ketika dilantik menjadi ketua MUI
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, Majelis Ulama telah terbentuk. Sesudah terbentuk di daerah – daerah, sekarang telah terbentuk pula Pimpinan Pusatnya. Tetapi nyatalah
bahwa yang duduk dalam pimpinan sekarang ini bukanlah yang sebaik – baik dan setinggi – tinggi Ulama di tanah air Indonesia yang luas ini. Terutama yang ditunjuk menjadi Ketua Umumnya, bukanlah dia yang lebih baik di antara semuanya. Yang punya diri lebih tahu kelemahan dirinya dan serba kekurangannya. Banyak ulama – ulama besar yang tidak tertonjol, karena tawadhu’nya. Berpuluh bahkan beratus agaknya yang benar – benar Ulama, yang tidak mau tertonjol atau menonjolkan diri, dan tidak hadir ke dalam majelis ini, bahkan bersyukur karena mereka tidak mendapat panggilan buat hadir. Kadang – kadang karena mereka dapat menahan diri, mengadakan riadhatunnafsi, do’a mereka didengar Tuhan, sebagai tersebut dalam hadist yang hampir semua kita mengenalnya:Innalillahi rijaa lan lau aqsamuu ‘ala Allahi la barrahum
Allah ada mempunyai orang – orang utama, yang bila mana mereka bersumpah atas nama Allah, sumpah mereka dipenuhi oleh Tuhan. Demikian juga apabila mereka berdo’a, dan do’a mereka makbul, karena mereka adalah Muqarrabin.
Orang – orang seperti itu jarang tampil dan menonjol. Sebab ingin ‘Uzlah dari pergaulan fitnah ini.
Maka sebelum saya meneruskan sambutan atas pengangkatan jadi Ketua Umum Majelis Ulama Pusat ini, berilah saya peluang menyambut beberapa penghargaan dan pujian yang tinggi, yang diberikan kepada Ulama di dalam sidang – sidang Majelis Ulama ini sejak hari – hari pertama, baik Presiden Suharto sendiri, atau dari Menteri Dalam Negeri atau dari Menteri Pertahanan, atau dari yang mewakili Menteri P dan K, dan teraljor dari Letjen Ali Murtopo. Beliau – beliau telah dengan setulus hati member pujian, menyatakan bahwa Ulama telah berhasil besar dalam mencapai Kemerdekaan tanah air. Ulama telah berjasa besar. Ulama telah turut berkurban. Ulama telah banyak memberikan pengorbanan dan arahan. Jasa Ulama tidak dapat dilupakan dalam sejarah Indonesia. Letjen Ali Murtopo menyatakan Sejarah Ulama yang besar itu telah pernha menjadi satu kali semasa Revolusi 1945, maka sekarang akan timbul lebih besar dari yang dahulu dalam alam pembangunan.
Izinkanlah saya dengan terharu menyambut penghargaan itu dan mengembalikannya kepada yang berhak menerimanya. Memang kita akui Ulama – ulama itu telah berjasa, baik di masa Revolusi ataupun sebelumnya, bahkan lama sebelumnya.
Ketika Sultan Ageng Tirtayasa dipertengahan abad tujuh – belas berperang dengan Belanda, yang mengadu Domba baginda dengan puteranya Sultan Haji, Syaikh Yusuf Tajul Khalwaty daru Makassar telah mendampingi beliau mempertahankan kemerdekaan Banten, sampai ketika Sultan Ageng telah dapat dikalahkan, Tuan Syaikh dibuang; pada mulanya ke pulau Ceylon Belanda mengingatkan supaya Ulama itu diperlakukan dengan baik, kemudian beliau dipindahkan ke Tanjung Harapan (Afrika Selatan) dan berpuluh tahun setelah beliau wafat, tulang belulang beliau telah dipindahkan kembali ke negeri asalnya, Makassar, atas permintaan Raja Gowa.
Di zaman itu juga seorang budak belian dari Bali bernama si Untung, menjadi budak di rumah seorang pegawai tinggi Kompeni di Betawi, jatuh cinta kepada seorang nona Belanda, puteri dari tuan yang memperbudaknya itu, lalu dengan sembunyi – sembunyi dia pergi berguru ilmu guna – guna kepada seorang Kyai di salah satu kampung. Tetapi yang diajarkan Kyai tersebut bukanlah guna – guna supaya perempuan jatuh cinta kepadanya dengan jalan yang buruk, melainkan diperkenalkan kepadanya siapa Allah dan siapa Muhammad. Apa perbedaan syirik dan tauhid. Sehingga sejak mendapat pelajaran dari Kyai itu, Kyai Embun namanya, si Untung tiba – tiba berubah. Dari seorang yang merasa dirinya hanya seorang budak belian Belanda, berubah menjadi seorang yang insaf bahwa Tuhannya yang sebenarnya ialah Allah, bukan manusia. Bahwa dia dilahirkan ke dunia ini dalam keadaan merdeka, tidak ada satu dindingpun yang dapat menghambat diantara seorang hamba Allah dengan Allah: LA ILAHA ILA ALLAH!
Akhirnya si Untung budak belian, hamba sahaya suruhan dalam rumah seorang Kompeni Belanda berubah menjadi seorang pahlawan yang tahu akan harga diri, yang mencintai tanah airnyam yang benci akan penjajah orang kafir atas Tanah Jawah ini. Si Untung ke luar dari dalam gedung indah Tuan Besar, sesudah anak Tuan Besar dia nikahi dengan cara Islam, dan Kyai Embun gurunya menjadi penghulu yang menikahkannya. Dia keluar buat mengembara dengan pedang di tangan, jadi Pahlawan yang bergelar Surapati sesampai di Cirebon, termasyhur namanya dalam sejarah sebagai musuh Kompeni nomor satu, diakui oleh Raja Mataram sebagai seorang Pangeran yang berdiri sendiri di Pasuruan Jawa Timur dengan gelar Pangeran Wiroguno.
Empat kilo – meter sebelum masuk Kota Pasuruan, tuan – tuan akan bertemu sebuah desa bernama Krotan, di sanalah si Untung bekas budak, Surapati, Pangeran Wiroguno, mendirikan istinanya.
Perubahan jiwa Surapati adalah karena bimbingan, dan suntikan Tauhiddari Kyai Embun. Sedang Kyai Embun sendiri adalah salah seorang Panglima Pangeran Wiroguno yang mencapai syahidnya dalam satu peperangan besar dengan Belanda. Di samping kesanggupan memakai serban dan jubah Tuan Guru, Kyai Embun adalah seorang Pahlawan di samping muridnya Surapati atau pangeran Wiroguno.
Demikianlah berturut – turut terdapat Ulama menjadi Mujahid Pembela Kemerdekaan. Kita dapati Kyai Topo di Banten. Dan di samping Pangeran Dipenogoro kita dapati Kyai Mojo yang dibuang dan berkubur di Tondano. Terdapat beberapa sejarah pemberontakan. Kaum Kyai memberontak melawan Belanda di bawah pimpinan Kyai Wasith di Banten, yang terkenal dengan “perlawanan Cilegon”. Kyai Haris dibuang ke Bukittinggi. Di Kota Bukittinggi ada jalan raya bernama Syaikh Banten sejak zaman Belanda. Karena di jalan itu beliau tinggal dikala hidupnya. Kyai Arsyad Sagir ke Menado, Arsyad Kabir ke Gorontalo dan kawan – kawan yang lain ke tempat lain pula berserak di pulai – pulau bagian Timur.
Perang Paderi dipimpin oleh Kaum Ulama belaka. Terkenal sebutan “Harimau Nan Salapan” semuanya 8 orang adalah Tuanku, di samping Tuanku Imam Bonjol. Tuanku Nan Renceh Syahid di Bukitt Marapalam, Tuanku Tambusai dapat menyelamatkan diri ke tanah Melayu , Tuanku Nan Cerdik dibuang ke Betawi .
Di Aceh pun demikian pula. Setelah Belanda memerangi Kerajaan Aceh yang merdeka, berpuluh tahun lamanya berperang yang dilanjutkan dengan gerilya. Akhirnya Sultan tertawan, Panglima Polim menyerah, Teuku Umar mencapai Syahid, peperangan diteruskan oleh Teuku Cik di Tiro Muhammad Amin, seorang Ulama didikan Masjidil Haram sampai bertahun – tahun kemudian, sampai beliau mencapai syahidnya pula.
Setelah datang Abad ke dua puluh, perlawanan – perlawanan di Kamang tahun 1908 dipimpin oleh Tuan Guru Haji Abdulmanan yang mencapai syahidnya di medan pertempuran. Kawannya Abdulwahid Kari Mudo dibuang ke Makassar dan meninggal di Jakarta tahun 1955.
Pergerakan Kebangsaan berdasar Islam di Minangkabau Persatuan Musimin Indonesia, alias PERMI, semua pendirinya adalah kaum santri. Beberapa orang pemimpin dibuang ke Digoel, pernah berkumpul di Goel itu berpuluh Kyai dari Minag, dari Aceh dan dari Banten. Kyai Khatib Banten, bekas anggota Dewan Nasional adalah satu diantara mereka, Mukhtar Luthfi mati ditembak Belanda di rumahnya sendiri di Makassar ketika pemberontakan Andi Azia, Agustus 1950.
Berpuluh Ulama besar turut menanamkan benih kesadaran Nasional ini. Kita menemui Haji Samandhudi, Haji Omar Said Cokroaminoto, Kyai Haji Ahmad Dahlan, Kyai Hasyim Asy’ari dan puteranya A. Wahid Hasyim, H.Khalid Hasyim, Kyai H.A. Wahab Hasbullah, H. Fakhruddin, Kyai Mas Mansur, Ki Bagus Hadikusuma, Kyai Fakih Usman. Dan di Sumatera Barat kita temui Dr. Abdulkarim Amrullah yang mati dalam pembuangan, Syaikh Muhammad Jamil Jembek, Haji Daud Rasy’di (ayah Dt, Palimo Kayo, paman dari Mukhtar Luthfi), Dr. Syaikh ‘Abdullah Ahmad, Haji Jalaluddin Thayyib, Syaikh Sulaiman Rasuli dan lain – lain.
Di Sumatera Timur tercatatlah pertama sekali nama Asy Syahid fi Sabilillah Asy Syaikh Isma’il Abdulwahab yang mati dihukum tembak oleh Belanda dalam penjara Tanjung Balai, Asahan. Di belakang beliau menggiringlah Ulama – ulama pelopor kemerdekaan yang mengerahkan ummat berjuang ke medan jihad, yang sekarang telah mendahului kita. Sebagai Haji Abdurrahman Syihab, Haji Adnan Lubis, Haji Arsyad Thalib Lubis, Abdurrahman Haitami, Haji Abdulhalim Hasan. Angkatan – angkatan muda yang naik sekarang di Sumatera Timur, kebanyakan adalah murid – murid dari beliau itu.
Di samping beliau – beliau itu kita dapati lagi beberapa Ulama yang lain yang mati syahid dibunuh Belanda atau dibunuh Jepang atau dibunuh Komunis. Kita teringat Kyai Idris Mustafa di Singapura serta beberapa kawan serta muridnya yang dibunuh Jepang di Aceh karena menentang kezaliman. Kita teringat Tengku Abdullah Syatibi Muballigh di Purwokerto, Kyai Ghalib di Pering Sewu Lampung, Kyai Hasbullah Yasin di Amuntai, semuanya korban Belanda. Kita teringat Kyai Sediowiyadi kurban Komunis di Madiun, kita teringat… teringat dan banyak lagi kyai yang perlu kita ingat.
Faminhum man Qadhaa nahbahu waminhum man yantadhiru wamaa baddaluu tabdiilaan
“Diantara mereka ada yang sudah sampai waktunya dan diantaranya menunggu giliran; namun mereka sekali –kali tidak berubah haluan”
Banyak lagi yang kita ingat yang lain, sebagai 9 anak Kyai di Kauman Yogyakarta yang sekubur semuanya seketika diberondong Belanda ketika Yogya diduduki.
Saya sebut nama – nama itu, ada yang saya terkenang dan ada yang tuan terkenang. Mereka itu tidaklah mengingat hendak minta upah dan minta dibayar: karena jasa apabila telah dihagai jatuh nilainya.
Laa nuriidumingkum jazaa an wala syukuuran. Inna nakha fumin rabbina yauman ‘abuu sangkamthariraan.
“Mereka tidaklah meminta upah buat ini, dan tidak ingin mengharapkan ucapan terima kasih. Karena kami takut pada Tuhan kami pada hari yang penuh kemurkaan dan kegelisahan”
Mereka itulah yang punya hak pujian itu semua, bukanlah kita, wahai saudara – saudaraku. Sebab itu janganlah kita berbangga menerima pujian yang diberikan kepada Ulama – ulama itu oleh Presiden, oleh Menteri – menteri dengan setulus hati mereka itu. Apalah kita dibandingkan dengan mereka:
Tilka ummatun qad khalat laha ma kasabat walakum maa kasabtum, walaa tus aluu na’ammaa kaanu ya’maluun.
“itulah kaum yang telah lama berlalu, mereka akan mendapat ganjaran mulia dari sebab apayang mereka kerjakan, dan kamu tidaklah akan ditanyai tentang apa yangtelah mereka kerjakan”
Kita ini hanya semata – mata penerus, saudara – saudaraku. Dan jalan buat meneruskan itu masih terbuka dengan lebar.
Dengan ajakan yang disampaikan oleh Pemerintah Republik Indonesia kepada kita ini, agar turut berpartisipasi dalam pembangunan, agar memberikan nasehat kepada Pemerintah diminta atau tidak diminta, agar memperteguh Ketahanan Nasional dari segi kerohanian, terbukalah bagi kita yang datang dibelakang ini jalan buat meneruskan amal dan jihad Ulama – ulama yang dahulu itu tidak terputus di zaman kita saja.
Amar ma’ruf nahyi munkar adalah pekerjaan yang sungguh – sungguh berat, menyebut mudah, melaksanakannya sangat sukar, menyebut mudah, melaksanakannya sangat sukar. Kalau uman tidak kuat akan gagallah usaha kita. Tuhan Bersabda
Kuntum khaira ummatun ukhrijat linnaasi takmuruna bilma’rufi wa tanhauna ‘anil mungkari watu’minuunabillah
“kamu adalah yang sebaik – baik ummat yang dimunculkan Tuhan manusia; (karena) kamu berbuat yang mungkar dan kamu beriman kepada Allah”.
Di dalam ayat ini terdapat tiga unsure yang jadi syarat mutlak bagi kemulian suatu ummat:
Pertama ialah kemerdekaan menyatakan pendapat (amar ma’ruf).
Kedua, kemerdekaan mengkirik yang salah (nahyi mungkar). Pada kalimat ma’ruf terkandunglah Publik Opini artinya pendapat umum yang sehat dan pada kalimat munkar terdapat pula penolakan orang banyak atas salah. Oleh sebab itu maka amar ma’ruf nahyi munkar maksudnya ialah membina pemikiran yang sehat dalam masyarakat.
Yang ketiga dan yang utama ialah; iman kepada Allah. Atau itulah yang jadi dasar UTAMA. Artinya kalau iman kepada Allah telah berkurang, telah muram, kita tidak berani lagi bernahyi. Kalau kita beriman kita tidak takut beramar ma’ruf bernahyi munkar.
Salah seorang dari Imam kita yang keempat, yaitu Imam Malik bin Anas memberikan patokan kepada kita:
Al – ‘ulamaa a siraaju zamaanihi
“ulama itu adalah pelita dari zamannya”,
Dia membawa terang bagi alam yang berada disekelilingnya. Maka kalau 50 tahun lampau keliling baru mnyak tanah. Ulama adalah petromaks. Di zaman sekarang lampu – lampu listrik ukuran 100 watt, ulama hendaklah 1.000 watt. Nabi kita Muhammad saw pernah pula menerangkan tentang “terang” atau “nur” itu. Ada nur itu yang misalnya ditegakkan di Mekkah, cahaya ke Selatan sampai ke Yaman dan cahayanya ke Utara sampai ke Hirah (Irak). Bahkan ada yang lebih dari itu. Tetapi ada pula yang kurang dari itu atau ada yang tadinya cahayanya cemerlang, bercahaya jauh sekali, tetapi kian lama kian susut dan akhirnya hilang laksana lampu kehabisan minyak.
Kalau kiranya ajakan kerjasama Pemerintah ini dapat kita laksanakan dengan baik, sehingga kita laksanakan dengan baik, sehingga kita menjadi khaira ummatin, lalu beramar ma’ruf, bernahyi munkar dengan dasar iman kepada Allah, Insya Allah usaha kita akan jaya dan sukses. Kalau minyak yang member kita cahaya telah kering, artinya imamn tidak lagi, sehingga ilmu kita tentang agama hanya jadi khayalan, tidak berurat dalam jiwa akan kecewalah Pemerintah yang melatakkan kepercayaan penuh kepada kita dan akan putus asalah ummat banyak yang tadinya bersimpati kepada kita. Akan benarlah kecemasan beberapa pemuda yang datang ke rumah saya, akan menyatakan kecemasan hatinya kalau – kalau saya masuk “perangkap” atau mabuk karena sanjungan dan pujian.
Apabila kita telah bekerja sungguh – sungguh, kita akan bertemu dengan berbagai kesulitan. Akan ada pejabat – pejabat yang senang sekali kalau kita menggembleng rakyat supaya patuh kepada Pemerintah. Tetapi telinga mereka kana merah dan akan merasa sakit kalau tersindir saja. Banyak yang maunya hanya dipuji saja. Banyak yang merasa bahwa Ulama – ulama itu baik sekali untuk dikerahkan “membidikkan” Fatwa untuk memudahkan pekerjaan beliau.
Dalam pidato pengarahannya di hari pembukaan Musyawarah Nasional kita ini, Presiden kita menyatakan bahwa Ulama hidup di tengah- tengah rakyat. Apa yang beliau utarakan itu benar – benar dari segi manis dan pahitnya. Kadang – kadang benar – benar Ulama – ulama terletak di tengah – tengah laksana kue Bika yang sedang dimasak dalam periuk belanga. Dari bawah dinyalakan api; api yang dari bawah itu ialah berbagai keluhan rakyat. Dari atas dihimpit dengan api; api yang dari atas itu ialah harapan – harapan dari Pemerintah supaya rakyat diinsafkan dengan bahasa rakyat sendiri. Berat ke atas niscaya putus dari bawah. Putus dari bawah, niscaya berhenti jadi Ulama yang didukung rakyat. Berat kepada rakyat, hilang hubungan dengan Pemerintah, maksudpun tidak berhasil. Pihak yang memerintah bisa saja mencap tidak berpartisipasi dengan pembangunan. Padahal maksud baik, yaitu mempertemukan, mempertautkan, menserasikan diantara rakyat dengan pemerintah.
Apa jalan ke luar dari kesulitan itu? Jalan ke luar itu pasti ada.
Wamai yattaqillaha yaj ‘al lahu makhrajaa
“siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya akan diberi Allah baginya jalan ke luar”.
Dengan taqwa, dengan kian hari kian mendekat Tuhan, Insya Allah, Roh atau jiwa kita akan bertambah besar dan kuat sehingga pada waktu itulah benar – benar kita berhak akan Allah, Roh atau Jiwa kita akan bertambah besar dan kuat sehingga pada waktu itulah berhak akan Allah tugaskan menjadi “waratsatul Anbiyaa”_ penerima warisan dari Nabi – nabi. Pada kita akan ditanamkan Tuhan Roh ke Bapakan. Sehingga ummat Islam diseluruh tanah air ini, baik kita rakyat jelata, atau dia petani, atau dia Angkatan Bersenjata, ataupun dia pejabat tinggi Pemerintah, sampai kepad menteri – menteri dan Jenderal – jenderal kadang – kadang merasa haus akan bimbingan Jiwa.
Memerlukan bimbingan tangan Ulama yang mendapat sinar – sinar Nur Ilahi itu, tempat mereka menumpahkan rasa hati, tempat mereka berkonsultasi dalam urusan kejiwaan, urusan kerohanian yang mereka tidak dapat memecahkannya sendiri. Mereka akan pergi meminta bimbingan Ulama mereka percaya, kadang – kadang sepatah dua patah kata saja, sepatah nasehat dan sekalimat dua kalimat ucapan do’a, telah dapat mengobati hati mereka. Oleh sebab itu menjadi kewajibanlah bagi kita sekaliannya yang telah dipercayai Pemerintah lalu mereka beri predikat Ulama, agar berusaha menyesuaikan harapan dan predikat yang diberikan itu dengan diri kita sendiri. Mengisi diri, mengisi jiwa agar lebih taqarrub kepada Allah, sehingga sinar Allah pun turun dalam jiwa kita. Sehingga berlakulah apa yang dikatakan oleh pengarang Kitab Tatatakhaniyah:
Annadzru ila wajhil ‘aalimi ‘ibaadatun
“melihat wajah orang alim termasuk ibadah juga”.
Unzurnaa naqtabsi min nuurikum
“pandanglah kami, karena kami ingin meneguk sejenak dari cahaya tuan!”.
Kalau tidak demikian, wahai para Ulama Al – Afadhi, bagaimanalah kita akan memenuhi pengharapan ummat dan pengharapan Pemerintah. Bertemulah pada kita kata – kata penyair Arab yang terkenal:
Wa ghairu taqiyyinn ya’murunnaasa bittuqa
Thabiibun yudaawi wathtabiibu mariidun
“orang yang tidak bertaqwa menyuruh orang bertaqwa”
“Dokter mengobat orang, sedang dokter itu sakit”
Dan kata – kata syair yang terkenal lagi yang disalinkan Imam Ghazali di dalam Ihya:
Ulama unaa kudza baa latiinnibraasi. Hum fil hariiqi wudhu uhum linnaasi
“renungan nasib kita, hidup laksana sumbu pelita cahaya bagi umum merata. Diri sendiri hangus menderita.
Memang sangat berat memikul beban ini. Kalau gelar Ulama kita terima, padahal perbaikan diri, terutama peningkatan iman tidak kita mulai pada diri kita sendiri, niscaya akan turut hanyutlah kita dalam gelombang zaman sebagai sekarang, dimana orang berkejar – kejar karena dorongan mabisi mencari dunia, mencari pangkat, mengambil mika kepada orang di atas, menjilat, sehingga pernah terdengar suara – suara yang mengatakan: “bahwa Ulama bisa dibeli”.
Tidak, bapak – bapak yang tercinta; ulama sejati waratsatul Anbiya tidaklah dapat dibeli, janganlah tuan salah taksir. Dia telah menerima waris Nabi Muhammad s.a.w yang seketika ditawarkan oleh orang Quraisy pangkat yang setinggi – tingginya, yaitu jadi Raja di tanah Mekkah, tau diberi harta benda yang cukup untuk modal perniagaannya, atau apa saja yang dia ingini, asal dia mau berkompromi dalam soal Aqidah, atau mundur agak sedikit dari pendirian yang telah digariskan Tuhan untuk dia, beliau telah menjawab:
“Tidak! Bahkan walaupun tuan meletakkan Matahari dan Bulan di kiri dan kananku, tidaklah aku akan berhenti dari usahaku ini sebelum Allah menentukan siapa di antara kita yang benar”,
Tidak saudara! Ulama sejati tidaklah dapat dibeli, sebab sayang sekali Ulama telah lama terjual, pembelinya ialah Allah:
Innallah asytaraa minal mukminina amwaa lahum wa anfusahum bi anna lahumul jannah
“sesungguhnya Allah telah membeli dari orang yang beriman harta bendanya dan jiwa raganya, dan akan dibayar dengan Surga”,
Ulama yang sejati tidaklah akan dapat menjual ayat – ayat Allah dnegan harga yang sedikit. Walaupun kekayaan dunia untuk pembeli ayat Allah dari seorang Ulama seharga emas sebesar Pulau Jawa ini misalnya, itupun masih qalilah, masih sedikit. Sebab surge yang telah dijanjikan Tuhan itu, seluas lagit dan bumi.
Para Ulama yang saya muliakan; sesepuh – sesepuh yang saya junjung tinggi, teman sebaya dan seumur, adik – adik yang baru berpengalaman, dan angkatan muda, muballigh – muballigh yang sangat diharap di belakang hari kan menjadi Ulama – ulama besar kan menggantikan tem[at yang tua – tua. Badan Majelis Ulama telah berdiri. Mau tidak mau kita terlingkung di dalamnya. Pemerintah mendekati kita, dan kita telah mendekati Pemerintah, tujuan kita ialah kebahagian tanah air, bangsa dan teguh berakarnya Agama Islam di negeri kita ini. Kita tidak bisa mundur lagi. Mundur artinya malu maju artinya hilang atau menghilang!
Bapak – bapak, sesepuh dan Ulama – ulama yang sebaya dnegan saya. saya akui bahwa saya memang popular, termashur dimana –mana. Sebab sejak masih muda saya sudah jadi pengarang, muballigh dan guru. Di hari tua berpidato di TVRI tetapi kepopuleran bukanlah menunjukkan bahwa saya yang lebih patut! Saya teringat Jurji Zaidan dalam bukunya: “tidaklah semua orang yang popular itu besar, dan tidaklah semua orang besar itu popular”.
Muhammad Ali, kampiun tinju dunia pun popular. Tetapi syukurlah saya, karena saya dikelilingi oleh orang – orang yang lebih ahli dari saya:
1. Kyai Haji Abdullah Syafi’I yang terkenal kegiatannya berdakwah dan keteguhan hatinya mendidik ummat, yang pantang mundur selangkah, dalam berjihad mengibarkan bendera Islam.
2. Kyai Syukri Ghazali, yang telah saya kenal lebih dari 20 tahun, sejak dari masa beliau menjadi Kepala Urusan Agama di Sulawesi Selatan tahun 1952 sampai menjadi kolega saya menjadi anggota Konstituante di Bandung, yang sebelum selesai tugas telah dibubarkan oleh Presiden yang dahulu! Beliau seorang yang tenang, berfikir obyektif, sehingga sangat cocok buat menjadi timbalan saya yang kerapkali emosionil
3. Sayyid Muhammad bin Ali bin Abdurrahman Alhabsyi, anak dari seorang Ulama yang shalih kecintaan ummat yang sangat berjasa di negeri ini, Sayyid Ali bin Abdurrahman Alhabsyi. Moga – moga saja beliau menjadi Khairul Khalafi min Khairis Salafi.
4. Letnan Jenderal Pensiun Haji Sudirman, yang ketaatannya beragama meniru pendiri dari Bapak T.N.I, pertama yang senama dengan dia, jenderal Sudirman Alhamrhum.
Kalau orang bertanya mengapa seorang yang bukan dikenal sebagai Ulama dimasukkan jadi salah seorang Ketua Majelis Ulama, saya dapat menjawab, beliau saya kenal sejak 20 tahun yang lalu, semasa beliau masih Letnan Kolonel, sudah lain juga dari yang lain. Kelainannya sejak dahulu ialah kecintaannya kepada Ulama. Sebab itu meskipun bukan Ulama belajar – belajar di pondok atau bermukim di Mekkah atau bertekun di Al – Azhar Mesir, jiwanya sudah sesuai dengan jiwa Ulama. Dan semua orang yang mengetahui Ulama dengan Pemerintah sejak permulaan Revolusi tahu dimana kedudukan Jenderal Haji Sudirman dalam hati para Ulama. Dengan diapit oleh beliau – beliau itu beranilah saya melangkah.
minta filenya kk
BalasHapus