2 Mar 2014

ISLAM TEKSTUAL DAN ISLAM KONTEKSTUAL

Oleh Sangadji EM


Suatu saat saya menjadi khotib jum’at di sebuah Masjid di kota Malang, topik yang saya bawakan adalah Islam tekstual dan Islam kontekstual, selesai menjadi khotib jum’at saya menjadi Imam sholat. Selesai sholat saya ditunggu seorang makmum, yang sedari tadi saya perhatikan dia begitu serius mengikuti khotbah saya. Selesai salam, berdzikir dan berdoa biasanya beberapa jamaah lalu mendekat dan berdiskusi khususnya menyangkut materi khutbah. Saya tidak meyangka jamaah yang serius memperhatikan khutbah saya tadi lalu mendekat dan mengemukakan pendapat. Ustadz, materi khutbah ustadz menarik, tapi sepertinya sholat ustadz tidak akan diterima Allah, saya tersentak lalu bertanya kok bisa begitu ? dia menjawab karena celana ustadz menutup mata kaki, dan itu menurut hadist nabi: “Barang siapa yang melaksanakan sholat tapi pakainnya menutup mata kakinya maka sholatnyua tidak diterima”.


Saya berusaha menahan diri tidak emosi mendengar pendapat jamaah ini, sebab Rasulullah pernah ditegur oleh Allah jika kamu berkeras menghadapi mereka maka mereka akan menjauh darimu. Saya hanya bergurau, Mas, Tuhan anda kok kejam sekali ya, gara-gara hanya celana menutup mata kaki saja sholat seseorang tidak diterima, Tuhan saya kok pemaaf ya, jangankan sholat dengan pakaian menutup mata kaki, jika seseorang muslim berbuat dosa seluas langit dan bumi sekalipun, tetapi jika dia serius bertaubat maka taubatnya akan diterima. Saya lalu bertanya apakah antum pernah mendalami lonsep “Isbal” itu ? Dia menjawab saya sudah membaca dan memahami bahwa kalau sholat dengan berpakaian menutup mata kaki maka sholatnya tidak diterima. Karena dia tetap mempertahankan pendapatnya maka saya mencoba menjelaskan kepadanya. bahwa dalam kajian Fiqh, setiap perbuatan ibadah itu ada alasannya atau “illatnya”, perihal Isbal itu menurut asbabul wurudlnya, nabi ingin agar supaya orang-orang mukmin itu tidak berpakaian diseret-seret seperti pemuka Yahudi dan Nasaroh karena alasan kesombongan atau riya, jadi substansi dilarangnya menutup mata kaki itu karena kesombongan atau riya, bukan alasan yang lain. Sehingga satu saat Abu Bakar Sidiq memakai jubah menutup mata kaki ketika akan sholat Nabi membiarkan. Karena banyak hadist yang kita temukan rasulullah menyatakan, barangsiapa didalam hatinya ada sifat sombong sebesar zarrahpun maka dia tidak akan masuk surga. Karena sombong itu Hak Allah, manusia tidak boleh menyamai sifat Allah. Saya malah kuatir karena dalam hatimu kamu menilai orang yang memakai pakaian manutup mata kaki sholatnya tidak diterima, dan disaat yang sama dalam hatimu menyatakan hanya sholat saya yang diterima, dan itu berarti dihatimu muncul sikap ujub, sholatkulah paling sempurna, maka pada saat itu anda terjerembab dalam sifat riya, sehingga sholatmu juga tidak diterima Allah dan tidak akan masuk surga. Dia terdiam mendengar analisis saya, lalu akhirnya pamit pergi.

Saya tidak akan menguraikan ceritra ini lebih panjang, namun yang perlu ditangkap makna dari dialog ini adalah, seringkali banyak orang belum memahami agama secara mendalam lalu suka memvonis orang bahwa ibadahmu ini salah, cara berpakainmu ini salah tidak sesuai dengan hukum Islam atau tidak sesuai dengan ajaran Qur’an dan sunnah. Pada hal sesungguhnya setiap mereka yang megaku Muslim sudah tahu persis bahwa sumber ajaran Islam yang paling autentik itu adalah Qur’an dan sunnah. Cuma yang menjadi perdebatan adalah apakah semua masalah kehidupan umat manusia itu sudah diuraikan secara rinci dalam Qur’an dan sunnah atau belum ?

Kalau sudah menyangkut ini maka pendapat umat akan terbelah menjadi dua. Pendapat pertama menyatakan bahwa semua hal yang terjadi didunia ini termasuk semua peristiwa kehidupan dan pemecahannya sudah diatur dalam Qur,an dan sunnah. Pendapat yang kedua menyatakan karena Qur’an dan sunnah itu tidak memuat secara rinci tentang jawaban terhadap setiap persoalan umat maka umat boleh menggunakan ijtihad untuk memecahkan masalahnya.

Dalam realitas kehidupan kita seringkali kita menemukan masalah yang dijaman nabi dan para sahabat belum pernah terjadi. Katakanlah masalah keluarga berencana. Dijaman nabi tidak perlu ada pembatasan kelahiran manusia karena jumlah manusia masih sedikit, tapi pada saat ini tingkat pertumbuhan penduduk begitu pesat maka mau dan tidak mau perlu ada upaya secara terstruktur untuk mengatasi masalah ledakan penduduk tersebut. Di dalam Qur’an kita tidak akan menemukan ayat yang mengatur kelahiran penduduk. Tapi kita hanya menemukan ayat yang menyatakan jangan kamu membunuh janin dalam kandungan Ibunya. Para ulama lalu mengambil ayat lain yang dijadikan dasar pijakan untuk pembenaran pembatasan kelahiran itu yaitu: Janganlah kalian meninggalkan keturunanmu yang tidak berkualitas.

Persoalan lain, sampai sekarang, masih selalu menjadi perdebatan adalah apakah bunga Bank itu riba atau tidak riba ?. Ada ulama menyatakan bunga bank itu pasti riba, setiap peminjaman dengan adanya tambahan pembayaran maka pasti riba, tapi ada juga ulama juga menyatakan bahwa bunga bank itu tidak riba, karena riba yang dimaksud dalam Qur’an itu adalah bunga berbunga yang sangat memberatkan. Dijaman nabi belum dikenal yang namannya : “Time Value Of Money” nilai waktu uang, belum dikenal pula namanya tingkat inflasi, belum dikenal pula pertukaran uang secara internasional antar Negara, dst. Sehingga M. Dawam Rahardjo dalam bukunya piagam Mekkah menyatakan, jika seorang pengusaha meminjam uang di bank dengan tingkat bunga tertentu lalu dana ini diinvestasikan dalam kegiatan produktif dan menghasilkan pendapatan berlipat-lipat sehingga untuk membayar angsuran dengan bunganya tidak menjadi masalah maka itu tidak masuk wilayah riba. Riba itu berlaku jika ada seorang miskin meminjam uang untuk berobat lalu dikenakan tambahan pembayaran maka ini masuk wilayah riba, karena sipeminjam menzdolimi orang yang sangat membutuhkan bantuan. Namun secara realitas, mestinya Bank-bank syariah itu menjadi pelopor pemberantasan riba tetapi kenyataannya mereka menjual produk pinjaman ke masyarakat bunganya (istilah ini diganti dengan nama nisbah), jauh lebih mahal jika dibandingkan dengan bunga bank konvensional, jadi yang mengandung unsur riba itu, pinjaman dari bank syariah ? atau Bank konvensional ? ini perlu diskusi yang mendalam. dalam kasus transaksi mudarobah misalnya, substansinya itu bagi hasil, tapi bank syariah hanya mau bagi hasil tapi tidak mau bagi rugi. Jadi serba dilematis, syariah itu lalu ditafsirkan dan diterakpan semau gue. Saya tidak akan masuk ke wilayah hukum syar'inya karena ini otoritasnya para ahli fiqh dan ahli ekonomi.

Dari dua gambaran kasus di atas menandakan bahwa, banyak sekali masalah yang belum terkaver dalam Qur’a dan sunnah. Dalam hal tertentu qur'an secara rinci menguraikannya seperti masalah hak waris, tapi disisi lain dalam hal tertentu Qur’an dan sunnah hanya memberikan isyarat sebagai alat justifikasi atau pembenaran atau menyalahkan, dalam hal menentukan sebuah aktivitas manusia itu apakah bertentangan dengan syar’i atau tidak. Dengan demikian maka dapat disimpulkan bahwa dalam beragama jika menyangkut ibadah machda maka pendekatan yang harus dipakai adalah bersifat tekstual tapi kalau masuk wilayah muamalah maka mau dan tidak mau kita harus memasuki wilayah kontekstual. Kedua ranah ini penting dijadikan dasar untuk membuat Islam lebih mempunyai daya guna. Banyak hal di jaman Nabi tidak bisa diterapkan di jaman sekarang, karena situasi dan kondisinya sudah jauh berbeda. Bahwa Qur’an dan sunnah itu menjadi sumber rujukan itu tidak boleh di nafikan, tetapi berusaha untuk menafsirkan agama sesuai dengan semangat jaman itu juga sebuah hal yang penting, karena menafsirkan itu tidak dalam rangka merubah ajaran agama, tetapi mencoba menangkap api ajaran agama untuk diterapkan dalam kondisi kekinian, sebagaimana suatu saat rasulullah Muhammad SAW berdialog dengan Mu’adz Bin Jabal ketika di utus menjadi Qadhi (hakim) di Yaman

Dialog antara Rasul dan Mu’adz ketika diutus oleh Nabi sebagai Qadhi (Hakim) ke Yaman.:

Nabi : Dengan apa kamu memutuskan perkara?
Mu‟adz: Dengan sesuatu yang terdapat dalam Kitabullah.
Nabi : Kalau tidak engkau dapati dalam Kitabullah?
Mu‟adz: Saya akan memutuskan sesuatu yang telah diputuskan olehRasulullah.
Nabi : Kalau tidak engkau dapati apa yang diputuskan Rasulullah?
Mu‟adz: Saya akan berijtihad mengguanakan pikiran saya.
Nabi : Segala Puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan dari utusan-Nya.

Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mari kita membaca dengan hati plus mata