15 Nov 2010

Peran Kyai dan Guru Agama Modern dalam Sistem Pendidikan Nasional

Oleh M. Feri Firmansyah
a.    pergeseran kualifikasi dari Kyai ke Guru Agama Modern
Sebelum abad ke – 19 M, pesantren merupakan satu – satunya
lembaga pendidikan sesudah pengajian Al – Quran di Langgar – langgar. Institusi ini merupakan lembaga formal masyarakat Jawa (Arifin, MT. 1987: 83)
Seiring dengan perkembangan zaman, sebagian besar pesantren mengalami perubahan sistem mulai  dari metode pengajaran sampai dengan kurikulum atau dengan kata lain perubahan arah orientasi ke depannya. Namun disamping itu pula ada juga sebagian kecil pesantren yang mempertahankan tradisinya. Pergeseran kualifikasi peran kyai dan guru agama tradisional ke guru agama modern. Sadar atau tidak ternyata kyai dan guru agama mempunyai peran yang sangat signifikan terhadap perkembangan sistem pendidikan dan pesantren yang ada di Indonesia.
Kyai merupakan elemen yang paling esensial dari suatu pesantren. Karena kyai adalah sumber mutlak dari kekuasaan dan wewenang yang berlaku di dalam pesantren (Arifin, MT. 1987: 189)
Sebagian besar masyarakat umum memandang kyai tidak sekedar sebagai guru agama atau orang yang mengajar di pesantren dan penyiar agama yang menegakkan ajaran Islam ke seluruh penjuru desa sesuai dengan permintaan masyarakat setempat. Lebih dari itu, kiyai adalah orang yang memainkan banyak peran, sesuai dengan tuntutan dan anggapan masyarakat terhadap dirinya yang memiliki banyak kelebihan.
Gelar kyai merupakan kehormatan bagi masyarakat Jawa. Gelar ini biasanya dipergunakan oleh masyarakat Jawa untuk mengungkapkan sikap respek atau rasa hormat. Karena pelbagai motivasi yang berbeda, paling tidak ada empat hal:
1.    dipergunakan sebagai gelar kehormatan bagi barang – barang yang dianggap keramat
2.    dipergunakan sebagai tambahan nama kehormatan bagi orang tua laki – laki
3.    sebutan bagi Harimau (Macan). Karena dalam masyarakat Jawa seakan – akan ada perasaan tabu ketika menyebut nama binatang tersebut
4.    gelar yang diberikan kepada Ahli Agama Islam yang memiliki otoritas keagamaan (Arifin, MT. 1987: 87)

Sebagai seorang intelektual, kyai diukur kemampuannya yang berdasarkan pengetahuan dari kitab – kitab yang dipelajari. Semakin ia memahami banyak kitab, maka kyai tersebut dikagumi.
Dengan adanya guru agama modern berarti telah menandakan jika dalam sistem pendidikan Islam mengalami pergeseran kualifikasi guru agama. Adanya pergeseran kualifikasi itu ditandai dengan title untuk guru agama modern adalah Drs. dan S. Ag paska  UU No. 2 tahun 1989 dan peraturan pemerintah No. 43 tahun 1990 tentang lulusan perguruan tinggi keagamaan.
Pergerseran orientasi dan kualifikasi melahirkan kritik masyarakat terhadap guru agama modern antara lain hilangnya kesalehan dan keikhlasan dalam berdedikasi selama mengajar. Keikhlasan merupakan basis utama pengabdian seorang guru agama tradisional, secara berangsur –angsur ditinggalkan oleh guru agama modern (Khozin. 20006: 215)
Ikhlas termasuk syarat yang paling utama dalam melakukan ibadah dan pekerjaan. Syari’at Islam menyatakan jika ikhlas menjadi syarat yang paling pokok dalam beramal, hal ini sesuai dengan  firman Allah yang artinya “padahal mereka diperintahkan untuk menyembah Allah dengan ikhlas menaati – Nya semata – mata menjalankan agama, dan juga melaksanakan shalat, menunaikan Zakat dan yang demikian itulah agama yang lurus atau benar (Q.S. Al – Bayyinah: 5)”
Maksud agama yang lurus dalam surat Al – Bayyinah ini adalah jauh dari syirik, kesesatan dan niat – niat yang mengurangi nilai – nilai dari dedikasi guru yang bersangkutan. Dedikasi seorang guru sangat pada niatnya. Karena apabila niatnya baik maka akan berimplikasi pada guru serta peserta didiknya, begitu juga sebaliknya. Hal ini dinyatakan dalam hadist Rasulullah saw yang sanadnya dari Umar Bin Khatab “sesungguhnya segala amal perbuatan tergantung pada niatnya dan sesungguhnya seseorang mendapatkan pahala sesuai dengan apa yang telah diniatkannya (HR. Muttafaqqun Alaih).
Hadist ini menunjukkan bahwa niat adalah tanda keshalihan mendapatkan pahala sesuai dengan niatnya dalam berdedikasi terhadap pekerjaannya. Oleh karena itu, wajib bagi para guru agama modern yang telah mendapatkan title untuk berdedikasi dengan ikhlas. Karena keikhlasan menumbuhkan rasa cinta suatu pekerjaan. Jika suatu pekerjaan yang tidak dilakukan dengan rasa cinta, maka menyebabkan putus asa dan rasa bosan setiap kali melakukan pekerjaan itu.

b). gagasan purifikasi pendidikan Islam
Gagasan purifikasi pendidikan Islam erat kaitannya dengan gagasan pembaharuan Muhamammdiyah yang lahir dari persoalan adanya kenyataan yang akut karena dualisme model pendidikan masing – masing memiliki akar dan kepribadian yang saling bertolak belakang (Arifin, MT. 1987: 204).
    Madrasah pada saat itu, lebih fokus pada pendidikan agama dan diurus dengan swadanya masyarakat. Begitu juga dengan pendidikan yang diadakan oleh pemerintahan Kolonial Belanda yang juga menghilangkan pendidikan agama. Namun perkembangan madrasah sejak pertengahan tahun 1970, jauh berbeda dengan tahun – tahun sebelumnya, terutama sejak ditetapkan UU NO. 2 tahun 1987 tentang sistem pendidikan Nasional (UUS PN), posisi madrasah sejajar dengan sekolah umum. UUS PN NO. 20 tahun 2003 lebih tegas lagi bahwa madrasah adalah sekolah umum sebagai sekolah umum lainnya (Khozin. 2006: 111).
    Sebagaimana telah dijelaskan pada paraghrap pertama bahwa kenyataan yang ada yaitu terjadi dualisme model pendidikan yang bersebrangan orientasinya ke depan. Pendidikan itu sendiri merupaka suatu bimbingan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani. Perkembangan rohani inilah yang menjadi titik perbdeaan antara pendidikan Islam dengan pendidikan Kolonial Belanda. Kalau pendidikan Islam cenderung memperhatikan perkembangan jasmani dan rohani peserta didik saja dalam artian hanya menekankan perkembangan intelektual peserta didik.
    Pada tahun 1854, setidaknya ada tiga macam sekolah yang didirikan oleh pemerintah kolonia Belanda. Pertama, Sekolah Eropa yaitu sekolah khusus menampung anak – anak birokrat anak Belanda, dimana kurikulum dikembangkan oleh Belanda. Kedua Sekolah Barat yaitu sekolah – sekolah yang khsusus menampung anak – anak yang berkewarganegaraan Belanda. Tujuannya untuk memenuhi kebutuhan pemerintah Belanda yang ada di Indonesia. Dan yang ketiga Sekolah Vernakuler, yaitu sekolah yang kurikulumnya disusun sendiri oleh Belanda. Tujuan pendidikannya hampir sama dengan Sekolah Belanda, hanya sekola ini, bahasa daerah digunakan sebagai bahasa pengantar. Salah satu sekolah yang masuk dalam jenis sekolah ini adalah sekolah desa tiga tahun (Khozin. 2006: 74).
    Kemunculan sekolah “Barat” di atas melahirkan gagasan para tokoh pendidikan untuk menumbuhkan sekolah pribumi Taman Siswa dan sekolah – sekolah yang diselenggarakan oleh lembaga agama. Kebebasan berfikir para tokoh pendidikan di samping pengalaman, juga diwarnai dengan modernisme Islam yang berdasarkan pada induknya yaitu Al – Qur’an dan Sunnah (Hadist) Rasulullah saw, tetapi juga diwarnai dengan pemikiran yang progresif. Sehingga tidak heran, jika pendidikan Indonesia mengalami kemajuan.
    Menurut Maxisme Rodinson keaktifan sebagai pembangunan semangat sebagaimana yang telah mereka implementasikan. Karena mempunyai kaitan dengan rasional ajaran Al – Qur’an (Arifin, MT. 1987: 81). Gagasan pembaharuan pendidikan Indonesia erat kaitannya dengan gagasan pembaharuan Muhammadiyah yang lahir dari persoalan tentang adanya problematika pendidikan pribumi yaitu terjadinya keterbelakangan pendidikan yang akut karena adanya dualisme model pendidikan masing – masing memiliki akar dan kepribadian yang bertolak belakang.
    Sudut pandang keagamaan, maka sesungguhnya didirikannya Muhammadiyah pada dasarnya untuk menstimulasi pendidikan keagamaan dan memperbaiki kehidupan beragama para anggota organisasi tersebut. Dalam hubungan itu kependidikan organisasi Muhammadiyah dipetik dari gagasan asli KH. Ahmad Dahlan (Arifin, MT. 1987: 206).
    Tidak heran jika KH. Ahmad Dahlan melalui organisasi yang beliau pimpin melancarkan tadjid melalui dakwah dan pendidikan. Buah dari pemikiran yang progresif, KH. Ahmad Dahlan berhasil mendirikan Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Diniyah di rumahnya, Kauman, Yogyakarta. Madrasah ini merupakan  sekolah pertama dibangun dan dikelolah pribumi dengan sistem klasikal, memangkai bangku, kursi, papan tulis dan guru di depan kelas (Sucipto, Heri dan Najamuddin Ramli. 2005: 28). Tidak hanya itu, beliau juga mendirikan Kweekschool di Jetis, Yogyakarta dan Mosvia di Magelang dengan sistem pendidikan agama diajarkan secara intensif. Karena pada dasarnya Muhammadiyah adalah organisasi keagamaan sosial yang menekankan impelementasi dalam bentuk nyata.

b.    pemikiran dan gagasan serta peranan para tokoh pendidikan
Pertama, Syaikh Abdullah Ahmad, gagasan dan pemikirannya dalam pendidikan Islam, yaitu perlu adanya pemerataan pendidikan yang berkualitas bagi umat Islam, sebagaimana pendidikan yang telah diberikan oleh pemerintah Kolonial Belanda pada penduduknya (Nata, Abuddin. 2005: 418)
Upaya Abdullah Ahmad ini diwujudkan dengan mendirikan Adabiyah School di daerah Padang Panjang, sebagai sebuah sekolah modern pertama yang ada di Indonesia. Madrasah ini berdiri sebagai sekolah agama sampai pada tahun 1915, kemudian diubah menjadi HIS Adabiyah pada tahun 1915.
Kedua, Rahma El Yunisiah, gagasan dan pemikirannya dalam pendidikan Islam ialah perlunya pendidikan bagi kaum wanita. Gagasan ini merupakan pertama dan orisional yang tumbuh di Indonesia (Nata, Abuddin. 2005: 418). Ketiga, Syaikh Ibrahim Musa Parabek, gagasan dan pemikirannya dalam pendidikan Islam yaitu pentingnya pembinaan mental dan perlunya berorganisasi.
Selain ketiga tokoh yang telah disebutkan oleh penulis, masih ada beberapa tokoh yang mempunyai andil besar untuk memajukan sistem pendidikan Islam. Gagasan dan pemikiran yang dikemukakan oleh para tokoh pendidikan yang sekaligus berperan sebagai awal kebangkitan pendidikan Islam di Indonesia yang relevan dengan zaman.
Patut diapresiasikan kepada mereka adalah gagasan dan pemikiran yang masih relevan dengan zaman. Selain itum gagasan dan pemikiran yang dikemukakan oleh para tokoh pendidikan memperlihatkan integrasi yang sangat brilian meskipun terjadi kontroversi. Berkat gagasan dan pemikiran yang mereka impelementasikan, pendidikan Islam mulai diperhitungkan di Indonesia.

c.    Tinjauan Syari’at serta pengaruh dalam sistem pendidikan Islam
Sebagaimana telah diketahui jika pendidikan Islam mengalami kemajuan yang cukup signifuikan. Mulai dari madrasah hingga perguruan tinggi, ini tidak lepas dari gagasan dan pemikiran para tokoh pembaharu pendidikan yang sekaligus menjadi guru. Para tokoh mengimplementasikan gagasan dan pemikirannya selalu disertai dengan tujuan, karena suatu usaha tanpa disertai dengan tujuan tidak mempunyai apa – apa.
Seiring dengan perkembangan dan kemajuan pendidikan Islam yang telah digagas oleh para tokoh pendidikan, bukan berarti gagasan dan pemikiran tidak mendapatkan kontroversi dari beberapa pihak. Hal ini disebabkan beberapa gagasan dan pemikiran sebagian dari mereka bertentangan dengan pengertian pendidikan Islam itu sendiri, baik secara eksplisit maupun implicit.
Pendidikan Islam yaitu proses untuk membentuk manusia yang seutuhnya beriman kepada dan bertkaw Allah swt serta mampu mewujudkan eksistensinya sebagai khalifah Allah swt dimuka bumi yang berdasarkan Al – Quran dan Sunnah. Maka tujuan konteks ini berarti terciptanya insan – insan kamil setelah proses pendidikan berakhir (Arief, Armai. 2002: 16).
Ini terbukti dengan adanya kejadian pada tahun 2004 di UIN Sunan Ampel Bandung, para mahasiswa universitas tersebut mencaci Allah swt dengan teriakan “Anjinghu Akbar” muncul kejadian seperi itu tidak lepas dari penggagas sistem pendidikan yang tidak berpedoman pada Al – Quran dan Sunnah. Dengan orientasi justru kearah sosio historis dan filsafat dengan menyingkirkan ilmu Islam yang baku seta metode keilmuan Islam. Maka ada dua prinsip yang telah dibelokkan
·    Epistemologi yang dimiliki oleh para dosen dan sudah dirancang menurut pemikiran para orientalis dengan tujuan jauh dari epistemologi Islam
·    Materi yang dimiliki oleh para dosen yang tingkat pendidikannya bukan materi ilmu Islam (Jaiz, Hartono. 2005: xvii)

Dengan sistem pendidikan Islam seperti itu, secara tidak langsung memperlancar pemutadan (Kristenisasi) dalam bentuk mindset calon intelektual muda Islam. Bahkan kurikulum IAIN, UIN, STAIN dan STAIS kini penekanannya pada apa yang disebut sosio histories, dan penekanan ini sangar berbahaya dalam dunia akademik Islam.
Perlu diketahui, jika pelajar dan mahasiswa adalah aset yang paling berharga suatu bangsa. Karena mahasiswa adalah elemen generasi muda yang meskipun sekarang tidak lagi elite yang amat eksklusif dibandingkan pada masa kebangkitan nasional dahulu. Tetapi kelompok ini masih memiliki posisi strategis dan protektif, paling tidak ada dua faktor yang dimiliki oleh para mahasiswa untuk bisa memainkan peranan dalam menopang tuntutan zaman yaitu mereka merupakan aset Negara dan mahasiswa adalah kelompok yang memiliki peluang untuk mengembangkan idealismenya (Fadjar, Malik dan Muhadjir Effendi. 1998: 59).
Lebih bijaksana jika para mahasiswa diberi kebebasan mengembangkan idealismenya tetapi tidak bertentangan dengan Al – Quran dan Sunnah. Karena apabila bertentangan dengan kedua pondasi tersebut dikhawatirkan menghasilkan intelektual yang hanya bisa mencaci Islam.
Namun terlepas dari dampaknya tadi, sudah saatnya pendidik mengambil tauladan dari para tokoh pendidikan yang memperlihatkan integritas yang tinggi. Syari’at Islam sangat mementingkan pendidikan, sesuai dengan Firman Allah dalam surat Al ‘alaq pada ayat pertama.
Untuk itu, unsur – unsur ideology yang sangat signifikan dalam pendidikan  pengembangan pendidikan Islam. Pendidika merupakan unsure keyakinan (akidah) unsur kerangka ideology dan gerakan ideology (Padil,, Moh. 2006: 145). Ketiga unsur ini sangar penting dalam pendidikan Islam yang mana ketiganya apabila diperhatikan maka pendidikan Islam mengalami kemajuan.

Daftar Pustaka
Al Quran Al Karim. 2007. Jakarta: PT. Sabiq
Arifin, MT. 1987. Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya
Fadjar, A. Malik dan Muhadjir Effendi. 1998. Dunia Perguruan Tinggi dan Kemahasiswaan. Malang: UMM Press
Sucipto, Heri dan Nadjamuddin Ramli. 1999. Tadjid Muhammadiyah dari Muhammdiyah Ahlan Dahlan hingga Amien Rais dan Syafi’I Ma’arif. Jakarta: Grafindo
Nata, Abuddin. 2005. Tokoh – tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Pendidikan Indonsia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Jaiz, Hartono Ahmad. 2005. Ada Pemurtadan di IAIN. Jakarta: Pustaka Al – Kautsar
Khozin. 2006. Jejak – jejak Pendidikan Islam di Indonesia. Malang: UMM Press
Arief, Armai. 2002. Pengantar dan Metologi Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Press
Padil, Muhammad. 2006 “Islam Menjadi Ideologi Pendidikan Islam, Munkinkah” Progresiva volume 1/Nomor 2/Desember. Hal. 139. Malang: Tarbiyah UMM
Hikmatullah. 2006 “Muhammadiyah dan Perubahan Arah Gerakan” Progresiva volume 1/Nomor 1/Januari – Juni 2006. halaman 122. Malang: Tarbiyah UMM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mari kita membaca dengan hati plus mata