Pemikiran Islam sebagai suatu kebenaran yang subyektif dengan sendirinya akan mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan informasi disekitar pemahaman pesan Ilahi yang dikuasai oleh seseorang, baik dalam pengetahuan maupun dalam pengalaman. Demikian pula otoritas rasio (yang dipelopori Mu’tazilah) dan tradisi (yang dipelopori Asy’ariyah dan sebagian Maturidi) mungkin akan mengalami perubahan yang bertentangan, tetapi kenyataannya bahwa suatu pemikiran itu tidaklah dengan sendirinya menjadi objek kutukan dan penghargaan atau menjadi jaminan kebenaran atau kepalsuan.
Otoritas rasio dan tradisi hanyalah merupakan alat, jalan dan cara untuk mendapatkan pengetahuan, walaupun otoritas tradisi selamanya tidak dapat dipisahkan dari rasio. Tetapi kenyataannya bahwa sesuatu itu merupakan nilai syari’at, tak dapat dipertentangkan secara utuh dengan sesuatu yang rasional, oleh karena itu setiap lontaran pemikiran Islam seharusnya diperlakukan sebagai karya ijtihadi dalam rangka menggapai kehendak Tuhan dan bukan sebagai firman itu sendiri. Maka patutlah kita renungkan bahwa:اختلاف العلماء رحمة , perbedaan pendapat dikalangan ulama adalah suatu rahmat.
A. AKAL DAN WAHYU
Polemik penting mengenai akal dan wahyu terjadi antara aliran-aliran teologi islam, terutama antara Mu’tazilah, Asy’ariyah dan Maturidiyah. Yang dipermasalahkan adalah kesanggupan akal dan fungsi wahyu terhadap dua persoalan pokok dalam agama, yaitu adanya tuhan serta kebaikan dan kejahatan, dengan permasalahan:
1. Dapatkan akal mengetahui adanya Tuhan ?
2. Dapatkan akal mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan ?
3. Dapatkan akal mengetahui apa yang baik da apa yang buruk ?
4. Dapatkan akal mengetahui bahwa wajib bagi manusia berbuat baik dan wajib baginya mengetahui perbuatan buruk ?
Dengan adanya permasalahan di atas, terjadi perbedaan pendapat dikalangan mutakallimin.
a. Mu’tazilah
Golongan ini berpendapat bahwa keempat masalah tersebut dapat diketahui oleh akal. Semua pengetahuan dapat diperoleh dengan akal dan kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam. Dengan demikian berterimakasihlah pada Tuhan sebelum turunnya wahyu wajib. Kebaikan dan kejahatan wajib diketahui akal, demikian pula mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat.
b. Asy’ariyah
Berbeda dengan kaum Mu’tazilah yang menggunakan akal sebagai modal utama dalam memecahkan masalah di atas (rasional). Golongan Asy’ariyah mengatakan bahwa akal dapat mengetahui hanya satu dari keempat masalah itu, yaitu adanya Tuhan. Menurut Asy’ariyah semua kewajiban dapat diketahui hanya melalui wahyu, akal tidak dapat menentukan sesuatu menjadi wajib dan dengan demikian tak dapat mengetahui bahwa mengerjakan perbuatan baik dan menjauhi perbuatan jahat adalah wajib.
Akal dapat mengetahui adanya Tuhan, tetapi mengetahui tentang kewajiban terhadap Tuhan diperoleh hanya melalui wahyu.
c. Maturidiyah
Dalam masalah ini pendapat Maturidiyah terbagi menjadi dua golongan, yaitu Maturidiyah Samarkhan dan Maturidiyah Bukhara.
Maturidiyah Samarkhan memberi jawaban bahwa hanya satu, yaitu kewajiban berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat yang tidak dapat diketahui oleh akal, sementara ketiga masalah lainnya adalah dalam jangkauan akal. Akal dapat mengetahui adanya Tuhan, wajibnya manusia berterima kasih kepada Tuhan dan kebaikan serta kejahatan.
Sedangkan kaum Maturidiyah Bukhara tidak sepaham dengan Samarkhan. Bukhara berpendapat hanya pengetahuan-pengetahuan yanga dapat diketahui akal. Adapun kewajiban-kewajiban itu, wahyu Allah yang menentukannya. Jadi yang dapat diketahui akal hanya dua dari empat masalah di atas, yaitu adanya Tuhan dan kebaikan serta kejahatan.
Jika diadakan perbandingan antara keempat golongan ini, mengenai akal dan wahyu, akan dijumpai ada dua golongan yang memberi daya kuat kepada akal, yaitu aliran Mu’tazilah dan Maturidiyah Samarkhan, dan kedua aliran lainnya memandang akal manusia lemah, yaitu aliran Asy’ariyah dan Maturidiyah Bukhara.
Mengenai penilaian terhadap akal golongan Mu’tazilah memberi angka 4, Maturidiyah Samarkhan memberi angka 3, Maturidiyah Bukhara memberi angka 2 dan Asy’ariyah memberi angka 1.
Golongan Mu’tazilah dan Maturidiyah Samarkhan adalah aliran yang mengatakan bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam menentukan kemauan dan perbuatannya (Qadariyah, free will and free act) sedangkan Asy’ariyah dan Maturidiyah Bukhara berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan dalam kemauan dan perbuatannya (Jabariyah, predestination).
Kaum Mu’tazilah dalam membela kaum Qadariyah menggunakan dalil:
فَمَنْ شَآءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَآءَ فَلْيَكْفُرْ { الكهف: 29 }
“Maka barang siapa yang ingin (percaya) hendaklah ia percaya, dan barang siapa yang ingin (tidak percaya) biarlah ia tidak percaya.” (QS. 18: 29)
Sementara itu kaum Asy’ariyah membawa ayat Al-Qur’an untuk memperkuat argumen rasional mereka
وَاللهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُوْنَ { الصافّات: 96 }
yang mereka artikan
“Tuhan menciptakan kamu dan perbuatan kamu” (QS. 37: 96)
Fenomena tersebut dapat digambarkan dalam ilustrasi sebagai berikut:
B. KONSEP IMAN
Dalam aliran-aliran yang berpendapat bahwa akal dapat sampai kepada kwajiban mengetahui Tuhan, iman tidak bisa mempunyai arti pasif, iman tidak bisa mempunyai arti tasdiq, yaitu menerima apa yang katakan atau disampaikan orang sebagai benar.Bagi aliran-lairan ini iman mesti mempunyai arti aktif, karena manusia akalnya mesti dapat sampai kepada kewajiban mengetahui Tuhan.
Adapun pendapat-pendapat golongan ahli kalam:
a. Mu’tazilah
Golongan ini berpendapat bahwa iman bukanlah tasdiq dan iman dalam arti mengetahuipun belum cukup.
Menurut Abd. Al-Jabbar orang yang tahu Tuhan tetapi melawan kepadanya, bukanlah orang yang mu’min, dengan demikian iman bagi mereka bukanlah tasdiq bukan pula ma’rifat, tetapi amal yang timbul sebagai akibat dari mengetahui Tuhan. Tegasnya iman bagi mereka adalah pelaksanaan perintah-perintah Tuhan. Manurut Abu Huzail yang dimaksud dengan perintah-perintah Tuhan bukanlah hanya yang wajib saja, tetapi juga yang sunnah. Sedangkan An-Najjah berpendapat bahwa Iman adalah menjauhi dosa-dosa besar. Walaupun berbda paham, kaum Mu’tazilah sependapat bahwa iman bukanlah tasdiq, tetapi suatu hal yang lebih tinggi dari itu.
b. Asy’ariyah
Iman tidak bisa merupakan ma’rifat atau amal, oleh karena itu iman bagi kaum Asy’ariyah adalah tasdiq dan batasan iman adalah التصديق بالله yaitu menerima sebagai benar khabar adanya Tuhan.
c. Maturidiyah Bukhara
Golongan ini mempunyai faham yang sama dengan Asy’ariyah. Iman tidak bisa mengambil bentuk ma’rifat atau amal, tetapi haruslah merupakan tasdiq. Batasan yang diberikan Al-Bazdawi tentang iman adalah menerima dalam hati dengan lidah bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan bahwa tidak ada yang serupa dengan Dia.
d. Maturidiyah Samarkhan
Golongan ini berpendapat bahwa iman mestilah lebih dari tasdiq karena bagi mereka akal dapat sampai kepada kewajiban mengetahui Tuhan.
Bagaimanapun batasan iman dengan tasdiq hanya dapat sesuai dengan aliran Asy’ariyah dan aliran Matiridiyah Bukhara. Adapun bagi aliran Mu’tazilah dan aliran Maturidiyah Samarkhan iman mestilah lebih dari tasdiq, yaitu ma’rifat dan amal.
C. SIFAT-SIFAT TUHAN
Adanya perbedaan pendapat tentang sifat-sifat Tuhan, karena penilaian aliran/golongan terhadap paham kekuasaan dan kehendak mutlah Tuhan. Sifat mengandung arti tetap dan kekal serta kuat. Sedangkan keadaan/kehendak dapat berubah dan mengandung arti lemah. Dengan melihat konsep di atas terdapat perbedaan pendapat dikalangan ahli kalam
a. Mu’tazilah
Karena tidak berpendapat bahwa Tuhan mempunya kekuasaan dan kehendak yang betul-betul mutlak, tetapi kekuasaan dan kehendak mutlak yang mempunyai batas-batas tertentu dapat menerima paham bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat.
Tuhan tidak mempunyai sifat, karena Tuhan tidak mempunyai pengetahuan, kekuasaaan, tidak mempunyai hajat dan sebagainya. Maksudnya tidak berarti bahwa Tuhan tidak mengetahui, tidak berkuasa, tidak hidup dan sebagainya. Tuhan tetap mengetahui, berkuasa dan sebagainya tetapi mengatahui, berkuasa dan sebagainya bukanlah sifat dalam arti kata yang sebenarnya. Arti Tuhan mengetahui dengan perantara pengetahuan, dan pengetahuan itu adalah Tuhan sendiri. Tegasnya, kekalnya sifat-sifat akan membawa kepada paham-paham banyak yang kekal ( تعدّد القدماء , multiplicity of eternals) konsekuensinya membawa pula kepada paham syirik atau polytheisme.
b. Asy’ariyah
Golongan Asy’ariyah mengatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat (kebalikan dari golongan Mu’tazilah), karena perbuatan-perbuatannya di samping menyatakan bahwa Tuhan mengetahui, menghendaki, berbuat dan sebagainya, juga menyatakan bahwa ia mempunyai pengetahuan, kemauan dan daya. Dan menurut Al-Bagdadi terdapat konsensus dikalangan kaum Asy’ariyah bahwa daya, pengetahuan, hayat, kemauan, pendengaran, penglihatan dan kalam Tuhan adalah kekal. Sifat-sifat ini, menurut Al-Ghazali tidaklah sama dengan, malahan lain dari esensi Tuhan, tetapi berwujud dalam esensi itu sendiri
Uraian-uraian ini juga membawa paham banyak yang kekal, dan untuk mengatasinya kaum Asy’ariyah mengatakan bahwa sifat-sifat itu bukanlah Tuhan tetapi tidak pula lain dari Tuhan. Karena sifat-sifat tidak lain dari Tuhan, adanya sifat-sifat tidak membawa kepada paham banyak yang kekal.
c. Maturidiyah Bukhara
Golongan ini memiliki persamaan dengan golongan Asy’ariyah, karena mempertahankan kekuasaan mutlak Tuhan, berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat. Persoalan tentang banyak yang kekal, mereka selesaikan dengan mengatakan bahwa sifat-sifat Tuhan kekal melaui kekekalan yang terdapat dalam esensi Tuhan dan bukan melalui kekekalan sifat-sifat itu sendiri; juga dengan mengatakan bahwa Tuhan bersama-sama sifatnya kekal, tetapi sifat-sifat itu tidaklah kekal.
d. Maturidiyah Samarkhan
Golongan Samarkhan dalam hal ini kelihatannya tidak sepaham dengan Mu’tazilah karena Al-Maturidi mengatakan bahwa sifat bukanlah Tuhan tetapi pula tidak lain dari Tuhan.
Itulah pendapat-pendapat golongan aliran teologi, yang berpendapat tentang sifat-sifat Tuhan. Ringkasnya yaitu: Golongan Mu’tazilah meniadakan bilangan bagaimanapun juga macamnya, kerana sifat-sifat itu adalah hakekat zat, sedang zt Tuhan satu, esa sehingga tidak mungkin yang qadim berbilang. Sedangkan golongan Asy’ariyah berpendapat bahwa sifat-sifat itu lain daripada zat.
KESIMPULAN
Walaupun semua aliran teologi ini dalam memperkuat pendapat mereka masing-masing, di samping membawa argumen-argumen rasional tanpa ditopang oleh ayat-ayat Al-Qur’an belum cukup kuat. Demikian juga semua aliran itu, termasuk Mu’tazilah dalam pemikiran teologis mereka tidak menentang nash atau teks Al-Qur’an, hanya nash itu diberi interpretasi yang lebih liberal dari golongan Asy’ariyah. Dengan kata lain penafsiran Asy’ariyah dekat kepada arti lafzhi sedangkan penafsiran Mu’tazilah jauh dari arti lafzhi, tetapi bagaimanapun semua aliran itu termasuk Asy’ariyah mempergunakan akal dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an.
DAFTAR PUSTAKA
ABU ZAHRAH, Imam Muhammad, Aliran Politik Dan Akidah Dalam Islam, Logos, 1996
NASUTION, Harun, Teologi Islam; Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandinga, Jakarta, UI Press, 1986
______, Jakarta, UI Press, 1986
A. HANAFI, MA., Teologi Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1996.
DAHLAN, Abdul Azis, Sejarah Perkembangan Pemikiran Dalam Islam, Jakarta Bennebi Cipta, 1987
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mari kita membaca dengan hati plus mata