Jum’at, 03 april 2013
Sekitar 153,7 triliun kerugian Negara yang diakibatkan oleh para koruptor. Hasil korupsi setara dengan biaya pendidikan 2,7 juta mahasiswa dan bantuan langsung tunai (BLT) untuk 127 juta warga Negara Indonesia. Meskipun para koruptor ditangkap dan diadili namun harta dan kekayaan yang dikeruk tidak kembali bahkan hanya 15 atau 10 % saja dari total uang yang di curi secara sadar oleh para sang koruptor. Sedangkan biaya untuk setiap kasus korupsi dilimpahkan pada Dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta pajak yang di bayar oleh masyarakat Indonesia.
Ironis memang, kenyataannya setiap penyelesaian kasus Hukum tidak sebanding dengan kerugian yang di tanggung oleh Negara khususnya rakyat kecil. Masa hukuman yang relatif ringan (3-5 tahun) dan denda yang ringan melahirkan koruptor-koruptor baru dengan mind set dan hedonisme yang tidak mencerminkan sedikitpun ekspektasi dan cerminan sebagai wakil rakyat yang seharusnya melayani rakyatnya bukan malah rakyat yang melayani para pemimpin maupun wakil rakyat dalam suatu birokrasi. Sudah saatnya mengubah mind set, sistem hukum dan pasal-pasal yang mengatur tentang hukuman untuk sang koruptor. Hukum yang adil, tidak berdasarkan kepentingan kelompok, tidak memihak pada kaum yang berduit saja. Namun, merakyat karena sudah saatnya kembali untuk rakyat dan membangun rakyat yang berkualitas tanpa adanya cacat hukum.
Hukuman mati untuk sang koruptor bukanlah solusi karena kerugian dan harta karun yang di curi dari Negara dan Rakyat tidak sepenuhnya kembali bahkan masih bisa di nikmati oleh yang lainnya. Seharusnya, hukuman yang setimpal adalah “memiskinkan sang koruptor ’’dan melimpahkan biaya pengadilan dan penyelesaian kasusnya kepada sang koruptor bukan malah di subsidi oleh masyarakat dan Negara.
Masyarakat pun harus turut serta mengontrol dan mengevaluasi proses hukum dan mempengaruhi masa hukuman sang koruptor dengan tidak memberikan ruang gerak kepada mereka dalam berinteraksi sosial dan tidak menganggap mereka sebagai individu yang “baik’’. Filantropis yang telah berganti dengan keserakahan dan pencuri berdasi yang penuh dengan kemunafikan. Bukan hanya teroris yang dianggap sebagai musuh atau aliran-aliran sesat yang harus diperangi dan dimusnahkan akan tetapi koruptor sama dengan aliran-aliran sesat yang harus di musnahkan dan teroris birokrasi yang harus di anggap sebagai musuh. Dengan teori strukturasi Giddens (structuration) bahwa masyarakat (struktur) dan individu (agen) memiliki hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi, masyarakat (struktur) membentuk dan menentukan terhadap kehidupan sosial, struktur selalu membatasi maupun memungkinkan tindakan. Dengan kata lain, bahwa masyarakat dapat memaksa individu mematuhi struktur akan tetapi juga membebaskan individu untuk berkreasi dengan struktur itu sendiri (rule). Masyarakat dapat mengontrol langsung sang koruptor bahkan memaksa mereka untuk mengembalikan harta (uang curian) Negara yang telah di korupsi atau mempengaruhi MPR maupun DPR untuk merevisi kembali UU yang mengatur tentang hukuman para koruptor tersebut. Dengan tidak hanya dipenjara seberat-beratnya tetapi juga menyita (memiskin) harta para koruptor.
By: fira firmanila
Sosiologi industri
Universitas Muhammadiyah Malang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mari kita membaca dengan hati plus mata