Pendahuluan
Orde Baru merupakan priode setelah orde lama pada masa presiden soekarno. Orde Baru diyakini sebagai era kebangunan bangsa Indonesia untuk melangsungkan modernisasi atau sebagai pengamalan pancasila dan UUD ’45 secara murni dan konsekuen. Untuk melihat watak
ideologi pembangunan Orde baru terhadap rekayasa politik yang dijalankan terdapat beberapa pendekatan teori pembangunan, antara lain: (1) Pendekatan Liberal, bahwa pembangunan politik, modernisasi, dan demokrasi akan dicapai baik pada jangka pendek maupun jangka panjang apabila perubahan telah dilakukan dalam setiap bagian dari sistem sosial, dan secara pragmatis masyarakat diperbolehkan untuk kepentingan-kepentingan mereka; (2) Pendekatan konservatif, bahwa pembangunan adalah kombinasi antara modernitas dan nilai politik tertinggi adanya pemerintah yang efektif; (3) Pendekatan Neo Marxist (ketergantungan), teori ini juga disebut teori sistem dunia yaitu hubungan ekonomi internasional antara negara-negara kapitalis dan negara-negara miskin atau berkembang akan mengakibatkan atau terus menerus menciptakan keterbelakangan.
Dari penjelasan beberapa pendekatan teori pembangunan di atas terdapat akibat-akibat yang ditimbulkan, pertama, pendekatan liberal akan mengakibatkan urbanisasi, pendidikan, media-masa, partisipasi politik, dan peningkatan ekonomi secara besar-besaran menggantikan sistem tradisional, sehingga akan menyebabkan mobilitas sosial yaitu terjadi proses perubahan pada kekuatan masyarakat non-pemerintahan. Kedua, tanpa struktur politik seperti Parpol dan Birokrasi akan menimbulkan kekacauan dan pembusukan politik. Dan ketiga, akan menimbulkan ketergantungan negara-negara miskin terhadap negara-negara kaya.
Keterlibatan Muhammadiyah dalam politik bermula dari penghadapan persoalan-persoalan politik yang merupakan suatu keniscayaan, disamping itu Muhammadiyah adalah gerakan Islam dan kehidupan politik bukanlah sesuatu yang terpisah dari kehidupan berislam. Faktor lain yang membawa Muhammadiyah menampilkan peran politik adalah posisi umat Islam Indonesia semakin terancam oleh logika situasi politik sewaktu kolonial Belanda atau prakemerdekaan yakni umat Islam terasingkan dari kegiatan politik yang hanya diwakili seorang
Meskipun demikian Muhmmadiyah tidak mendorong secara organisatoris menjadi organisasi politik. keterlibatan Muhammadiyah dalam parpol adalah dilakukan oleh tokoh-tokohnya sehingga ada jarak antara partai politik dengan muhammadiyah, misalkan pada kasus PII dan Masyumi keterlibatannya lebih bersifat Individual dan tidak membawa nama organisasi. Setelah bubarnya kedua partai politik tersebut yang berdampak negatif pada organisasi.
Muhammadiyah tergiur kembali dalam politik praktis pada awal Orde baru sebagai gantinya membidani lahirnya Parmusi, dua tokoh Muhammadiyah menjadi Ketua Umum dan Sekretaris Umum Parmusi yaitu Djarwani Hadikusumo dan Lukman Hakim. Pengalaman pahit kembali terjadi sehingga berdampak persepsi penguasa terhadap Muhammadiyah terutama ketika terjadi kemelut dalam partai tersebut. Keputusan muktamar Muhammadiyah di Ujung Pandang tahun 1969 bahwa Muhammadiyah tidak berafiliasi dengan salah satu partai politik, Muhammadiyah ingin kembali pada jati dirinya yaitu sebagai gerakan dakwak Islam.
Rekayasa politik Orde baru mengambil bentuk pelembagaan politik, yang berlangsung lewat restrukturasi partai politik dan penciptaan massa mengambang (floating mass). Kedua ini dipandang untuk penciptaan stabilitas nasional, dimana pembangunan dapat dilangsungkan. Demi stabilitas nasional, pemerintah Orde baru banyak dikendalikan kaum militer dan menolak konsep Barat tentang supremasi sipil , hal ini didasarkan politik sipil penuh pertentangan ideologis pada masa Orde lama yang menghambat proses natoin building. Penolakan ini memiliki dua arah, yang pertama dengan menghilangnya supremasi sipil pemerintah lebih dapat berkonsentrasi dalam kekuasaannya. Dan kedua menjalankan kebijaksanaan dengan mengurangi pengaruh dua kelompok sipil yang memiliki komitmen ideologi dan politisi yang berbobot, yaitu Masyumi dan PNI.
Restukturasi dijalankan dengan menyederhanakan partai-partai politik, yang terdiri dari Golkar, PDI, dan PPP. Rekayasa politik orde baru memiliki dua implikasi yang pertama efektif pada tercapainya keadaan yang relatif stabil dalam hubungan negara dan masyarakat atau antara penguasa dan yang dikuasai. Kedua, membawa implikasi pada perubahan sikap pandang dan sikap pelaku politik umat Islam, terutama ditetapkannya Pancasila sebagai suatunya asas semua organisasi sosial politik dan organisasi kemasyarakatan.
Politik Alokatif Muhammadiyah
Politik alokatif mengambil bentuk pengalokasian prinsip-prinsip Islam untuk dikontribusikan ke dalam proses politik pengembangunan berdasarkan pancasila. Maka alokatif Muhammadiyah yang dijalankan untuk kepentingan dakwah merupakan bagian dari amar ma’ruf nahi mungkar.
Setelah meninggalkan politik praktis, dan lebih serius dengan politik alokatif. Pertama Muhammadiyah mendapat tantangan mengenai diajuakannya ke DPR tentang RUU-P yaitu undang-undang tentang perkawinan yaitu diperbolehkan kawin antar agama yang jelas bertentangan dengan ajaran agama Islam. Muhammadiyah ikut serta memberikan reaksi keras begitupun organisasi angkatan mudanya bersama kompenen generasi muda Islam lainnya dalam demonstrasi ke DPR.
Intinya politik alokatif Muhammadiyah berorientasi pada lembaga legeslatif yang langsung pada DPR. Dalam setiap permasalahan Muhammadiyah langsung menanggapi RUU baru yang muncul kemudian mengadakan lobi langsung dengan kalangan DPR seperti berbabgai Fraksi, Pimpinan DPR dan perorangan yang memegang peran dalam pembahasan RUU.
Sebagai efek samping dari keluasan Muhammadiyah dalam penyesuaian diri dari rekayasa politik orde baru adalah kemampuan Muhammadiayh untuk mempertegas identitas. Lewat muktamar Muhammadiyah ke-41, Muhammadiyah mengganti asas Islam dengan asas Pancasila dalam anggaran dasarnya (pasal 2). Dan dalam pasal satunya Muhammadiyah menambahkan pasal identitas bahwa persyarikatan adalah gerakan Islam amar ma’ruf nahi mungkar. Sehingga dapat disimpulkan terdapat pengislaman Pancasila.
Kesimpulan dari deskripsi di atas bahwa Muhammadiyah menampilkan peran yang signifikan baik pada masa orde lama maupun orde baru, yang dibuktikan dengan peran politik Muhammadiyah lewat partai politik yang bercorak konstitusional dimana negara dalam proses pemantapan dasar negara pada masa orde lama. Dan keterlepasan Muhammadiyah dalam partai politik kemudian mengikuti politik yang bercorak politik alokatif yang menggunakan lobi dan memanfaatkan berbagai kemungkinan untuk mengalokasikan kepentingan Islam dalam proses politik pada masa orde baru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mari kita membaca dengan hati plus mata