“Tahukah kamu yang disebut orang yang bangkrut?” Tanya Rasulullah SAW suatu ketika. Para sahabat menjawab “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Nabi saw lalu berkata, “Sesungguhnya orang yang bangkrut dari umatku adalah yang datang pada hari kiamat dengan membawa amalan puasa, shalat dan zakat, tetapi dia pernah mencaci maki orang ini dan menuduh orang itu berbuat zina. Dia pernah memakan harta orang itu lalu dia menanti orang ini untuk menuntut pahala dan mengambil pahalanya (sebagai tebusan) dan orang itu mengambil pula pahala-pahalanya. Bila pahala-pahalanya habis sebelum selesai tuntutan dang anti tebusan atas dosa-dosanya, maka dosa orang-orang yang menuntut itu diletakkan di atas bahunya lalu dia dihempaskan ke api neraka” (HR. Muslim).
Syukur berarti mengakui pemberian nikmat kepada pemberi nikmat melalui kecintaan dan ketaatan. Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyah berkata “Hakikat syukur dalam beribadah adalah tampak bekas nikmat Allah pada lidah hamba-Nya: yaitu dengan menyaksikan dan mencintai dan pada anggota badan hamba, yaitu dengan patuh dan taat. Sehingga syukur dibangun atas lima tiang: (1) Ketundukan orang yang bersyukur kepada yang disyukuri, (2) Kecintaannya, (3) Pengakuan terhadap nikmatnya, (4) Pujiannya terhadapnya dengan sebab nikmat itu, (5) dan dia tidak mempergunakannya pada perkara-perkara yang yang disukai oleh pemberi nikmat itu”.
Jika salah satunya tidak ada, rusaklah satu pondasi dari pondasi-pondasi syukur. Semua orang membicarakan tentang syukur dan defenisinya, maka pembicaraannya kembali dan berkisar kepada lima hal ini. Pembahasan syukur belum selesai. Rasulullah SAW menuturkan tentang orang yang paling mulia adalah mulia adalah mereka yang diberi anugerah kekayaan lalu bersyukur. Dalam sebuah hadist yang cukup panjang Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya dunia untuk 4 orang:
1. Hamba yang Allah berikan reziki kepadanya berupa harta (dari jalan yang halal) dan ilmu (agama Islam), kemudian dia bertaqwa kepada rabbnya pada rezeki itu (harta dan ilmu), dia berbuat baik kepada kerabatnya rizki dan dia mengetahui hal bagi Allah padanya. Maka hamba ini berada pada kedudukan yang paling utama (di sisi Allah).
2. Hamba yang Allah berikan rizki kepadanya berupa ilmu, namun Dia tidak memberikan rezeki berupa harta, dia memiliki niat yang baik. Dia mengatakan: Seandainya aku memiliki harta aku akan berbuat seperti perbuatan si Fulan (orang pertama yang melakukan kebaikan itu)”, maka dia dibalas dengan niatnya (yang baik), baik pahala keduanya (orang pertama dan kedua) sama.
3. Hamba yang Allah berikan rezeki kepadanya berupa harta, namun Dia tidak memberikan rezeki kepadanya berupa ilmu, kemudian dia berbuat semberangan dengan hartanya tanpa ilmu. Dia tidak bertakwa Rabbnya, tidak berbuat baik kepada kerabatnya dengan hartanya, dan dia tidak mengetahui hak bagi Allah padanya. Maka hamba ini berada pada kedudukan yang paling buruk (di sisi Allah),
4. Hamba yang Allah tidak memberikan rizqi kepadanya berupa harta dan ilmu, kemudia dia mengatakan: “Seandainya aku memiliki harta aku akan berbuat seperti perbuatan si Fulan (dengan orang ketiga yang melakukan keburukan itu)”, Maka dia (dibalas) dengan niatnya, dosa keduanya sama. (HR. Ahmad)
Syukur berarti mengakui pemberian nikmat kepada pemberi nikmat melalui kecintaan dan ketaatan. Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyah berkata “Hakikat syukur dalam beribadah adalah tampak bekas nikmat Allah pada lidah hamba-Nya: yaitu dengan menyaksikan dan mencintai dan pada anggota badan hamba, yaitu dengan patuh dan taat. Sehingga syukur dibangun atas lima tiang: (1) Ketundukan orang yang bersyukur kepada yang disyukuri, (2) Kecintaannya, (3) Pengakuan terhadap nikmatnya, (4) Pujiannya terhadapnya dengan sebab nikmat itu, (5) dan dia tidak mempergunakannya pada perkara-perkara yang yang disukai oleh pemberi nikmat itu”.
Jika salah satunya tidak ada, rusaklah satu pondasi dari pondasi-pondasi syukur. Semua orang membicarakan tentang syukur dan defenisinya, maka pembicaraannya kembali dan berkisar kepada lima hal ini. Pembahasan syukur belum selesai. Rasulullah SAW menuturkan tentang orang yang paling mulia adalah mulia adalah mereka yang diberi anugerah kekayaan lalu bersyukur. Dalam sebuah hadist yang cukup panjang Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya dunia untuk 4 orang:
1. Hamba yang Allah berikan reziki kepadanya berupa harta (dari jalan yang halal) dan ilmu (agama Islam), kemudian dia bertaqwa kepada rabbnya pada rezeki itu (harta dan ilmu), dia berbuat baik kepada kerabatnya rizki dan dia mengetahui hal bagi Allah padanya. Maka hamba ini berada pada kedudukan yang paling utama (di sisi Allah).
2. Hamba yang Allah berikan rizki kepadanya berupa ilmu, namun Dia tidak memberikan rezeki berupa harta, dia memiliki niat yang baik. Dia mengatakan: Seandainya aku memiliki harta aku akan berbuat seperti perbuatan si Fulan (orang pertama yang melakukan kebaikan itu)”, maka dia dibalas dengan niatnya (yang baik), baik pahala keduanya (orang pertama dan kedua) sama.
3. Hamba yang Allah berikan rezeki kepadanya berupa harta, namun Dia tidak memberikan rezeki kepadanya berupa ilmu, kemudian dia berbuat semberangan dengan hartanya tanpa ilmu. Dia tidak bertakwa Rabbnya, tidak berbuat baik kepada kerabatnya dengan hartanya, dan dia tidak mengetahui hak bagi Allah padanya. Maka hamba ini berada pada kedudukan yang paling buruk (di sisi Allah),
4. Hamba yang Allah tidak memberikan rizqi kepadanya berupa harta dan ilmu, kemudia dia mengatakan: “Seandainya aku memiliki harta aku akan berbuat seperti perbuatan si Fulan (dengan orang ketiga yang melakukan keburukan itu)”, Maka dia (dibalas) dengan niatnya, dosa keduanya sama. (HR. Ahmad)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mari kita membaca dengan hati plus mata