Oleh MuFe El-Bageloka
Mengkaji tentang gerakan Muhammadiyah tidak lepas dari gerakan pembaruan Islam modern. Hal ini karena gerakan merupakan bagian dan sekaligus mata rantai dari gerakan pembaruan modern di Indonesia. Sehingga tidak heran jika gerakan Muhammadiyah disebut gerakan modern yang berbasis al-Quran dan As-Sunnah. Gerakan pembaruan Islam modern dikenal dengan gerakan tajdid, modernism
Islam atau ada pula yang menyebutnya sebagai gerakan Protestanisme Islam. Menurut Suwarno dalam bukunya yang berjudul Relasi Muhammadiyah Islam dan Negara berpendapat bahwa gerakan pembaharuan Islam modern dapat dipahami sebagai gerakan dari sebagian umat Muslim yang berusaha melakukan pembaruan dalam pemahaman dan pengamalan keberagamaan yang sesuai dengan sumber pokok ajaran Islam (al-Quran dan As-Sunnah), menjauhkan diri dari tradisi-tradisi yang dianggap mengandung unsur syirik, bid’ah, Khurafat serta upaya mewujudkan keselarasan (harmoni) dengan kemajuan peradaban Barat Moren (yang ditandai oleh perkembangan ilmu pengentahuan dan teknologi) (Suwarno. 2010: 4). Atas dasar inilah K.H. Ahmad Dahlan berkomitmen untuk mendirikan sebuah gerakan dakwah yang bertujuan untuk mengembalikan peradaban umat Islam pada Al-Quran dan Hadist, sebagaimana yang termaktub dalam al-Quran ayat 104.
“Dan hendaklah diantara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh berbuat yang makruf dan mencegah dari yang mungkin dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung” (Q.S. Ali Imran (3): 104).
Menurut M. Quraisy Shihab ada dua hal yang perlu digaris bawahi adalah al-makruf, Pertama, nilai-nilai Ilahi tidak boleh dipaksakan, tetapi disampaikan secara persuasif dalam bentuk ajakan yang baik. Sekedar mengajak yang dicerminkan antara oleh kata mengajak dan firman Allah “Ajaklah ke jalan Tuhan-Mu dengan cara bijaksana, nasihat (yang menyentuh hati) serta berdiskusilah dengan dengan mereka dengan cara yang lebih baik” (AS. An-Nahl [16]: 125). Kedua, al-Ma’ruf, yang merupakan kesepakatan umum masyarakat. Ini sewajarnya diperintahkan, demikian juga al-Munkar seharusnya dicegah. Baik yang memerintahkan dan yang mencegah itu pemilik kekuasaan maupun bukan. Siapaun di antara kamu melihat kemungkaran maka hendaklah dia mengubahnya (menjadikannya ma’ruf) dengan tangannya (kekuasaannya), kalau tidak mampu hendaklah dengan lisannya/ucapan, kalau dia tidak mampu maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemahnya iman. Perlu dicatat bahwa konsep ma’ruf hanya membuak pintu bagi perkembangan positif masyarakat, buka perkembangan negatif. Dari sini filter al-khair benar-benar difungsikan. Demikan juga halnya dengan munkar, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi pandangan tentang muru’ah, identitas dan integritas seseorang. (M. Quraish Shihab. 2002: 175 dan 176).
Makna yang terkandung dalam ayat inilah yang melatar belakangi berdirinya Muhammadiyah yang meskipun ada beberapa faktor yang berdirinya Muhammadiyah, antara lain: Pertama, keterbelakangan serta kebodohan umat Islam Indonesia di hampir semua aspek kehidupan. Kedua,kemiskinan yang sangat parah yang diderita umat islam justru dalam negeri yang kaya seperti Indonesia. Ketiga,keadaan pendidikan Islam yang sudah sangat kuno, sebagaimana yang bisa dilihat melalui pesantren. Keempat, adanya pengaruh kebudayaan India terhadap Indonesia. Kelima, adanya misi Katolik dan Protestan. (Sairin, Weinata. 1995: 24).
Untuk mengimplementasikan makna dari surat Ali Imran ayat 104, K.H. Ahmad Dahlan mendidik kepada para peserta didiknya dengan menafsirkan QS. Al-Maun ayat 1-7 secara aplikatif yang sama sekarang terkenal dengan teologi Al-Maun. Maksud dari para penulis yakni mengaplikasi makna surat ini dalam berbagai aspek kehidupan seperti pendidikan, agama, masyarakat dan lain sebagainya. Sehingga tidak jika sampai sekarang amal usaha Muhammadiyah telah berkembang diberbagai pelosok Indonesia.
Hal menarik untuk dikaji dari ideologi Muhammadiyah yakni “kembali kepada al-Quran dan As-Sunnah” yang menampilkan dua sisi tetapi bagaikan yang sama itu dapat diketahui bahwa dalam perkembangan berikutnya terjadi proses “pembiasaan atau reduksi”. Di satu pihak ada yang menarik kuat aspek pemurnian (purifikasi), sebaliknya sementara kalangan mendorong ke aspek pengembangan (dinamisasi), sehingga sering terjadi benturan pemikiran yang terkadang keras. Ketika perbedaan pemikiran tajam itu tidak memperoleh ruang dialog yang memadai, maka yang muncul ke permukaan ialah sikap dan pandangan yang saling memvonis satu sama lain. Bahkan, ada kecenderungan baru untuk mengklaim orientasi pemikirannya sebagai paling benar, bahwa Muhammadiyah yang “asli, murni” ialah yang bercorak permurnian (purifikasi) itu, sedangkan yang bercorak dinamisasi atau “tajdid” dianggap sebagai “liberalisasi” yang menyimpang dan akan merusak kemuhammadiyahan yang asli. Dari pemikiran yang keras inilah muncul polarisasi yang membelah mazhab menjadi pengelompokan sebagaimana tersirat dalam dikotomi aliran “literal” versus “liberal” dalam Muhammadiyah belakangan ini.
Adanya pergolakan pemikran puritan vs liberal dalam internal Muhammadiyah tetap tidak akan pernah mempengaruhi doktrin ideologi serta tujuan dirikannya organisasi ini yakni mengajak kepada yang makruf dan mencegah yang mungkar (dakwah) dengan kembali pada al-Quran dan as-Sunnah agar masyarakat Islam di Indonesia tidak menjadi umat yang terbelakang. Maka yang diperlukan adalah manajemen dakwah yang terorganisir dengan baik sebagai mana ungkapan Ali bin Abi Thalib “kebenaran yang tidak teroganisir dengan baik akan kalah dengan kebatilan yang terorganisir dengan baik”. Ungkapan inilah yang membuat Muhammadiyah terus berkarya hingga sekarang.
Daftar Pustaka
Suwarno. 2010. Relasi Muhammadiyah, Islam dan Negara; Kontribusi Muhammadiyah dalam Perspektif Sejarah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Sairin, Weinata. 1995. Gerakan Pembaruan Muhammadiyah. Jakarta: PT. Fajar Interprtama
M. Quraish Shihab. 2006. Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, Vol. 15. Jakarta: Lentera Hati.
M. Quraish Shihab. 2006. Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, Vol. 2. Jakarta: Lentera Hati.
Media Inovasi “Dialektika Pembaruan Dalam Muhammadiyah oleh Yunahar Ilyas” Edisi Khusus Muktamar Muhammadiyah ke-45, hal. 7
Mengkaji tentang gerakan Muhammadiyah tidak lepas dari gerakan pembaruan Islam modern. Hal ini karena gerakan merupakan bagian dan sekaligus mata rantai dari gerakan pembaruan modern di Indonesia. Sehingga tidak heran jika gerakan Muhammadiyah disebut gerakan modern yang berbasis al-Quran dan As-Sunnah. Gerakan pembaruan Islam modern dikenal dengan gerakan tajdid, modernism
Islam atau ada pula yang menyebutnya sebagai gerakan Protestanisme Islam. Menurut Suwarno dalam bukunya yang berjudul Relasi Muhammadiyah Islam dan Negara berpendapat bahwa gerakan pembaharuan Islam modern dapat dipahami sebagai gerakan dari sebagian umat Muslim yang berusaha melakukan pembaruan dalam pemahaman dan pengamalan keberagamaan yang sesuai dengan sumber pokok ajaran Islam (al-Quran dan As-Sunnah), menjauhkan diri dari tradisi-tradisi yang dianggap mengandung unsur syirik, bid’ah, Khurafat serta upaya mewujudkan keselarasan (harmoni) dengan kemajuan peradaban Barat Moren (yang ditandai oleh perkembangan ilmu pengentahuan dan teknologi) (Suwarno. 2010: 4). Atas dasar inilah K.H. Ahmad Dahlan berkomitmen untuk mendirikan sebuah gerakan dakwah yang bertujuan untuk mengembalikan peradaban umat Islam pada Al-Quran dan Hadist, sebagaimana yang termaktub dalam al-Quran ayat 104.
“Dan hendaklah diantara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh berbuat yang makruf dan mencegah dari yang mungkin dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung” (Q.S. Ali Imran (3): 104).
Menurut M. Quraisy Shihab ada dua hal yang perlu digaris bawahi adalah al-makruf, Pertama, nilai-nilai Ilahi tidak boleh dipaksakan, tetapi disampaikan secara persuasif dalam bentuk ajakan yang baik. Sekedar mengajak yang dicerminkan antara oleh kata mengajak dan firman Allah “Ajaklah ke jalan Tuhan-Mu dengan cara bijaksana, nasihat (yang menyentuh hati) serta berdiskusilah dengan dengan mereka dengan cara yang lebih baik” (AS. An-Nahl [16]: 125). Kedua, al-Ma’ruf, yang merupakan kesepakatan umum masyarakat. Ini sewajarnya diperintahkan, demikian juga al-Munkar seharusnya dicegah. Baik yang memerintahkan dan yang mencegah itu pemilik kekuasaan maupun bukan. Siapaun di antara kamu melihat kemungkaran maka hendaklah dia mengubahnya (menjadikannya ma’ruf) dengan tangannya (kekuasaannya), kalau tidak mampu hendaklah dengan lisannya/ucapan, kalau dia tidak mampu maka dengan hatinya, dan itulah selemah-lemahnya iman. Perlu dicatat bahwa konsep ma’ruf hanya membuak pintu bagi perkembangan positif masyarakat, buka perkembangan negatif. Dari sini filter al-khair benar-benar difungsikan. Demikan juga halnya dengan munkar, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi pandangan tentang muru’ah, identitas dan integritas seseorang. (M. Quraish Shihab. 2002: 175 dan 176).
Makna yang terkandung dalam ayat inilah yang melatar belakangi berdirinya Muhammadiyah yang meskipun ada beberapa faktor yang berdirinya Muhammadiyah, antara lain: Pertama, keterbelakangan serta kebodohan umat Islam Indonesia di hampir semua aspek kehidupan. Kedua,kemiskinan yang sangat parah yang diderita umat islam justru dalam negeri yang kaya seperti Indonesia. Ketiga,keadaan pendidikan Islam yang sudah sangat kuno, sebagaimana yang bisa dilihat melalui pesantren. Keempat, adanya pengaruh kebudayaan India terhadap Indonesia. Kelima, adanya misi Katolik dan Protestan. (Sairin, Weinata. 1995: 24).
Untuk mengimplementasikan makna dari surat Ali Imran ayat 104, K.H. Ahmad Dahlan mendidik kepada para peserta didiknya dengan menafsirkan QS. Al-Maun ayat 1-7 secara aplikatif yang sama sekarang terkenal dengan teologi Al-Maun. Maksud dari para penulis yakni mengaplikasi makna surat ini dalam berbagai aspek kehidupan seperti pendidikan, agama, masyarakat dan lain sebagainya. Sehingga tidak jika sampai sekarang amal usaha Muhammadiyah telah berkembang diberbagai pelosok Indonesia.
Hal menarik untuk dikaji dari ideologi Muhammadiyah yakni “kembali kepada al-Quran dan As-Sunnah” yang menampilkan dua sisi tetapi bagaikan yang sama itu dapat diketahui bahwa dalam perkembangan berikutnya terjadi proses “pembiasaan atau reduksi”. Di satu pihak ada yang menarik kuat aspek pemurnian (purifikasi), sebaliknya sementara kalangan mendorong ke aspek pengembangan (dinamisasi), sehingga sering terjadi benturan pemikiran yang terkadang keras. Ketika perbedaan pemikiran tajam itu tidak memperoleh ruang dialog yang memadai, maka yang muncul ke permukaan ialah sikap dan pandangan yang saling memvonis satu sama lain. Bahkan, ada kecenderungan baru untuk mengklaim orientasi pemikirannya sebagai paling benar, bahwa Muhammadiyah yang “asli, murni” ialah yang bercorak permurnian (purifikasi) itu, sedangkan yang bercorak dinamisasi atau “tajdid” dianggap sebagai “liberalisasi” yang menyimpang dan akan merusak kemuhammadiyahan yang asli. Dari pemikiran yang keras inilah muncul polarisasi yang membelah mazhab menjadi pengelompokan sebagaimana tersirat dalam dikotomi aliran “literal” versus “liberal” dalam Muhammadiyah belakangan ini.
Adanya pergolakan pemikran puritan vs liberal dalam internal Muhammadiyah tetap tidak akan pernah mempengaruhi doktrin ideologi serta tujuan dirikannya organisasi ini yakni mengajak kepada yang makruf dan mencegah yang mungkar (dakwah) dengan kembali pada al-Quran dan as-Sunnah agar masyarakat Islam di Indonesia tidak menjadi umat yang terbelakang. Maka yang diperlukan adalah manajemen dakwah yang terorganisir dengan baik sebagai mana ungkapan Ali bin Abi Thalib “kebenaran yang tidak teroganisir dengan baik akan kalah dengan kebatilan yang terorganisir dengan baik”. Ungkapan inilah yang membuat Muhammadiyah terus berkarya hingga sekarang.
Daftar Pustaka
Suwarno. 2010. Relasi Muhammadiyah, Islam dan Negara; Kontribusi Muhammadiyah dalam Perspektif Sejarah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Sairin, Weinata. 1995. Gerakan Pembaruan Muhammadiyah. Jakarta: PT. Fajar Interprtama
M. Quraish Shihab. 2006. Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, Vol. 15. Jakarta: Lentera Hati.
M. Quraish Shihab. 2006. Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Quran, Vol. 2. Jakarta: Lentera Hati.
Media Inovasi “Dialektika Pembaruan Dalam Muhammadiyah oleh Yunahar Ilyas” Edisi Khusus Muktamar Muhammadiyah ke-45, hal. 7
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mari kita membaca dengan hati plus mata