12 Jan 2013

Psikologi Agama; Perilaku beragama yang Normal

A.    Prilaku Beragama yang Normal


Prilaku normal dan abnormal yang dalam praktiknya agak susah dirumuskan apakah ia normal atau abnormal, dikarenakan :
     1. Sulit menemukan model manusia yang ideal dan sempurna,

              2. Dalam banyak kasus tidak adanya batas-batas yang jelas antara perilaku normal  dan abnormal.
Dalam keseharian orang normal bisa saja melakukan perbuatan atau mengucapkan perkataan yang tergolong abnormal di luar kesadarannya. Sebaliknya orang abnormal bisa saja melakukan perbuatan atau mengucapkan lisan seperti orang normal. terkadang, kita salah mempersepsikan apakah perbuatan atau perkataan diri sendiri atau orang lain termasuk kriteria normalkah ? atau abnormalkah? Oleh sebab itu, diperlukan batas-batas yang membedakan antara normal dan abnormal sehingga kita dapat membedakannya secara jelas.
Menggambarkan ciri-ciri tingkah laku yang norma atau sehat biasanya relatif agak sulit dibanding dengan tingkah laku yang tidak normal. Ini disebabkan karena tingkah laku yang normal seringkali kurang mendapatkan perhatian karen tingkah laku tersebut dianggap wajar, sedangkan tingkah laku abnormal biasanya lebih mendapatkan perhatian karena biasanya tidak wajar dan aneh.
Pribadi yang normal itu pada umumnya memiliki mental yang sehat, sedangkan pribadi yang abnormal biasanya juga memiliki mental yang tidak sehat. Namun demikian, pada hakekatnya konsep mengenai normalitas dan abnormalitas itu sangat samar-samar batasnya. Sebab pola kebiasaan dan sikap hidup yang dirasakan normal oleh suatu kelompok tertentu, bisa dianggap abnormal oleh kelompok lainnya. Akan tetapi apabila satu tingkah laku itu begitu mencolok dan sangat berbeda dengan tingkah laku umum (biasa pada umumnya), maka kita akan menyebutnya sebagai abnormal.
Dilihat dari setiap segi pandang, konsep normalitas-abnormalitas adalah konsep yang bersifat relatif. Penyimpangan dari norma apa pun yang diterima seseorang mungkin begitu kecil atau mungkin begitu mencolok sehingga kelihatan jelas sifat abnormalnya. Tetapi karena tidak ada dikatomi yang tegas, maka normalitas dan abnormalitas sulit dibedakan.
Kebanyakan orang menerima bahwa penyesuaian diri yang baik sangat serupa dengan normalitas dan ketidakmampuan menyesuaikan diri sama dengan abnormalitas. Sehat dan normal seringkali dapat digunakan untuk makna yang sama. Normal mengandung beberapa pengertian. ada lima pengertian normalitas yaitu :
1.  Tidak adanya gangguan atau kesakitan
2.  Keadaan yang ideal atau keadaan mental yang positif
3. Diterima secara sosial
4.  Proses berlangsung secara wajar, terutama dalam tahapan perkembangan.
Sedangkan secara antropologis, Ackerknecht menyatakan bahwa prilaku dibedakan dalam 4 kategori, yaitu :
1. Autopathological, yaitu prilaku abnormal dalam suatu budaya yang ditempati tetapi normal dibudaya lain.
2. Autonormal, yaitu prilaku normal budaya yang ditempati tetapi tidak normal untuk budaya yang lain.
3. Heteropathologikal, yaitu prilaku abnormal dalam seluruh budaya.
4. Heteronormal, yaitu prilaku normal dalam semua budaya
Didasarkan klasifikasi pengertian normal itu atau kategori prilaku diatas, maka istilah normal tidak selalu berarti sehat. Sehat lebih bermakna pengertian khusus, yaitu keadaan yang ideal atau keadaan mental yang positif. Meskipun itulah normal dapat digunakan untuk menyebut istilah sehat, namun tidak selalu tepat digunakan. Normal secara harfiah berarti “kesesuaian” dengan suatu norma atau ukuran tertentu.
    Ciri-ciri individu yang bisa dikelompokkan sebagai normal adalah sebagai berikut :
1. Sikap terhadap diri sendiri. Mampu menerima diri sendiri apa adanya, memiliki identitas diri yang jelas, mampu menilai kelebihan dan kekukarangan diri sendiri secara realitis.
2. Persepsi terhadap realita. Pandangan yang realistis terhadap diri sendiri dan dunia sekitar yang meliputi orang lain maupun segala sesuatunya.
3. Integrasi. Kepribadian yang menyatu dan harmonis, bebas dari konflik-konflik batin yang mengakibatkan ketidakmampuan dan memiliki toleransi yang baik terhadap setres.
4. Kompetensi. Mengembangkan keterampilan mendasar berkaitan dengan aspek fisik, intelektual, emosional, dan sosial untuk dapat melakukan koping terhadap masalah-masalah kehidupan.
5. Otonomi. Memiliki ketetapan diri yang kuat, bertanggung jawab, dan penentuan diri dan memiliki kebebasan yang cukup terhadap pengaruh soaial.
6. Pertumbuhan dan aktualisasi diri. Mengembangkan kecenderungan kearah peningkatan kematangan, pengembangan potensi, dan pemenuhan diri sebagai seorang pribadi.
7. Relasi interpersonal. Kemampuan untuk membentuk dan memelihara relasi interpersonal yang intim.
8. Tujuan hidup. Tidak terlalu kaku untuk mencapai kesempurnaan, tetapi membuat tujuan yang realistis dan masih didalam kemampuan individu.
Dengan sendirinya semua kriteria yang dikemukakan oleh Maslow c.s. itu merupakan ukuran ideal, atau merupakan standar yang relatif sangat tinggi. Dan seorang yang normal pun tidak akan bisa diharapkan memenuhi secara mutlak kriteria tadi. Sebab setiap individu pasti punya kekurangan dan kelemahan dalam struktur kepribadiannya. Namun demikian dia tetap memiliki mental yang sehat, sehingga bisa digolongkan dalam klas manusia normal.
Sebaliknya, jika seorang itu terlalu jauh menyimpang dari kriteria tersebut diatas, dan banyak segi-segi karakteristiknya yang devisien (rusak, tidak efisien) maka pribadi tadi bisa digolongkan dalam kelompok pribadi abnormal. Selanjutnya, pribadi normal dengan mental yang sehat itu selalu memperlihatkan reaksi-reaksi personal yang cocok, tepat terhadap stimulasi eksternal. Karena itu reaksi-reaksi kenormalan pada tingkat psikologis dan sosial biasanya diukur dengan kelakuan individu ditengah kelompok tempat hidupnya. Reaksi tersebut disebut normal, bila tepat dan sesuai dengan ide dan pola tingkah laku kelompok, dan cocok dengan kesejahteraan umum dan kemajuan/progres.

Karena itu normalitas/kesehatan mental ditandai oleh :
1. Integrasi kejiwaan
2. Kesesuaian tingkah laku sendiri dengan tingkah laku sosial
3. Adanya kesanggupan melaksanakan tugas-tugas hidup dan tanggungjawab sosial
4. Efisien dalam menanggapi realitas hidup

B. Prilaku Beragama yang Abnormal
Dalam pandangan psikologi, untuk menjelaskan apakah seorang individu menunjukkan perilaku abnormal dapat dilihat dari tiga kriteria berikut:
1. Kriteria Statistik
Seorang individu dikatakan berperilaku abnormal apabila menunjukkan karakteristik perilaku yang yang tidak lazim alias menyimpang secara signifikan dari rata-rata, Dilihat dalam kurve distribusi normal (kurve Bell), jika seorang individu yang menunjukkan karakteristik perilaku berada pada wilayah ekstrem kiri (-) maupun kanan (+), melampaui nilai dua simpangan baku, bisa digolongkan ke dalam perilaku abnormal.
2. Kriteria Norma
Perilaku individu banyak ditentukan oleh norma-norma yang berlaku di masyarakat, ekspektasi kultural tentang benar-salah suatu tindakan, yang bersumber dari ajaran agama maupun kebiasaan-kebiasaan dalam masyarakat, misalkan dalam berpakaian, berbicara, bergaul, dan berbagai kehidupan lainnya. Apabila seorang individu kerapkali menunjukkan perilaku yang melanggar terhadap aturan tak tertulis ini bisa dianggap sebagai bentuk perilaku abnormal.
3. Kriteria Patologis
Seorang individu dikatakan berperilaku abnormal apabila berdasarkan pertimbangan dan pemeriksaan psikologis dari ahli menunjukkan adanya kelainan atau gangguan mental (mental disorder), seperti: psikophat, psikotik, skizoprenia, psikoneurotik dan berbagai bentuk kelainan psikologis lainnya.
Kriteria yang pertama (statististik) dan kedua (norma) pada dasarnya bisa dideteksi oleh orang awam, tetapi kriteria yang ketiga (patologis) hanya bisa dilakukan oleh orang yang benar-benar memiliki keahlian di bidangnya, misalnya oleh psikolog atau psikiater.
Ketiga kriteria tersebut tidak selamanya berjalan paralel sehingga untuk menentukan apakah seseorang individu berperilaku abnormal atau tidak seringkali menjadi kontroversi. Misalkan, seorang yang melakukan kehidupan sex bebas. Di Indonesia, perilaku sex bebas bisa dianggap sebagai bentuk perilaku abnormal, karena tidak sesuai dengan norma-norma dan nilai-nilai yang disepakati dan juga tidak dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, tetapi di Swedia dan beberapa negara Barat lainnya bisa dianggap sebagai bentuk perilaku normal, karena masyarakat di sana mengijinkannya (permisif) dan sebagian besar masyarakat di sana melakukan tindakan sex bebas. Sementara, menurut kriteria patologis pun mungkin saja tidak akan dianggap sebagai bentuk perilaku abnormal selama yang bersangkutan masih mampu menunjukkan orientasi dan objek sexual yang normal alias tidak mengalami psikosexual neurosis.
    Hubungan Corak keberagamaan seseorang dengan Perilaku menyimpang
Sudah menjadi tabiat kehidupan bahwa ada orang sehat dan ada orang sakit, ada orang normal dan ada yang abnormal, ada yang memiliki tingkat kesehatan mental sangat tinggi, ada yang lemah mental. Ada yang jiwanya sehat, ada yang terganggu kejiwaannya dan bahkan ada yang sakit jiwa. Masalahnya menjadi heboh ketika ada orang yang terpelajar dan dikenal sebagai orang yang mengerti agama serta menjalankan ibadah agamanya secara taat tetapi melakukan sesuatu yang menurut suatu ukuran disebabkan karena mengidap gangguan kejiwaan. Publik menjadi sangat tergoda untuk mengetahui, adakah hubungan antara corak keberagamaan seseorang dengan perilaku menyimpang?
Term sehat wal afiat  biasanya digunakan untuk menyebut tingkat kesehatan yang prima, terkadang hanya untuk menyebut kesehatan fisik, padahal juga dapat dimaksud untuk menyebut kesehatan lahir batin. Tetapi jika kita melacak asal-usul istilah itu, maka sesungguhnya ada perbedaan yang nyata antara sehat dan afiat. Sehat (al shihhah) merujuk kepada fungsi, sedang afiat (al-`afiyah) merujuk kepada maksud penciptaan.
Mata yang sehat adalah mata yang berfungsi untuk melihat tanpa membutuhkan “Alat Bantu”, sedangkan mata yang afiat adalah mata yang mudah untuk melihat obyek yang halal, dan takut untuk melihat obyek yang diharamkan. Mengintip misalnya, jika ia digunakan untuk melihat sesuatu dengan jelas maka dapat dikatakan sehat, namun jika apa yang dilihatnya itu adalah orang yang sedang mandi misalnya maka mata tidak dapat dikatakan sehat wal afiat, sebab mata tidak dapat membantu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang halal dan mana yang haram. Begitulah seterusnya pada telinga, kaki, tangan dan seluruh anggota badan lainnya.
Oleh karena itu sehat wal `afiyat sesungguhnya juga mencakup kesehatan mental. Dimana manusia melakukan hal-hal yang tetap dalam koridor Islam, sebab sesungguhnya agama dalam hal ini Islam adalah konsep hidup yang paripurna yang telah disusun oleh Tuhan untuk manusia. Sebagai konsep yang disusun oleh Tuhan yang Maha Sempurna, konsep Islam pastilah sempurna, dan ia terpelihara di lauh mahfudz (langit) yang duplikatnya bisa digali dari wahyu Al-Qur’anul karim.
Sikap keagamaan merupakan integrasi secara kompleks antara unsur kognisi (pengetahuan), afeksi (penghayatan) dan konasi (perilaku) terhadap agama pada diri seseorang, karenanya ia berhubungan erat dengan gejala jiwa pada seseorang.
Selanjutnya dari sikap keagamaan tersebut, lahirlah pola tingkah laku untuk taat pada norma dan pranata keagamaan dan bahkan menciptakan norma dan pranata keagamaan tertentu sebagai bentuk perwujudan dari kesadaran agama dan pengamalan agama.
Sikap Keagamaan yang Menyimpang Dalam setiap agama, memuat ajaran norma-norma yang dijadikan sebagai petunjuk dan tuntunan bagi para pemeluknya dalam bersikap dan bertingkah laku. Hal itu bertujuan untuk mencapai nilai-nilai yang luhur dalam pembentukan kepribadian dan keserasian hubungan sosial sebagai upaya dalam mendekatkan diri kepada Tuhan. Namun, tidak jarang terjadi dalam kehidupan sehari-hari ditemukan adanya perilaku menyimpang dalam sikap beragama.
Perilaku menyimpang tersebut terjadi disebabkan adanya sikap seseorang mengalami perubahan terhadap kepercayaan dan keyakinan agama sebagai pemeluknya. Perubahan sikap dapat terjadi pada tiap individu maupun kelompok atau masyarakat. Tingkat kualitas dan intensitas perubahan sikap mungkin berbeda dan bergerak secara kontinyu dari positif melalui arela netral ke arah negatif.
Sikap keagamaan yang menyimpang dari ajaran agama yang cenderung keliru mungkin akan menimbulkan suatu pemikiran dan gerakan pembaruan, baik ke arah yang positif maupun ke arah yang negatif. Adanya sikap menyimpang seperti sikap kurang toleran, fanatisme, fundamentalis maupun sikap yang menentang terhadap ajaran agama merupakan salah satu ciri-ciri keberagamaan yang abnormal.

    Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Penyimpangan Sikap Keagamaan
Perubahan sikap keagamaan adalah awal proses terjadinya penyimpangan sikap keagamaan pada seseorang, kelompok atau masyarakat. Perubahan sikap diperoleh dari hasil belajar atau pengaruh lingkungan, maka sikap dapat diubah walaupun sulit. Karenanya perubahan sikap, dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain :
1. Adanya kemampuan sesorang dalam merekayasa obyek, sehingga menarik perhatian, memberi pengertian dan akhirnya dapat diterima dan dijadikan sebagai sebuah sikap baru.
2. Terjadinya konversi agama, yakni apabila seseorang menyadari apa yang dilakukannya sebelumnya adalah keliru, maka ia tentu akan mempertimbangkan untuk tetap konsisten dengan sikapnya yang ia sadari keliru. Dan ini memungkinkan seseorang untuk bersikap yang menyimpang dari sikap keagamaan sebelumnya yang ia yakini sebagai suatu kekeliruan tadi.
3.Penyimpangan sikap keagamaan dapat juga disebabkan karena pengaruh status sosial, dimana mereka yang merubah sikap keagamaan ke arah penyimpangan dari nilai dan norma sebelumnya, karena melihat kemungkinan perbaikan pada status sosialnya.
4. Penyimpangan sikap keagamaan dari sebelumnya, yaitu jika terlihat sikap yang menyimpang dilakukan seseorang (utamanya mereka yang punya pengaruh besar), ternyata dirasakan punya pengaruh sangat positif bagi kemaslahatan kehidupan masyarakat, maka akan dimungkinkan terjadinya integritas sosial untuk menampilkan sikap yang sama, walaupun disadari itu merupakan sikap yang menyimpang dari sikap sebelumnya.

    Kesimpulan :
Normalitas dan abnormalitas menurut Norma budaya dan norma pribadi. Dari segi pandangan budaya, tingkah laku dan sikap hidup seseorang dianggap normal atau abnormal tergantung pada lingkungan sosial (budaya) tempat ia tinggal. Masyarakat merupakan pengawas (hakim) yang keras dan kejam terhadap tingkah laku para anggotanya dan tidak membiarkan penyimpangan-penyimpangan tingkah laku dari adat istiadat atau norma umum yang sudah ada.
Kebebasan dalam batas yang rasional dari anggotanya bisa diberikan agar ia dapat mengungkapkan dirinya dengan bebas. Tetapi, penyimpangan radikal yang menyebabkan kekacauan pada individu dan orang-orang disekitarnya sangat kejam. Orang yang demikian dianggap sebagai pribadi yang abnormal.
Kalau normalitas dan abnormalitas dikaitkan dengan pandangan budaya, maka akibatnya adalah adat kebiasaan dan norma-norma hidup yang dianggap normal oleh kelompok budaya tertentu bisa dianggap abnormal oleh kelompok budaya lain. Atau juga apa yang dianggap abnormal oleh satu generasi atau atau masyarakat beberapa ratus tahun yang lalu mungkin bisa diterima dan dianggap normal oleh masyarakat modern dewasa ini.
Dari uraian mengenai Agama dan Kesehatan mental dapat kita tarik kesimpulan:
• Agama adalah hubungan praktis yang dirasakan dengan apa yang dia percayai sebai mahluk atausebagai wujud yang lebih tinggi dari manusia.
• Kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari gangguan dan penyakit jiwa.
• Hubungan antara kejiwaan dan agama dalam kaitannya dengan hubungan antara agama sebagai keyakinan dan kesehatan jiwa, terletak pada sikap penyerahan diri seseorang terhadap suatu kekuasaan Yang Maha Tinggi. Sikap pasrah yang seruapa itu diduga akan memberi sikap optimis pada diri seseorang sehingga muncul perasaan positif, seperti rasa bahagia, rasa sengang, puas, sukses, merasa dicintai, atau rasa aman. Dengan kata lain, kondisi yang demikian menjadi manusia pada kondisi kodratinya, sesuai dengan fitrah kejadiannya, sehat jasmani dan ruhani.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mari kita membaca dengan hati plus mata