Oleh M. Feri Al-Bageloka
Abstract-curriculum is a elemen very important in education. Component of curriculum are content, strategy and evaluation. Curriculum must have a real consept to success in education. Like management, final destination (purpose) and content.
Keyword- curriculum, education and consept.
a. Pendahaluan
Pendidikan Islam dihadapkan dengan berbagai masalah dan tantangan baik secara eksternal maupun internal. Seperti merosotnya moral anak bangsa Indonesia, sadar atau tidak Pendidikan Islam menjadi tonggak keberhasilan Pendidikan Indonesia secara umum. Hal ini disebabkan pendidikan Islam itu mencakup semua taksonomi pendidikan yang diungkapkan oleh Bloom antara lain;
kognitif, afektif dan psikomotorik.
Permasalahan yang dihadapi oleh Pendidikan Islam yakni semakin kuatnya pengaruh budaya asing non edukatif yang menglobal seperti budaya materialisme, konsumrisme, hedonisme dan sebagainya. Sehingga berakibat pada output pendidikan dan masyarakat umumnya. Inilah dampak persaingan global dan krisis multidimensional yang harus segera mungkin dicarikan solusinya agar masa depan pendidikan anak bangsa menjadi lebih baik.
Berbagai kurikulum telah dicoba untuk mengembangkan peserta didik hingga yang terbaru sekerang Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Namun permasalahan yang telah penulis ungkapkan tetap saja masih menghantui pendidikan Indonesia. Karena dengan adanya permasalahan di atas banyak yang menilai jika kurikulum Pendidikan Indonesia itu gagal.
Kurikulum itu sendiri dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa “kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pembelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu”.
Kurikulum merupakan salah satu komponen pokok aktivitas pendidikan, dan merupakan penjabaran dari idealism, cita-cita, tuntutan masyarakat atau kebutuhan tertentu. Dari kurikulum inilah akan diketuhui arah pendidikan, alternatif pendidikan, fungsi pendidikan serta hasil pendidikan yang hendak dicapai dari aktivitas pendidikan. Karena itu, kurikulum selalu menjadi bahan perbincangan yang menarik dan aktual, bahkan kalangan masyarakat pendidikan sering muncul ungkapanb bahwa “ganti materi ganti kurikulum”, walaupun dalam kenyataannya tidak demikian. (Muhaimin. 2009: 1)
Ketika berbicara tentang kurikulum akan menyangkut beberapa komponen yaitu tujuan, isi (conten), strategi dan evaluasi. Hal ini berimplikasi pada keharusan seorang guru sebagai pemeran utama pendidikan untuk memahami standar kompetensi lulusan, standar isi, standar proses dan standar penilaian sehingga ia dapat menjalankan tugasnya secara profesional.
Dengan begitu secara tidak langsung kurikulum memiliki peranan yang penting bagi pendidikan. Karena tanpa kurikulum dengan hanya mengandalkan proses pembelajaran saja dalam maka itu berpotensi gagal bahkan ouputnya tidak jelas mau jadi apa.
b. Macam-macam kurikulum
Dalam sejarah pendidikan Indonesia pergantian dan pelaksanaan kurikulum terasa cepat. Ini seakan-akan harus mengikuti apa yang dikehendaki oleh penguasa. Bila sudah tidak dikehendaki maka dibuang dan diganti dengan kurikulum lainnya. Persoalan yang dihadapi kemudian adalah menambah keruwetan pelaksanaan pendidikan sebagai alat mencerdaskan kehidupan bangsa.
Untuk mengenal lebih mendalam bongkar pasang kurikulum pendidikan Indonesia. Maka penulis akan menjelaskan secara detail kurikulum-kurikulum pendidikan Indonesia, diantaranya; pertama, di era Orde Baru, kurikulum pendidikan dimulai dengan adanya TAPS MPRS NO. XXVII/MPRS/1966 tentang agama, pendidikan dan kebudayaan atau disebut kurikulum 1968. Ini melahirkan rumusan kongkrit bagaimana pendidikan harus membentuk manusia Pancasialis sejati berdasarkan ketentuan-ketentuan sebagaimana yang dikehendaki oleh Pembukaan UUD 1945. Secara tegas, isi pendidikan bertujuan untuk mempertinggi mental, moral, budi pekerti, memperkuat keyakinan beragama, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan dan mengembangkan fisik yang kuat dan sehat (Yamin, Moh. 2009: 123). Selain itu, kurikulum ini juga memberikan penegasan kebebasan ilmiah untuk melakukan aktualisasi diri di perguruan tinggi yang tidak menyimpang dari UUD 1945 dan falsafah Pancasila.
Kurikulum yang kedua, Kurikulum 1975 itu secara tegas mempunyai konsep bahwa pendidikan ditentukan dari pusat, para pengajar tidak perlu berpikir membuat konsep sendiri bagaimana pola pengajaran yang baik harus digelar dalam kelas (Yamin, Moh. 2009: 125). Kurikulum ini sangat bertentangan dengan tujuan pendidikan, yakni mencerdaskan anak bangsa dengan memberikan para guru menentukan pola pembelajaran yang sesuai dengan kemampuannya bukan diatur dari pusat. Ketiga, Kurikulum 1984. Kurikulum ini memiliki cirri-ciri sebagai berikut: 1. Apa yang bisa diajarkan? 2. Mengapa diajarkan? 3. Bagaimana diajarkan? (Yamin, Moh. 2009: 126).
Menurut Dr. Daoed Joesoef, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, melahirkan kebijakan sistem pendidikan nasional yang memiliki ciri sebagai berikut:
1. Semesta, yakni mencakup semua unsur kebudayaan, seperti logika, etika dan lain-lain
2. Menyeluruh, yakni mencakup pendidikan secara formal maupun informal
3. Terpadu, yakni satu kesatuan tak terpisahkan dalam sistem pendidikan nasional.
Kurikulum keempat, Kurikulum 1994. Kurikulum ini memiliki konsep bahwa pendidikan diarahkan pada pembentukan karakter anak didik yang memiliki kemampuan dasar siap bekerja dengan skill yang baik sehingga bisa digunakan di masyarakat. Lebih tepatnya, pendidikan bertujuan untuk memproduksi output yang siap pakai. Kelima, Kurikulum 2004 atau lebih dikenal dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Kurikulum ini mempunyai konsep bahwa peserta didik itu harus benar-benar menjadi seorang saintis (peneliti), pemikir. Jadi inti dari kurikulum ini lebih menekankan pada aspek kognisi saja. Kelima, kurikulum 2006 yang diberi nama Kurikulun Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), konsep kurikulum ini tertuang dalam Standar Nasional Pendidikan (SNP Pasal 1, ayat 15) dikemukakan bahwa Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh mansing-masing satuan pendidikan.
KTSP disusun dan dikembangkan berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 36 ayat 1 dan 2) sebagai berikut;
1) Pengembangan kurikulum mengacu pada Standar Nasional Pendidikan untuk mewujudkan Tujuan Pendidikan Nasional.
2) Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah dan peserta didik (Mulyasa, E. 2009: 20)
Dari uraian di atas secara langsung menerangkan bahwa KTSP merupakan paradigma baru pengembangan kurikulum, yang memberikan otonomi luas pada setiap satuan pendidikan dan pelibatan masyarakat dalam rangka mengefektifkan proses belajar-mengajar di sekolah. Otonomi diberikan agar setiap satuan pendidikan dan sekolah memiliki keleluasaan dalam mengelola sumber daya, sumber dana, sumber belajar dan mengalokasikannya sesuai prioritas kebutuhan serta lebih tanggap terhadap kebutuhan masyarakat setempat.
c. Konsep Kurikulum pendidikan Islam
1.1 how to konsep kurikulum Pendidikan Islam
Konsep dasar kurikulum pendidikan Indonesia itu berangkat permasalahan moral yang melanda anak bangsa. Selain itu, konsep Pendidikan Islam juga tertera dalam Undan-Undang sebagai berikut:
a. Pasal 30 (1) Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional (Sisdiknas) dikatakan bahwa “Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh pemerintah dan/oleh kelompok masyarakat dari pemeluk agama sesuai dengan peraturan-peraturan perundang-undangan [UU RI NO. 20/2003, Pasal 30 (1)].
b. Pendidikan keagamaan berfungsi “mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama.” [UU RI NO. 20/2003, Pasal 30 ayat 2).
c. Pendidikan keagamaan “dapat dilaksanakan pada jalur pendidikan formal, nonformal dan informal.” [UU RI No. 20/ 2003, Pasal 30 (3)]. (Baharuddin dan Moh. Makin. 2010: 14)
Menurut H. Horne memberikan dasar kurikulum dengan tiga macam, yaitu; pertama dasar psikologis, yang digunakan untuk mengetahui kemampuan yang diperoleh dari pelajar dan kebutuhan peserta didik (the ability and need of children). Kedua, dasar sosiologis, yang digunakan untuk mengetahui tuntutan sah dari masyarakat (the legitimate demands of sosicety). Ketiga dasar filosofis, yang digunakan untuk mengetahui keadaan alam semesta tempat kita hidup (the kind of universe in which we live). (Mujib, Abdul dan Jusuf Mudzakkir. 2008: 124).
Dalam perspektif Islam, pendapat Horne di atas sesungguhnya belum menjadim bahwa suatu kurikulum dapat dijadikan alat untuk mencapai tujuan pendidikan, karena belum memasukkan dasar religious yang wajib diresapi oleh peserta didik sejalan dengan tujuan yang ditetapkan. Karena itu, al-Syaibani menetapikan empat pokok dalam kurikulum pendidikan Islam, yaitu dasar religi, dasar falsafah, dasar psikologis, dasar sosiologis dan dapat pula ditambah dasar organisatoris.
Dengan begitu kurikulum pendidikan Islam itu mempunyai prinsip sendiri yang mana prinsip ini berperan untuk mengokohkan kurikulum pendidikan Islam agar tidak terpengaruhi oleh perubahan zaman. Menurut al-Sayibani, Prinsip utama dalam kurikulum pendidikan Islam adalah sebagai berikut: (1) berorientasi pada Islam, termasuk ajaran dan nilai-nilainya. Adapun kegiatan kurikulum yang baik berupa falsafah, tujuan, metode, prosedur, pembelajaran dan hubungan-hubungan yang berlaku di lembaga harus berdasarkan Islam; (2) prinsip menyeluruh (syumuliyah) baik dalam tujuan maupun isi kandungannya; (3) prinsip keseimbangan (tawazun) antara tujuan dan kandungan kurikulum; (4) prinsip interaksi (ittishaliyah) antara kebutuhan siswa dan kebutuhan masyarakat; (5) prinsip pemeliharaan (wiqayah) antara perbedaan-perbedaan individu; (6) prinsip perkembangan (tanmiyah) dan perubahan (taghayur) seiring dengan tuntutan yang ada dengan tidak mengabaikan nilai-nilai absolute ilahiyah; dan (7) prinsip integritas (muhawahadah) antara mata pelajaran, pengalaman dan aktivitas kurikulum dengan kebutuhan peserta didik, masyarakat dan tuntutan zaman tempat peserta didik berada. (Mujib, Abdul dan Jusuf Mudzakkir. 2008: 134).
Pada dasarnya kurikulum Pendidikan Islam berkeinginan untuk mencerdaskan peserta didik dengan cara mentransfer pengetahuan (transfer of knowledge), menanamkan nilai (transfer of value) dan menanamkan pengalaman (transfer of experience). Dengan ketiga prinsip ini maka akan terbentuklah pendidikan yang berkarakter (pendidikan moral).
1.2 Model Pengembangan Kurikulum Alternatif
Kurikulum menjadi perbincangan hangat seiring dengan merosotnya dekadansi moral anak bangsa. Belum lagi, kualitas pendidikan Indonesia masih kalah saing dengan Negara-negara tetangga seperti Malaysia, Singapura. Menurut Rahim menyatakan bahwa kurikulum bukanlah sebagai penyebab kemerosotan pendidikan di Indonesia. Perubahan kurikulum dari 1968, 1975, 1984, 1994, 2004 hingga sekarang KTSP, ternyata tidak langsung memecahkan persoalan yang ada. Ada faktor-faktor lain yang menyebabkan kemorosotan tersebut, yaitu; ketersedian pendidik yang belum memadai baik kuantitas maupun kualitasnya, keengganan siswa utnuk belajar, fasilitas belajar belum memadai, manejemen pendidikan yang belum efektif dan efesien dan lain sebagainya.
Pengembangan kurikulum merupakan suatu kegiatan yang tidak pernah selesai, dalam arti ia harus dilakukan secara terus-menerus dan berkelanjutan baik dalam aspek perencanaan, implementasi maupun evaluasinya. Hanya saja dalam tradisi kita biasanya ketika melakukan pengembangan kurikulum lebih banyak disibukkan dan berhenti pada aspek curriculum plan (kurikulum sebagai dokumen), yang meliputi perumusan standar kompetensi lulusan, penentuan serangkaian mata kuliah serta bobot sks-nya, penyusunan silabus, dan penyusunan program kegiatan (SAP). Sedangkan pada aspek actual curriculum atau kegiatan nyata biasanya terlupakan dan penciptaan suasana belajar. Padahal, apa artinya kurikulum sebagai dokumen jika tidak ditindaklanjuti dengan actual curriculum. Karena itu, dalam pengembangan kurikulum ini perlu memperhatikan kedua-duanya. (Muhaimin. 2009: 151).
Menurut Prof. Dr. Muhaimin, M.A. (2010: 216) penciptaan suasana lingkungan yang religius harus menjadi komitmen bagi setiap warga madrasah dalam rangka mewujudkan sebagai wahana untuk membina ruh dan praktik hidup keislaman. PAI juga menjadi motivator dan dinamisator bagi pengembangan kualitas IQ (intelligent Quotient), EQ (emotional Quetient), CQ (creativity Quotient) dan SQ (Spiritual Quotient). PAI merupakan Inti, sehingga mata pelajaran yang lain seperti matematika, kewarnegaraan dan lain sebagainya disamping harus mengembangkan kualitas EQ (Emotional Quotient) dan SQ (Spiritual Qoutient), juga harus dijiwai oleh pendidikan agama Islam (PAI), sebagaimana yang telah termaktub dalam al-Quran dan al-Hadist. Selain penjiwaan PAI, perlu juga didukung oleh media atau sumber yang memadai dan penciptaan suasana lingkungan religiuf yang kondusif.
d. Peran kurikulum dan fungsi kurikulum
Kurikulum merupakan elemen terpenting dalam pendidikan, tanpa kurikulum maka pendidikan itu tidak akan berjalan dengan lancar atau tidak sesuai dengan harapan. Di sinilah peran kurikulum yakni membentuk karakter anak bangsa.
Kurikulum merupakan muara kesuksesan suatu bangsa dengan jelasnya Kurikulum Pendidikan maka makin jelas pula arah pendidikan tersebut. Karena di dalam kurikulum itu terdapat isi, metode pembelajaran serta tujuan pendidikan.
Fungsi kurikulum dalam pendidikan Islam adalah sebagai berikut: (1) alat untuk mencapai tujuan dan untuk menempuh harapan manusia sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan; (2) pedoman dan program harus dilakukan oleh subyek dan obyek pendidikan; (3) fungsi kesinambungan untuk persiapan pada jenjang sekolah berikutnya dan penyiapan tenaga kerja bai yang tidak melanjutkan; dan (4) standar dalam penilaian criteria keberhasilan suatu proses pendidikan, atau sebagai batasan dari program kegiatan yang akan dijalankan pada caturwulan, semester maupun pada tingkat pendidikan tertentu (Mujib, Abdul dan Jusuf Mudzakkir. 2008: 134).
___. 2010. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi. Jakarta: Rajawali Press
Mulyasa, E. 2010. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Sebuah Panduan Praktis. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Yamin, Moh. 2009. Manajemen Mutu Kurikulum Pendidikan. Yogyakarta: Diva Press
Mujib, Abdul dan Jusuf Mudzakkir. 2008. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana
Tobroni. 2008. Pendidikan Islam; Paradigma Teologis, Filosofis dan Spiritualitas. Malang: UMM Press
Abstract-curriculum is a elemen very important in education. Component of curriculum are content, strategy and evaluation. Curriculum must have a real consept to success in education. Like management, final destination (purpose) and content.
Keyword- curriculum, education and consept.
a. Pendahaluan
Pendidikan Islam dihadapkan dengan berbagai masalah dan tantangan baik secara eksternal maupun internal. Seperti merosotnya moral anak bangsa Indonesia, sadar atau tidak Pendidikan Islam menjadi tonggak keberhasilan Pendidikan Indonesia secara umum. Hal ini disebabkan pendidikan Islam itu mencakup semua taksonomi pendidikan yang diungkapkan oleh Bloom antara lain;
kognitif, afektif dan psikomotorik.
Permasalahan yang dihadapi oleh Pendidikan Islam yakni semakin kuatnya pengaruh budaya asing non edukatif yang menglobal seperti budaya materialisme, konsumrisme, hedonisme dan sebagainya. Sehingga berakibat pada output pendidikan dan masyarakat umumnya. Inilah dampak persaingan global dan krisis multidimensional yang harus segera mungkin dicarikan solusinya agar masa depan pendidikan anak bangsa menjadi lebih baik.
Berbagai kurikulum telah dicoba untuk mengembangkan peserta didik hingga yang terbaru sekerang Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Namun permasalahan yang telah penulis ungkapkan tetap saja masih menghantui pendidikan Indonesia. Karena dengan adanya permasalahan di atas banyak yang menilai jika kurikulum Pendidikan Indonesia itu gagal.
Kurikulum itu sendiri dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa “kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pembelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu”.
Kurikulum merupakan salah satu komponen pokok aktivitas pendidikan, dan merupakan penjabaran dari idealism, cita-cita, tuntutan masyarakat atau kebutuhan tertentu. Dari kurikulum inilah akan diketuhui arah pendidikan, alternatif pendidikan, fungsi pendidikan serta hasil pendidikan yang hendak dicapai dari aktivitas pendidikan. Karena itu, kurikulum selalu menjadi bahan perbincangan yang menarik dan aktual, bahkan kalangan masyarakat pendidikan sering muncul ungkapanb bahwa “ganti materi ganti kurikulum”, walaupun dalam kenyataannya tidak demikian. (Muhaimin. 2009: 1)
Ketika berbicara tentang kurikulum akan menyangkut beberapa komponen yaitu tujuan, isi (conten), strategi dan evaluasi. Hal ini berimplikasi pada keharusan seorang guru sebagai pemeran utama pendidikan untuk memahami standar kompetensi lulusan, standar isi, standar proses dan standar penilaian sehingga ia dapat menjalankan tugasnya secara profesional.
Dengan begitu secara tidak langsung kurikulum memiliki peranan yang penting bagi pendidikan. Karena tanpa kurikulum dengan hanya mengandalkan proses pembelajaran saja dalam maka itu berpotensi gagal bahkan ouputnya tidak jelas mau jadi apa.
b. Macam-macam kurikulum
Dalam sejarah pendidikan Indonesia pergantian dan pelaksanaan kurikulum terasa cepat. Ini seakan-akan harus mengikuti apa yang dikehendaki oleh penguasa. Bila sudah tidak dikehendaki maka dibuang dan diganti dengan kurikulum lainnya. Persoalan yang dihadapi kemudian adalah menambah keruwetan pelaksanaan pendidikan sebagai alat mencerdaskan kehidupan bangsa.
Untuk mengenal lebih mendalam bongkar pasang kurikulum pendidikan Indonesia. Maka penulis akan menjelaskan secara detail kurikulum-kurikulum pendidikan Indonesia, diantaranya; pertama, di era Orde Baru, kurikulum pendidikan dimulai dengan adanya TAPS MPRS NO. XXVII/MPRS/1966 tentang agama, pendidikan dan kebudayaan atau disebut kurikulum 1968. Ini melahirkan rumusan kongkrit bagaimana pendidikan harus membentuk manusia Pancasialis sejati berdasarkan ketentuan-ketentuan sebagaimana yang dikehendaki oleh Pembukaan UUD 1945. Secara tegas, isi pendidikan bertujuan untuk mempertinggi mental, moral, budi pekerti, memperkuat keyakinan beragama, mempertinggi kecerdasan dan keterampilan dan mengembangkan fisik yang kuat dan sehat (Yamin, Moh. 2009: 123). Selain itu, kurikulum ini juga memberikan penegasan kebebasan ilmiah untuk melakukan aktualisasi diri di perguruan tinggi yang tidak menyimpang dari UUD 1945 dan falsafah Pancasila.
Kurikulum yang kedua, Kurikulum 1975 itu secara tegas mempunyai konsep bahwa pendidikan ditentukan dari pusat, para pengajar tidak perlu berpikir membuat konsep sendiri bagaimana pola pengajaran yang baik harus digelar dalam kelas (Yamin, Moh. 2009: 125). Kurikulum ini sangat bertentangan dengan tujuan pendidikan, yakni mencerdaskan anak bangsa dengan memberikan para guru menentukan pola pembelajaran yang sesuai dengan kemampuannya bukan diatur dari pusat. Ketiga, Kurikulum 1984. Kurikulum ini memiliki cirri-ciri sebagai berikut: 1. Apa yang bisa diajarkan? 2. Mengapa diajarkan? 3. Bagaimana diajarkan? (Yamin, Moh. 2009: 126).
Menurut Dr. Daoed Joesoef, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, melahirkan kebijakan sistem pendidikan nasional yang memiliki ciri sebagai berikut:
1. Semesta, yakni mencakup semua unsur kebudayaan, seperti logika, etika dan lain-lain
2. Menyeluruh, yakni mencakup pendidikan secara formal maupun informal
3. Terpadu, yakni satu kesatuan tak terpisahkan dalam sistem pendidikan nasional.
Kurikulum keempat, Kurikulum 1994. Kurikulum ini memiliki konsep bahwa pendidikan diarahkan pada pembentukan karakter anak didik yang memiliki kemampuan dasar siap bekerja dengan skill yang baik sehingga bisa digunakan di masyarakat. Lebih tepatnya, pendidikan bertujuan untuk memproduksi output yang siap pakai. Kelima, Kurikulum 2004 atau lebih dikenal dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Kurikulum ini mempunyai konsep bahwa peserta didik itu harus benar-benar menjadi seorang saintis (peneliti), pemikir. Jadi inti dari kurikulum ini lebih menekankan pada aspek kognisi saja. Kelima, kurikulum 2006 yang diberi nama Kurikulun Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), konsep kurikulum ini tertuang dalam Standar Nasional Pendidikan (SNP Pasal 1, ayat 15) dikemukakan bahwa Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh mansing-masing satuan pendidikan.
KTSP disusun dan dikembangkan berdasarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 36 ayat 1 dan 2) sebagai berikut;
1) Pengembangan kurikulum mengacu pada Standar Nasional Pendidikan untuk mewujudkan Tujuan Pendidikan Nasional.
2) Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah dan peserta didik (Mulyasa, E. 2009: 20)
Dari uraian di atas secara langsung menerangkan bahwa KTSP merupakan paradigma baru pengembangan kurikulum, yang memberikan otonomi luas pada setiap satuan pendidikan dan pelibatan masyarakat dalam rangka mengefektifkan proses belajar-mengajar di sekolah. Otonomi diberikan agar setiap satuan pendidikan dan sekolah memiliki keleluasaan dalam mengelola sumber daya, sumber dana, sumber belajar dan mengalokasikannya sesuai prioritas kebutuhan serta lebih tanggap terhadap kebutuhan masyarakat setempat.
c. Konsep Kurikulum pendidikan Islam
1.1 how to konsep kurikulum Pendidikan Islam
Konsep dasar kurikulum pendidikan Indonesia itu berangkat permasalahan moral yang melanda anak bangsa. Selain itu, konsep Pendidikan Islam juga tertera dalam Undan-Undang sebagai berikut:
a. Pasal 30 (1) Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional (Sisdiknas) dikatakan bahwa “Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh pemerintah dan/oleh kelompok masyarakat dari pemeluk agama sesuai dengan peraturan-peraturan perundang-undangan [UU RI NO. 20/2003, Pasal 30 (1)].
b. Pendidikan keagamaan berfungsi “mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/atau menjadi ahli ilmu agama.” [UU RI NO. 20/2003, Pasal 30 ayat 2).
c. Pendidikan keagamaan “dapat dilaksanakan pada jalur pendidikan formal, nonformal dan informal.” [UU RI No. 20/ 2003, Pasal 30 (3)]. (Baharuddin dan Moh. Makin. 2010: 14)
Menurut H. Horne memberikan dasar kurikulum dengan tiga macam, yaitu; pertama dasar psikologis, yang digunakan untuk mengetahui kemampuan yang diperoleh dari pelajar dan kebutuhan peserta didik (the ability and need of children). Kedua, dasar sosiologis, yang digunakan untuk mengetahui tuntutan sah dari masyarakat (the legitimate demands of sosicety). Ketiga dasar filosofis, yang digunakan untuk mengetahui keadaan alam semesta tempat kita hidup (the kind of universe in which we live). (Mujib, Abdul dan Jusuf Mudzakkir. 2008: 124).
Dalam perspektif Islam, pendapat Horne di atas sesungguhnya belum menjadim bahwa suatu kurikulum dapat dijadikan alat untuk mencapai tujuan pendidikan, karena belum memasukkan dasar religious yang wajib diresapi oleh peserta didik sejalan dengan tujuan yang ditetapkan. Karena itu, al-Syaibani menetapikan empat pokok dalam kurikulum pendidikan Islam, yaitu dasar religi, dasar falsafah, dasar psikologis, dasar sosiologis dan dapat pula ditambah dasar organisatoris.
Dengan begitu kurikulum pendidikan Islam itu mempunyai prinsip sendiri yang mana prinsip ini berperan untuk mengokohkan kurikulum pendidikan Islam agar tidak terpengaruhi oleh perubahan zaman. Menurut al-Sayibani, Prinsip utama dalam kurikulum pendidikan Islam adalah sebagai berikut: (1) berorientasi pada Islam, termasuk ajaran dan nilai-nilainya. Adapun kegiatan kurikulum yang baik berupa falsafah, tujuan, metode, prosedur, pembelajaran dan hubungan-hubungan yang berlaku di lembaga harus berdasarkan Islam; (2) prinsip menyeluruh (syumuliyah) baik dalam tujuan maupun isi kandungannya; (3) prinsip keseimbangan (tawazun) antara tujuan dan kandungan kurikulum; (4) prinsip interaksi (ittishaliyah) antara kebutuhan siswa dan kebutuhan masyarakat; (5) prinsip pemeliharaan (wiqayah) antara perbedaan-perbedaan individu; (6) prinsip perkembangan (tanmiyah) dan perubahan (taghayur) seiring dengan tuntutan yang ada dengan tidak mengabaikan nilai-nilai absolute ilahiyah; dan (7) prinsip integritas (muhawahadah) antara mata pelajaran, pengalaman dan aktivitas kurikulum dengan kebutuhan peserta didik, masyarakat dan tuntutan zaman tempat peserta didik berada. (Mujib, Abdul dan Jusuf Mudzakkir. 2008: 134).
Pada dasarnya kurikulum Pendidikan Islam berkeinginan untuk mencerdaskan peserta didik dengan cara mentransfer pengetahuan (transfer of knowledge), menanamkan nilai (transfer of value) dan menanamkan pengalaman (transfer of experience). Dengan ketiga prinsip ini maka akan terbentuklah pendidikan yang berkarakter (pendidikan moral).
1.2 Model Pengembangan Kurikulum Alternatif
Kurikulum menjadi perbincangan hangat seiring dengan merosotnya dekadansi moral anak bangsa. Belum lagi, kualitas pendidikan Indonesia masih kalah saing dengan Negara-negara tetangga seperti Malaysia, Singapura. Menurut Rahim menyatakan bahwa kurikulum bukanlah sebagai penyebab kemerosotan pendidikan di Indonesia. Perubahan kurikulum dari 1968, 1975, 1984, 1994, 2004 hingga sekarang KTSP, ternyata tidak langsung memecahkan persoalan yang ada. Ada faktor-faktor lain yang menyebabkan kemorosotan tersebut, yaitu; ketersedian pendidik yang belum memadai baik kuantitas maupun kualitasnya, keengganan siswa utnuk belajar, fasilitas belajar belum memadai, manejemen pendidikan yang belum efektif dan efesien dan lain sebagainya.
Pengembangan kurikulum merupakan suatu kegiatan yang tidak pernah selesai, dalam arti ia harus dilakukan secara terus-menerus dan berkelanjutan baik dalam aspek perencanaan, implementasi maupun evaluasinya. Hanya saja dalam tradisi kita biasanya ketika melakukan pengembangan kurikulum lebih banyak disibukkan dan berhenti pada aspek curriculum plan (kurikulum sebagai dokumen), yang meliputi perumusan standar kompetensi lulusan, penentuan serangkaian mata kuliah serta bobot sks-nya, penyusunan silabus, dan penyusunan program kegiatan (SAP). Sedangkan pada aspek actual curriculum atau kegiatan nyata biasanya terlupakan dan penciptaan suasana belajar. Padahal, apa artinya kurikulum sebagai dokumen jika tidak ditindaklanjuti dengan actual curriculum. Karena itu, dalam pengembangan kurikulum ini perlu memperhatikan kedua-duanya. (Muhaimin. 2009: 151).
Menurut Prof. Dr. Muhaimin, M.A. (2010: 216) penciptaan suasana lingkungan yang religius harus menjadi komitmen bagi setiap warga madrasah dalam rangka mewujudkan sebagai wahana untuk membina ruh dan praktik hidup keislaman. PAI juga menjadi motivator dan dinamisator bagi pengembangan kualitas IQ (intelligent Quotient), EQ (emotional Quetient), CQ (creativity Quotient) dan SQ (Spiritual Quotient). PAI merupakan Inti, sehingga mata pelajaran yang lain seperti matematika, kewarnegaraan dan lain sebagainya disamping harus mengembangkan kualitas EQ (Emotional Quotient) dan SQ (Spiritual Qoutient), juga harus dijiwai oleh pendidikan agama Islam (PAI), sebagaimana yang telah termaktub dalam al-Quran dan al-Hadist. Selain penjiwaan PAI, perlu juga didukung oleh media atau sumber yang memadai dan penciptaan suasana lingkungan religiuf yang kondusif.
d. Peran kurikulum dan fungsi kurikulum
Kurikulum merupakan elemen terpenting dalam pendidikan, tanpa kurikulum maka pendidikan itu tidak akan berjalan dengan lancar atau tidak sesuai dengan harapan. Di sinilah peran kurikulum yakni membentuk karakter anak bangsa.
Kurikulum merupakan muara kesuksesan suatu bangsa dengan jelasnya Kurikulum Pendidikan maka makin jelas pula arah pendidikan tersebut. Karena di dalam kurikulum itu terdapat isi, metode pembelajaran serta tujuan pendidikan.
Fungsi kurikulum dalam pendidikan Islam adalah sebagai berikut: (1) alat untuk mencapai tujuan dan untuk menempuh harapan manusia sesuai dengan tujuan yang dicita-citakan; (2) pedoman dan program harus dilakukan oleh subyek dan obyek pendidikan; (3) fungsi kesinambungan untuk persiapan pada jenjang sekolah berikutnya dan penyiapan tenaga kerja bai yang tidak melanjutkan; dan (4) standar dalam penilaian criteria keberhasilan suatu proses pendidikan, atau sebagai batasan dari program kegiatan yang akan dijalankan pada caturwulan, semester maupun pada tingkat pendidikan tertentu (Mujib, Abdul dan Jusuf Mudzakkir. 2008: 134).
Daftar Pustaka
Muhaimin. 2009. Rekontruksi Pendidikan Islam; dari Paradigma Pengembangan Manajemen Kelembagaan Kurikulum hingga Strategi Pembelajaran. Jakarta: Rajawali Press___. 2010. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi. Jakarta: Rajawali Press
Mulyasa, E. 2010. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Sebuah Panduan Praktis. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Yamin, Moh. 2009. Manajemen Mutu Kurikulum Pendidikan. Yogyakarta: Diva Press
Mujib, Abdul dan Jusuf Mudzakkir. 2008. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana
Tobroni. 2008. Pendidikan Islam; Paradigma Teologis, Filosofis dan Spiritualitas. Malang: UMM Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mari kita membaca dengan hati plus mata