A. PENGERTIAN DAN KONSEP
DASAR GENDER
Masih banyak orang yang belum bisa membedakan secara
jelas antara pengertian istilah jenis kelamin dan gender, sehingga tidak jarang
kedua terminologi tersebut dianggap sama secara konseptual. Anggapan ini tentu
tidak tepat, sebab istilah jenis kelamin dan gender memiliki pengertian yang
sama sekali berbeda.[1]
Oleh karena itu, dalam kajian gender hal penting yang
perlu dilakukan sebelum membahas
lebih lanjut adalah memahami terlebih dahulu perbedaan konsep
gender dan seks
(jenis kelamin). Kesalahan dalam memahami makna gender merupakan salah satu faktor yang menyebabkan
sikap menentang atau sulit bisa menerima analisis gender dalam memecahkan masalah
ketidakadilan sosial.
Seks
adalah perbedaan laki-laki dan perempuan yang berdasar atas anatomi biologis
dan merupakan kodrat Tuhan.[2]
Menurut Mansour Faqih, sex berarti
jenis kelamin yang merupakan penyifatan atau pembagian jenis kelamin yang
ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Perbedaan
anatomi biologis ini tidak dapat diubah dan bersifat menetap, kodrat dan tidak
dapat ditukar. Oleh karena itu perbedaan tersebut berlaku sepanjang zaman dan
dimana saja.[3]
Secara terminologis, makna jenis kelamin (sex) adalah perbedaan fisik yang
didasarkan pada anatomi biologi manusia, terutama yang berhubungan dengan
fungsi reproduksi. Berdasarkan perbedaan fisik dan biologis inilah dapat
teridentifikasi dua jenis kelamin manusia, yaitu laki-laki dan perempuan.
Dengan kata lain, perbedaan antara perempuan dan laki-laki murni didasarkan
pada fungsi organ reproduksi yang kodrati dan bersifat alamiah (nature). Karena didasarkan pada perbedaan
yang bersifat alamiah, perbedaan jenis kelamin berlaku secara universial bagi
semua perempuan dan laki-laki di dunia.[4]
Sedangkan
gender adalah pembedaan peran, fungsi dan tanggung jawab antara perempuan dan
laki-laki yang dihasilkan dari konstruksi sosial budaya dan dapat berubah
sesuai dengan perkembangan zaman.[5]
Secara etimologis gender berasal dari kata gender yang berarti jenis
kelamin.[6] Tetapi
Gender merupakan perbedaan jenis kelamin yang bukan disebabkan oleh perbedaan
biologis dan bukan kodrat Tuhan, melainkan diciptakan baik oleh laki-laki maupun
perempuan melalui proses sosial budaya yang panjang. Perbedaan perilaku antara
pria dan wanita, selain disebabkan oleh faktor biologis sebagian besar justru
terbnetuk melalu proses sosial dan cultural. Oleh karena itu gender dapat
berubah dari tempat ketempat, waktu ke waktu, bahkan antar kelas sosial ekonomi
masyarakat[7].Dalam batas perbedaan yang paling sederhana, seks
dipandang sebagai status yang melekat atau bawaan sedangkan gender sebagai
status yang diterima atau diperoleh. Mufidah dalam Paradigma Gender[8]
mengungkapkan bahwa pembentukan gender ditentukan oleh sejumlah faktor yang
ikut membentuk, kemudian disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi
melalui sosial atau kultural, dilanggengkan oleh interpretasi agama dan
mitos-mitos seolah-olah telah menjadi kodrat laki-laki dan perempuan.
Gender
merupakan analisis yang digunakan dalam menempatkan posisi setara antara
laki-laki dan perempuan untuk mewujudkan tatanan masyarakat sosial yang lebih
egaliter. Jadi, gender bisa dikategorikan sebagai perangkat operasional dalam
melakukan measure (pengukuran)
terhadap persoalan laki-laki dan perempuan terutama yang terkait dengan
pembagian peran dalam masyarakat yang dikonstruksi oleh masyarakat itu sendiri.
Gender bukan hanya ditujukan kepada perempuan semata, tetapi juga kepada
laki-laki. Hanya
saja, yang dianggap mengalami posisi termarginalkan sekarang adalah pihak
perempuan, maka perempuanlah yang lebih ditonjolkan dalam pembahasan untuk
mengejar kesetaraan gender yang telah diraih oleh laki-laki beberapa tingkat
dalam peran sosial, terutama di bidang pendidikan karena bidang inilah
diharapkan dapat mendorong perubahan kerangka berpikir, bertindak, dan berperan
dalam berbagai segmen kehidupan sosial.
B.
MANIFESTASI DISKRIMINASI GENDER
Konsep perbedaan jenis kelamin seringkali dirancukan
dengan konsep gender sebagai konstruksi sosial oleh pemahaman masyarakat.
Perbedaan jenis kelamin memang berbeda sejak lahir, menjadi hak penuh Tuhan
dalam menentukan jenis kelamin manusia. Lain halnya dengan ‘pembedaan’ gender,
terjadi melalui sebuah proses panjang yang dilakukan oleh manusia (masyarakat)
melalui pencitraan, pemberian peran, cara memperlakukan dan penghargaan
terhadap keduanya. Oleh sebab konstruksi sosial merupakan bentukan masyarakat, maka
sifatnya dapat berubah dan diubah sesuai dengan perubahan sosial, perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi, terjadi musibah, bencana alam, termasuk
perubahan kebijakan dan pemahaman agama maupun adaptasi dengan budaya yang
tidak bias gender.
Pembedaan peran, fungsi dan tanggung jawab laki-laki
dan perempuan dalam konteks sosial ini pada dasarnya tidak dipermasalahkan,
namun ketika dicermati lebih dalam dapat menjadi penyebab munculnya diskriminasi
gender, yakni salah satu jenis kelamin terabaikan hak dasarnya, tertinggal dan mengalami
masalah ketidakadilan.[9]
Manifestasi dari deskriminasi gender ini tampil dalam
berbagai bentuk sebagai berikut[10]:
1.
Pelabelan (Stereotype) adalah pelabelan terhadap
jenis kelamin laki-laki atau perempuan yang berkonotasi positif atau negatif.
2.
Penomorduaan (Subordination) adalah perlakuan
menomorduakan yang mengakibatkan seseorang menempati posisi yang lebih rendah
dibandingkan orang lain, sehingga tidak mendapatkan prioritas.
3.
Pemiskinan (Marginalization) adalah menempatkan
seseorang karena jenis kelaminnya sebagai pihak yang tidak dianggap penting
dalam faktor ekonomi, sekalipun perannya sangat krusial.
4.
Kekerasan (Violence) adalah segala bentuk
perbuatan tidak menyenangkan yang ditujukan kepada pihak lain, baik dalam
bentuk fisik maupun psikis.
5.
Beban ganda (Double Burden) adalah sebuah situasi
yang menyebabkan seseorang harus menanggung beban kerja berlipat.
C. BIAS
GENDER DALAM PENDIDIKAN
Yang
dimaksud bias gender adalah mengunggulkan salah satu jenis kelamin dalam
kehidupan sosial atau kebijakan publik. Bias gender dalam pendidikan adalah
realitas pendidikan yang mengunggulkan satu jenis kelamin tertentu sehingga
menyebabkan ketimpangan gender.[11]
Berbagai
bentuk kesenjangan gender yang terjadi dalam berbagai bidang kehidupan
masyarakat, terpresentasi juga dalam dunia pendidikan. Bahkan proses dan
institusi pendidikan dipandang berperan besar dalam mensosialisasikan dan melestrikan
nilai-nilai dan cara pandang yang mendasari munculnya berbagai ketimpangan
gender dalam masyarakat. Secara garis besar, fenomena kesenjangan gender dalam
pendidikan dapat diklasifikasi dalam beberapa dimensi, antara lain:
1. Kurangnya
partisipasi (under-participation).
Dalam hal partisipasi pendidikan,
perempuan
di seluruh dunia menghadapi problem yang sama. Dibanding lawan jenisnya,
partisipasi perempuan dalam pendidikan formal jauh lebih rendah. Di negara-negara dunia
ketiga dimana pendidikan dasar belum diwajibkan, jumlah murid perempuan umumnya
hanya separuh atau sepertiga jumlah murid laki-laki.[12]
2. Kurangnya
keterwakilan (under-representation).
Partisipasi perempuan dalam pendidikan sebagai tenaga pengajar maupun pimpinan
juga menunjukkan kecenderung disparitas progresif. Jumlah guru perempuan pada
jenjang pendidikan dasar umumnya sama atau melebihi jumlah guru laki-laki.
Namun, pada jenjang pendidikan lanjutan dan pendidikan tinggi, jumlah tersebut
menunjukkan penurunan drastis.
3. Perlakuan
yang tidak adil (unfair treatment).
Kegiatan pembelajaran dan proses interaksi dalam kelas seringkali bersifat
merugikan murid perempuan. Guru secara tidak sadar cenderung menaruh harapan
dan perhatian yang lebih besar kepada murid laki-laki dibanding murid
perempuan. Para guru kadangkala cenderung berpikir ke arah “self fulfilling prophecy” terhadap siswa
perempuan karena menganggap perempuan tidak perlu memperoleh pendidikan yang
tinggi.
4. Dimensi akses adalah fasilitas pendidikan yang sulit
dicapai atau kesempatan untuk menggunakan sumber daya tanpa memilki otoritas
untuk memutuskan terhadap produk/hasil maupun metode pendayagunaan sumber daya
tersebut. Faktor penyebabnya antara lain: kurang tersedianya sekolah menengah
di setiap kecamatan, jarak yang jauh dari tempat tinggal, beban tugas rumah
tangga yang banyak dibebankan pada anak. Akumulasi dari faktor-faktor ini
membuat banyak anak-anak yang cepat meninggalkan bangku sekolah.
5. Dimensi proses pembelajaran adalah materi pendidikan seperti
misalnya yang terdapat dalam contoh-contoh soal dimana semua kepemilikan selalu
mengatasnamakan laki-laki. Dalam buku-buku pelajaran seperti misalnya semua
jabatan formal dalam buku seperti camat dan direktur digambarkan dijabat oleh
laki-laki. Selain itu ilustrasi gambar juga bias gender, yang seolah-olah
menggambarkan bahwa tugas wanita adalah sebagai ibu rumah tangga dengan
tugas-tugas menjahit, memasak dan mencuci. Faktor penyebabnya stereotype gender.
6. Dimensi penguasaan adalah kemampuan yang dimiliki
seseorang untuk memajukan peranannya dalam masyarakat. Faktor penyebabnya
pemanfaatan yang minim, peran yang tidak terserap oleh masyarakat dan masih
berpegang pada nilai-nilai lama yang tidak terreformasi. Contohnya saja buta
huruf yang didominasi oleh kaum perempuan.
7. Dimensi kontrol adalah kemampuan atau otoritas untuk
memutuskan menggunakan produk atau hasil, bahkan juga untuk menentukan metode
pendayagunaannya, sehingga memiliki kekuatan untuk mendapatkan keuntungan dari
sumber daya tersebut. Faktor penyebabnya tidak memiliki otoritas atau kemampuan
untuk menggunakan maupun mendayagunakan sumber daya.
8. Dimensi manfaat adalah sesuatau yang baik intuk
didapatkan atau diterima oleh seseurang dari proses penggunaan atau mendayagunakan
sumber daya. Faktor penyebabnya dimensi akses, kontrol, maupun partisipasi yang
didapatkan kecil.
D. KESETARAAN
GENDER DALAM PENDIDIKAN
Keadilan dan
kesetaraan adalah gagasan dasar, tujuan dan misi utama peradaban manusia untuk
mencapai kesejahteraan, membangun keharmonisan kehidupan bermasyarakat,
bernegara dan membangun keluarga berkualitas. Kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk
memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan
berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya,
pendidikan dan pertahanan dan keamanan nasional (hankamnas) serta kesamaan
dalam menikmati hasil pembangunan. Keadilan gender adalah suatu perlakuan adil terhadap perempuan dan laki-laki.
Perbedaan biologis tidak bisa dijadikan dasar untuk terjadinya diskriminasi
mengenai hak sosial, budaya, hukum dan politik terhadap satu jenis kelamin
tertentu. Dengan keadilan gender berarti tidak ada pembakuan peran, beban
ganda, subordinasi, marginalisasi dan kekerasan terhadap perempuan maupun
laki-laki. Terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender, ditandai dengan tidak adanya
diskriminasi antara perempuan dan laki-laki dan dengan demikian mereka memiliki
akses, kesempatan berpartisipasi dan kontrol atas pembangunan serta memperoleh
manfaat yang setara dan adil dari pembangunan.
Dalam
memenuhi kesetaraan dan keadilan gender diatas, maka pendidikan perlu memenuhi
dasar pendidikan yakni menghantarkan
setiap individu atau rakyat mendapatkan pendidikan sehingga bisa disebut
pendidikan kerakyatan. Ciri-ciri kesetaraan gender
dalam pendidikan adalah sebagai berikut:
1. Perlakuan dan kesempatan
yang sama dalam pendidikan pada setiap jenis kelamin dan tingkat ekonomi,
sosial, politik, agama dan lokasi geografis publik.[13]
2.
Adanya
pemerataan pendidikan yang
tidak mengalami bias gender.
3.
Memberikan
mata pelajaran yang sesuai dengan bakat dan minat setiap individu.
4.
Pendidikan harus
menyentuh kebutuhan dan relevan dengan tuntutan zaman.
5.
Individu
dalam pendidikannya juga diarahkan agar mendapatkan kualitas sesuai dengan
taraf kemampuan dan minatnya.
E.
UPAYA PENANGGULANGAN DAMPAK NEGATIF DARI BIAS GENDER DALAM
PENDIDIKAN
Upaya untuk
mengatasi bias gender dalam pendidikan yang dapat dilakukan sebagai berikut:[14]
1. Reintepretasi ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits yang bias
gender dilakukan secara kontinu (sudut pandang Islam).
2. Muatan kurikulum nasional yang menghilangkan dikotomis
antara laki-laki dan perempuan, demikian pula kurikulum lokal dengan berbasis
kesetaraan, keadilan dan keseimbangan. Kurikulum disusun sesuai dengan
kebutuhan dan tipologi daerah yang dimulai dari tingkat pendidikan Taman
Kanak-Kanak sampai ke tingkat Perguruan Tinggi.
3. Pemberdayaan kaum perempuan di sektor pendidikan
informal seperti pemberian fasilitas belajar mulai di tingkat kelurahan sampai
kepada tingkat kabupaten disesuaikan dengan kebutuhan daerah.
Contoh langkah kongkrit yang
bisa diambil:
a.
Kemendiknas,
Kemenag dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA)
mengkoordinasikan kebijakan dan strategi yang terfokus pada penghapusan
disparitas rasio gender untuk indikator pendidikan pada semua jenjang
pendidikan di tingkat propinsi dan kabupaten/kota, serta memperkuat pelaksanaan
pengarusutamaan gender di semua tingkatan di bidang pendidikan.
b.
Kemendiknas
mengkaji kemajuan yang dicapai dalam pelaksanaan Peraturan Menteri No. 84/2008 tentang
Pengarusutamaan Gender dalam Pendidikan di tingkat sekolah dan kabupaten/kota
dan untuk memperkuat pelaksanaan Keputusan Menteri yang bertujuan mencapai
pendidikan yang responsif gender dengan pengembangan kapasitas di semua tingkatan
dalam sistem pendidikan.
c.
Kemendiknas dan
Kemenag melakukan penilaian terhadap sejumlah sekolah sampel di beberapa lokasi
geografis yang berbeda tentang cara-cara pengintegrasian kebijakan gender dalam
rencana dan pelaksanaan manajemen sekolah.
d.
Kemendiknas dan
Kemenag mengkaji dengan menggunakan perspektif gender, Peraturan Pemerintah tentang
Anggaran propinsi dan kabupaten/kota, dan Peraturan Kemendagri No. 13/2006
tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Keputusan Menteri Keuangan No. 119/2009
tentang Anggaran responsif gender.
e.
Kemendiknas dan
Kemenag memberikan lebih banyak perhatian pada propinsi yang belum berhasil dalam
menurunkan rasio paritas gender, transisi dan angka putus sekolah, dengan
membuat rancangan strategi berdasar kebutuhan yang ada, dengan memperhitungkan
faktor-faktor dasar yang berkontribusi terhadap rendahnya pencapaian indikator
di propinsi dan kabupaten/kota.
f.
Kemendiknas
mempercepat program pelatihan yang ada untuk meningkatkan kapasitas pengumpulan
data terpilah berdasar gender, analisa dan perencanaan dan penganggaran
responsif gender di tingkat propinsi dan kabupaten/kota untuk indikator tertentu.
g.
Mempercepat
program yang ada yang terkait akses pendidikan dan memprioritaskan propinsi yang
memiliki kesenjangan paritas gender yang signifikan dalam indikator pendidikan.
Ini termasuk Program Sekolah Satu Atap (gabungan SD dan SMP), Sekolah Kecil,
Sekolah Satelit di daerah miskin dan terpencil dan program Bantuan Langsung Tunai
Bersyarat. Meningkatkan cakupan dan kualitas program pemerataan (Paket A, B dan
C), khususnya jika disparitas rasio gender terjadi pada angka putus sekolah
untuk meningkatkan akses terhadap pendidikan berkualitas. Perlu juga dilakukan kajian
untuk melihat efektifitas skema yang digunakan untuk mengatasi kesenjangan gender.
h.
Mengembangkan
kebijakan dan mensinkronisasinya di tingkat nasional, daerah dan sekolah untuk memastikan
bahwa perempuan yang menikah dini, hamil dan ibu muda bisa melanjutkan
pendidikan. Melaksanakan kampanye untuk membangun kesadaran akan pentingnya
mengurangi insiden pernikahan dini dan mendorong kelangsungan pendidikan bagi
laki-laki, dan apalagi perempuan, yang menikah dini.
i.
Lembaga
Pendidikan Tenaga Kependidikan/LPTK perlu mengkaji kurikulum pelatihan guru
untuk memperbaiki penyusunan materi dan keterampilan mengajar sehingga
responsif gender.
j.
Kemendiknas dan
Kemenag mengkaji dan meningkatkan penyediaan buku teks pelajaran yang peka
gender pada semua tingkat pendidikan, termasuk teks, gambar dan akses yang sama
terhadap kegiatan ekstra-kurikuler olahraga, seni dan sains.
k.
Kemendiknas
memastikan mekanisme pembiayaan pendidikan bersifat responsif gender. Misalnya,
ketika membiayai infrastruktur dan rehabilitasi sekolah baru, dan merancang
bangunan sekolah, maka harus memenuhi kebutuhan praktis laki-laki dan
perempuan. Di SMP dan SMA, perlu ada fasilitas sanitasi yang terpisah dan
memadai bagi perempuan, untuk keperluan terkait menstruasi.
l.
Kemendiknas dan
Kemenag merumuskan kebijakan yang jelas, yang mengatur penempatan laki-laki dan
perempuan yang memenuhi kualifikasi di semua kegiatan pendidikan (termasuk
pendidikan Islam), terutama dalam posisi kepemimpinan, manajemen, dan akademik
di semua tingkatan pendidikan (sistem sejenis sudah terlaksana di lapangan
dengan adanya perwakilan dalam partai politik dan parlemen).
DAFTAR PUSTAKA
Amasari
(Member of PSG LAIN), Laporan Penelitian
Pendidikan Berujatuasan Gender,(Banjannasin: IAIN Antasari, 2005).
Eni
Purwati dan Hanun Asrohah, Bias Gender dalam Pendidikan Islam, (Surabaya:
Alpha, 2005).
Hanun Asrohah, Sosiologi Pendidikan, (Surabaya:
Kopertais Press, 2008).
Jhon M. Echol, dan
Hasan Shadily, Kamus Besar Inggris-Indonesia, (Jakarta : Gramedia
Pustaka Utama, 1996).
Mansour
Faqih, Analisis gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta : Pustaka
Pelajar, 1996).
Mufidah
Ch, Bingkai Sosial Gender: Islam, Strukturasi dan
Konstruksi Sosial, (Malang: UIN Maliki Press, 2010).
Nasarudin
Umar, Argumen Kesetaraan Gender : Perspektif al-Qur’an, (Jakarta : Paramadina,
2001).
Wawan Djunaedi, dan Iklilah Muzayyanah, Pendidikan Islam Adil Gender di Madrasah,
(Jakarta : Pustaka STAINU, 2008).
[1] Wawan
Djunaedi, dan Iklilah Muzayyanah, Pendidikan
Islam Adil Gender di Madrasah, (Jakarta : Pustaka STAINU, 2008), hlm. 3
[2] Nasarudin Umar, Argumen Kesetaraan Gender : Perspektif
al-Qur’an, (Jakarta : Paramadina, 2001), hlm. 1.
[3] Mansour Faqih, Analisis
gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar,
1996), hlm.8.
[4] Wawan Djunaedi, dan Iklilah Muzayyanah, Pendidikan Islam Adil Gender di Madrasah, (Jakarta : Pustaka
STAINU, 2008), hlm. 4-5
[5] Mufidah
Ch, Bingkai Sosial Gender: Islam, Strukturasi dan Konstruksi Sosial, (Malang: UIN
Maliki Press,
2010),
hlm. 5
[6] Jhon M. Echol, dan Hasan Shadily, Kamus Besar
Inggris-Indonesia, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1996), cet.23a
[8] Mufidah Ch, Paradigma
Gender, (Malang: Bayumedia Publishing, 2003), hlm. 4-6.
[9]
Mufidah Ch,
Bingkai Sosial Gender: Islam, Strukturasi dan Konstruksi Sosial, (Malang: UIN
Maliki Press,
2010),
hlm. 7-8
[10] Wawan Djunaedi, dan Iklilah Muzayyanah, Pendidikan Islam Adil Gender di Madrasah, (Jakarta : Pustaka
STAINU, 2008), hlm. 17-31
[12] Amasari (Member of PSG LAIN), Laporan Penelitian Pendidikan Berujatuasan
Gender,(Banjannasin: IAIN Antasari, 2005), hal. 31
[13] Eni Purwati dan Hanun
Asrohah, Bias Gender dalam Pendidikan Islam, (Surabaya: Alpha, 2005),
30.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mari kita membaca dengan hati plus mata