10 Jan 2013

PEMBAHARUAN PAI DALAM KONTEKS KONSEP ILMU

Oleh El-Bageloka


A.    PENDAHULUAN
DR. Soedjatmoko dalam seminar internasional tentang “The Future of Mankind and Cooperation Among Religion” (1987), mengutip prediksi filsuf Perancis Andra Malraux yang mengatakan:
bahawa abad XXI adalah abad agama atau umat manusia tidak akan lama menikmati abad tersebut, mengapa? Sebab abad XX telah melahirkan Perang Dunia 2x, dan kini manusia telah kehilangan Tuhan atau telah mengusirNya dari wilayah pertimbangan politik. Kekuasaan telah terpisah dari moral.
Aleksander I. Solzhenitsyn (Pengarang Rusia) mengatakan: Bila kita dipisahkan dari konsep baik dan buruk, apalagi yang akan tersisa? Tidak ada lagi, kecuali manusia menempati status binatang. Manusia telah kehilangan hati nurani. Meskipun keberhasilan manusia dalam iptek mengagumkan, tapi hidup dengan sekularisme dan ateisme, manusia ternyata tidak bahagia, bahkan yang didapat perasaan yang sama, yakni; “kami semakin gelisah dan cemas”.
     Gambaran diatas merupakan kelanjutan semata dari ferakan renaisans di Eropa yang memberikan otonomi tanpa batas kepada manusia, termaksud dalam masalah moral dan etika.
     Arus pemikiran renaisans dengan humanisme sekulernya telah berkembang sedemikian rupa. Sistem etik yang bercorak antropomorfis telah menempatkan manusia sebagai pusat segala-galanya. Akibatnya semakin mendorong lahirnya peradaban yang serba sekuler.
     Apa dampaknya bagi PI?
1.    Dialog Imajer: antara Iqbal dan Rumi
Iqbal mengadu    :
Pikiranku meneranwang tinggi mencapai langit, tapi dibumi aku terhina, kecewa dan sekarat. Aku tidak mampu menangani persoalan-persoalan di dunia. Mengapa urusan dunia terlepas dari kontrolku? Mengapa si alim dalam agama ternyata dungu dalam persoalan dunia?
Rumi Menjawab    :
Seseorang yang (mengaku dapat) berjalan di langit, mengapa harus sukar berjalan di bumi?
Makna Dialog:
a.    Perlengkapan intelektual Iqbal terlalu meini untuk mampu bergumul dengan realitas yang mencekam saat ini.
b.    Bahwa orang yang mempunyai keagungan spiritual seharusnya tidak kebingungan dalam memecahkan persoalan kehidupan di dunia.
c.    Menurut Prof. DR. Syafi’i Ma’arif, bahwa dialog tersebut dilatar belakangi oleh persoalan pendidikan umat yang salah kaprah. Ada tiga hal yang perlu dikaji dalam dialog tersebut:
1)    Krisis identitas sebagai muslim, sedang sistem pendidikan Islam yang sedang berlaku tidak dapat menolong karena mengalami dikotomi keilmuan.
Bila konsep dualisme dikotomik berhasil ditumbangkan, maka dalam jangka panjang sistem pendidikan Islam akan berubah
2)    Kegiatan pendidikan Islam harus berorientasi transendental, agar kegiatan tersebut mempunyai makna spiritual yang mengatasi ruang dan waktu.
3)    Perlu redefinisi Ulama’ menurut Al-Qur’an.
Sudah barang tentu yang dimaksud bukan ulama yang dungu tentang persoalan dunia.
    Jawaban masalah diatas tergantung pada dua faktor
1.    Corak keilmuan yang dikembangkan di PTI dan kwalitas para pengampunya.
2.    Terciptanya lingkungan kampus yang kondusif, khususnya Perpustakaan yang representatif.
Tugas Kita:
1.    Melakukan Islamisasi budaya bangsa
2.    Umat Islam mayoritas di Indonesia. Oleh sebab itu, wawasan keIslaman harus dikaitkan dengan wawasan keIndonesiaan. Doktrin universalisme Islam akan senantiasa melepaskan Indonesia dari budaya nasionalisme yang sempit dan sebaiknya wawasan ke Indonesiaan akan menyadarkan Islam agar tetap realistik menghadapi sejarah yang selalu berubah.
3.    Merumuskan kembali tujuan pendidikan Islam dengan sepenuhnya kembali kepada konsep Al-Qur’an tentang manusia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mari kita membaca dengan hati plus mata