26 Jul 2011

Metode Pendidikan Anak dalam Islam dengan Contoh


Pendahuluan
Pembahasan konsep pendidikan dan metodenya sebagaimana yang telah tertera dalam Al – Qur’an sangat relevan dengan zaman dan memiliki ruang yang cukup signifikan untuk dikaji secara mendalam serta konferehensif. Dalam Al – Qur’an dijelaskan jika metode seorang pendidik untuk mendidik anaknya yakni salah satunya yang sering disinggung yakni pendidik  harus menjadi uswatun hasanah (Suri Tauladan) bagi peserta didiknya.
Uswah dalam istilah lain yaitu keteladanan. Keteladanan itu sendiri sangat penting dalam hidup dan kerja. Sekiranya sebuah bangsa memiliki etos keteladanan ini, maka bangsa itu niscaya akan menjadi pemimpin dunia. Etos keteladanan minimal dimiliki oleh para pemimpin, niscaya organisasi yang dipimpinnya akan berhasil. Pepatah Arab mengatakan: Lisan – u’l hal- u min lisan-il maqal (bahasa tindakan lebih fasih dari pada bahasa ucapan). (Tobroni.2005: 81)
Keteladanan ini harus dimiliki oleh para pendidik. Karena keteladanan merupakan faktor penting agar pendidik itu berhasil dalam mendidik peserta didiknya. Bagaimanapun pendidik akan menjadi figur bagi peserta didiknya.
Dalam pendidikan Islam, pelaksanaannya ada enam belas metode pada dasarnya dirumuskan sebagai berikut; Asas Motivasi, Asas Aktivitas, Asas Apersepsi, Asas Peragaan, Asas Ulangan, Asas Korelasi, Asas Konsentrasi, Asas Individualisasi, Asas Sosialisasi, Asas Evaluasi, Asas Kebebasan, Asas Lingkungan, Asas Globalisasi, Asas Pusat – pusat minat, asas keteladanan, Asas Pembiasaan. (Suyanto. 2008: 170).
Maka dalam makalah ini, para penulis akan membahas tentang metode pendidikan anak dengan memberi uswah (teladan atau contoh). Dalam makalah ini pula akan memberi jawaban seputar metode pendidikan anak sebagaimana yang tertera dalam Al – Qur’an.
Para penulis juga, akan mengupas metode itu sebagaimana yang terdapat dalam surat Al – Baqarah ayat 44, Al – Ahzab ayat 21 dan Ash – Shaff ayat 3. 


Tafsir Al-baqarah ayat 44:

Surat Al – Baqrah ayat 44 ini mengecam pemuka-pemuka agama Yahudi, yang sering kali memberi tuntutan tetapi melakukan sebaliknya. Demikian al-Biqa’i
Dalam sebuah riwayat dikemukakan, bahwa ada orang-orang  Yahudi yang menyuruh keluarganya yang telah memeluk islam agar mempertahankan keyakinan mereka dan terus mengikuti Nabi Muhammad SAW. Terhadap merekalah ayat ini turun. Demikian menurut satu pendapat. Ayat  ini dapat juga mencakup kasus lain, yakni diantara Bani Isra’il ada yang menyuruh berbuat aneka kebajikan, seperti taat kepada Allah, jujur, membantu orang lain, dan sebagainya, tetapi mereka sendiri durhaka, menganiaya, dan khianat. Terhadap mereka juga kecaman ayat ini ditujukan.
Apakah kalian wahai bani isra’il, atau pemuka-pemuka agama yahudi menyuruh orang lain yakni kaum musyrikin atau kelompok lain dari orang-orang yahudi yang seagama dengan kamu, atau orang lain siapapun dia melakukan aneka kebajikan, dan kamu melupakan diri lamu sendiri, yakni melupakan menyuruh diri kalian melakukan kebajikan itu, atau kalian sendiri tidak mengerjakan kebaikan itu? Tindakan demikian jelas merupakan perbuatan yang buruk. Kalian melakukan keburukan itu, padahal kamu membaca kitab suci yakni Taurat yang mengandung kecaman terhadap mereka yang hanya pandai menyuruh tanpa mengamalkan. Tidaklah kamu berakal, yakni tidakkah kalian memiliki kendali yang menghalangi diri kalian terjerumus dalam dosa dan kesulitan?
Kata (البر ) Al-Birr berarti kebajikan dalam segala hal, baik dalam hal keduniaan atau akhirat, maupun interaksi. Sementara ulama’ menyatakan bahwa Al-Birr mencakup tiga hal: kebajikan dalam beribadah kpd Alloh SWT kebajikan dalam melayani keluarga dan kebajikan dalam melakukan interaksi dgn orang lain. Demikian Thahir Ibnu Asyur. Apa yang dikemukakan itu belum mencakup semua kebajikan, Karena agama menganjurkan hubungan yang serasi dengan Allah, sesama manusia, lingkungan serta diri sendiri. Segala sesuatu yang menghasilkan keserasian dalam keempat unsur tersebut adalah kebajikan.
Al-Sabuni berkata di dalam tafsirnya Safwah al-Tafasir: “Munasabah ayat ini ialah sentiasa menceritakan berhubung dengan Bani Israil dan pada ayat-ayat ini celaan dan hinaan terhadap mereka atas tingkah laku dan perangai mereka. Di mana mereka kerap kali menyuruh kebaikan sedangkan mereka enggan melakukannya. Mereka juga menyeru ke arah petunjuk dan hidayah, namun sebaliknya mereka ingkar.” 
Al-Imam al-Sawi berkata: “Ayat ini diturunkan kepada sebahagian ulama’ Yahudi yang berkata kepada kaum kerabat mereka yang Islam; tetaplah kamu atas agama Muhammad kerana sesungguhnya ia benar. Mereka menyeru manusia supaya beriman sedangkan mereka tidak melakukannya, lantas diturunkan ayat ini.”  
“Patutkah kamu menyuruh manusia supaya berbuat kebaikan sedang kamu lupa akan diri kamu sendiri; padahal kamu semua membaca Kitab Allah, tidakkah kamu berakal?” 
Firman Allah: “Patutkah kamu menyuruh manusia supaya berbuat kebaikan”, yaitu Allah Swt, menujukan ucapan kepada pendeta-pendeta Yahudi dalam bahasa menempelak mereka. Adakah patut kamu menyeru manusia ke arah kebaikan dan beriman dengan Muhammad. Ibn Jarir al-Tabari berkata: “Ulama tafsir telah khilaf berhubung dengan makna kebaikan yang disebut dalam ayat ini selepas daripada mereka berijma’ bahawa setiap ketaatan kepada Allah merupakan kebaikan.” 
Ibn Jauzi menyebut di dalam Zad al-Masir, tiga pendapat berhubung dengan maksud kebaikan: 
1. Berpegang dengan kitab mereka, di mana mereka menyuruh untuk mengikutnya dan melaksanakannya seperti riwayat Ibn Abbas. 
      2.  Mengikut Muhammad s.a.w seperti riwayat Ibn Abbas. 
      3. Bersedekah, mereka menyuruh bersedekah sedangkan mereka bakhil seperti yang disebut oleh al-Zajjaj. 
Abu Hayyan di dalam tafsirnya Al-Bahru al-Muhit, berkata: “Dihina pada akal dan keji apabila seseorang menyuruh manusia berbuat baik, sedangkan dia sendiri tidak mendatangkannya, sebaliknya melarang daripada kejahatan. Sedangkan dia yang melakukannya. Hingga katanya; perbuatan di dalam ayat ini disebut dengan lafaz Mudari’ (sedang berlaku dan akal berlaku), sedangkan ia sudah berlaku dikalangan mereka. Justru difahami daripadanya penggunaan ayat ini pada banyak tempat bermaksud ‘berterusan dan banyaknya kekeliruan’ mengikut ahli bahasa.”  
Al-Samarqandi di dalam tafsirnya Bahr al-Ulum menukilk pendapat Qatadah yang berkata: “Ayat ini menjadi dalil bahawa siapa yang menyuruh kebaikan hendaklah beliau sendiri paling amat suka untuk mendahuluinya dan mengerjakannya, sebaliknya siapa yang melarang daripada kejahatan hendaklah beliau yang paling dahulu menjauhkannya.” Kemudian beliau menyebut satu hadist yang diriwayatkan daripada Anas, katanya: “Apabila Rasulullah dimi’rajkan, Rasulullah s.a.w melalui satu kaum di mana bibir-bibir mereka digunting dengan gunting-gunting daripada Neraka, lantas Rasulullah s.a.w bertanya Jibril; siapakah mereka ini? Jawab Jibrail; mereka ini umatmu yang menyuruh manusia membuat kebaikan sedangkan mereka lupa diri mereka sendiri.” 
Allah Swt meneruskan lagi persoalannya seraya bertanya: “Sedang kamu lupa akan diri kamu sendiri”, yaitu kamu meninggalkan tanpa beriman dan juga tanpa melakukan kebajikan. 
Ibn Kathir berkata: “Firman Allah s.w.t, bagaimana layak dan mungkin bagimu hai golongan Ahli Kitab, menyeru manusia kebaikan yang merupakan intipati, sedangkan kamu lupa kepada diri kamu.”
Asbabun Nuzulnya dalam Tafsir Jalalain;
Diketengahkan oleh Al – Whadi dan Tsa’labi dari jalur Al – Kabiy dan Abu Shalih dari Ibnu Abbas r.a katanya diturunkannya ayat ini mengenai orang – orang Yahudi Madinah. Seorang laki – laki diantara mereka mengatakan kepada saudara serumah dan kaum kerabat serta kepada saudara – saudara sepersusuan mereka yang beragama Islam. “tetaplah tinggal dalam agama yang kamu anut dan ikuti apa yang dianjur oleh laki – laki ini, karena kebenaran ada dipihaknya!” jadi mereka orang dengan demikian, tetapi mereka sendiri tidak melakukannya
Kata ( أنفسكم ) adalah bentuk jamak dari (نفس ). Ia mempunyai banyak arti, antara lain totalitas diri manusia, sisi dalam manusia, atau jiwanya. Yang dimaksud di sini adala diri manusia sendiri.
Ayat ini mengandung kecaman kepada setiap penganjur agama yang melakukan hal-hal yang bertentangan dengan apa yang dianjurkannya. Ada dua hal yang disebut oleh ayat ini seharusnya menghalangi pemuka-pemuka agama itu melupakan diri mereka. Pertama bahwa mereka menyuruh orang lain berbuat baik. Seorang yang memerintahkan sesuatu pastilah dia mengingatnya. Sungguh aneh bila mereka melupakannya. Yang kedua adalah mereka membaca kitab suci. Bacaan tersebut seharusnya mengingatkan mereka. Tetapi ternyata keduanya tidak mereka hiraukan sehingga sungguh wajar mereka dikecam.
Walaupun ayat ini turun dalam konteks kecaman kepada para pemuka Bani Isra’il, tetapi Ia tertuju pula kepada setiap orang terutama para muballigh dan para pemuka agama.

Surat al-Ahzab ayat 21:
Setelah Al – Baqarah ayat 44, mengecam kaum munafik dan orang-orang yang lemah imannya, kini ayat di atas mengarah kepada orang-orang beriman, memuji sikap mereka yang meneladani Nabi SAW. Ayat diatas menyatakan: sesungguhnya telah ada bagi kamu pada diri Rasulullah yakni Nabi Muhammad SAW suri teladan yang baik bagi kamu yakni bagi orang yang senantiasa mengharap rahmat kasih sayang Alloh dan kebahagiaan hari kiamat, serta teladan bagi mereka yang berdzikir mengingat kepada Alloh dan menyebut-nyebut nama-Nya dgn banyak baik dalam suasana susah maupun senang.
Kalimat (لمن كان يرجوالله واليوم الاخر ) berfungsi menjelaskan sifat orang-orang yang mestinya meneladani Rasul saw. Ayat ini mengarahkan kepada orang – orang yang beriman memuji sikap mereka yang meneladani Nabi Saw, ayat ini menyatakan sesungguhnya telah ada bagi kamu yakni bagi orang – orang yang senantiasa mengharap rahmat kasih sayang Allah Swt  dan kebahagian hari kiamat, serta teladan bagi mereka yang berdzikir kepada Allah swt, menyebutkan nama – Nya baik dalam keadaan senang maupun susah. Ayat ini juga masih merupakan kecaman kepada orang – orang Munafik yang mengaku memeluk Islam tetapi tidak mencerminkan ajaran Islam. Kecaman itu dikesankan oleh kata Laqad ayat ini menyatakan “kamu telah melakukan aneka kedurhakaan padahal sesungguhnya ditengah kamu semua ada Nabi Muhammad Saw yang mesti kamu teladani”.
Kalimat  لِمَنْ كانَ يَرْجُوا اللهَ وَ الْيَوْمَ الْآخِرَ yang mengharap Allah dan hari Akhir, berfungsi menjelaskan sifat orang – orang yang mestinya meneladani Rasulullah Saw untuk meneladani Rasulullah Saw diperlukan dua hal yaitu: pertama, zikir kepada Allah. Kedua, selalu mengingatNya.
Adapun berarti teladan. Para pakar Tafsir mengemukakan dua kemungkinan tentang maksud keteladanan yang terdapat pada diri Rasulullah yaitu
a) Kepribadian beliau secara totalitasnya
b) Kepribadian Beliau Saw yang patut diteladani, pendapat yang ini merupakan pilihan banyak ulama. Kata   فىdalam firmanNya fi Rasulullah Saw  yang berfungsi mengangkat diri dari Rasulullah Saw. Satu sifat yang hendak diteladani tetapi yang diangkatnya adalah Rasulullah Saw sendiri dengan segala totalitas Beliau Saw, demikian pendapat jumhur Ulama.

Ash-shaf ayat: 3
Kabura maqtan ‘indallahi an taquulu ma laa taf’alun= amat besar kebencian di sisi Allah jika kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan.
Besar sekali dosanya apabila kamu mengatakan apa yang tidak kamu kerjakan, baik dalam pandangan Allah maupun dalam perkiraanmu. Menyempurnakan janji adalah tanda perangai luhur dan menimbulkan kepercayaan kepada anggota-anggota masyarakat, Sedangkan menyalahi janji adalah menghilangkan kepercayaan dan menyebabkan saling curiga serta tidak saling mempercayai. Karena itu, menyalahi janji dan berdusta sangat dicela oleh syara’.
Sesudah  Allah menjelaskan keburukan orang-orang yang menyalahi janji, tidak mau berperang yang telah diperintahkan, Alloh pun menguji orang-orang yang berjihad di jalan-Nya.
Thabatahba’i menggaris bawahi perbedaan tentang menentukan sesuatu apa yang dia kerjakaan dengan tidak mengerjakan  apa yang dia katakana. Yang pertama adalah kemunafikan sedangkan yang kedua adalah kelemeahan tekad. Yang kedua ini pun merupakan keburukan. Allah menjadikan kebahagian manusia melalui amak kebajikan yang dipilihnya sendiri. Sedangkan kuncinya pelaksanaannya adalah kehendak dan tekad, yang keduanya tidak akan memberikan dampak positif kecuali jika ia mantap dan kuat. Tidak ada realisasi perbuatan dan ucapan merupakan pertanda kelemahan tekad dan tidak akan menghasilkan kebajikan bagi yang bersangkutan.
Arti Kata Perkata
Kabura artinya besar, besar yang dimaksud di sini adalah amat keras. Kata ini melukiskan sesuatu yang sangat aneh, yakni mereka mengaku beriman, mereka sendri yang meminta agar dijelaskan tentang amalan yang disukai oleh Allah Swt untuk mereka kerjakan. Lalu setelah dijelaskan oleh – Nya mereka mengingkari janji dan enggan melaksanakannya. Sungguh hal tersebut merupakan suatu keanehan luar biasa besarnya.
Maqtan adalah kebencian yang sangat keras. Dari sini menggabungkan dua hal yang sangat besar. Sehingga apa yang diuraikan disini sungguh mengundang murka Allah. Ini ditambah dengan kalimat ‘indallah yang menunjukkan kemurkaan itu jatuh dari Allah Swt. Karena itu menurut Al – Qusyairi sebagaimana dikutip oleh Al – Biqa’I “tidak ada ancaman terhadap suatu dosa seperti ancaman yang dikemukakan oleh ayat ini”.
Asbabun Nuzulnya ayat ini adalah melihat kelanjutan ayat yang berbicara tentang perjuangan atau peperangan, maka agaknya ayat di atas turun berkaitan dengan sikap kaum muslimin yang enggan berjuang, padahal sebelumnya telah menyatakan keinginannya melaksanakan apa yang disukai oleh Allah Swt. Kendati demikian, semua riwayat – riwayat itu dapat ditampung kandungannya oleh ayat di atas.



Keterkaitan ayat – ayat berikut ini dengan Pendidikan
Menjadi pendidik layaknya berinvestasi. Jika baik dan sukses, niscaya akan memetik keuntungannya. Sedangkan jika buruk dan rusak, pasti akan menanggung kerugiannya. Karena itulah, cara terbaik untuk mendidik peserta didik (anak) yaitu dengan cara memberi keteladanan. Karena dengan keteladanan niscaya akan memetik keuntungannya. Jika keteladanan yang diberikan kepada peserta didik buruk maka besar kemungkinan peserta didik itu akan mengikuti pendidiknya, begitu juga sebaliknya.
Keteladanan dalam pendidikan mempunyai kedudukan yang sangat penting. Karena dengan keteladanan itu peserta didik akan menilai dan meniru. Ibarat kata pepatah “kalau gurunya kencing berdiri maka muridnya akan kencing berlari”.  Dari kata pepatah ini mengindikasikan jika sikap dan pribadi pendidik akan dicontohi oleh peserta didiknya. Kenapa demikian? Karena peserta didik dalam teori Barat maupun dalam pendidikan Islam merupakan individu yang sedang berkembang, baik secara fisik, psikiologi, social dan religius dalam mengarungi kehidupan dunia dan di akhirat kelak. (Nawawi, Hadari.1985: 128)
Sebagaimana firman Allah Swt dalam surat As-Shaff ayat 3 “amat besar kebencian Allah swt dengan apa yang kamu katakana tapi tidak kamu lakukan” ini secara gamblang menegaskan jika seorang pendidik itu harus sejalan dengan apa yang ia katakan. Sebagaimana yang telah dicontohkan oleh tauladan umat manusia yaitu Rasulullah Saw ketika perang Khandaq. Beliau terjun langsung membantu para tentara yang sedang berjihad. Karena pada fase – fase tertentu, peserta didik memiliki kecenderungan belajar lewat peniruan terhadap kebiasaan dan tingkah laku orang di sekitarnya, khususnya pada pendidik yang utama (orang tua). Asas keteladanan efektif digunakan pada fase – fase ini. (Suyanto. 2008: 175).
Dalam penggunaan metode – metode pendidikan Islam yang perlu dipahami adalah bagaimana seorang pendidik dapat memahami hakikat metode pendidikan dan relevansinya dengan tujuan pendidikan Islam, yaitu terbentuknya pribadi yang beriman dan senantiasa mengabdi kepada Allah Swt. Di samping itu, pendidik perlu memahami metode Instruksional yang aktual yang ditujukan dalam Al – Quran atau dideduksikan dari Al – Quran. (Suyanto. 2008: 166).
Metode pendidikan yang lain sesuai dengan Al –Quran dan Hadist, antara lain:
a) Hendaknya anak (peserta didik) diajarkan bertaqwa kepada Allah, karena dengan ketaqwaan akan membentuk karakter yang istiqomah dan beriman kepada Allah swt
b) Hendaknya si anak diajarkan nilai – nilai Islam dalam bergaul
c) Perdengarkan ayat – ayat Al – Quran dan besarkan ia dengan Al – Quran
d) Tanamkan dalam hatinya dengan aqidah Islam dalam sendi kehidupan
e) Menumbuhkan Ibadah hati dan akhlak yang terpuji
f) Bangun jiwa sosial pada diri seorang anak dan Menumbuhkan roh cita – citanya
g) Mendorong peserta didik untuk menggunakan akal pikirannya dalam menelaah dan mempelajari gejala kehidupan sendiri dan alam sekitarnya (QS. Fushshilat: 53, Al – Ghasiyah: 17 – 21)
h) Mendorong peserta didik untuk mengamalkan ilmu pengetahuannya dan mengaktualisasikan keimanan dan ketakwaannya dalam kehidupan sehari – hari (Qs. Al – Ankabut: 45, Thaha: 132, Al – Baqarah: 183)




Daftar Pustaka

Nawawi, Hadari. 1985. Organisasi Sekolah dan Pengelolaan Kelas. Jakarta: Haji Masagung
Tobroni .2010.The Spiritual Leadhership. Malang: UMM Press
Laila. 2008. Cara Sukses Mendidik Buah Hati. Klaten: Inas Media
Suyanto. 2008. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Ilmu


KELOMPOK 7
Nama:
Amirullah Kaunang (09110043)
M. Feri Firmansyah (09110029)
M.Ubaidillah R           (09110026)
Ahmad Musholin       (09110060)


2 komentar:

  1. Aslmkm,,,
    Thanks bgt gan, tulisannya sngat mmbntu sy untk mprkya rferensi skripsi,,,

    BalasHapus
  2. thanks juga brow,, jangan lupa berdoa kepada Allah yooo

    BalasHapus

Mari kita membaca dengan hati plus mata