20 Mar 2013

Aku Nyasar ke Malang

Oleh Zainal Abidin


Pulang Kampung
    Pagi itu Matahari menyambut pagi hari yang cerah, seakan mempermudah langkah setiap makhluknya yang dikenai sinarnya. Hartop mulai menunggu penumpangnya di penantian menyambut orang-orang yang akan pulang kampong, ada yang membawa barang belanjaannya ada pula yang hanya membawa tas yang isinya pakaian. Namun tujuan mereka pulang adalah memenuhi rasa rindu mereka seperti saya yang sudah hampir enam bulan sudah tidak perna ketemu dengan mereka  setelah ujian tengah semester dulu hingga sampai selesai Ujian Akhir Sekolah.

    Sambil menunggu hasil ujianku saya dan teman-teman yang lain pulang kampung membantu Orang Tua di kampung. Tak lupa pula minta Do’a dari Orang Tua agar supaya bisa lulus dan bisa melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi dan mungkin ada yang berhenti sampai disini. Hartop masih menunggu di penantiannya bagaikan seekor anak burung yang menunggu induknya membawa makanan untuk sarapan paginya dan berharap makanan yang dia bawah banyak, namu hatiku sudah tidak sabar sampai di kampung halamann di  tanah kkelahiranku yang sangat kucintai. Para penumpang mulai merapat matahari sudah semakin tinggi menemani sinarnya menerangi Bumi serta ciptaan lainnya, seorang nenek berusia sekitar 60 Tahunan bertanya.
    “kamu mau pulang??” Tanya nenek, namanya Halima yang kebetulan saya kenal
    “Iya nek saya mawu pulang sambil mengisi liburan di kampong, sekalian bantu Orang Tua di kampung” saya menjawab sambil hartopnya jalan.
“ iya, daripada pontang-panting di Sumbawa gak ada kerjaan, di kampung kan bisa bantu meringankan kerjaan Orang Tuamu dan itu lebih bermanfaat” lanjut nenek memberi nasehat.
Teman-teman sesame penumpang saling berbincang-bincang . tak lama kemudian pak supir datang dan kami siap-siap naik, Hartopnya pun jalan para penumpang sudah di posisinya masing-masing. Salah seorang teman bertanya kepada saya.
“kapan terima hasil ujiannya” Tanya temen yang namanya Nuratika, dia adalah teman baik saya tapi beda sekolah.
“katannya sih tanggal 16 mei, Bibi kapan terima hasil ujiannya” saya balik nanya, bibi adalh panggilan kepada yang lebi besar walupun umur kita sama dan itu merupakan adat dari desa kami.
“sama donk, saya juga tanggal 16 kok” jawab bibi Atika yang merupakan nama panggilannya.
Setelah beberapa jam kemudian melewati jalan yang beraspal akhirnya memasuki jalan yang berlumpur, berlubang dan bebatuan yang berarti sudah setengah perjalanan. Jalan yang berlubang, berlumpur dan bebatuan merupakan hal biasa bagi kami karena para pemerintah belum juga memperbaiki jalan ke desa kami dan desa  lainnya yang ada didaerah itu. Kampung kami sida indentik dengan sebutan desa terpencil namun lami tidak mengurungkan niat kami pulang, untuk melalui jalan itu hartop seakan bertarung melewati jalan yang berlupur serta licin kadang bertemu jalan yang berbatu. Sang supir terus mengemudi untuk menafkahi keluarganya yang ada di kampung bahkan bertaruh nyawa, Hartop terus berjalan seakan rintangan terasa mudah rintangan yang di laluinya demi mencapai tujuannya seakan dia hidup dan melaui baerbagai rintangan kehidupan yang penu dengan cobaan.
     Setelah bertarung di perjalanan yang licin dan berbatuan dengan pepohonan yang rindang di kudua sisi jalan serta keindahan alam disekitarnya membuat kami betah dan nyaman walau jannya hancur, atap Rumah dan pohon pisang sudah mulai terlihat hati dan pikiran jadi satu seakan rasa tak mampu di bendung bisa selamat sampai di kampung halaman, rasa syukur taiada hentinya saya lontarkan dalam hati atas karunia yang diberikannya sang Maha Pencipta bisa menikmati dengan bebas tanpa keraguan dan batasan yang ditentukan. Perasaan ini bercampur bagaikan Es Campur dengan berbagai isinya di padu menjadi lezat dari rasa maupun warna.
    Akhirnya Hartop yang saya tumpangi memasuki gerbang kampug namanya Desa Tepal, seakan kedatangan kami disambut dengan begitu antusias dan merasa terhormat. Setiap yang datang ke sana pasti akan merasa seperti itu searasa ada di rumahnya sendiri dengan orang-orang yang ramah dan bersahaja. Rasa syukur terlontar untuk yang kesekian kalinya “ Alhamdllah Hirabbilalamin “ bisa sampai dengan selamat di kampung halamanku, sekitar jam 16.50 hartop berhenti dan sampailah kami di tujuan yang sebenarnya, para pernumpang turun dan kernet menurunkan barang-barangnya. Saya hanya membawa tas lalu saya membayar ongkos langsung menuju rumah dan tak sabar ketemu keluargaku.
    “bidin sudah pulang tuu..!!” salah Satu warga yang saya lewati rumahnya menyapa dengan begitu halus menunjukan keramahannya bagi siapa saja yang datang apalagi saya juga orang asli disini.
    “saya Bi,…!!!” saya menjawab sekedarnya tapi masih terlihat  sopan
    Sekitar lima menit saya berjalan akhirnya sampailah di rumah, sepertinya rumah sepi lalu saya beristirahat di teras rumah yang merupakan rumah panggung sebelum masuk masuk. Tak lama kemudian kake keluar, kayaknay baru selesai sholat asar.
    “ Eeee.. kapan kamu sampai “ Tanya kakek, namanya H.Usman
    “ barusan kek, sekitar sepuluh menit yang lalu “ sambil berdiri dan menciuum tangannya.
    “ mana Ibu dan Bapak”  Tanya saya berbasa-basi.
    “ Ibu sama Bapakmu masi di kebun paling sore baru pulang, Hartop siapa yang kamu naiki tadi.??“ jawab kakek dan balik bertanya.
    “ hartopnya Abdul Muluk “ jawab saya
    “ sudah bayar ongkos belum.?? “ Tanya Kakek.
    “ sudah Kek “ jawab saya menjawab seadanya karena capek setelah lama diperjalanan tadi dan rasanya perut saya suda keroncogan dari tadi.
    “ ganti baju dulu lalu mandi, ada makanan di dapur “ lanjut Kakek masuk ke dapur menawarkan makan.
    “ iya Kek, kebetulan saya lapar dari atas hartop tadi “ jawab saya sambil masuk saya bertanya.
    “ sayurnya apa Kek “ tanya saya
    “ sayur rebung “ jawab Kakek
    “ Wahhhh…. Kebetulan “ jawab saya, sayur Rebung merupakan salah satu makan paforit saya lalu masuk kamar untuk mandi setelah selesai mandi saya sholat ashar kemudian makan.
    Rumah panggung yang terbuat dari kayu karya seorang manusia yang di ciptakan oleh yang Maha Kuasa untuk membuat perlindungan sabagai tepat tinggalnya yang merupakan naluri sebagai manusia ciptaan Tuhan. Arsutektur dengan beragam bentuk dan keindahannya dengan penu kreativitas dan imajinasi yang berkembang hingga sekarang.
    Sambil menyantap makanannya yang rasanya nikmat sekali, saya meniup bara api soalnya tadi sya mandi dingin airnya. Dapur merupakan ruang makan juga sebagai ruang keluarga bahkan ruang tamu yang berarti tak ada batasan baik keluarga maupun warga lainnya karena itu merupakan adat dari desaKu bahkan para pemuda yang ngapel ke rumah cewek langsung ke depan orang tuanya. Itulah adat desaKu semuuanya transparan  tanpa ada yang disembunyikan dari siapapun bahkan saat bertamu bila saat makan para tamu juga makan apapun itu kerjaannya tat kala saling tolong menolong warga desa tidak memungut biaya yang pada akhirnya diakan minta bantun juga, dalam tolong menolong mereka tidak mengharapkan uang namun menolong semata, yang masi terlihat jelas saat bangun rumah atau ada hajatan besar seperti orang nikahan mereka merbondong-bondong saling membantu. Itulah keakraban yang terjalin di kampung saya yang terjalin sejak dahulu kala.
    Matahari sudah sampai pada peraduannya dann melanjutkan perjalanannya menyinari belahan bumi bagian lainnya di sambut petang para jama’ah mulai berdatangan brlomba-lomba menambah amannya serta keimanannya yang merupakan penduduknya muslim. Bedug magrib berbunyi azanpun terdengar saya bergegas kemasjidn untuk sholat Magrib dan di lanjutkan sholat Isya.

Membantu orang tua di  kampung

    Keesokan harinya epulang dari Sumbawa setela sholat shubu kami langsung makan bersama keluarga, setela makan kami (bapak dan ibu) bersiap-siap berangkat ke kebun kopi yang merupakan kegiatan rutin setiap tahunnya sebagai salah satu sumber penghasilan mayoritas orang kec.batulanteh yang termasuk kampong saya sendiri.
    Hari masi gelap kami bergegas dan berangkat ke kebun agar sampai lebi cepat dan dapathasil yang lebih banyak, sebelum berangkat saya dan bapak mengasah bate’ dan parang sebagai bekal untuk perlindingan selama di perjalanan dan juga untuk peralatan di kebun.
    “Abidin, ne kamu asah bate’ sama parang biar tajam nnti law di pake” bapak menyuruhku.
    “iya pak bentar lagi ganti pakaian” jawab saya
Lalu saya menganbil bate’ dan mengasah agar dapat dipakai sepanjang hari baik diperjalan maupun di kebun. Lalu kami berangkat dan meninggalkan kakek sendiri di rumah karena usianya sudah tua. Ternyata orang-orang sudah pada siap-siap di jalan baik dari bapak, ibu, dan para pemuda.
    ”bido, kapan kamu dari Sumbawa??”  tanay salah satu temenku, bido adalah panggilan keseharianku di kampong yang istilahnya panggilan nama keren.
    “Eee… paman Saman, kemaren paman..!! kok gak datng ke rumah” jawab saya sambil basa-basi. Panggilan paman bukan berarti dia harus lebih besar tapi karena adat istiadat bahasa disana.
    Perjalan sudah sekitar lima kilometer, Matahari suda mulai muncul ke atas bukit dan menyinari hamparan hitan yang kami lewati, dengan berjalan kaki suasana alam yang sega sangat terasa nikmatnya seakan kami merasa baru berjalan beberapa ratus meter. Satu per-satu teman-teman mulai berkurang karena ada yang kebunnya lebih dekat namun ada pula yang lebih jauh dari pada kebun saya, tak lama kemudian kebun saya mulai terlihat tanpak di batasi pagar atau apaun dengan kebun yang di sampingnya karena hanya dibatasi oleh pohon kecil yang merupakan salah satu symbol perbatasan dengan kebun lainnya.
    “kamu ambil karung di rumah, biar saya cari tempat yang bagus buahnya yang akan kita panen” Bapak menyuruhku
    “Bapak taru dimna karungnya??” saya bertanya, tak sabar ingin panen kopi. Walaupun setiap tahun panennya saya tidak bisa banyak waktu ada di kampong karena saya sekolah di Sumbawa yang lumayan  jau dari kampong saya.
    “ada di bawa kolong gak terlalu sulit tempatnya” jwab Bapak
Saya bergegas ke rumah ambil karung dan memulai memtik kopi mengawali dengan bismillah dalam hati semoga hasil minggu depan lebih banyak buahnya. Dengan menggunakan sarung tangan dan baju lengan panjang ungtuk menghindari semut saya pun memulai memetik kopi.
    Waktu terus berjalan hampir setengan hari kami memtik kopi waktu menunjukan jam 11.00 wib ibu berhenti memetik kopi dan kembali ke rumah untuk masak buat makan siang.
    “Bidin saya pulang dulu” kata ibu
    “iya Bu, saya kasi penu karung saya dulu nee soalnya nanggung” jawab saya
“ya uda lanjutin, biar Ibu masak dulu buat makan kita nnanti” Ibu menjawab
    Saya dan Bapak asik-asik memetik kopi sambil ngobrol-ngobrol, sambil menunggu karung kami penuh. Setengah jam berlalu kami menghentikkan pekerjaan kami dan pulang ke rumah membawa hasil panen yang kami petik lalu berangkat ke sumur yang tak jauh dari dekat rumah kebunku sekitar dua ratusameter kurang lebih untuk mandi dan wudhu, kami jiga membawa jerigen untuk air minum dan juga bersih-bersih.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mari kita membaca dengan hati plus mata