Oleh M. Feri El-Bageloka
Pendahuluan
Seiring dengan merebaknya perbuatan-perbuatan amoral dikalangana pelajar mulai dari tingkat Sekolah Mengenah Pertama hingga tingkat Universitas seperti tawuran antar pelajar, free seks, narkoba dan narkotika serta semakin menyebar video porno yang pelakunya adalah pelajar itu sendiri.
Adanya permasalahan yang diajukan oleh penulis sudah tentu pendidikan itu akan mendapat sorotan tajam dari masyarakat terutama Pendidikan Islam. Karena dalam hal ini pendidikan Islam yang mempunyai peran dalam membentuk karakter peserta didik. Pendidikan Islam itu sendiri mempunyai dua tugas yakni transfer of knowladge dan transfer of value. Dengan adanya dua tugas itu sudah tentu Pendidikan Islam yang paling berperan dalam membentuk karakter peserta didik.
Selain itu, sudah selayaknya pendidikan islam sebagai paradigma pembebasan dalam banyak hal terutama dalam hal membina dan memperbaiki moral peserta didik. Moral itu sendiri adalah batin, susila atupun budi bahasa yang tinggi (Partanto, A Pius dan M Dahlan. 1994: 483). Menurut penulis sendiri moral itu sama dengan akhlak yang berarti perilaku ataupun sikap yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama, budaya ataupun aturan yang berlaku dalam masyarakat.
Dengan terbentuk moral atau akhlak yang baik dari peserta didik sudah tentu akan terbentuk pula karakter (Kepribadian) yang diinginkan oleh tujuan pendidikan islam itu sendiri yakni membentuk karakter peserta didik yang tangguh. Menurut Muhaimin (2009), Pembelajaran agama di sekolah sejauh ini masih menyentuh aspek knowing (Pengetahuan tentang ajaran dan nilai-nilai agama) dan doing (bisa mempraktikkan apa yang diketahui), belum sampai pada aspek being (bagaimana peserta didik menjalani hidup sesuai dengan ajaran dan nilai-nilai agama). Ini mengandung arti bahwa pendidikan agama belum mampu mengubah pengetahuan yang bersifat kognitif menjadi “makna” dan “nilai”.
Sebelum penulis membahas tentang peranan Pendidikan Islam sebagai paradigma pembebasan terutama yang berkaitan dengan pembebasan tindakan amoral dikalangan pelajar terlebih dahulu penulis akan mengupas paradigma pendidikan islam dari tokoh klasik hingga tokoh modern;
Paradigma Pendidikan Islam
Pendidikan Islam menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyah mengandung dua makna; Pertama, pendidikan yang berkaitan dengan ilmu seorang guru (murabbi), yakni sebuah pendidikan yang dilakukan oleh seorang agar cinta terhadap ilmu tersebut menjadi sempurna dan menyatu dalam dirinya di samping itu pula agar ilmu tersebut terus bertambah. Pendidikan seperti ini diibaratkan seperti seorang yang berharta merawat hartanya agar menjadi bertambah. Kedua, pendidikan berkaitan dengan orang lain, yakni kerja seorang guru dalam mendidik manusia dengan ilmu yang dimilikinya dan dengan ketekunan yang milikinya agar peserta didik menguasai ilmu yang diberikan secara bertahap. Pendidikan seperti ini diibaratkan seperti orang tua yang mendidik dan merawat anak-anaknya.
Pendidikan menurut beliau memiliki tujuan mulia, yaitu agar manusia hanya menghambakan kepada pencipta-Nya dan menjaga kesucian fitrah mereka. Di samping itu, pendidikan memiliki beberapa sasaran yakni menjaga kesehatan badan anak didik, memperhatikan dan mengarahkan akhlaknya, menjaga keselamatan akalnya dan menggali skillnya serta mengarahkannya kearah yang lebih baik.
Pemikiran Ibnu Khaldun tentang pendidikan tertuang dalam karya monumentalnya, yaitu Muqaddimah. Pada Bab IV dalam lima puluh pasal yang mana beliau menguraikan pendidikan dalam beberapa hal, seperti mengkalsifikasikan ilmu pengetahuan, tujuan pendidikan dan metode pembelajaran,
a. Klasifikasi Ilmu
Ibnu Khaldun membagi ilmu menjadi dua macam yaitu; ilmu yang menjadi tujuan (al-‘ulum al-maqshudah bizatiha) dan ilmu alat untuk memahami ilmu-ilmu yang menjadi tujuan tersebut. Ilmu yang menjadi tujuan itu menurut Ibn Khaldun adalah ilmu tafsir, ilmu hadis, ilmu fiqh, ilmu kalam dan lain-lain. Sedangkan yang termasuk dalam kategori ilmu alat adalah: ilmu bahasa, ilmu hitung, ilmu ushul, al fiqh dan lain-lain.
b. Tujuan pendidikan
Tujuan pendidikan Islam adalah untuk menanamkan keimanan dalam hati anak didik, menginternalisasikan nilai-nilai moral sehingga mampu memberikan pencerahan jiwa dan perilaku yang baik. Secara rinci Ibnu Khaldun membagi tujuan pendidikan dalam beberapa hal: a) memberi peluang kepada anak didik untuk mampu berfikir dan berbuat dengan benar; b) memberikan peluang untuk hidup yang berkualitas dalam masyarakat maju; c) memberikan kemampuan untuk mendapatkan pekerjaan sebagai sumber penghasilan; d) dapat mengembangkan perilaku terpuji dalam kehidupan sehari-hari.
c. Metode Pembelajaran
Pendidikan anak menurut Ibn Khaldun hendaknya dilakukan secara bertahap, dari satu tingkat ke tingkat yang lebih tinggi sejalan dengan kemampuan akal seseorang, sesuai dengan ketetapan Nabi, yaitu bi qadri ‘uqulihim (ajarilah anak-anakmu sesusai dengan kadar kemampuannya). Oleh karena itu, proses pembelajaran suatu bidang studi harus dimulai dari pengertian yang paling elementer dan bersifat global. Baru setelah anak didik memahami yang elementer, maka bisa dilanjutkan dan dikembangkan lebih detail dan rinci dengan deferensi dan variable-variabelnya, sehingga mereka dapat memahami suatu bidang ilmu secara utuh dan benar. Di sinilah seorang guru dituntut mampu memahami psikologi peserta.
Guru hendaknya memiliki beberapa sikap: kasih sayang, lemah lembut dan memahami kondisi jiwa peserta didik, tidak sebaliknya, berlaku kasar dan menakutkan, karena sikap tersebut akan membentuk peserta didik berlaku negative, seperti bohong, malas, berpura-pura. Ibnu Khaldun setuju dengan hukuman (punishment) tetapi harus dilakukan secara adil dan merupakan pilihan terakhir dalam mengatasi masalah peserta didik. Bahkan Ibnu Khaldun memberikan batasan hukumuman. Di sinilah menurut Ibnu Khaldun perilaku teladan lebih penting dari pada ceramah-ceramah dan perintah. Fungsi guru tidak hanya sebagai pengajar melainkan juga berfungsi sebagai pemimpin yang mengarahkan dan mampu membuat perubahan-perubahan positif ke masa depan.
Sedangkan menurut Az Zarnuji dalam kita Ta’lim Muta’allim lebih menekankan pada metode pembelajaran dalam Pendidikan Islam, ini ditandai dengan pemikiran beliau yang dikelompokkan menjadi beberapa bagian, yaitu:
• Akhlak kepada Allah
• Akhlak kepada orang tua
• Akhlak kepada pendidik
• Akhlak kepada teman
• Akhlak kepada masyarakat
• Akhlak kepada diri sendiri.
Muhammad Abduh merupakan salah satu tokoh ulama besar yang memiliki kualifikasi dan kompetensi keilmuan yang tidak diragukan lagi. Beliau berperan sebagai ulama namun juga berperan sebagai pemiki terutama dalam bidang pendidikan.
Beliau memiliki pemikiran yang ada hubungannya dengan kebijakan pemerintah tentang pendidikan, dia menegaskan bahwa pendidikan adalah kepribadian harus dibentuk dengan pendidikan adalah kepribadian harus dibentuk dengan pendidikan dan penanaman nilai-nilai hingga menjadi orang yang baik dan layak.
Selain itu, format kurikulum pendidikan yang ditawarkan Abduh dapat dilihat perinciannya sebagai berikut: 1) tingkat sekolah dasar meliputi membaca, menulis, berhitung sampai pada tingkat tertentu, pelajaran yang berkenaan agama dan sejarah; 2) tingkat menengah meliputi ilmu mantiq /logika, aqidah, fiqh sejarah islam dan lain-lain; 3) tingkat atas, pada tingkatan ini lebih universal, karena dipersiapkan Urafa’ al-Ummah yang mencakup tafsir, hadist, bahasa arab, dan lain-lain.
Islam Egaliter dan Membebaskan
Islam sebagai agama egaliter telah tertuang dalam Al-Quran maupun Al-Hadist yang mana terlalu banyak isi dari kedua menjelaskan bahwa agama islam merupakan agama egaliter, seperti dalam surat Al-Maidah “tolong menolonglah kamu dalam berbuat kebaikan dan janganlah kamu tolong menolong dalam berbuat kejahatan”. Ini secara gamblang menjelaskan bahwa agama Islam sangat memperhatikan yang namanya persatuan.
Selain itu, Agama Islam juga disebut sebagai agama pembebasan. Konsepsi Islam tentang pembebasan sesuai dengan misi yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Ajaran tauhid sebagai salah satu kunci pokok yang ke-Islaman, dengan jelas menunjukkan bahwa tidak ada penghambaan dan penyembahan kecuali kepada Yang Maha Esa, bebas dari belenggu kebendaan dan kerohanian. Dengan kata lain; seorang yang telah mengikrarkan diri dengan “dua kalimat syahadat” berarti telah melepaskan diri dari belenggu dan subordinasi apa pun. Dengan demikian, sifat-sifat bawaan seperti agresif, rakus, egois dan hedonism telah diatur sedemikian rupa sepanjang tidak bertabrakan dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah.
Dengan kata lain agama Islam membebaskan setiap hambanya dari setiap kebodohan dan kemusyrikan yang ada. Agama Islam memberikan kebabasan kepada pemeluknya untuk mengembangkan setiap kemampuan yang dia miliki, artinya agama Islam tidak mengekang pemeluknya untuk terus mengembangkan skill baik soft skill maupun hard skill yang dia miliki. Sebab sekarang ini masih berkembang aliran Islam fundamental yang aliran ini masih mengekang pemeluknya akan hal-hal tertentu, sebut saja seperti musik dan menggambar.
Dalam perspektif pendidikan, jika bakat dan minat peserta didik dikekang oleh aturan fiqh ataupun yang lainnya akan membunuh bakat dan minat tersebut. Selain itu, fungsi otak kanan dari peserta didik itu juga tidak berfungsi.
Pendidikan Islam sebagai Pendidikan Rahmatan Lil’alamin
Dialah yang mengutus seorang Rasul kepada kaum yang buta huruf dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, menyucikan (jiwa) mereka dan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah (sunnah), meskipun sebelumnya mereka benar-benar dalam kesesatan yang nyata ( QS. Al-Jumu’ah: 2).
Dari kutipan ayat ini dapat disimpulkan bahwa meliputi dua hal yakni kecerdasan intelektual dan kecerdasan spiritual yang mana dua hal ini telah tertera dalam kalimat menyucikan jiwa mereka dan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah. Ini berarti dalam pendidikan Islam sangat memperhatikan perkembangan intelektual peserta didik dan pembinaan emosi, religi ataupun jiwa (tazkiyah an-nufusz). Karena dua hal ini menurut penulis sangat berperan dalam membentuk karakter peserta didik.
Menurut Tobroni (2010), misi utama yang diemban oleh pendidikan Islam tidak lain adalah misi Islam itu sendiri yaitu rahmatan lil’alamin (rahmat bagi seluruh alam) dan membangun akhlak dan peradaban yang agung (al-Hadist). Dalam bahasa yang sederhana misi Islam adalah agar manusia tidak hanya menabung dan berharap surga dan terhindar dari neraka di akhirat, tetapi yang lebih penting adalah bagaiman dapat menciptakan republik surga dan menghindari neraka di dunia. Islam menghendaki kehidupan yang makmur, dinamis dan harmoni atas dasar nilai-nilai ketuhanan dan kemanusian dan keserasian dengan alam. Sebagaimana firman Allah: “Dan aku tidak mengutus engkau Muhammad melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam” (QS. 21: 107). “Dan diantar mereka ada orang yang berdoa “ Ya tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan periharalah dari siksa api neraka” (Qs. Al-Baqarah : 201).
Agar terhindar dari siksa api neraka ada tiga hal yang harus dilalui oleh seorang mukmin, yaitu; dzikir, takhalluq dan tahaqquq. Dzikir artinya berusaha mengingat dan mengikatkan kesadaran hati dan fikirannya kepada Allah dimana dan kapanpun ia berada. Takhalluq, yang diambil dari hadist Nabi saw “Takhalluaqquw bi aklaqi” (Berakhlaklah dengan akhlak Allah), berarti ia secara sadar menirut sifat-sifat Allah sehingga ia memiliki sifat-sifat yang mulia. Sedangkan tahaqquq adalah suatu kemampuan untuk mengaktualisasi kesadaran dan kapasitas dirinya sifat-sifat Tuhan sehingga tercermin dalam perilakunya yang serba suci dan mulia.
Tujuan Pendidikan Islam itu sendiri adalah terbentuknya insan kamil yang di dalamnya memiliki wawasan khaffah agar mampu menjalankan tugas-tugas kehambaan, kekhalifahan dan pewaris Nabi. Artinya Pendidikan Islam harus mampu menghasilkan out put yang berwawasan komperehensif yang tidak hanya meliputi pengetahuan agama tetapi harus diimbangi dengan pengetahuan yang lain. Selain itu pendidikan Islam harus mampu menghasilkan out put yang berakhlak mulia artinya tidak pernah melanggar larangan-larangan agama Islam.
Daftar Pustaka
Al-Quran Al-Karim Terjemahan
Partanto, Pius A dan M. Dahlan Al-Barry. 1994. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arkola
Mujtahid, dkk. 2009. Pendidikan Islam dari Paradigma Klasik hingga Kontemporer. Malang: UIN-Malang PressMa’arif, A Syafi’i. dkk. 1991. Pendidikan Islam di Indonesia; antara Cita dan Fakta. Yogyakarta: PT Wacana Yogya
Tobroni. 2010. Rekonstruksi Pendidikan Agama untuk Membangun Etika Sosial dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara. Malang: UMM Press
Muhaimin. 2009. Rekonstruksi Pendidikan Islam; dari Paradigma Pengembangan, Manajemen Kelembagaan, Kurikulum hingga strategi Pembelajaran. Jakarta: Rajawali Perss
Mujib, Abdul dan Jusuf Mudzakkir. 2008. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mari kita membaca dengan hati plus mata