Oleh M. Feri Firmansyah Al Bageloki
Ditengah pidato saya memberikan sebuah perumpaan
“kami ini bagaikan kue Bika, dibakar antara dua bara api yang panas, di atas Pemerintah dan di bawah Umat” ucap saya dengan gerak tangan
‘atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan
oleh keinginan luhur berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya’
‘menurut pendapat kami, disinilah pokok dan dasar pertama dari berdirinya Negara kita. Negara ini berdiri adalah karena pertemuan diantara keinginan luhur rakyat Indonesia dan berkat rahmat Allah. Artinya pertemuan antara takdir dan ikhtiar manusia. Kalau tidak ada gabungan yang dua itu kemerdekaan tidak akan tercapai dan Negara ini tidak akan berdiri’
‘tentang Pancasial, Ketua Majelis Ulama berpendapat bahwa sila petama, yaitu Ketuhanan yang Maha Esa tidakla bisa disamakan atau disejajarkan nilainya dengan empat sila yang lain. Caranya mengungkapkan pendirian itu, sangat tegas sebagaimana sikap seorang Ulama. Saya sebagai orang Islam tidak dapat berfikir lain dan tidak dapat dipaksa berfikir lain, dari pada bahwa sila yang pokok adalah sila yang pokok ialah sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa’
‘kalau sekiranya Pemerintah atau Dewan Pertahanan Nasional menganjurkan faham bahwa kelima sila itu sama kedudukannya, maka anjuran Pemerintah itu sebagai penguasa, hanyalah akan dianggukkan orang karena takut kekuasaan. Namun orang akan tetap pada keyakinan hidupnya yaitu Tauhid’
Kemudian saya menarik napas sebentar
“sekali lagi saya tegaskan bahwa orang yang percaya kepada Tuhan pasti ber – prikemanusiaan, orang yang percaya kepada Tuhan pasti mempertahankan Persatuan Indonesia, karena dia beriman kepada Tuhan. Sebab Persatuan Indonesia itu adalah janji kita sebagai suatu bangsa yang sadar, janji itu adalah Jakarta Charter 22 Juni 1945” tegas saya dalam sambutan itu lalu sambutan itu saya akhiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mari kita membaca dengan hati plus mata