Oleh Agus Purwadi M.Si
Malam Ahad yang lalu (16/11/2013), muadzin di musholla dekat rumah melapor bahwa dia, telah ditegur oleh seorang jamaah, bahwa azan subuhnya terlalu pagi (saat itu, sesuai jadual subuh jatuh pkl. 03.40 WIB). Kata si penegur, shalat subuh sebelum waktunya itu haram (makanya beberapa hari ini si penegur itu tidak ikut berjamaah di msholla kami). Paginya (17/11/2013), sesaat setelah shalat subuh, saya sampaikan kultum (kuliah tujuh puluh menit) dengan memberi pemaparan ihwal jadual waktu shalat subuh, sbb:
Baru-baru ini saya juga membaca sebuah artikel berjudul “Salah Kaprah Waktu Subuh” yang ditulis oleh Mamduh Farhan al-Bukhari di majalah Qiblati, edisi 8 Vol. 4, yang isinya MENYALAHKAN JADUAL WAKTU SUBUH yang sudah biasa kita pakai sekarang di dunia Islam. Menurut artikel itu, waktu subuh sekarang ini terlalu cepat 5-20 menit. Alasannya: karena saat Adzan dikumandangkan, langit masih tampak gelap, belum kelihatan garis hitam putih. Kalau jamaah di sini mendengar ada kelompok pengajian di luar sana yang ustadznya mengharamkan shalat subuh kita ini karena dilaksanakan sebelum waktunya, maka perlu bapak/ibu jamaah memperoleh pemahaman soal waktu shalat dengan pendekatan ilmu naqli dan aqli yang berimbang. Kalau memang ustadz itu, atau si penulis artikel di majalah Qiblati itu menganggap punya pegangan dan dasar yang kuat, seharusnya beliau mengajukan masalah krusial ini ke Rabithah al-Alam al-Islami atau ke OKI, atau paling tidak ke MUI, bukan menyebarkannya ke tengah kaum awam yang tidak mengerti apa-apa, yang menyebabkan masyarakat menjadi kebingungan. Sesungguhnya Mamduh Farhan al-Bukhary (MFB) di tulisannya menggunakan dalil-dalil yang SAMA dengan yang biasa kita pakai tentang jatuhnya waktu Subuh. Sayangnya beliau tanpa menelaah lebih jauh telah menyalahkan jadwal Sholat 5 waktu secara keseluruhan hanya gara-gara pernah di satu daerah saat waktu adzan dikumandangkan, keadaan masih terasa gelap (mungkin pada saat itu sedang mendung, atau memang sebab lainnya seperti kabut atau udara kotor seperti di Jakarta atau kota industri lainnya). Padahal perhitungan waktu subuh yang benar, sudah memperhitungkan di dalamnya nilai Astronomical Twilight Angle sesuai ketentuan Rabithah al-Alam al-Islami, atau ketentuan Ummul Qura’ (di mana Syekh Utsaimin yang sering disebut-sebut dalam artikel tersebut di atas, dan juga sering dirujuk disebut-sebut dalam kelompok pengajian di luar sana itu, juga berkiprah di Ummul Qura). Sesungguhnya mereka secara tidak sadar telah menyepelekan dan menganggap rendah hasil karya dan perhitungan-perhitungan serta formula yang sudah dibuat oleh para pakar dan ilmuwan muslim seperti: Syekh Ahmad Ibnu Yunus (958-1009), Abu Royhan Ibnu Ahmad al-Biruni (973-1051), Ulugh Beg as-Samarqandy (- 1449) atau al-Battani, al-Kharaqi (biasa dipanggil al-Marwazi), Ibnu al-Haytham dsb. Padahal atas dasar formula para pakar inilah jadwal sholat yang sekarang ini dihitung, bukan dari ilmuwan Inggris seperti dituduhkan oleh MFB. Ini juga berarti beliau/ mereka secara tidak sadar sedang mengkerdilkan atau menggugurkan hasil karya monumental para cendekiawan muslim tersebut yang seharusnya justru kita bangga-banggakan. Saya menduga bahwa beliau kurang mendalami ilmu astronomi Islam sehingga berpendapat menyalahkan seperti itu, ibarat seorang professor ahli hukum yang tidak pernah mendalami ilmu listrik, bertindak menyalah-nyalahkan masalah teknis kelistrikan, maka dalam segi hukum tentu saja dia menguasai, tapi salah jauh tatkala bicara tentang teknik kelistrikan.
Bapak/Ibu jamaah tentu bertanya, di mana letak kesalahan tulisan itu?
Tulisan pada artikel tersebut sesungguhnya menggunakan dalil-dalil al-Qur’an dan hadist yang benar, dan juga pernyataan para sahabat yang disebutnya juga benar, di
antaranya:
1. ﻮﻜﻠﻮﺍ ﻮﺍﺸﺮﺑﻮﺍ ﺤﺘﻰ ﻴﺘﺑﻴﻦ ﻟﻜﻡ ﺍﻟﺨﻴﻄ ﺍﻷﺑﻴﺽ ﻤﻦﺍﻟﺨﻴﻄ ﺍﻷﺴﻭﺪ ﻤﻦ ﺍﻟﻔﺠﺮ …….ﺍﻟﺑﻗﺮﺓ١٧٨
“Makanlah dan minumlah sampai NAMPAK JELAS oleh kalian garis-garis putih dan garis-garis hitam (sebagai tanda) FAJAR… ” (al-Baqarah: 187).
2. ﻭﻗﺖ ﺼﻼﺓ ﺍﻟﺻﺑﺢ ﻤﻦ ﻄﻟﻮﻉ ﺍﻟﻔﺠﺮ ﻤﺎ ﻟﻡ ﺘﻄﻟﻊ ﺍﻟﺷﻤﺱ . ﺮﻮﺍﻩﻤﺴﻠﻡ
“Waktu sholat Subuh itu itu dimulai dari TERBIT FAJAR, selama matahari belum terbit” (H.R.Muslim).
3. ﺍﻟﻔﺠﺮ ﻔﺠﺮﺍﻥ : ﻔﺠﺮ ﻴﺤﺭﻡ ﻔﻴﻪ ﺍﻟﻁﻌﺎﻡ ﻭﺗﺤﻞ ﻔﻴﻪ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﻔﺟﺮ ﻴﺤﻞ ﻔﻴﻪ ﺍﻟﻁﻌﺎﻡ ﻭﺘﺤﺮﻡ ﻔﻴﻪ ﺍﻟﺼﻼﺓ
ﺮﻭﺍﻩﺍﻟﺤﺎﻜﻡ ﻭﺍﻟﺑﻴﻬﻗﻰ
“FAJAR itu ada dua jenis, fajar yang di dalamnya haram makanan serta dihalalkan shalat. Kedua, fajar yang di dalamnya halal makanan dan haram shalat shubuh”; HR.
al-Hakim dan al-Baihaqi. Disahihkan oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no 4279.
4. Ibnu Hazm Rahimahullah mengatakan: “Fajar yang pertama adalah meninggi ke atas seperti seekor serigala, setelah itu gelap lagi menyelimuti ufuk, tidak
mengharamkan makan dan minum bagi orang yang berpuasa, itu belum masuk waktu subuh. INI TIDAK DIPERSELISIHKAN OLEH SEORANG PUN DARI UMAT INI. Dalam kitab- kitab fikih
disebut FAJAR KIDZIB, sedang fajar sebagai tanda awal waktu shubuh disebut FAJAR SIDDIQ.
5 . Dan masih banyak lagi dalil yang diutarakan MFB.
Semua dalil-dalil itu biasa juga dipakai oleh kalangan warga Muhammadiyah dan Nahdliyin untuk menjelaskan batas-batas waktu sholat.
Menurut dalil tersebut, waktu subuh adalah setelah NAMPAK JELAS GARIS-GARIS PUTIH DI ANTARA GARIS-GARIS HITAM sebagai TANDA FAJAR. Dalil ini benar 100%.
Namun kita harus tahu juga bahwa:
• Tanda- tanda hitam putih tersebut akan tampak jelas pada keadaan cuaca dan kondisi normal, namun tak akan tampak saat MENDUNG/ BERAWAN/ HUJAN, lebih-lebih pada
daerah HUJAN SALJU. Seperti kita ketahui di Arab Saudi sangat jarang hujan, tak ada hujan salju. Beda dengan Indonesia atau beberapa daerah lainnya.
Seperti dalam data di bawah ini menunjukkan bahwa curah hujan di Saudi Arabia adalah rendah sekali.
Kota Curah hujan tertinggi Curah hujan terendah
Jakarta 16.4 mm – Desember/Januari 1.3 mm – September
Riyadh 1.2 mm – Maret/April 0.0 mm – Juni/September
• Tanda- tanda FAJAR tersebut sangat mudah dilihat bila udara tak berkabut. Bila udara berkabut dan banyak mengandung titik air, maka tanda- tanda itu sulit
dilihat, bahkan cenderung gelap walau waktu fajar telah tiba. Seperti di Mekah, kandungan air dalam udara di kota Mekah itu sangat rendah (RH Mekah = 33%/- Juli, 58%-
Januari). Beda dengan di Indonesia yang RH nya bisa mencapai 80%. (RH Jakarta = 78%/- Juli, 85%/- Januari). Apalagi saat hujan, jam 6.00 WIB juga bisa terasa gelap.
• Sudut pandang di Saudi Arabia bisa dengan mudah mengarah ke Ufuk karena daerahnya padang pasir. Sedang sudut pandang di Indonesia akan lebih sulit dibanding di
Saudi Arabia karena tingkat kelembaban udara di Indonesia tinggi (berkabut), di samping juga halangan pohon-pohonan dan gedung-gedung yang padat. Kecuali kalau kita ke
tengah laut. Dengan demikian, semburat warna hitam putih di Ufuk susah dilihat di Indonesia, sehingga perasaannya masih gelap terus, padahal di cakrawala, garis putih
hitam itu sudah muncul sebagai tanda waktu subuh tiba.
Oleh karena beberapa kesulitan di atas, kemudian para ulama Mujtahid, sesuai perintah Rasulullah: “Carilah ilmu dari buaian sampai ke liang kubur”, mulai
mencurahkan segenap akal pikirannya untuk menentukan secara ilmiah, kapan sejatinya waktu fajar tiba dipandang dari seluruh daerah muslim yang waktu itu sudah melintas
benua, dari Saudi Arabia, Afrika, Eropa (Andalusia) sampai ke Asia. Mereka kemudian menemukan beberapa penemuan spektakuler dalam bidang astronomi dan matematika dan
juga menemukan beberapa formula atau rumus matematika agar waktu Syari’at (termasuk waktu subuh) dapat ditentukan dengan mudah, cukup dengan melihat jam dengan
memperhitungkan agar WAKTU SUBUH/ WAKTU LAINNYA TIDAK TERLALU CEPAT ATAU TERLALU LAMBAT dari ketentuan Rasulullah.
Nah, sekarang, apakah pengertian FAJAR itu secara astronomi/ Ilmu Falak?
Fajar itu adalah semburat cahaya matahari yang memancar ke langit dan dipantulkan oleh udara ke bumi, padahal pada saat itu POSISI MATAHARI MASIH DI BAWAH HORISON/
UFUK.
Fenomena tersebut dalam bahasa Indonesia disebut REMBANG PAGI, dalam bahasa Inggris disebut DAWN atau MORNING TWILIGHT.
Berdasarkan ketentuan UMMUL QURO Saudi Arabia, saat fajar itu posisi matahari masih 19 derajat (average) di bawah ufuk. Nilai sebenarnya tergantung dari Latitude
(lebar tempat) dan deklinasi matahari saat tersebut (beda bulan, akan beda sudut deklinasinya).
Sedangkan menurut ketentuan Rabithah al-Alam al-Islami Mekah, kedudukan matahari saat sinarnya mulai menyemburat ke angkasa adalah saat matahari berada 18 derajat
di bawah ufuk.
Jadi bila dihitung lamanya waktu fajar sampai terbit matahari, di mana setiap 1 derajat gerakan matahari butuh waktu 4 menit, maka 19 x 4 menit = 76 menit= 1 jam
lebih 16 menit. (Perhatikan jadual shalat subuh dengan jadual terbit matahari yang tertera di kalender-kalender yang ada. Pasti selisihnya 1 jam, 16 menit).
Adapun kapan waktu terbit matahari, adalah sangat tergantung dengan posisi deklinasi matahari saat itu dan kedudukan geografis (lintang dan bujur) suatu tempat.
Posisi deklinasi matahari setiap bulannya berbeda-beda, tapi pada bulan yang sama, sudut deklenasi itu juga relatif sama. Karena itu, jadual waktu shalat bisa dibuat
abadi.
Nah, sekarang bagaimana sikap kita terhadap isi artikel dan isi pengajian yang menyalahkan jadual waktu shalat subuh tersebut?
Selama artikel itu belum diuji kebenarannya oleh lembaga yang terkait, misalnya oleh MUI, OKI, Rabithah al-Alam al-Islami atau lembaga/organisasi Islam yang punya
otoritas di bidangnya, maka TIDAK BOLEH KITA IKUTI. Ini menentukan masalah sah tidaknya ibadah kita. Karena sesuatu hasil pemikiran yang belum diuji kebenarannya oleh
para ahlinya, maka ia hanya sekedar wacana yang tidak memiliki kekuatan hukum.
ﺍﻹﺠﺘﻬﺎﺪ ﻻ ﻴﺰﺍﻞ ﺑﺎﻹﺠﺘﻬﺎﺪ
ﻮﺍﻟﻅﻥ ﻻ ﻴﺰﺍﻞ ﺑﺎﻟﺸﻚ
“Al-Ijtihaadu laa yuzaalu bil Ijtihaadi, wad-dhaanu laa yuzaalu bisy-Syak” = Ijtihad itu tak bisa dikalahkan oleh hasil Ijtihad yang lain, sedangkan keyakinan tak
bisa digugurkan oleh sesuatu yang masih meragukan”. -Wallahu a’lam.
Malam Ahad yang lalu (16/11/2013), muadzin di musholla dekat rumah melapor bahwa dia, telah ditegur oleh seorang jamaah, bahwa azan subuhnya terlalu pagi (saat itu, sesuai jadual subuh jatuh pkl. 03.40 WIB). Kata si penegur, shalat subuh sebelum waktunya itu haram (makanya beberapa hari ini si penegur itu tidak ikut berjamaah di msholla kami). Paginya (17/11/2013), sesaat setelah shalat subuh, saya sampaikan kultum (kuliah tujuh puluh menit) dengan memberi pemaparan ihwal jadual waktu shalat subuh, sbb:
Baru-baru ini saya juga membaca sebuah artikel berjudul “Salah Kaprah Waktu Subuh” yang ditulis oleh Mamduh Farhan al-Bukhari di majalah Qiblati, edisi 8 Vol. 4, yang isinya MENYALAHKAN JADUAL WAKTU SUBUH yang sudah biasa kita pakai sekarang di dunia Islam. Menurut artikel itu, waktu subuh sekarang ini terlalu cepat 5-20 menit. Alasannya: karena saat Adzan dikumandangkan, langit masih tampak gelap, belum kelihatan garis hitam putih. Kalau jamaah di sini mendengar ada kelompok pengajian di luar sana yang ustadznya mengharamkan shalat subuh kita ini karena dilaksanakan sebelum waktunya, maka perlu bapak/ibu jamaah memperoleh pemahaman soal waktu shalat dengan pendekatan ilmu naqli dan aqli yang berimbang. Kalau memang ustadz itu, atau si penulis artikel di majalah Qiblati itu menganggap punya pegangan dan dasar yang kuat, seharusnya beliau mengajukan masalah krusial ini ke Rabithah al-Alam al-Islami atau ke OKI, atau paling tidak ke MUI, bukan menyebarkannya ke tengah kaum awam yang tidak mengerti apa-apa, yang menyebabkan masyarakat menjadi kebingungan. Sesungguhnya Mamduh Farhan al-Bukhary (MFB) di tulisannya menggunakan dalil-dalil yang SAMA dengan yang biasa kita pakai tentang jatuhnya waktu Subuh. Sayangnya beliau tanpa menelaah lebih jauh telah menyalahkan jadwal Sholat 5 waktu secara keseluruhan hanya gara-gara pernah di satu daerah saat waktu adzan dikumandangkan, keadaan masih terasa gelap (mungkin pada saat itu sedang mendung, atau memang sebab lainnya seperti kabut atau udara kotor seperti di Jakarta atau kota industri lainnya). Padahal perhitungan waktu subuh yang benar, sudah memperhitungkan di dalamnya nilai Astronomical Twilight Angle sesuai ketentuan Rabithah al-Alam al-Islami, atau ketentuan Ummul Qura’ (di mana Syekh Utsaimin yang sering disebut-sebut dalam artikel tersebut di atas, dan juga sering dirujuk disebut-sebut dalam kelompok pengajian di luar sana itu, juga berkiprah di Ummul Qura). Sesungguhnya mereka secara tidak sadar telah menyepelekan dan menganggap rendah hasil karya dan perhitungan-perhitungan serta formula yang sudah dibuat oleh para pakar dan ilmuwan muslim seperti: Syekh Ahmad Ibnu Yunus (958-1009), Abu Royhan Ibnu Ahmad al-Biruni (973-1051), Ulugh Beg as-Samarqandy (- 1449) atau al-Battani, al-Kharaqi (biasa dipanggil al-Marwazi), Ibnu al-Haytham dsb. Padahal atas dasar formula para pakar inilah jadwal sholat yang sekarang ini dihitung, bukan dari ilmuwan Inggris seperti dituduhkan oleh MFB. Ini juga berarti beliau/ mereka secara tidak sadar sedang mengkerdilkan atau menggugurkan hasil karya monumental para cendekiawan muslim tersebut yang seharusnya justru kita bangga-banggakan. Saya menduga bahwa beliau kurang mendalami ilmu astronomi Islam sehingga berpendapat menyalahkan seperti itu, ibarat seorang professor ahli hukum yang tidak pernah mendalami ilmu listrik, bertindak menyalah-nyalahkan masalah teknis kelistrikan, maka dalam segi hukum tentu saja dia menguasai, tapi salah jauh tatkala bicara tentang teknik kelistrikan.
Bapak/Ibu jamaah tentu bertanya, di mana letak kesalahan tulisan itu?
Tulisan pada artikel tersebut sesungguhnya menggunakan dalil-dalil al-Qur’an dan hadist yang benar, dan juga pernyataan para sahabat yang disebutnya juga benar, di
antaranya:
1. ﻮﻜﻠﻮﺍ ﻮﺍﺸﺮﺑﻮﺍ ﺤﺘﻰ ﻴﺘﺑﻴﻦ ﻟﻜﻡ ﺍﻟﺨﻴﻄ ﺍﻷﺑﻴﺽ ﻤﻦﺍﻟﺨﻴﻄ ﺍﻷﺴﻭﺪ ﻤﻦ ﺍﻟﻔﺠﺮ …….ﺍﻟﺑﻗﺮﺓ١٧٨
“Makanlah dan minumlah sampai NAMPAK JELAS oleh kalian garis-garis putih dan garis-garis hitam (sebagai tanda) FAJAR… ” (al-Baqarah: 187).
2. ﻭﻗﺖ ﺼﻼﺓ ﺍﻟﺻﺑﺢ ﻤﻦ ﻄﻟﻮﻉ ﺍﻟﻔﺠﺮ ﻤﺎ ﻟﻡ ﺘﻄﻟﻊ ﺍﻟﺷﻤﺱ . ﺮﻮﺍﻩﻤﺴﻠﻡ
“Waktu sholat Subuh itu itu dimulai dari TERBIT FAJAR, selama matahari belum terbit” (H.R.Muslim).
3. ﺍﻟﻔﺠﺮ ﻔﺠﺮﺍﻥ : ﻔﺠﺮ ﻴﺤﺭﻡ ﻔﻴﻪ ﺍﻟﻁﻌﺎﻡ ﻭﺗﺤﻞ ﻔﻴﻪ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﻭﻔﺟﺮ ﻴﺤﻞ ﻔﻴﻪ ﺍﻟﻁﻌﺎﻡ ﻭﺘﺤﺮﻡ ﻔﻴﻪ ﺍﻟﺼﻼﺓ
ﺮﻭﺍﻩﺍﻟﺤﺎﻜﻡ ﻭﺍﻟﺑﻴﻬﻗﻰ
“FAJAR itu ada dua jenis, fajar yang di dalamnya haram makanan serta dihalalkan shalat. Kedua, fajar yang di dalamnya halal makanan dan haram shalat shubuh”; HR.
al-Hakim dan al-Baihaqi. Disahihkan oleh al-Albani dalam Shahih al-Jami’ no 4279.
4. Ibnu Hazm Rahimahullah mengatakan: “Fajar yang pertama adalah meninggi ke atas seperti seekor serigala, setelah itu gelap lagi menyelimuti ufuk, tidak
mengharamkan makan dan minum bagi orang yang berpuasa, itu belum masuk waktu subuh. INI TIDAK DIPERSELISIHKAN OLEH SEORANG PUN DARI UMAT INI. Dalam kitab- kitab fikih
disebut FAJAR KIDZIB, sedang fajar sebagai tanda awal waktu shubuh disebut FAJAR SIDDIQ.
5 . Dan masih banyak lagi dalil yang diutarakan MFB.
Semua dalil-dalil itu biasa juga dipakai oleh kalangan warga Muhammadiyah dan Nahdliyin untuk menjelaskan batas-batas waktu sholat.
Menurut dalil tersebut, waktu subuh adalah setelah NAMPAK JELAS GARIS-GARIS PUTIH DI ANTARA GARIS-GARIS HITAM sebagai TANDA FAJAR. Dalil ini benar 100%.
Namun kita harus tahu juga bahwa:
• Tanda- tanda hitam putih tersebut akan tampak jelas pada keadaan cuaca dan kondisi normal, namun tak akan tampak saat MENDUNG/ BERAWAN/ HUJAN, lebih-lebih pada
daerah HUJAN SALJU. Seperti kita ketahui di Arab Saudi sangat jarang hujan, tak ada hujan salju. Beda dengan Indonesia atau beberapa daerah lainnya.
Seperti dalam data di bawah ini menunjukkan bahwa curah hujan di Saudi Arabia adalah rendah sekali.
Kota Curah hujan tertinggi Curah hujan terendah
Jakarta 16.4 mm – Desember/Januari 1.3 mm – September
Riyadh 1.2 mm – Maret/April 0.0 mm – Juni/September
• Tanda- tanda FAJAR tersebut sangat mudah dilihat bila udara tak berkabut. Bila udara berkabut dan banyak mengandung titik air, maka tanda- tanda itu sulit
dilihat, bahkan cenderung gelap walau waktu fajar telah tiba. Seperti di Mekah, kandungan air dalam udara di kota Mekah itu sangat rendah (RH Mekah = 33%/- Juli, 58%-
Januari). Beda dengan di Indonesia yang RH nya bisa mencapai 80%. (RH Jakarta = 78%/- Juli, 85%/- Januari). Apalagi saat hujan, jam 6.00 WIB juga bisa terasa gelap.
• Sudut pandang di Saudi Arabia bisa dengan mudah mengarah ke Ufuk karena daerahnya padang pasir. Sedang sudut pandang di Indonesia akan lebih sulit dibanding di
Saudi Arabia karena tingkat kelembaban udara di Indonesia tinggi (berkabut), di samping juga halangan pohon-pohonan dan gedung-gedung yang padat. Kecuali kalau kita ke
tengah laut. Dengan demikian, semburat warna hitam putih di Ufuk susah dilihat di Indonesia, sehingga perasaannya masih gelap terus, padahal di cakrawala, garis putih
hitam itu sudah muncul sebagai tanda waktu subuh tiba.
Oleh karena beberapa kesulitan di atas, kemudian para ulama Mujtahid, sesuai perintah Rasulullah: “Carilah ilmu dari buaian sampai ke liang kubur”, mulai
mencurahkan segenap akal pikirannya untuk menentukan secara ilmiah, kapan sejatinya waktu fajar tiba dipandang dari seluruh daerah muslim yang waktu itu sudah melintas
benua, dari Saudi Arabia, Afrika, Eropa (Andalusia) sampai ke Asia. Mereka kemudian menemukan beberapa penemuan spektakuler dalam bidang astronomi dan matematika dan
juga menemukan beberapa formula atau rumus matematika agar waktu Syari’at (termasuk waktu subuh) dapat ditentukan dengan mudah, cukup dengan melihat jam dengan
memperhitungkan agar WAKTU SUBUH/ WAKTU LAINNYA TIDAK TERLALU CEPAT ATAU TERLALU LAMBAT dari ketentuan Rasulullah.
Nah, sekarang, apakah pengertian FAJAR itu secara astronomi/ Ilmu Falak?
Fajar itu adalah semburat cahaya matahari yang memancar ke langit dan dipantulkan oleh udara ke bumi, padahal pada saat itu POSISI MATAHARI MASIH DI BAWAH HORISON/
UFUK.
Fenomena tersebut dalam bahasa Indonesia disebut REMBANG PAGI, dalam bahasa Inggris disebut DAWN atau MORNING TWILIGHT.
Berdasarkan ketentuan UMMUL QURO Saudi Arabia, saat fajar itu posisi matahari masih 19 derajat (average) di bawah ufuk. Nilai sebenarnya tergantung dari Latitude
(lebar tempat) dan deklinasi matahari saat tersebut (beda bulan, akan beda sudut deklinasinya).
Sedangkan menurut ketentuan Rabithah al-Alam al-Islami Mekah, kedudukan matahari saat sinarnya mulai menyemburat ke angkasa adalah saat matahari berada 18 derajat
di bawah ufuk.
Jadi bila dihitung lamanya waktu fajar sampai terbit matahari, di mana setiap 1 derajat gerakan matahari butuh waktu 4 menit, maka 19 x 4 menit = 76 menit= 1 jam
lebih 16 menit. (Perhatikan jadual shalat subuh dengan jadual terbit matahari yang tertera di kalender-kalender yang ada. Pasti selisihnya 1 jam, 16 menit).
Adapun kapan waktu terbit matahari, adalah sangat tergantung dengan posisi deklinasi matahari saat itu dan kedudukan geografis (lintang dan bujur) suatu tempat.
Posisi deklinasi matahari setiap bulannya berbeda-beda, tapi pada bulan yang sama, sudut deklenasi itu juga relatif sama. Karena itu, jadual waktu shalat bisa dibuat
abadi.
Nah, sekarang bagaimana sikap kita terhadap isi artikel dan isi pengajian yang menyalahkan jadual waktu shalat subuh tersebut?
Selama artikel itu belum diuji kebenarannya oleh lembaga yang terkait, misalnya oleh MUI, OKI, Rabithah al-Alam al-Islami atau lembaga/organisasi Islam yang punya
otoritas di bidangnya, maka TIDAK BOLEH KITA IKUTI. Ini menentukan masalah sah tidaknya ibadah kita. Karena sesuatu hasil pemikiran yang belum diuji kebenarannya oleh
para ahlinya, maka ia hanya sekedar wacana yang tidak memiliki kekuatan hukum.
ﺍﻹﺠﺘﻬﺎﺪ ﻻ ﻴﺰﺍﻞ ﺑﺎﻹﺠﺘﻬﺎﺪ
ﻮﺍﻟﻅﻥ ﻻ ﻴﺰﺍﻞ ﺑﺎﻟﺸﻚ
“Al-Ijtihaadu laa yuzaalu bil Ijtihaadi, wad-dhaanu laa yuzaalu bisy-Syak” = Ijtihad itu tak bisa dikalahkan oleh hasil Ijtihad yang lain, sedangkan keyakinan tak
bisa digugurkan oleh sesuatu yang masih meragukan”. -Wallahu a’lam.
Sayangnya saat ini lembaga yang terkait belum ada yang menguji secara langsung. Sementara beberapa kelompok yang melakukan pengamatan langsung belum bisa diakui hasilnya. Sebenarnya kita sendiri juga bisa membuktikan waktu subuh berdasarkan petunjuk-petunjuk nabi. Jika seseorang pernah melakukan pengamatan secara langsung maka akan menjadi mudah untuk mengetahui kenyataan yang sebenarnya. Tidak hanya sekedar pembuktian berdasar teori saja tetapi juga bisa melihat sendiri bagaimana fakta yang sebenarnya. Lihat, dan cocokkan dengan jadwal yang ada sekarang..
BalasHapus