Oleh Atika Asri N
Paradigma bisa diartikan sebagai kaidah, dalil, tasrif dan pola sesuatu yang dianggap benar dan baku. Dari sesuatu yang dianggap benar dan baku, maka dapat dijadikan sabagai sumber keyakinan yang bisa dijadikan pedoman, pegangan, tempat berpijak, pondasi, dasar dan rujukan dalam berpikir, bersikap dan berprilaku.
Dari paradigma akan melahirkan nilai dan norma serta teori dan metode. Dalam dunia akademik, perilaku ilmiah didasari oleh paradigma tertentu yang kemudian dijadikan landasan suatu teori dan metode. Maka tidak heran, jika paradigm sebelumnya akan terbantahkan oleh paradigma baru, karena dianggap tidak relevan.
Untuk memperoleh paradigma yang benar dan baku, maka manusia dituntut untuk berupaya meraih kebenaran tersebut. Salah satu upaya untuk memperolehnya adalah dengan hidup berfilsafat. Filsafat akan membantu sekali dalam menentukan mana yang benar dan mana yang salah. Hal ini dikarenakan dalam penerapannya manusia diharuskan untuk berpikir dan bersikap kritis, analitis dan mandiri.
Teologi dapat diartikan sebagai pengkajian, penghayatan (internalisasi) dan perwujudan (aktualisasi) nilai-nilai iman (ketuhanan) dalam memecahkan masalah-masalah kemanusiaan. Hal ini setidaknya dapat dari tiga segi: teologi aktual yaitu berteologi yang melahirkan keprihatinan iman dalam wujud tingkah lakunya sehari-hari; teologi intelektual yaitu teologi yang melahirkan pemikiran keagamaan berjilid-jilid yang hanya dipahami oleh para alim ulama di bidang ini; dan teologi spiritual yaitu melairkan prilaku mistik. Dengan berpegang teguh pada Al-Quran dan Sunnah, persoalan belum selesai, justru dengan kedua hal tersebut aksi dalam rangka merefleksikan nilai-nilai iman (ketuhanan) untuk memecahkan masalah-masalah kemanusiaan dirumuskan berdasarkan konteksnya.
Pendidikan Islam sering diartikan sempit. Diantaranya pendidikan Islam diartikan sebagai proses belajar mengajar dimana Agama Islam menjadi “core curriculum”. Ada juga yang mengartikan sebagai lembaga pendidikan yang di dalamnya terdapat kegiatan yang menjadikan Islam sebagai identitasnya. Akhir-akhir ini berkembang pula pengertian bahwa pendidikan Islam bukan sebagai proses belajar mengajar, maupun jenis kelembagaan, akan tetapi lebih menekankan pada suatu iklim pendidikan atau “education atmosphere”, yaitu suatu suasana pendidikan yang Islami, memberikan nafas keislaman pada semua elemen sistem pendidikan yang ada.
Misi dari pendidikan Islam antara lain: rahmatan lil’alamin (rahmat bagi seluruh alam); mengenalkan agama sebagai sumber nilai secara sosiologis diyakini kebenarannya oleh sebagian besar umat manusia mampu berperan sebagai terutama dalam memberiakan petunjuk, kekuatan moral dan solusi-solusi tegas terhadap berbagai persoalan etik manusia; mengenalkan Islam sebagai agama yang anti kekerasan dan mengajarkan manusia memiliki sikap luhur; dan mengenalakan pandangan-pandangan Islam dalam menelesaikan masalah.
Pendidikan agama sendiri memiliki beberapa tujuan, diantaranya: tercapai sasaran kualitas pribadi; integrasi pendidikan agama dengan keseluruhan proses maupun institusi pendidikan yang lain; tercapainya internalisasi nilai-nilai dan norma-norma keagamaan yang fungsional secara moral; penyadaran pribadi akan tuntutan hari depannya dan transformasi sosial budaya yang terus berlangsung; dan pembentukan wawasan ijtihadiyah (keterbukaan dan kedinamisan).
Tujuan pendidikan Islam tersebut dirumuskan dalam tujuan akhir secara padat dan singkat. Rumusan tujuan pendidikan Islam biasanya digambarkan dalam dua perspektif, yaitu perspektif manusia (pribadi) ideal dan perspektif masyarakat (makhluk sosial) ideal. Sebagai rumusan akhir dari sebuah cita-cita, tujuan tersebut bersifat ideal-statis dalam arti rumusannya tetap, tetapi kualitas dari tujuan itu adalah dinamis dan berkembang nilai-nilai dan standarisasinya.
Penetapan tujuan diperlukan pendekatan yang terpadu. Pendekatan terpadu mencakup: pendekatan melalui normatif filosofis; pendekatan melalui analisa historis lembaga-lembaga sosial; dan pendekatan melalui analisa ilmiah tentang realita kehidupan yang aktual.
Dalam strategi normatif filosofis, nilai-nilai yang dijadokan paradigma dalam merumuskan tujuan pendidikan Islam, antara lain: nilai-nilai filosofis, nilai-nilai akhlaq, nilai-nilai ilmiah, nilai-nilai spiritual, niali-niali karya dan nilai-niali ekonomi atau harta.
Strategi melalui analisa historis lembaga-lembaga sosial, sejarah menjadi bahan dalam menentukan tujuan. Sejarah akan memeberikan pengalaman, pelajaran dan hikamah yang sangat berharga tentang kebaikan atau keburukan, keberhasilan atau kegagalan, kemajuan atau kemunduran dan kejayaan dan keterpurukan umat manusia.
Perumusan tujuan pendidikan melalui analisa ilmiah atau sosiologis (realita kehidupan yang aktual), dimaksudkan agar lulusan pendidikan senantiasa kontekstual dengan dianmika tuntutan masyarakat. Strategi ini meliputi: strategi investasi sumber daya manusia (manpower approach) dan teori ekonomi neoklasik.
Peran pendidikan dalam memebentuk peradaban manusia adalah pasti. Maka Islam mendudukan pendidikan itu sebagai faktor penentu bagi masa depan anak, baik individu maupun dalam konteks kemasyarakatannya. Hal ini dapat kita kaji lewat Al-Quran dan Hadits, maupun lewat sejarah gerakan Islam dan warisan Islam terhadap peradapan dunia. Akan tetapi, dunia pendidikan Islam saat ini mengaami ketidakjelasan ataupun penyempitan-penyempitan dalam memainkan perannya.
Pendidikan memiliki potensi yang luar biasa: manusia diangkat derajatnya sebagai khalifah melebihi malaikat karena memperoleh pendidikan; isi pendidikan harus bersifat komprehensif dan integralistik yang berkaitan dengan tugas manusia sebagai khalifah-Nya di muka bumi; dan pendidikan harus menyejarah dalam arti dapat mengambil i’tibar (pelajaran) dan hikmah dari peristiwa sejarah serta membekali peserta didik kompetensi bagi kebutuhan hidupnya di masa depan.
Tugas manusia adalah sebagai kalifah di muka bumi ini. Yang artinya makhluk yang diberi tugas dan tanggungjawab sebagai wakil Allah untuk mengatur, membina, menguasai dan memakmurkan bumi sesuai dengan aturan yang ditentukan oleh Allah. Maka dengan manusia Tuhannya dengan cara mengenal sifat-sifat dan perbuatan-Nya, mengenal dirinya sendiri dan tugas yang diembannya, mengenal alam melalui fenomena dan hukum-hukumnya, mengenal petunjuk Allah berupa suara hati, maka manusia seperti inilah yang dimaksud oleh Tuhan sebagai khalifah di bumi yang oleh Allah karena mereka beriman dan beramal shaleh.
Agar manusia Muslim baik sebagai individu maupun komunitas sosial dapat menjalankan tugas dan fungsinya sebagai khalifah sebagaimana disebutkan diatas, maka manusia Muslim perlu kerja keras dengan etos kerja yang tinggi, bermoral pembangunan, berteologi yang fungsional (teologi pembangunan) agar dapat menjadi ekonom yang sosial yang dapat bejuang dengan hartanya.
Muhammad sebagai profil manusia ideal, memiliki ciri-ciri antara lain: sebagai pelindung yang dipercaya oleh mereka yang memohon perlindugannya, pembicaraannya sangat ramah dan dinamis; hidup bersama istri-istrinya dalam suasana yang penuh cinta kasih; orang yang sangat gembira jika dibutuhkan orang lain;memiliki jiwa lemah lembut dan heroik; tipe orang yang tidak pernah menyuruh umatnya untuk lari dari kehidupan duniawi dan tanggung jawab sosial; senantiasa berkontemplasi dan berorientasi masa depan berdasarkan pengalaman masa lalu dan kondisi sekarang; profil manusia yang memiliki komitmen atau tanggung jawab terhadap apa yang telah diperbuat, dipikirkan dan dipercayakan; seseorang yang paling rajin dan tekun ibadah; dan sukses dalam karir serta sukses dalam memberikan teladan.
Dalam bahasa Indonesia terdapat istilah guru, di samping istilah pengajar dan pendidik. Dua istilah terakhir yang merupakan bagian terpenting dari guru yaitu mengajar dan sekaligus mendidik siswanya. Walaupun antara guru dan ustadz pengertiannya sama, namun dalam prektek khususnya di lingkungan sekolah-sekolah Islam. Istilah guru dipakai secara umum, sedangkan istilah ustadz dipakai untuk sebutan guru khusus yaitu yang memiliki pengetahuan dan penglaman agama yang mendalam.
Banyak peneliti dan penulis buku tentang pendidikan Islam yang mengkaji tentang kedudukan guru dalam pendidikan Islam. Peneliti-peneliti tersebut pada umumnya mengemukakan kemuliaan guru secara normatif berdasarkan pandangan Al-Qur’an, As-Sunnah dan pandangan para ulama, dimana kedudukan guru dalam Islam sangat mulia.
Tugas guru minimal ada tiga: mendidik, mengajar dan melatih. Tugas mendidik lebih menekankan pada pembentukan jiwa, karakter, kepribadian berdasarkan nilai-nilai; tugas mengajar lebih menekankan pada pengembangan kemampuan penalaran; dan tugas melatih menekankan pada pengembangan kemampuan penerapan teknologi dengan cara melatih berbagai keterampilan.
Terdapat tiga misi atau fungsi guru: fungsi profesional, fungsi kemanusiaan dan fungsi civic mision. Fungsi profesional dalam arti guru meneruskan ilmu atau keterampilan atau pengalaman yang dimilikinya atau dipelajarinya kepada anak didiknya. Fungsi kemanusiaan dalam arti berusaha mengembangkan atau membina segala potensi bakat atau pembawaan yang berada pada diri anak serta membentuk wajah ilahi dalam dirinya. Fungsi civic vision dalam arti guru wajib menjadikan anak didiknya menjadi warga negara yang baik, yaitu yang berjiwa patriotisme, mempunyai semangat kebangsaan nasional, dan disiplin atau taat terhadap semua peraturan perundang-undangan yang berlaku atas dasar Pancasila dan UUD 1945.
Permasalahan yang sering dihadapi guru, antara lain: banyak guru yang tidak mengenal muridnya dan yang lebih parah lagi murid tidak mengenal nama gurunya; bila bertemu di luar kelas tidak saling menyapa atau memberikan salam; interaksi guru-murid cenderung bersifat transaksional, daripada hubungan kemanusiaan, hubungan sinergi keilmuan dan hubungan atau interaksi edukatif yang tulus; ditambah lagi tayangan televisi sering menampilkan sinetron dimana seorang guru tidak dapat membawakan dirinya dengan baik dihadapan muridnya.
Tiga paradigma pendidikan yang paling berpengaruh dalam dunia pendidikan, diantaranya: behaviorisme, rasionalisme dan humanisme. Paradigma behaviorisme berpendapat: (1) perilaku anak didik itu terbentuk oleh pengeru orang dewasa terutama orang tua dan guru; (2) tindakan anak didik mengikuti hokum stimulus-respons, sehingga bersifat rektif; (3) hadiah (reward) dan hokum (punishment) memegang peran penting; dan (4) tujuan pendidikan lebih menekankan “to have” daripada “to be”.
Paradigma rasionalisme berpendapat: (1) perilaku manusia itu dipertimbangkan oleh kognisi; (2) rasionalitas memegang peranan penting, (3) tujuan pendidikan yang utama adalah mengembangkan intelektual atau aspek kognitif anak didik.
Paradigm humanisme berpendapat: (1) perilaku manusia itu dipertimbangkan oleh multiple intelligencenya; (2) anak didik adalah makhlik yang berkarakter dan berkepribadian serta aktif dan dinamis dalam perkembangannya; (3) lebih menekankan pada “to be” dan aktualisasi diri; dan (4) pembelajaran harus terpusat pada diri siswa (student centered learning).
Dalam perspektif Islam, metode pembelajaran yang integralistik mendayagunakan kecerdasan anak agar bermanfaat dan bermaslahah. Cara mendayagunakannnya, antara lain: dengan mendayagunakan kecerdasan majemuk anak untuk memahami dan mengenali dirinya, untuk membangun kekuatan ilmu dan rumah ilmu dalam dirinya, untuk memperkokoh akhlaq kepribadiannya sehingga memiliki kepribadian yang agung, dan anak diarahkan untuk mendayagunakan kecerdasan majemuknya untuk memiliki kekuatan ibadah.
Dalam Islam terdapat beberapa istilah yang sangat tepat digunakan sebagai pendekatan pembelajaran. konsep-konsep itu, antara lain: (1) tilawah, menyangkut kemampuan membaca; (2) ta’lim, terkait dengan pengembangan kecerdasan intelektual (intellectual quotient); (3) tarbiyah, menyangkut kepedulian dan kasih sayang secara pribadi; (4) ta’dib, terkait dengan pengembanagn kecerdasan emosional (emotional quotient); (5) tazkiyah, terkait dengan pengembangan kecerdasan spiritual (spiritual quotient); dan (6) tadlrib, terkait dengan kecerdasan fisik atau keterampilan (physical quotient atau adversity quotient).
Tahapan dalam interaksi edukatif guru dan murid, antara lain: analisa untuk aksi; bergumul untuk mengejar ketinggalan; tahap konsolidasi; tahap pembangunan fisik dan fasilitas; tahap pembangunan akademik; dan tahap pengakuan masyarakat dan aktualisasi diri.
Tiga unsur pokok dalam interaksi edukatif, diantaranya: heart, yang meliputi keyakinan dasar (core belief) dan nilai-nilai dasar (core values); head, yang meliputi kerangka berpikir dan peta mental (mindset) dan pengetahuan (knowledge); dan hand, yang meliputi tindakan (action) dan perilaku (behavior).
Allah telah memberikan contoh pendidikan terhadap hamba-Nya dengan pendidikan yang terbaik dan integralistik, yaitu pendidikan yang spiritualistic, humanistic dan naturalistic. Dengan mewujudkan pendidika terbaik yakni pendidikan yang mampu memberikan bekal pada para terdidik untuk menhadapi kehidupan di dunia dan akhirat.
Dalam konteks tujuan pendidikan, hal ini (keterpaduan, keserasian dan pencahayaan Godspot (ruh) terahadap kalbu, akal dan nafsu yang nantinya akan memaksimalkan kecerdasan dan fungsi masing-masing) akan membantu membentuk anak didik yang memiliki kekokohan aqidah, kedalaman ilmu, ketulusan dalam pengabdian dan keluhuran pribadi.
Spiritualisasi subjek didik dapat dilakukan dengan: memuliakan guru, menghargai siswa, menghubungkan antara spiritualitas dan profesionalitas, serta menjadi pendidik yang memiliki spiritualitas yang baik. Spiritualitas seorang pendidik dapat dikokohkan dengan pemahaman, pelatihan, pembiasaan, sikap dan perbuatan, penampilan, sertapenciptaan kultur dan iklimpembelajaran yang kondusif.
Karakteristik kepemimpinan spiritual, yaitu: kejujuran sejati, fairness, semangat amal shaleh,membenci formalitas dan organized religion, sedikit bicara banyak kerja dan santai,membangkitkan yang terbaik bagi diri sendiri dan orang lain, keterbukaan menerima perubahan, pemimpin yang dicintai, think globally and act locally, disiplin tetapi fleksibel dan tetap cerdas dan penuh gairah, dan kerendahan hati.
Peran pemimpin spiritual dalam mengembangkan pendidikan Islam, antara lain: sebagai pembaharu, sebagai pemimpin organisasi pendidikan, sebagai administrator proses pembelajaran, dan sebagai pendidik.
Paradigma bisa diartikan sebagai kaidah, dalil, tasrif dan pola sesuatu yang dianggap benar dan baku. Dari sesuatu yang dianggap benar dan baku, maka dapat dijadikan sabagai sumber keyakinan yang bisa dijadikan pedoman, pegangan, tempat berpijak, pondasi, dasar dan rujukan dalam berpikir, bersikap dan berprilaku.
Dari paradigma akan melahirkan nilai dan norma serta teori dan metode. Dalam dunia akademik, perilaku ilmiah didasari oleh paradigma tertentu yang kemudian dijadikan landasan suatu teori dan metode. Maka tidak heran, jika paradigm sebelumnya akan terbantahkan oleh paradigma baru, karena dianggap tidak relevan.
Untuk memperoleh paradigma yang benar dan baku, maka manusia dituntut untuk berupaya meraih kebenaran tersebut. Salah satu upaya untuk memperolehnya adalah dengan hidup berfilsafat. Filsafat akan membantu sekali dalam menentukan mana yang benar dan mana yang salah. Hal ini dikarenakan dalam penerapannya manusia diharuskan untuk berpikir dan bersikap kritis, analitis dan mandiri.
Teologi dapat diartikan sebagai pengkajian, penghayatan (internalisasi) dan perwujudan (aktualisasi) nilai-nilai iman (ketuhanan) dalam memecahkan masalah-masalah kemanusiaan. Hal ini setidaknya dapat dari tiga segi: teologi aktual yaitu berteologi yang melahirkan keprihatinan iman dalam wujud tingkah lakunya sehari-hari; teologi intelektual yaitu teologi yang melahirkan pemikiran keagamaan berjilid-jilid yang hanya dipahami oleh para alim ulama di bidang ini; dan teologi spiritual yaitu melairkan prilaku mistik. Dengan berpegang teguh pada Al-Quran dan Sunnah, persoalan belum selesai, justru dengan kedua hal tersebut aksi dalam rangka merefleksikan nilai-nilai iman (ketuhanan) untuk memecahkan masalah-masalah kemanusiaan dirumuskan berdasarkan konteksnya.
Pendidikan Islam sering diartikan sempit. Diantaranya pendidikan Islam diartikan sebagai proses belajar mengajar dimana Agama Islam menjadi “core curriculum”. Ada juga yang mengartikan sebagai lembaga pendidikan yang di dalamnya terdapat kegiatan yang menjadikan Islam sebagai identitasnya. Akhir-akhir ini berkembang pula pengertian bahwa pendidikan Islam bukan sebagai proses belajar mengajar, maupun jenis kelembagaan, akan tetapi lebih menekankan pada suatu iklim pendidikan atau “education atmosphere”, yaitu suatu suasana pendidikan yang Islami, memberikan nafas keislaman pada semua elemen sistem pendidikan yang ada.
Misi dari pendidikan Islam antara lain: rahmatan lil’alamin (rahmat bagi seluruh alam); mengenalkan agama sebagai sumber nilai secara sosiologis diyakini kebenarannya oleh sebagian besar umat manusia mampu berperan sebagai terutama dalam memberiakan petunjuk, kekuatan moral dan solusi-solusi tegas terhadap berbagai persoalan etik manusia; mengenalkan Islam sebagai agama yang anti kekerasan dan mengajarkan manusia memiliki sikap luhur; dan mengenalakan pandangan-pandangan Islam dalam menelesaikan masalah.
Pendidikan agama sendiri memiliki beberapa tujuan, diantaranya: tercapai sasaran kualitas pribadi; integrasi pendidikan agama dengan keseluruhan proses maupun institusi pendidikan yang lain; tercapainya internalisasi nilai-nilai dan norma-norma keagamaan yang fungsional secara moral; penyadaran pribadi akan tuntutan hari depannya dan transformasi sosial budaya yang terus berlangsung; dan pembentukan wawasan ijtihadiyah (keterbukaan dan kedinamisan).
Tujuan pendidikan Islam tersebut dirumuskan dalam tujuan akhir secara padat dan singkat. Rumusan tujuan pendidikan Islam biasanya digambarkan dalam dua perspektif, yaitu perspektif manusia (pribadi) ideal dan perspektif masyarakat (makhluk sosial) ideal. Sebagai rumusan akhir dari sebuah cita-cita, tujuan tersebut bersifat ideal-statis dalam arti rumusannya tetap, tetapi kualitas dari tujuan itu adalah dinamis dan berkembang nilai-nilai dan standarisasinya.
Penetapan tujuan diperlukan pendekatan yang terpadu. Pendekatan terpadu mencakup: pendekatan melalui normatif filosofis; pendekatan melalui analisa historis lembaga-lembaga sosial; dan pendekatan melalui analisa ilmiah tentang realita kehidupan yang aktual.
Dalam strategi normatif filosofis, nilai-nilai yang dijadokan paradigma dalam merumuskan tujuan pendidikan Islam, antara lain: nilai-nilai filosofis, nilai-nilai akhlaq, nilai-nilai ilmiah, nilai-nilai spiritual, niali-niali karya dan nilai-niali ekonomi atau harta.
Strategi melalui analisa historis lembaga-lembaga sosial, sejarah menjadi bahan dalam menentukan tujuan. Sejarah akan memeberikan pengalaman, pelajaran dan hikamah yang sangat berharga tentang kebaikan atau keburukan, keberhasilan atau kegagalan, kemajuan atau kemunduran dan kejayaan dan keterpurukan umat manusia.
Perumusan tujuan pendidikan melalui analisa ilmiah atau sosiologis (realita kehidupan yang aktual), dimaksudkan agar lulusan pendidikan senantiasa kontekstual dengan dianmika tuntutan masyarakat. Strategi ini meliputi: strategi investasi sumber daya manusia (manpower approach) dan teori ekonomi neoklasik.
Peran pendidikan dalam memebentuk peradaban manusia adalah pasti. Maka Islam mendudukan pendidikan itu sebagai faktor penentu bagi masa depan anak, baik individu maupun dalam konteks kemasyarakatannya. Hal ini dapat kita kaji lewat Al-Quran dan Hadits, maupun lewat sejarah gerakan Islam dan warisan Islam terhadap peradapan dunia. Akan tetapi, dunia pendidikan Islam saat ini mengaami ketidakjelasan ataupun penyempitan-penyempitan dalam memainkan perannya.
Pendidikan memiliki potensi yang luar biasa: manusia diangkat derajatnya sebagai khalifah melebihi malaikat karena memperoleh pendidikan; isi pendidikan harus bersifat komprehensif dan integralistik yang berkaitan dengan tugas manusia sebagai khalifah-Nya di muka bumi; dan pendidikan harus menyejarah dalam arti dapat mengambil i’tibar (pelajaran) dan hikmah dari peristiwa sejarah serta membekali peserta didik kompetensi bagi kebutuhan hidupnya di masa depan.
Tugas manusia adalah sebagai kalifah di muka bumi ini. Yang artinya makhluk yang diberi tugas dan tanggungjawab sebagai wakil Allah untuk mengatur, membina, menguasai dan memakmurkan bumi sesuai dengan aturan yang ditentukan oleh Allah. Maka dengan manusia Tuhannya dengan cara mengenal sifat-sifat dan perbuatan-Nya, mengenal dirinya sendiri dan tugas yang diembannya, mengenal alam melalui fenomena dan hukum-hukumnya, mengenal petunjuk Allah berupa suara hati, maka manusia seperti inilah yang dimaksud oleh Tuhan sebagai khalifah di bumi yang oleh Allah karena mereka beriman dan beramal shaleh.
Agar manusia Muslim baik sebagai individu maupun komunitas sosial dapat menjalankan tugas dan fungsinya sebagai khalifah sebagaimana disebutkan diatas, maka manusia Muslim perlu kerja keras dengan etos kerja yang tinggi, bermoral pembangunan, berteologi yang fungsional (teologi pembangunan) agar dapat menjadi ekonom yang sosial yang dapat bejuang dengan hartanya.
Muhammad sebagai profil manusia ideal, memiliki ciri-ciri antara lain: sebagai pelindung yang dipercaya oleh mereka yang memohon perlindugannya, pembicaraannya sangat ramah dan dinamis; hidup bersama istri-istrinya dalam suasana yang penuh cinta kasih; orang yang sangat gembira jika dibutuhkan orang lain;memiliki jiwa lemah lembut dan heroik; tipe orang yang tidak pernah menyuruh umatnya untuk lari dari kehidupan duniawi dan tanggung jawab sosial; senantiasa berkontemplasi dan berorientasi masa depan berdasarkan pengalaman masa lalu dan kondisi sekarang; profil manusia yang memiliki komitmen atau tanggung jawab terhadap apa yang telah diperbuat, dipikirkan dan dipercayakan; seseorang yang paling rajin dan tekun ibadah; dan sukses dalam karir serta sukses dalam memberikan teladan.
Dalam bahasa Indonesia terdapat istilah guru, di samping istilah pengajar dan pendidik. Dua istilah terakhir yang merupakan bagian terpenting dari guru yaitu mengajar dan sekaligus mendidik siswanya. Walaupun antara guru dan ustadz pengertiannya sama, namun dalam prektek khususnya di lingkungan sekolah-sekolah Islam. Istilah guru dipakai secara umum, sedangkan istilah ustadz dipakai untuk sebutan guru khusus yaitu yang memiliki pengetahuan dan penglaman agama yang mendalam.
Banyak peneliti dan penulis buku tentang pendidikan Islam yang mengkaji tentang kedudukan guru dalam pendidikan Islam. Peneliti-peneliti tersebut pada umumnya mengemukakan kemuliaan guru secara normatif berdasarkan pandangan Al-Qur’an, As-Sunnah dan pandangan para ulama, dimana kedudukan guru dalam Islam sangat mulia.
Tugas guru minimal ada tiga: mendidik, mengajar dan melatih. Tugas mendidik lebih menekankan pada pembentukan jiwa, karakter, kepribadian berdasarkan nilai-nilai; tugas mengajar lebih menekankan pada pengembangan kemampuan penalaran; dan tugas melatih menekankan pada pengembangan kemampuan penerapan teknologi dengan cara melatih berbagai keterampilan.
Terdapat tiga misi atau fungsi guru: fungsi profesional, fungsi kemanusiaan dan fungsi civic mision. Fungsi profesional dalam arti guru meneruskan ilmu atau keterampilan atau pengalaman yang dimilikinya atau dipelajarinya kepada anak didiknya. Fungsi kemanusiaan dalam arti berusaha mengembangkan atau membina segala potensi bakat atau pembawaan yang berada pada diri anak serta membentuk wajah ilahi dalam dirinya. Fungsi civic vision dalam arti guru wajib menjadikan anak didiknya menjadi warga negara yang baik, yaitu yang berjiwa patriotisme, mempunyai semangat kebangsaan nasional, dan disiplin atau taat terhadap semua peraturan perundang-undangan yang berlaku atas dasar Pancasila dan UUD 1945.
Permasalahan yang sering dihadapi guru, antara lain: banyak guru yang tidak mengenal muridnya dan yang lebih parah lagi murid tidak mengenal nama gurunya; bila bertemu di luar kelas tidak saling menyapa atau memberikan salam; interaksi guru-murid cenderung bersifat transaksional, daripada hubungan kemanusiaan, hubungan sinergi keilmuan dan hubungan atau interaksi edukatif yang tulus; ditambah lagi tayangan televisi sering menampilkan sinetron dimana seorang guru tidak dapat membawakan dirinya dengan baik dihadapan muridnya.
Tiga paradigma pendidikan yang paling berpengaruh dalam dunia pendidikan, diantaranya: behaviorisme, rasionalisme dan humanisme. Paradigma behaviorisme berpendapat: (1) perilaku anak didik itu terbentuk oleh pengeru orang dewasa terutama orang tua dan guru; (2) tindakan anak didik mengikuti hokum stimulus-respons, sehingga bersifat rektif; (3) hadiah (reward) dan hokum (punishment) memegang peran penting; dan (4) tujuan pendidikan lebih menekankan “to have” daripada “to be”.
Paradigma rasionalisme berpendapat: (1) perilaku manusia itu dipertimbangkan oleh kognisi; (2) rasionalitas memegang peranan penting, (3) tujuan pendidikan yang utama adalah mengembangkan intelektual atau aspek kognitif anak didik.
Paradigm humanisme berpendapat: (1) perilaku manusia itu dipertimbangkan oleh multiple intelligencenya; (2) anak didik adalah makhlik yang berkarakter dan berkepribadian serta aktif dan dinamis dalam perkembangannya; (3) lebih menekankan pada “to be” dan aktualisasi diri; dan (4) pembelajaran harus terpusat pada diri siswa (student centered learning).
Dalam perspektif Islam, metode pembelajaran yang integralistik mendayagunakan kecerdasan anak agar bermanfaat dan bermaslahah. Cara mendayagunakannnya, antara lain: dengan mendayagunakan kecerdasan majemuk anak untuk memahami dan mengenali dirinya, untuk membangun kekuatan ilmu dan rumah ilmu dalam dirinya, untuk memperkokoh akhlaq kepribadiannya sehingga memiliki kepribadian yang agung, dan anak diarahkan untuk mendayagunakan kecerdasan majemuknya untuk memiliki kekuatan ibadah.
Dalam Islam terdapat beberapa istilah yang sangat tepat digunakan sebagai pendekatan pembelajaran. konsep-konsep itu, antara lain: (1) tilawah, menyangkut kemampuan membaca; (2) ta’lim, terkait dengan pengembangan kecerdasan intelektual (intellectual quotient); (3) tarbiyah, menyangkut kepedulian dan kasih sayang secara pribadi; (4) ta’dib, terkait dengan pengembanagn kecerdasan emosional (emotional quotient); (5) tazkiyah, terkait dengan pengembangan kecerdasan spiritual (spiritual quotient); dan (6) tadlrib, terkait dengan kecerdasan fisik atau keterampilan (physical quotient atau adversity quotient).
Tahapan dalam interaksi edukatif guru dan murid, antara lain: analisa untuk aksi; bergumul untuk mengejar ketinggalan; tahap konsolidasi; tahap pembangunan fisik dan fasilitas; tahap pembangunan akademik; dan tahap pengakuan masyarakat dan aktualisasi diri.
Tiga unsur pokok dalam interaksi edukatif, diantaranya: heart, yang meliputi keyakinan dasar (core belief) dan nilai-nilai dasar (core values); head, yang meliputi kerangka berpikir dan peta mental (mindset) dan pengetahuan (knowledge); dan hand, yang meliputi tindakan (action) dan perilaku (behavior).
Allah telah memberikan contoh pendidikan terhadap hamba-Nya dengan pendidikan yang terbaik dan integralistik, yaitu pendidikan yang spiritualistic, humanistic dan naturalistic. Dengan mewujudkan pendidika terbaik yakni pendidikan yang mampu memberikan bekal pada para terdidik untuk menhadapi kehidupan di dunia dan akhirat.
Dalam konteks tujuan pendidikan, hal ini (keterpaduan, keserasian dan pencahayaan Godspot (ruh) terahadap kalbu, akal dan nafsu yang nantinya akan memaksimalkan kecerdasan dan fungsi masing-masing) akan membantu membentuk anak didik yang memiliki kekokohan aqidah, kedalaman ilmu, ketulusan dalam pengabdian dan keluhuran pribadi.
Spiritualisasi subjek didik dapat dilakukan dengan: memuliakan guru, menghargai siswa, menghubungkan antara spiritualitas dan profesionalitas, serta menjadi pendidik yang memiliki spiritualitas yang baik. Spiritualitas seorang pendidik dapat dikokohkan dengan pemahaman, pelatihan, pembiasaan, sikap dan perbuatan, penampilan, sertapenciptaan kultur dan iklimpembelajaran yang kondusif.
Karakteristik kepemimpinan spiritual, yaitu: kejujuran sejati, fairness, semangat amal shaleh,membenci formalitas dan organized religion, sedikit bicara banyak kerja dan santai,membangkitkan yang terbaik bagi diri sendiri dan orang lain, keterbukaan menerima perubahan, pemimpin yang dicintai, think globally and act locally, disiplin tetapi fleksibel dan tetap cerdas dan penuh gairah, dan kerendahan hati.
Peran pemimpin spiritual dalam mengembangkan pendidikan Islam, antara lain: sebagai pembaharu, sebagai pemimpin organisasi pendidikan, sebagai administrator proses pembelajaran, dan sebagai pendidik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mari kita membaca dengan hati plus mata