12 Jan 2013

Psikologi Kematian

Oleh M.Feri Firmansyah El-Bageloka

Judul         : Psikologi Kematian, mengubah ketakutan menjadi optimisme
Pengarang     : Komaruddin Hidayat
Penerbit         : Hikmah (PT Mizan Publika)
Cetakan         : VII, November 2006
Buku         : 20,5 cm, 171 hal.

Kematian adalah keniscayaan yang tidak terelakkan. Ia merupakan drama penuh misteri dan seketika yang dapat mengubah jalan hidup seseorang. Karena begitu misterius dan menakutkannya kematian, tidak sedikit umat manusia merasa perlu menambah masa hidupnya, seperti yang terangkum dalam pernyataan Chairil Anwar itu.

Membahas kematian bisa menimbulkan sebuah 'pemberontakan' yang menyimpan kepedihan pada jiwa manusia, yaitu kesadaran dan keyakinan bahwa mati pasti akan tiba dan musnahlah semua yang dicintai dan dinikmati dalam hidup ini. Kesadaran itu memunculkan penolakan bahwa kita tidak ingin cepat mati.
Buku Psikologi Kematian karya Komaruddin Hidayat ini secara khusus membahas kematian. Dalam pengantarnya, M Quraish Shihab mengakui buku ini dapat membantu pembacanya bukan saja untuk memahami psikologi kematian, namun juga rahasianya dan yang terpenting ialah menuntut kita menjemput maut dengan hati yang damai.
Menurut Komaruddin Hidayat, keengganan manusia untuk menjemput kematiannya disebabkan, setidaknya dua hal. Pertama, manusia terlanjur dimanjakan dengan aneka kenikmatan duniawi yang telah dipeluknya erat-erat. Kedua, sifat kematian yang misterius. Kematian ditakuti karena manusia tidak tahu persis apa yang akan terjadi setelah kematian itu (hlm 118).
Kematian menjadi misteri kehidupan yang sangat mendebarkan, bahkan menakutkan. Bagi kaum eksistensialis, kematian adalah suatu derita dan musuh bebuyutan yang terlalu tangguh untuk dikalahkan. Prestasi akal budi manusia yang telah melahirkan peradaban IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Tekhnologi) supercanggih tetap tidak akan pernah mampu menelusuri jejak malaikat maut. Anehnya, tidak sedikit manusia justru merasa enggan mati dan berusaha keras memperpanjang sisa hidupnya.
Keengganan dan pemberontakan umat manusia atas kematian telah melahirkan dua mazhab psikologi kematian. Pertama, Mazhab Religius, yaitu mereka yang menjadikan agama sebagai rujukan bahwa keabadian setelah kematian itu betul-betul ada dan untuk memperoleh kebahagiaan yang abadi, orang religius menjadikan kehidupan akhirat sebagai target tertinggi.
Bagi penganut mazhab religius, mengejar kenikmatan hidup duniawi dan memperoleh self-glory hanya akan menghambat diraihnya kesuksesan hidup di akhirat. Penguasa, misalnya, jangan hanya mabuk kekuasaan dan uang, tapi kesejahteraan rakyatnya harus diperhatikan agar kenyamanan hidup setelah kematian bukan sebatas impian.
Kedua, Mazhab Sekuler yang tidak peduli dan tidak yakin adanya kehidupan setelah kematian. Kelompok itu dibedakan dua. Pertama, meskipun mereka tidak peduli kehidupan akhirat, kelompok ini berusaha mengukir namanya dalam lintasan sejarah. Seperti, demi popularitas, orang kaya rela membantu yang miskin. Kedua, mereka yang memang pemuja hidup hedonistis yang sama sekali tidak peduli dengan pengadilan dan penilaian sejarah.
Dalam pandangan Komaruddin Hidayat, keyakinan dan ketidakyakinan manusia bahwa setiap saat kita bisa dijemput kematian memiliki pengaruh besar dalam kehidupan seseorang. Begitu pula dengan keyakinan adanya kehidupan setelah kematian. Dengan harapan memperoleh kebahagiaan di akhirat, misalnya, maka raja-raja Mesir membangun Piramida dengan pucuknya runcing dan menjulang ke langit agar memudahkan perjalanan arwahnya menuju surga (hlm 117).
Islam secara tegas mengajarkan bahwa tiada seorang pun yang bisa menemani dan menolong perjalanan arwah kecuali akumulasi amal kebaikan kita sendiri. Kenikmatan dan gemerlap kehidupan duniawi akan ditinggalkan dan tidak ada bekal yang berharga bagi kelanjutan perjalanan hidup manusia kecuali amal kebaikan yang telah terekam dalam disket rohani yang nantinya akan di-print out di akhirat.
Frank J Tipler dalam bukunya The Psysics of Immortality (1994) menyarankan manusia agar selalu berbuat baik demi kesuksesan dunia-akhirat. Kebaikan membuat kita tersenyum ketika malaikat maut menjemput meskipun keluarga yang akan kita tinggalkan menangis. Sebaliknya, kebejatan akan membuat kita menangis ketakutan, sedangkan orang-orang di sekitar kita tersenyum gembira karena merasa risih akan keberadaan kita sendiri.
Rasa takut itu berakar pada keinginan laten untuk selalu hidup nyaman, dan rasa takut itu kemudian menjalar kepada bebagai wilayah aktifitas manusia. Lebih jauh lagi, rasa takut itu kemudian melahirkan anak-pinak, yaitu takut akan bayang-bayang ketakutan itu sendiri sehingga muncul ungkapan, musuh terbesar dan terdekat kita adalah rasa takut itu sendiri yang berakar kuat dalam diri. Esensinya ialah sikap penolakan akan kematian karena kematian itu selalu diidentikkan dengan tragedi, sakit, ketidak berdayaan, kehilangan dan kebangkrutan hidup. Komaruddin Hidayat sendiri juga menulis dalam pengantarnya, membahas soal kematian bisa menimbulkan pemberontakan yang menyimpan kepedihan dalam setiap jiwa manusia (pengantar wacana, halaman xvi).
Selain itu, dualisme pandangan antara sekulerisme dan spiritualisme memandang kematian kental mewarnai buku ini. Buku Komaruddin Hidayat ini akan membawa pembaca untuk menemukan penjelasan ditinjau dari dua paradigma dalam memandang kehidupan dan kematian itu. Meskipun terkadang dengan nama yang berbeda-beda tetapi intinya tetap sama, ekstrem satu menolak metafisika dan yang lainnya mengamininya.
Seperampat tentang kematian, tiga perempat tentang kehidupan. Begitulah, psikologi kematian tentu dapat juga dibaca sebagai psikologi kehidupan. Sesuai juga dengan pandangan Gede Prama, yang juga memberikan komentar di bagian depan buku ini, “Kematian bukannya lawan kehidupan. Ia adalah mitra makna kehidupan. Hanya dengan menyelami kematian, manusia bisa hidup dengan indah sekaligus mati dengan indah.”.
Psikologi kematian begitu dekat dengan psikologi kehidupan, dalam buku ini sendiri 3 bab pokok malah lebih banyak mengupas kehidupan, tentu saja ditinjau dari sudut pandang bahwa manusia tidak abadi, bab-bab itu adalah; “Makna Kelahiran Manusia”, “Spiritualitas dan Kegelisahan Manusia”, “Pencarian Makna Sebelum Kematian Datang”. Sedangkan bagian keempat mengupas lebih ke masalah pokok, “Dari Kematian Menuju Kehidupan Abadi”. Dan terakhir adalah epilog, “Selamat Datang Kematian”.
Ada bagian yang menarik dalam buku ini, ada sebuah ungkapan barat yang sesuai dengan makna kematian dalam Islam "segala sesuatu yang pasti akan terjadi, berarti dekat" Kita sebagai manusia sudah pasti tahu bahwa kita akan mati. Sehingga kematian adalah kepastian. Maka mati adalah dekat, bahkan lebih dekat dari kemungkinan-kemungkinan yang ada didunia. Mengapa? Karena waktu mati tidak ada seorangpun yang tahu.
Prof. Komaruddin yang bidang keahliannya memang di bidang filsafat agama menjabarkan hakikat kematian juga dari sisi filsafat. Beliau bercerita bagaimana filsuf Yunani, Socrates, dihukum mati karena keyakinannya, dan juga beberapa tokoh lainnya. Subtansi yang ditekankan dalam buku ini adalah bagaimana orang-orang ini punya kebermaknaan sendiri dalam menghadapi kematian.
Buku karya Rektor  UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Komaruddin Hidayat. Yang berjudul "Psikologi Kematian" ini menggambarkan kematian sebagai suatu yang berbeda dari pandangan banyak orang. Bahwa kematian selain pasti kita hadapi juga harus kita lewati dengan rasa optimisme. Tujuan buku ini pada akhirnya adalah merubah paradigma berpikir kebanyakan ummat mengenai kematian, dari ketakutan menjadi optimisme.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mari kita membaca dengan hati plus mata