnya dan tuntutan perkembangan iptek dan zaman.
4.    Pandangan-pandangan para pakar dengan berbagai latar belakangnya.
5.    Kecendrungan era globalisasi
Kelima ide tersebut kemudian diramu sedemikian rupa untuk dikembangkan dalam program atau kurikulum sebagai dokumen, dan komponen-komponen kurikulum yang harus dikembangkan.

BAB II
Mencermati Pengembangan Pendidikan Agama Islam di Sekolah/Perguruan Tinggi
    Pemahaman tentang pendidikan agama islam (PAI) di sekolah/perguruan tinggi dapat di lihat dari dua sudut pandang, yaitu PAI sebagai aktivitas dan PAI sebagai fenomena. PAI sebagai aktivitas, berarti upaya yang secara sadar dirancang untuk membantu seseorang atau sekelompok orang dalam mengembangkan pandangan hidup. Sedangkan PAI sebagai fenomena adalah peristiwa perjumpaan antara dua orang atau lebih atau penciptaan suasana yang dampaknya ialah berkembangnya suatu pandangan hidup yang bernafaskan atau dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai islam.

Pendidikan Agama dalam Sorotan
    Bangsa Indonesia masih dalam sorotan mengalami suasana keprihatinan yang bertubi-tubi. Masyarakat kita juga cenderung mengarah pada masyarakat kepentingan/patembayan, nilai-nilai masyarakat paguyuban sudah ditinggalkan, yang tampak dipermukaan adalah timbulnya konflik kepentingan-kepentingan, baik kepentingan individu, kelompok, agama, etnis, politik, maupun kepentingan lainnya.
Masalah dekadensi moral telah dirasakan sangat mengglobal seiring dengan perubahan tata nilai yang sifatnya mendunia. Berbagai pendekatan telah dan sedang dilakukan untuk menyelamatkan masa depan peradaban manusia dari rendahnya perilaku moral. Pentingnya akhlak bukan hanya dirasakan oleh masyarakat yang mayoritas penduduknya beragama Islam, tapi kini sudah mulai diterapkan di berbagai Negara. Di jerman misalnya, pelajaran agama Islam juga sudah masuk pada kurikulum sekolah mereka.
Agar kekompakan dan keharmonisan kerja dapat terwujud, maka ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam memilih dan menyeleksi pasangan atau mitra kerja dalam rangka membangun generasi penerus yang qurrota a’yun, yaitu (1) istitha’, yakni siap dan mampu untuk berpasangan secara harmonis (HR Bukhari dan Muslim); (2) li maliha, yakni yakni wawasan keilmuan dan keahliannya, atau kematangan profesinalismenya; (3) li nasabiha, yakni asal-usul atau latar belakangnya, termasuk latar belakang pendidikannya; (4) li jamaliha, yakni profilnya yang menarik baik dari segi fisik maupun psikisnya; dan (5) li diniha, yakni loyalitas dan komitmennya terhadap ajaran dan nilai-nilai Islam.
Jika krisis akhlak atau moral merupakan pangkal dari krisis multi-dimensional, sedangkan pendidikan agama Islam banyak menggarap masalah akhlak, maka perlu di di telaah apa apa yang menjadi penyebab titik lemah dari pendidikan agama tersebut.
Berbagai Kritik terhadap PAI
    Selama ini pelaksanaan pendidikan agama yang berlangsung di sekolah masih mengalami banyak kelemahan. Mochtar Buchori (1992) menilai pendidikan agama masih gagal. Kegagalan ini disebabkan karena praktik pendidikannya hanya memperhatikan aspek kognitif semata dari pertumbuhan kesadaran nilai-nilai (agama). Akibatnya terjadi kesenjangan antara pengetahuan dan pengamalan, antara groins dan praxis dalam kehidupan nilai agama. Atau dalam praktik pendidikan agama berubah menjadi pengajaran agama, sehingga tidak dapat membentuk pribadi-pribadi bermoral, padahal intisari dari pendidikan agama adalah pendidikan moral (Harun Nasution, 1995).
    Muchtar Buchori (1992) juga menyatakan, bahwa kegiatan pendidikan agama yang berlangsung selama ini lebih banyak bersifat menyendiri, kurang berinteraksi dengan kegiatan-kegiatan pendidikan lainnya. Di lain pihak, Rasdianah (1995) mengemukakan beberapa kelemahan pendidikan agama islam di sekolah, baik dalam pemahaman materi pendidikan agama islam maupun dalam pelaksanaannya, yaitu (1) dalam bidang teologi; (2) bidang akhlak; (3) bidang ibadah; (4) dalam bidang hokum (fiqih) (5) ajaran islam cenderung diajarkan sebagai dogma dan kurang mengembangkan rasionalitas; (6) orientasi mempelajari alquran masih cenderung pada kemampuan membaca teks.
    Dari uraian tersebut di atas dapat dipahami bahwa berbagai kritik dan sekaligus yang menjadi kelemahan dari pelaksanaan pendidikan agama lebih banyak bermuara pada aspek metodologi pembelajaran PAI dan prientasinya yang lebih bersifat normative, teoritis dan kognitif, termasuk di dalamnya aspek gurunya yang kurang mampu mengaitkan dan berinteraksi dengan mata pelajaran dan guru non-pendidikan agama.
    Disisi lain, saat ini bangsa Indonesia sedang menghadapi globalisasi, baik di bidang capital, budaya, etika maupun moral. Kalau dulu, untuk membangun basis ekonomi masyarakat sangat mengandalkan money capital (modal uang).

Paradigma Pengembangan PAI di Sekolah/ Perguruan Tinggi Umum
Paradgma Dikotomis
    Di dalam paradigma ini, aspek kehidupan dipandang sangat sederhana, dan kata kuncinya adalah dikotomi atu diskrit Paradigma dikotomis mempunyai implikasi terhadap pengembangan pendidikan agama islam yang lebih berorientasi keakhiratan, sedangkan masalah dunia dianggap tidak penting serta menekankan pada pendalaman al-ulum al-diniyah (ilmu-ilmu keagamaan) yang merupakan jalan pintas untuk menuju kebahagiaan akhirat, sementara sains (ilmu pengetahuan) dianggap terpisah dari agama.
Paradigm Mekanisme
Di dalam kamus besar bahasa Indonesia (1996), secara etimologis mechanism berarti : hal kerja mesin, cara kerja suatu organisasi, atau hal saling bekerja seperti mesin, yang masing-masing bergerak sesuai dengan fungsinya
Paradigma mekanisme memandang kehidupan terdiri atas berbagai aspek, dan pendidikan dipandang sebagai penanaman dan pengembangan seperangkat nilai kehidupan, yang masing-masing bergerak dan berjalan menurut fungsinya.
Paradigma Organism
    Meminjam istilah biologi, organism dapat berarti susunan yang bersistem dari bagian jasad hidup untuk suatu tujuan (Depdikbud 1996). Dalam konteks pendidikan islam, paradigm organism bertolak dari pandangan bahwa aktivitas pendidikan merupakan suatu sistem yang terdiri atas komponen-komponen yang hidup bersama dan bekerja sama secara terpadu menuju tujuan tertentu, yaitu terwujudnya hidup yang religius atau dijiwai oleh ajar dan nilai-nilai agama.
    Fenomena pengembangan pendidikan agama Islam di sekolah atau perguruan tinggi umum tampaknya sangat bervariasi.
Peran Guru/Pendidik Agama Islam
    Dalam literature kependidikan Islam, seorang guru/pendidik biasa di sebut sebagai ustad, mu’allim, murabbiy, mursyid, mudarris, dan mu’addib.
    Kata ustadz biasa digunakan untuk memanggil seseorang profesor. Ini mengandung makna bahwa seseorang guru ditunut untuk komitmen terhadap profesionalisme dalam mengemban tugasnya. Kata mu’alim berasal dari kata dasar ‘ilm  yang berarti menagkap hakikat sesuatu. Dalam setiap ‘ilm terkandung dimensi teoritis dan dimensi amaliah (al-Asfahani, 1972). Kata murabby, berasal dari kata dasar rabb. Tuhan adalah sebagai Rabb Al-‘alamin dan Rabb Al-naas, yakni yang menciptakan, mengatur,dan memelihara alam seisinya termasuk manusia. Kata mursyid bisa digunakan untuk guru dalam thariqah (tasawuf). Imam syafi’i pernah meminta nasehat kepada gurunya (Imam Waki’) sebagai berikut: “Syakautu ila waki’in su’a hifdzi wa arsyadaniy ila tarki al-ma’ashi, fa akhbarani bianna al-ilma nurun wa nurullahi la yubda li al-‘ashi. Ada dua hal yang perlu di garis bawahi dari nasihat imam Waki’ tersebut, yaitu :
1.    Untuk memperkuat ingatan diperlukan upaya meninggalkan perbuatan-pertbuatan maksiat.
2.    Ilmu adalah cahaya ilahi yang mana tidak akan nampak dan terlahirkan dari orang yang suka berbuat maksiat.
Kata mudarris berasal dari kata darasa-yadrusu-darsan wa durusan wa dirasatan, yang artinya terhapus, hilang bekasnya, menghapus, menjadikan using, melatih, mempelajari (Al-Munjid, 1986). Sedangkan kata mu’addib berasal dari kata adab yang berarti moral, etika, dan adab (Al-Munjid, 1986) atau kemajuan (kecerdasan dan kebudayaan) lahir dan batin.
Model-model Evaluasi Pembelajaran PAI
Selama ini guru PAI lebih banyak mengenal model-model evaluasi acuan narma/kelompok (Norm/Group Referenced Evaluation) dan evaluasi acuan patokan (Criterian Referenced Evaluation) . Tetapi dalam pendidikan ternyata yang dinilai bukan hanya hapalan-hapalan surat pendek, hapalan rukun shalat dan seterusnya tetapi apakah shalatnya rajin atau tidak, disinilah perlunya memahami model Evaluasi Acuan Etik.

    Kalau guru PAI mau mengadakan tes atau pengukuran keberhasilan belajar, maka yang perlu dipertimbangkan lebih dahulu adalah : masalah apa yang akan dites atau evaluasi? Jawaban terhada masalah ini akan terkait dengan ketiga acuan di atas, yaitu sebagai berikut :
1.    Jika yang akan di tes adalah kemampuan dasar, maka di gunakan evaluasi acuan/kelompok.
2.    Jika yang dites adalah prestasi belajar, maka digunakan evaluasi acuan patokan
3.    Jika  yang akan dites adalah kepribadian, maka digunakan evaluasi terkait dengan masalah ini.

    Masing-masing model Evaluasi tersebut memiliki asumsi-asumsi dasar dan implikasi-implikasi tertentu, baik terhadap tujuan pembelajaran, proses belajar mengajar maupun kriteria yang diterapkan.

Penciptaan Suasana Religius di Sekolah/Madrasah/Perguruan Tinggi
Posisi Penciptaan Suasana Religius
    Di lihat dari organisasi pelaksanaannya, pendidikan dapat dikelompokkan menjadi pendidikan formal, pendidikan non-formal, dan pendidikan informal. Masing-masing memiliki karakteristik tersendiri yang berbeda tetapi bias diintegrasikan antara satu dengan yang lainnya. Pendidikan formal bersifat terstruktur, berjenjang. Pendidikan non-formal dapat bersifat terstruktur dan berjenjang, programnya terkait kebutuhan fragmentaeris. Sedangkan pendidikan informal bersifat pendidikan keluarga dan lingkungan yang mempunyai program.

Urgensi Penciptaan Suasana Religius di Sekolah/Perguruan Tinggi
    Untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME serta berakhlak mulia ternyata tidak bisa hanya mengandalkan pada mata pelajaran pendidikan agama yang hanya 2 jam pelajaran atau 2 sks, tetapi perlu pembinaan secara terus menerus dan berkelanjutan di luar jam pelajaran pendidikan agama.
Operasionalnya di Sekolah/Madrasah/Perguruan Tinggi
    Penciptaan suasana religius berarti menciptakan suasana atau iklim kehidupan keagamaan. Dalam konteks pendidikan agama islam di sekolah/madrasah/perguruan tinggi berarti penciptaan suasana atau iklim kehidupan keagamaan Islam yang dampaknya ialah berkembangnya suatu pandangan hidup yang bernafaskan atau dijiwai oleh ajaran dan nilai-nilai agama Islam, yang diwujudkan dalam sikap hidup serta keterampilan hidup oleh para warga sekolah/madrasah atau sivitas akademika di perguruan timggi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mari kita membaca dengan hati plus mata