29 Okt 2011

Surat Pribadi Buya Hamka

 
 
Jakarta, 29 April 1976

Kehadapan Yang Mulia Pak Harto
Presiden Republik Indonesia

Di
Jakarta.
Assalamu’alaikum wr. Wb

Lebih dahulu say mendo’akan moga- moga perlindungan dan rahmat Allah selalu dilimpahkan kepada diri Pak Harto, diberi kekuatan dan kesegaran, kesehatan dan kejernihan fikiran dalam memimpin Negara ini. Sesudah itu izinkanlah saya menyampaikan beberapa keterangan dan pandangan, yang rasa tanggung jawab saya dihadapan Allah kemudian itu dihadapan Pak Harto sebagai Kepala Negara mendorong saya untuk menyampakannya.

Tentu sudah sampai laporan kepada Pak Harto dari Menteri Agama bahwa dalam Rapat Pleno Majelis Ulama Indonesia pada tanggal 15 Februari tahun 1976 di Ciputat telah mengambil kesepakatan bahwa bersama Majelis Ulama menyambut baik anjuran pemerintah untuk mengadakan suatu konsultasi bagi Pimpinan – pimpinan agama yang berada di Indonesia ini, dan Majelis Ulama bersedia bila saja diajak untuk mengadakan Konsultasi itu oleh Pemerintah. Di samping itu Majelis Ulama pun mengusukan kepada Pemerintah agar kiranya anjuran yang selalu disebut Presiden di mana saja ada kesempatan, agar ummat yang telah beragama jangan dijadikan sasaran untuk dipindahkan kepada agama lain karena hendak memperbanyak jumlah pemeluk agama yang dipropagandakan itu.
Demikian pula anjuran dari Menhankam Jenderal Panggabean dalam salah satu pidatonya di Aceh.
Terus terang saya katakana, agar Pak Harto maklum adanya; yaitu bahwa dalam Rapat Pleno Majelis Ulama tersebut tidaklah mendapa sambutan jika diadakan satu wadah tersendiri yang bersifat permanen, yang anggota Wadah itu terdiri dari Wakil – wakil Agama yang ada; DGI dari Protestan, MAWI dari Katholik, Majelis Ulama dari fihak Islam. Difikirkan itu bahwa Wadah sebagai demikian bisa saja dipergunakan untuk kepentingan memperlapang jalan bagi Agama lain yang pusat kegiatannya memang diatur dari Luar Negeri. (Wadah tersebut sekarang sudah terbentuk berkat usaha Menteri Agama H. Alamsyah Ratuperwiranegara).
Tetapi Majelis Ulama akan tunduk dan setia kepad Pemerintah sebagai warga Negara  dan rakyat yang patuh, jika wadah itu ialah pemerintah sendiri; di sini Depertemen Agama yang memang telah mempunyai Dirjen sendiri – sendiri dari seluruh Agama yang memang ada di Indonesia.
Majelis Ulama memandang dan menimbang akan aman, damai dan rukun jika Wadah itu ialah instansi Pemerintah sendiri.

Pak Harto yang saya cintai
Ada satu hal yang musykil  diterima oleh golongan Islam, dan yang malahan menggelisakan dalam kalangan Majelis Ulama Indonesia, termasuk saya ialah diakui shahnya apa yang sekarang dinamai “Sekretariat Kepercayaan” atau “Golongan Kepercayaan”. Sangatlah musykil rasanya kalau Badan ini harus diakui pula sebagai suatu Agama yang tidak mau bernama agama tetapi mengambil nama KEPERCAYAAN itu dalam bahasa Arabnya ialah Iman. Dan selalu ulama – ulama Islam sejak zaman dahulu member arti IMAN itu dengan KEPERCAYAAN.
Ulama – ulama yang merasa tanggung jawabnya dalam memimpin Kaum Muslimin di Indonesia ini, khususnya di Pulau Jawa memandang bahwa “Sekretariat Kepercayaan” ini hanyalah gantian nama yang terakhir dari suatu gerakan yang telah tumbuh sejak mulai Agama Islam masuk ke tanah Jawa ini di awal Abad kelima belas. Kadang – kadang dia dinamai kebhatinan, kadang – kadang dinamai Klenik, kadang –kadang dinamai Kejawen, bahkan kadang – kadang diberi nama lebih tegas lagi, yaitu GOMOJOWOWO (disebutkan oleh Prof. Dr. KK Berg dalam (“Wither Islam”) yaitu usaha membikin satu bentuk baru dari Kepercayaan orang Jawa, yang melihat agama Islam sudah tersebar begitu pesat sebagai suatu kenyataan yang tidak dapat ditolak lagi. Sebab ia harus disesuaikan dengan agama yang lama, yaitu Hindu dan Budha dan digabungkan dengan kepercayaan pusaka nenek – moyang. Suatu hasil Cyncritisme, mencari mana yang sesuai meskipun dengan mengadakan persesuaian itu timbul bentuk baru, yang tidak lagi Hindu, tidak pula Budha dan jauh dari Islam! Malahan kadang – kadang dipandanglah Islam dengan pandahgan yang sinis dan penafsiran yang jauh dari aslinya, sebagaimana yang terdapat dalam sastra – sastra Ronggowarsito, bahkan terdapat juga dalam Sastra Darmogundul.
Sejak mulai zaman Islam di Giri gerakan ini telah menimbulkan pertentangan di antara Sunan Giri dengan Syaikh Siti Jenar. Gerakan inilah yang menimbulkan pertentangan hebat di antara Sunan Kudus dengan Adiwijoyo dan Ki Ageng Pengging.
Ajaran “Kawula Gusti”: Aku adalah Tuhan! Syari’at tidak perlu lagi, yang perlu adalah hakikat. Syaikh Siti Jenar mengakui dirinya Allah. Karena golongannya masih kecil, dia dihukum bunuh oleh Sunan Giri, sebab golongan beliau besar. Tetapi setelah Demak pindah ke Pajang dan Pajang pindah ke Mataram dan Sultan Agung Hanyokromukumo digantikan oleh Amangkurat I(Sunan Tegal Wangi), golongan Kawulo Gustilah yang menang, sebab Raja menganut faham itu. Lalu penganut syari’at yaitu golongan Ulama dan santri itu dimusnahkanlah 6.000 orang sebagaimana tersebut jelas dalam sejarah.
Lima adab lebih pertentangan ini masih ada, tetapi halus sekali jalannya. Anutan dari orang – orang istana dan Priyayi umumnya adalah Kawulo Gusti ini, disebut juga Kejawen, bahkan disebut juga Gomojoyo. Anutan kaum Kiyai damn para Santri ialah Mazhab Ahlus Sunnah wal – Jama’ah. Raja – raja Jawa yang bijaksana pandai mempergunakan keduanya dengan sebaik – baiknya,. Tetapi tidak mempertemukan. Seumpama dalam Kerajaan Yogyakarta dan Surakarta. Kaum Kyai dan Santri dibiarkan hidup dalam pemeliharanan Masjid, diberi badan Yogosworo, bahakn Sunan Solo X mendirikan pondok Mamba’ul ‘Ulama, untuk memupuk kaum Santri.
Dalam kebangkitan Nasional Indonesia dari golongan Santrilah timbul Syarikat Islam di Lawena Solo, Muhammadiyah di Kauman Yogyakarta. Nahdatul Ulama di Jombang Jawa Timur. Namun dalam kalangan kaum Kejawen ini berjalan pula terus, tetapi tidak berani terang –terangan, sebab tidak dapat diterima oleh massa rakyat, tetapi dengan terus terang pula mengakui Abangan.
Ketika terjadi Revolusi Besar bangsa Indonesia, dengan segala kerendahan hati beranilah saya menyatakan bahwa roh Islam sejati, semangat Sunnah Nabi saw bukan semangat “Kawula Gusti” yang dapat bertempur melawan musuh, sebab mereka mempunyai keyakinan HIDUP MERDEKA MATI SYAHID!
Gerakan “Kawula Gusti” ini amat disenangi oleh Belanda! Sebab dia tidak mempunyai ROH JIHAD, tidak mempunyai semangat tempur. Dia merasa bahagia apabila dia telah mencapai ROSO. Yang menanggaling Kawulo kalian gusti. Di zaman kebesaran Aceh dalam abad keenambelas, aceh kuat perkasa karena Roh Tauhid dan Jihad. Tetapi setelah ajaran Kawulo Gusti ini menyelusup ke Aceh sesudah Iskandar Muda Mahkota Alam mangkat, semangat tempur rakyat jadi lemah, sebab yang dipentingkan ialah “Kesunyatan Pribadi”. Bersuluk, bertafakkur, sehingga Negara ini jadi lemah dan mulailah Aceh mundur! Inilah yang dibanteras oleh Ulama sebagai Ar – Raniri.

Pak Harto yang Mulia
Ketika kita berjuang mencapai kemerdekaan, semangat 1945, terutama di bawah pimpinan Jenderal Sudirman yang Pak Harto mengenal beliau dari dekat, Roh Jihad inilah yang menggelorakan semangat kita, bukan “Roh Nyaepi”. Tetapi setelah  tahun 1950 mulailah kaum “kebathinan” ingin kembali menyusun diri. Mulailah Wongosonegoro SH. Mendirikan “Malam Purnama Sidi”, waktu itu kami beberapa orang, diantaranya saya sengaja masuk jadi anggota untuk mengetahui dari dekat. Setelah beberapa tahun berdiri lalu diadakan Kongres Kebathinan, dengan menyatakan bahwa mereka tetap berdasar “Kepercayaan” kepada Tuhan Yang Maha Esa, tetapi tidak disebut agama. Padahal bagi orang Islam kata – kata “Kepercayaan” itu berarti Iman, dan Iman itu tidak dapat dipisahkan dari Agama. Dan mereka tetap gigih berusaha memisahkan arti Agama dengan arti Kepercayaan, untuk menjelaskan bahwa gerakan mereka bukan gerakan Agama. Tetapi mesti diakui sama dengan Agama.
Mereka bergerak terus sehingga penafsiran Undang – undang Dasar ’45 tentang “Agama dan Kepercayaan itu” jadi ada usaha supaya di dalam Kartu Penduduk di samping agama hendaklah ditulis KEPERCAYAAN.
Lalu mereka pun berusaha agar mereka pun diberi tempat sebagai “Kepercayaan” memberikan penerangannya dalam TVRI. Mula – mula judulnya “Moral Pancasila”. Tetapi karena mereka sendiripun rupanya kehabisan bahan, karena bahan itu memang tidak ada. Lalu ditukar judulnya jadi “Budi Pekerti” kemudian karena mungkin kehabisan bahan juga, akhirnya mereka tukar dengan Mimbar Kepercayaan”. Namun isi dari ketiga judul itu sama saja, yaitu jawaban yang tidak tegas tentang arti hidup atau kehidupan sesudah mati. Tidak menyebut – menyebut satu dasar pun dari salah satu Kitab Suci. Tidak Qur’an, tidak Taurat dan tidak Injil. Yang selalu disebut sebagai dasar hanyalah piulang bahasa Jawa! Pesan – pesan dari sesepuh.
Tempo hari pernah dipakai juga suara wanita uintuk jadi alasan dengan memakai gending Jawa. Oleh sebab itu bertambah lama bertambah jelas, bahwa “Mimbar Kepercayaan” itu tidak lain hanyalah anutan dari sebahagian kecil orang Jawa, dari pesan nenek – moyang  dan inti sari ceritera wayang, digabung dengan isi Serat Gentini, Sastra Gending Primbon Rongowarsito, jenaka Darmogundul dan seumpamanya. Yang selama ini dijadikan “klenik” (rahasia), karena tidak akan diterima oleh massa, diperhalus uraiannya dalam TVRI, namun kadang – kadang kelihatan juga!
Sekarang izinkanlah saya mengemukakan tanggapan saya tentang “Kaum Kepercayaan” ini dan bagaimana sambutan kaum Muslimin setelah mereka dilegalisasikan dalam TVRI:
1.    “Sekretariat Kepercayaan” dan “Mimbar kepercayaan” di TVRI hanyalah sambungan gerakan yang digunakan untuk menentang apa yang mereka namai selama ini “Kaum Santri Plutuk,” yang telah digerakkan sejak 500 tahun yang lalu. Kebencian kepada Islam Sunni itu tidak dapat menyesuaikan diri dengan Feodalisme. Gerakan seperti ini berakhir dengan mudahnya masuk pengaruh Kristen, karena dari rasa antipasti kepada Islam, orang keberatan masuk Kristen.
2.    Bangsa Indonesia yang beragama Islam, telah merasakan dalam hatinya, bahwa golongan kepercayaan ini secara halus, tetapi tetap dan teratur, hendak menjadikan “Kejawen” atau “Gomojowo” ini menjadi satu agama resmi, dengan nama “Kepercayaan: di samping Agama. Padahal bagi yangsudah beragama dan berkebudayaan Islam yang lebih mendalam soal – soal “Kebathinan: itu telah ada sendiri dalam ilmu Tasawuf. Agama Islam telah menyatukan dan dianut oleh semua suku – suku yang banyak di Indonesia ini.
3.    Dengan segala kerendahan hati saya nyatakan bahwa Kaum Muslimin Indonesia sekali – kali tidaklah membenci atau menolak takdir Tuhan yang telah tertentu, yaitu suku bangsa Indonesia yang terbesar ialah suku Jawa. Keluasan ajaran Islam – lah yang menyebabkan sejak berates – ratus tahun suku – suku Indonesia yang selain suku Jawa rela dinamai oleh Ummat Islam di Negeri lain. Di tanah Arab, di Turki, di Persia (Iran) dan lain – lain dinamai “orang Jawa”. Ibnu Batuthah datang tahun 1345 H ke Aceh (Pasai) lalu disebutnya negeri itu negeri Jawa, dan sultannya yang bernama Al – Malikush Zhahir dikatakan Sultan Bilad Jawa!

Apa sebab tidak keberatan? Ialah sebab ISLAM!
Tiga buah gerakan Islam yang besar dan berpengaruh, diterima oleh massa rakyat seluruh Indonesia sebelum ada Gerakan Nasional (P. N. I) ketiganya datang dari Jawa, diterima dengan segala senang hati.
Pertama, Syarikat Islam (1911) dari H. Samanhudi dan H.O.S. Cokroaminoto dari Solo.
Kedua Muhammadiyah dari K.H. Ahmad Dahlan Yogyakarta (1912).
Ketiga Nahdatul ‘Ulama dari K.H Hasyim Asy’ari Jawa Timur (1925)
Dengan ketiga bukti itu teranglah bahwa gerakan kesatuan bangsa, telah dimulai dengan nama Jawa; huruf Arab dinamai huruf Jawi, bahasa Melayu pun pernah disebut  bahasa Jawi. Terjadi demikian karena ajaran Islam yang berlapang dada.
Tetapi kalau satu gerakan Kejawen yang kadang – kadang dinamai Klenik, kadang – kadang dinamai Kebhatinan, kemudian diperhalus namanya dengan “Sekretariat Kepercayaan” padahal hendak menanamkan pengaruh jahiliyah dengan nama baru, terus terang saya katakana bahwa tidaklah Kaum Muslimin akan sudi menerimanya. Sebab Kaum Muslimin ingin Presiden yang dicintainya ialah Presiden bagi semuanya. Apatah lagi hubungan kita Kaum Muslimin Indonesia, baik yang duduk dalam pemerintahan, atau dalam bahan – bahan swasta. Termasuk para Ulama dan Majelis Ulamanya di zaman sekarang ini bertambah rapat dengan kaum Muslimin dan Negara – Negara Islam Internasional itu, baik yang politik, atau yang social, atau yang ekonomi, terlebih lagi hubungan soal – soal agama. Alangkah herannya kaum Muslimin di Negeri dan Negara lain mereka mendengar bahwa demgam resmi di Indonesia telah diakui suatu badan agama yang baru, tidak mau bernama Ad – Din, hanya bernama Al  Iman, dan Majelis Ulama Indonesia nampaknya menerima pengakuan itu! Apakah Majelis Ulama itu tidak berani menyatakan kepada Pemerintahnya bahwa pengakuan yang demikian adalah suatu hal yang belum pernah terjadi dalam sejarah Islam di dunia ini?
Apatah lagi setelah Kongres mereka yang terakhir (April 1976) merekapun telah mulai menyebut – nyebut ingin diakui upacara perkawinan mereka sendiri, ingin mempunyai kuburan sendiri terpisah dari kuburan Kaum Muslimin (Kompas April ’76) dan Minta pula supaya I Suro diakui sebagai Hari “Kepercayaan,” sebagai kalimat halus ganti Hari Gomojowo!

Pak Harto yang saya muliakan
Pada hemat saya kalau “Sekretariat Kepercayaan,” ini memang hendak diakui sebagai suatu “Aliran” yang anggapan kepadanya sudah disamakan dengan menganggap suatu agama, sdang latar belakangnya ialah “Kejawen” atau “Gomojoyo,” yang kian hari kian lantang suaranya, minta kuburan sendiri, pernikahan sendiri, hari raya sendiri, dan lain sebagainya, saya rasa ini adalah bibit pertama yang akan membawa kepada perpecahan bangsa kita, yang saya berdoa kepada Tuhan, moga –moga jangan terjadi. Ajaran ini tidak akan diterima oleh suku – suku yang lain, karena suku – suku yang lain mempunyai ‘aqidah, telah mempunyai iman. Terutama Kaum Muslimin. Mereka telah mempunyai Al Qur’an, Al Hadits. Mereka telah mempunyai Nabi Muhammad s.a.w dan 24 Nabi yang, yang sejak TVRI memberikan peluang bagi “Sekretariat Kepercayaan” tidak pernah sekali juga nama Nabi – nabi itu mereka sebut, karena mereka memang tidak percaya kepada Nabi – nabi. Tidak pernah mensitir ayat – ayat kitab suci, karena mereka percaya kepada Tuhan menurut cara mereka sendiri. Kian lama TVRI membukakan pintu bagi “Mimbar Kepercayaan” memakai TVRI buat propaganda, kian jelas juga bahwa samasekali yang mereka bicarakan itu tidak ada apa – apa, tidak ada dasar. Setinggi – tinggi hanya ajaran Hindu yang dipercaya.
Kerajaan Turki Osmani yang pernah jadi sebuah Kerajaan Besar sampai menaklukkan seluruh Eropa Timur dan menguasai negeri – negeri Arab di abad ke – 19, menjadi pecah berantakan ialah setelah pemuka – pemuka bangsa Turki sendiri, sebagai inti dari Kerajaan Turki Osmani itu menonjolkan dan memaksakan “Filsafat Keturkiannya” dan mulai menganggap bahwa seuku yang lain dalam Imperium Turki rendah peradabannya, kurang halus budi pekertinya, bukan seperti mereka yang mempunyai kebudayaan yang tinggi, yang pernah dipaksa mengajarkannya di sekolah – sekolah di bawah pengaruh Turki.
Secretariat Kepercayaan “inipun terdiri dari pada lebih 200 macam aliran. Menurut Ketuanya (R. Sukamto) boleh dinamai Kebathinan, boleh dinamai Kejiwaan dan boleh dinamai Kerohanian.
Salah satu dari aliran itu mengajarkan bahwa Dasar Pertama Pancasila (Ketuhanan Yang Maha Esa) ialah bahwa Tuhan itu ialah Allah, yang terdiri dari empat huruf: 1. Alif, 2. Lam, 3. Laam, 4.Ha! Alif ialah API. Lam artinya AIR, Laam kedua artinya ANGIN dan Ha artinya TANAH. Menjadi API, AIR, ANGIN, TANAH. Sebab itu ALLAH ialah bumi kita ini, terdiri dari empat unsur. Maka kalau kita renungkan lebih mendalam yang Tuhan itu ialah Tanah Air kita Indonesia ini.
Dengan nama Ketuhana Yang Maha Esa hendak dihilangkan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa hendak dihilangkan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha esa. Sudah mulai pula dikemukakan tafsiran sendiri tentang PANCASILA, yaitu menurut ajaran “Kepercayaan” itulah tafsir Pancasila yang  dipakai di Negara kita ini, supaya jangan bersimpang siur. Yaitu percaya kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, tetapi tidak musti beragama. Malahan ada yang mengatakan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa, bukan bersumber dari agama, tetapi dari Kepribadian bangsa Indonesia, menurut pituduh dari Mpu Tantular!
Oleh sebab “Kepercayaan” ini tidak mau berhubungan dengan AGAMA, niscaya mereka dengan sesuka hati dapat membuat perkiraan sendiri tentang Tuhan. Akan lebih celaka lagi kalau di tangan mereka ada kekuasaan; tentu perkiraan merekalah yang wajib dipakai dan apa yang ditentukan oleh agama bisa dipandang salah; demi Pancasila!
Oleh sebab “Kepercayaan” ini tidak mau berhubungan dengan AGAMA, niscaya mereka dengan sesuka hati dapat membuat perkiraan sendiri tentang Tuhan. Akan lebih celaka lagi kalau di tangan mereka ada kekuasaan, tentu perkiraan merekalah yang wajib dipakai, dan apa yang ditentukan oleh agama,bisa dipandang salah; demi Pancasila!
Oleh sebab itu izinkanlah saya menyampaikan pendapat saya. yaitu bahwa mengakui adanya golongan kepercayaan, atau Sekretariat Kepercayaan, yang sesama mereka pun tidak pula sama perkiraannya tentang Tuhan dan pengabdian, malahan ada yang meyakinkan bahwa ALLAH itu adalah API, AIR, ANGIN, dan TANAH, dan itulah Tanah Air dan begitulah Tafsir Pancasila; mengakui kedudukan mereka sama dengan agama bukanlah akan membawa kesentosaan bagi Negara kita dan bukanlah dia akan menguatkan pembangunan dan bukanlah di sini letak KETAHANAN NASIONAL.
Sebelum terjadi Revolusi Perancis, Voltoire dan kawan – kawannya mendirikan suatu gerakan yang mereka namai Deisme atau Rationalisme, mengakui akan adanya Tuhan Yang Maha Esa, tetapi tidak mengakui adanya Nabi – nabi dan Wahyu, mereka mengakui ada Tuhan menurut rasio belaka. Namun pemerintah Perancins kemudian, setelah Revolusi selesai, tidaklah mengakui gerakan itu sebagai suatu “kepercayaan” dan tidaklah mereka dimasukkan dalam kelompok kerohanian, kejiwaan dan sebagainya,melainkan dianggap sebagai suatu falsafah saja.
Dengan dasar fikiran yang demikianlah saya menyetujui anjuran Pemerintah agar diadakan Konsultasi di antara segala golongan agama dengan Pemerintah sendiri sebagai sebagai WADAHnya, dengan tidak membuat WADAH lain, apatah lagi kalau Wadah itu adalah gabungan dari segala agama yang ada di negeri ini, termasuk “Golongan Kepercayaan” yaitu suatu agama yang tidak mau dinamai agama! Meskipun bukan soal – soal Ketuhanan yang akan dibicarakan dalam WADAH seperti itu, tetapi di luar Pemerintah, besar kemungkinan bahwa pertentanganlah yang akan timbul, bukan persatuan!
 Dengan dasar fikiran yang demikianlah saya menyetujui anjuran Pemerintah agar diadakan Konsultasi diantara segala golongan agama, dengan Pemerintah sendir sebagai WADAHnya, dengan tidak membuat WADAH lain, apatah lagi kalau Wadah itu adalah gabungan dari segala agama yang ada di negeri ini, termasuk “Golongan Kepercayaan” yaitu suatu agama yang tidak mau dinamai agama! Meskipun bukan soal – soal Ketuhanan yang akan dibicarakan dalam WADAH seperti itu, tetapi di luar Pemerintah, besar kemungkinan bahwa pertentanganlah yang akan timbul, bukan persatuan!
Kaum Muslimin, termasuk Majelis Ulamanya bersedia dan menyambut bilamana Pemerintah yang mengundang buat dipertemukan dengan segala golongan agama, termasuk bertemu dengan golongan yang tidak mau mengakui agama, hanya mengakui kepercayaan. Sebagai rakyat Indonesia yang patuh kepada Pemerintahnya, bersedia hadir dalam pertemuan yang diprakarsai oleh Pemerintah, bila saja dan di mana saja. Di samping itu kalau Pak Harto ingin mendapatkan keterangan lebih jauh, saya bersedia untuk membicarakannya.
Demikianlah keterangan saya. besarlah kepercayaan saya bahwa Pak Harto yang saya hormati dan muliakan akan dapat menerima penjelasan saya ini dengan dada yang lapang dan pengertian yang mendalam.-


Dengan segala hormat:
D.t.o
(Prof. Dr. Hamka)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mari kita membaca dengan hati plus mata