Oleh: Agus Purwadi
Ibn Hazm dalam bukunya al-Muhalla, j.9, h.710, beliau berfatwa:
"Orang yang mendengarkan lagu (as-simaa') untuk menyemangatinya dalam melakukan maksiat, maka ia adalah orang fasik. Orang yang as-simaa' untuk menghibur diri agar kembali segar dalam melakukan peribadatan kepada Allah, dan membuatnya bersemangat melakukan kebaikan, maka dia adalah orang yang taat kpd Allah dan seorang muhsin. Perbuatannya itu benar. Sedangkan orang yang mendengarkannya tanpa niat untuk maksiat atau pun ibadah, maka ia adalah orang lalai yang dapat dimaafkan. Mendengarkan musik sama dengan wisata ke taman atau duduk di beranda rumah menatap panorama alam."
Namun, di sisi lain, kita juga menjumpai beberapa pernyataan (qaul) yang sering disebut sbg hadits yang memberi perlawanan serius terhadap musik, bahkan mengharamkannya secara mutlak, di antaranya:Ibn Hazm dalam bukunya al-Muhalla, j.9, h.710, beliau berfatwa:
"Orang yang mendengarkan lagu (as-simaa') untuk menyemangatinya dalam melakukan maksiat, maka ia adalah orang fasik. Orang yang as-simaa' untuk menghibur diri agar kembali segar dalam melakukan peribadatan kepada Allah, dan membuatnya bersemangat melakukan kebaikan, maka dia adalah orang yang taat kpd Allah dan seorang muhsin. Perbuatannya itu benar. Sedangkan orang yang mendengarkannya tanpa niat untuk maksiat atau pun ibadah, maka ia adalah orang lalai yang dapat dimaafkan. Mendengarkan musik sama dengan wisata ke taman atau duduk di beranda rumah menatap panorama alam."
"Orang yang duduk untuk mendengarkan gitar, akan dituangkan timah panas ke dalam kupingnya pada hari kiamat."
"Janganlah kamu menshalati orang yang mati dalam keadaan memiliki budak penyanyi."
"Jika seseorang menarik kerongkongannya untuk bernyanyi, maka dua setan akan mengiringinya dengan cara memukuli dada dan pundaknya sampai ia diam."
Menyikapi hal itu, Dr. Fathi 'Utsman dalam bukunya, ad-Diin fii Mauqif ad-Difaa' beliau menyebutkan, bahwa citra historis yang negatif terhadap musik dan lagu dalam konteks seni dan budaya memliki sandaran dalam buku-buku fiqh. Disebutkan, spirit perlawanan terhadap musik dan lagu semakin kuat di dalam fatwa dan hukum fiqh. Sebagian orang tidak sekadar mentakwilkan nash berdasarkan kecenderungan mereka, atau mengerahkan daya pikir jika nash tidak cukup kuat untuk melarang dan mengharamkan musik, tapi berusaha membuat hadits-hadits palsu untuk keperluan tersebut, dan menganggapnya hal itu sebagai tindakan ibadah dan upaya menjauhkan manusia dari dosa.
Pendapat yang sama dilontarkan oleh Dr. Mushthafa as-Siba'i dalam karyanya as-Sunnah. Beliau mengatakan:
"Sebagian ulama bersikap longgar dalam memakai hadits targhib wa tarhib. Bahkan, ada yang tidak berkeberatan membuat hadits palsu untuk hal ini, dengan anggapan hal ini mendekatkan manusia pada kebaikan dan menjauhkan mereka dari kejahatan."
Hal yang menarik mengenai qaul yang dinyatakan sebagai hadits di atas, Dr. Muhammad Jabir 'Abd al-'Al, dalam bukunya Harakaat asy-Syi'ah al-Mutatharrifin, ia mengatakan:
"Di masa Khalifah al-Amin, kemewahan dunia telah menggoda hati penduduk Baghdad. Para penyair cabul dan pesta hura-hura dengan musik meracuni akal mereka. Pada kondisi tersebut, para ahli hadits yang tidak menemukan cara untuk memperbaiki kondisi, mengecamnya dalam kemasan qaul yang seolah-olah "hadits Nabi saw." Gerakan ahli hadits tersebut dimulai pada masa ar-Rasyid, lalu semakin berkembang. Tujuannya, hendak mengubah moralitas masyarakat dan mengembalikan mereka kepada ajaran agama. Di masa itu, ada seorang bernama Ahmad bin Muhammad, yang terkenal dngan julukan Ghulam al-Khalil, ditanya tentang hadits-hadits palsu buatannya, dia menjawab, "Aku membuatnya untuk melembutkan hati manusia."
Hadits-hadits mengenai pengharaman musik di atas, adalah karya Ghulam al-Khalil, termasuk hadits mengenai permainan catur:
"Orang yang bermain catur, lalu shalat, sama dengan orang yang berwudlu dengan muntah dan darah babi."
"Catur itu terkutuk. Begitu pula orang yang memainkannya. Orang yang melihat permainan itu sama dengan orang yang memakan dafing babi".
"Lebih baik aku menyembah berhala daripada bermain catur."
Dan, masih banyak lagi hadits lain yang disebut oeh al-Qadhi Abu Bakar al-'Arabi dalam bukunya Ahkam al-Qur'an sebagai "Batil sanadnya dan batil matannya, baik format maupun substansinya."
Fatwa-fatwa siapa saja yang dapat digunakan untuk membantah pengharaman musik? Berikut, kita bisa merujuk karya-karya yang membantah pengharaman musik dan lagu, di antaranya:
1. Imam al-Ghazali, dalam Ihya' 'Ulum ad-Diin jilid 5, bagian judul al-Qaul fii as-Simaa'.
2. Imam asy-Syaukani, dalam Nail al-Authar, bagian judul Ibthaal Da'waa al-Ijma' 'alaa Tahriim Muthlaaq as-Simaa'.
3. Imam Ibnu Qutaibah dalam bukunya, ar-Rukhshah fii as-Simaa'
4. al-Imam Abu al-Fadhl al-Adquwi asy-Syafi'i dalam bukunya, al-Imtaa' bi Ahkaam as-Simaa'. Dijelaskan di sini bahwa ulama sekelas al-'Izz 'Abd as-Salam dan Ibnu Daqiq al-'Id menghalalkan lagu.
5. al-Hafizh Ibn Rajab al-Hambali dengan bukunya, Nuzhah al-Asmaa' fii Mas'alah as-Simaa'.
6. Imam Abu al-Futuh Ahmad al-Ghazali dengan bukunya, Bawariq al-'Ilmaa' fii Takfir man Yuhrimu Muthlaq as-Simaa'.
Sedangkan dari kalangan ulama kontemporer, yang membolehkan lagu dan musik adalah Rasyid Ridha, Mahmud Syaltut, Hasanain Ma'khluf, Sayyid Sabiq, Syaikh Muhammad al-Ghazali, Yusuf Qardhawi, dan Sayyid Quthub.
Sayyid Quthub dikenal memiliki selera yang tinggi terhadap musik, bahkan memiliki perpustakaan musik yang besar di rumahnya. Sedangkan Syaikh Muhammad al-Ghazali senang mendengarkan lagu-lagu Ummi Kultsum, bahkan saat dilantunkan salah satu lagunya, yaitu Walad al-Hudaa, beliau bisa menitikkan air mata saat mendengarkan lagu karya Ahmad Syauqi itu
da dua point penting dalam masalah musik. Yang pertama terkait dengan lirik atau lagunya. Yang kedua terkait dengan alat yang dimainkan.
Jika liriknya/isi lagunya kebaikan atau mengajak. Berbuat baik,sehingga menjadikan orang yang mendengar mendapatkan manfaat atau tergerak hatinya untuk melakukan kebaikan.maka semua ulama tidak ada yang melarang. Tetapi jika lirik lagunya menampung kata2 jorok,mesum,kotor,cacian.atau menodong pada kema'shiatan dan sejenisnya, maka semua ulama' pun sepakat ttg. Keharaman.
Mengenai alat-alat musik yang duimainkan. Disinilah para ulama yang berbeda pendapat. Apakah semua alat musik haram arau sebagian saja...? Atau apakah semua alat musik boleh dimainkan atau hanya rebana/gendang yang boleh...?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mari kita membaca dengan hati plus mata