19 Okt 2013

Wacana Dakwah Kultural dalam Tubuh Muhammadiyah


Judul Artikel: Dakwah Kultural; Revisi Paham Keagamaan Muhammadiyah
Penulis         : U. Tanthowi
Pereview      : M. Feri Firmansyah
Hal.              : 80-89

Muhammadiyah merupakan salah satu gerakan dakwah yang mempunyai pengaruh signifikan dalam perkembangan Islam di Indonesia. Namun dalam menyebarkan syiar islam yang sesuai dengan Matan Keyakinan Cita-cita Hidup Muhammadiyah, yakni kembali kepada al-Quran dan Sunnah, mengalami kendala. Ini dikarenakan masih kuatnya sinkritisme yang berkembang luas dalam masyarakat yang mana tradisi menjadi ibadah walaupun ini tidak ada tuntunan dari Rasulullah SAW.

Dari persoalan seperti inilah wacana tentang “dakwah kultural” perlu implementasikan dalam gerakan Muhammadiyah. Tetapi wacana ini banyak memperoleh tantangan dan kritik di kalangan intern Muhammadiyah dengan anggapan apabila Muhammadiyah menggagas dakwah kultural maka Muhammadiyah akan dibuat sama dengan NU. Kelompok ini berpendapat jika selama ini Muhammadiyah telah konsisten mengusung teologi purifikasi dan menginginkan berlakunya ajaran Islam yang otentik dan murni.
Dan yang menjadi sasaran dakwah Muhammadiyah adalah seluruh penafsiran dan praktik-praktik keagamaan yang tidak sesuai dengan al-Quran dan Sunnah, beserta seluruh organisasi yang mendukungnya. Salah satunya NU, mereka menganggap bahwa penafsiran dan praktik keagamaan NU tidak absah dan karena itu harus dibenarkan. Oleh karena itu, gagasan dakwah kultural tidak dapat dibenarkan, karena mentoleransi penafsiran dan praktik-praktik keagamaan yang dianggap tidak absah.
Menghadapi situasi keberagamaan seperti ini, Muhammadiyah telah mengusung teologi reformasi yang tersusun dalam konsep tajdid, ijtihad dan berpedoman kepada al-Quran dan Sunnah. Namun perlu diingat adalah, bahwa dalam melaksanakan teologi reformasi ini, Muhammadiyah sama sekali menggunakan pendekatan arbitrer. Muhammadiyah lebih menggunakan pendekatan akomodatif, yakni keluwesan dalam berdakwah. Seperti yang pernah dipraktekkan oleh K.H. Ahmad Dahlan sendiri ketika memberikan pelajaran agama Islam di Kweekschool Jetis, Yogyakarta. Salah seorang muridnya bertanya apakah shalat yang menggunakan bahasa Jawa diperbolehkan sebelum dapat membaca dengan bahasa Arab. Kyai Dahlan menjawab boleh, namun harus diiringi dengan belajar untuk bisa mengucapkan bahasa Arab.
Dari persoalan yang telah dipaparkan tadi, inilah yang menyebabkan wacana dakwah kultural perlu bagi warga Muhammadiyah agar bisa diterima oleh masyarakat. Yang mana konsep dakwah kultural adalah bukan berarti revisi total terhadap paham keagamaan Muhammadiyah dalam bidang seni, budaya, tetapi sekedar perluasan dan diverifikasi metodologi dakwah untuk disesuaikan dengan sasaran dakwahnya. Konsep tajdid, ijtihad dan kembali kepada al-Quran dan Sunnah sama sekali tidak dirubah. Konsep dakwah kultural, adalah sebagai bentuk upaya menyesuaikan penafsiran dan pelaksanaan atas teologi reformasi tersebut dengan berbagai kelompok masyarakat yang memang sangat nyata di dalam masyarakat Indonesia.
Konsep dakwah kultural itu memang bagus dan cocok untuk diterapkan bagi warga Muhammadiyah, akan tetapi sejauh ini belum ada rumusan yang jelas tentang defenisi dakwah kultural. Sehingga ini yang membuat dakwah menjadi sulit dipahami oleh warga Muhammadiyah itu sendiri untuk diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, U. Tanthowi tidak menjelaskan mana seni budaya yang sinkritisme (praktik keagamaan yang telah tercampur dengan budaya) yang bisa menjerumuskan pada kesyirikan ataupun melanggar syariat Islam itu sendiri dan mana yang tidak  melanggar syariat.  Meskipun dakwah kultural bertujuan agar Islam sesuai dengan sifat universalnya sehingga dapat ditampilkan dengan wajah damai, santun, toleran dan tidak “ganas” dalam menghadapi pluralitas kebudayaan masyarakat. Namun penting untuk dipahami bahwa dakwah kultural penting untuk diterapkan karena dapat mengembalikan tatanan sosial yang harmonis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mari kita membaca dengan hati plus mata