Oleh Dedi Hariadi
.
A. Hukum
Islam dan Tantangan Modernitas
Agama samawi
sebelum islam, mempunyai kaapasitas jangkauan waktu dan tempat yang terbatas,
sifat temporer itu dibatasi dengan kehadiran nabi muhammad SAW , seperti ajaran
musa as , dead line-nya adalah ketika ajaran isa as tiba, berbeda dengan
itu, agama islam yang dibawa oleh nabi muhammad merupakan agama terahir dan
penutup.[1]
Islam diyakini
sebagai agama yang universal , tidak dibatasi oleh waktu dan tempat tertentu.
Al-qur’an menyatakan bahwa lingkup keberlakuan ajaran islam yang dibawa oleh
nabi muhammad adalah untuk seluruh umat manusia, dimanapun mereka berada. Oleh
sebab itu , islam seyogyanya dapat diterima oleh semua umat manusia dimuka bumi
ini, tanpa harus ada konflik dengan keadaan dimana ia berada.[2]
1.
Ibadah
dan Mu’amalah
Gambaran
tentang kemampuan syari’at islam dalam menjawab segala persoalan dapat
diketahui dengan mengemukakan beberapa prinsip syari’at islam mengenai tatanan
hidup secara pertikal ( antara manusia dengan tuhan ) dan secara horizontal (
antara manusia dengan manusia). Kebanyakan ahli Fiqih telah menetapkan kaidah
bahwa segala sesuatu yang beerhubungan dengan materil dan mu’amalah adalah
boleh kecuali ada dalil yang menunjukkan keharamannya.[3]
Kaedah tentang sesuatu dari segi pemanfaatannya adalah boleh, namun
pelaksanaanya harus dengan cara yang patut. Kaedah ini mencangkup segala
sesuatu yang tidak ada dalil khusus untuknya. Karena sesuatu yang telah ada
dalil syara’ yang khusus untuknya, tidak butuh pada kaedah ini untuk mengetahui
hukumnya.[4]
Kaidah diatas
berlawanan dengan kaidah hukum dalam bidang ibadah. Dalam bidang ibadah,
syari’at islam menetapkan sendiri garis-garisnya. Disini dikemukakan nash-nash
yang tidak dapat ditafsirkan lain, sehingga terjaga dari kesimpangsiuran. Dalam
bidang yang disebut terakhir ini, terdapat kaidah bahwa ibadah tidak dapat
dilakuakan kecuali apabila ada dalil yang menunjukkan bahwa sesuatu itu telah
diperintahkan oleh Allah dan Rosulnya.[5]
Pada prinsipnya perbuatan baok itu batal ( tidak dapat diterima) samapai adanya
dalil yang memerintahkan untuk melakukannya. Dalam pokok-pokok manhaj majelis
tarjih dirumuskan :
“ dalam bidang
ibadah yang diperoleh ketentuan dalam Al-qur’an dan al-sunnah pemahannya dapat
menggunakan akal sepanjang diketahui latar belakang dan tujuannya, meskipun
harus diakui bahwa akalbersifat nisbi, sehingga prinsip mendahulukan nash dari
pada akal memiliki kelenturan dalam menghadapi situasi dan kondisi.[6]
Berdasarkan
prinsip diatas bahwa prinsip modernisasi , dalam arti meliputi segala bentuk
mu’amalah diizinkan oleh syari’at islam, selama tidak bertentangan dengan jiwa
syari’at islam itu sendiri. Menyadari bahwa kehidupan dan kebutuhan manusia
selalu berkembang dan berubah , syari’at islam dalam bidang mu’amalah, pada
umumnya mengatur dan menetapkan dasar-dasar secara umum. Sedangkan perinciannya
diserahkan kepada umat islam dimanapun mereka berada.[7]
Olehkarenanya
beberapa pemikir islam memberikan ruang pada akal untuk melakukan ijtihad dengan
tidak terpaku pada teks literal semata. Seperti misalkan teori hudud yang ditelorkan oleh syahrur yang memberikan
ruang yang begitu besar pada penggunaan akal dan pengetahuan empiris dalam
memproduksi hukum. Diakuinya kebebasan manusia dalam mengendalikan kehidupannya
sendiri dengan menciptakan hukum yang relevan untuk situasi, zaman, dan kondisi
sendiri dengan tetap menaati rambu-rambu Allah.[8]
2.
Qath’i
al-Dalalah dan Zhanni al-Dalalah
Pada dasarnya
ajaran islam dapat dibedakan menjadi dua kelompok:
a.
Ajaran
islam yang bersifat absolut, universal dan permanent, tidak berubah dan tidak
dapat diubah. Termasuk kelompok ini adalah ajaran islam yang tercantum dalam
Al-qur’an dan Asunnah muttawatir yang penunjukkanya telah jelas ( qath’i
al-dalalah).
b.
Ajaran
islam yang bersifat relatif, tidak universal dan tidak permanent,melainkan
dapat diubah dan berubah. Termasuk dalam ajaran ini adalah ajaran islam yang
dihasilkan melalui proses ijtihad( fiqih).[9] Penghapusan
fiqih yang tidak diperlukan oleh zaman merupakan keharusan. Yakni
persoalan-persoalan yang tidak terjadi lagi pada zaman ini, seperti sejumlah
besar hukum-hukum yang berkaitan dengan perbudakan[10].
Fiqih harus berkaitan dengan kenyataan, menjelaskan hikmah-hikmah , penjelasan
hikmah –hikmah yang terkandung dalam syari’at perlu dilakukan sehingga bisa
diterima oleh akal, dan membuat hati tenang. [11]Dalam
persepektif sosiologi ilmu pengetahuan diyakini bahwa semua pengetahuan dan
pemikiran walaupun berbeda tingkat dan keragamanya akan dibatasi oleh lokasi
struktur sosial dan proses historisnya. Inilah yang dikatakan oleh mannheim
bahwa science and thought are bound to location within the social structur
and historical process. Olehkarena itu, sikap fuqaha yang hanya mengutip
dan mensyarah tulisan-tulisan ulama zaman dulu tanpa dibarengi dengan pembacaan
kritis terhadapnya, dalam sosiologi ilmu pengetahuan , dianggap sebagai
tindakan yang bermasalah.maslah yang sudah jelas adalah bahwa fiqih produk masa
lalu akan mengalami kelumpuhan jika langkah yang ditempuh hanya mendaur ulang
fiqih lama.[12]
B.
Sifat
dan Karakteristik Hukum Islam
sistem hukum
islam yang dibawa Rosulullah SAW mempunyai beberapa karakteristik yang
membuatnya berbeda dengan sistem yang lain . berikut dibawah ini beberapa sifat
dan karakteristik hukum islam.
1.
Sempurna
Syari’at islam
diturunkan dalam bentuk yang umum dan garis besar permasalahannya. Olehkarena
itu, hukumnya bersifat tetap , tidak berubah disebabkan berubahnya masa dan
berlainan tempat. Untuk hukum-hukum yang lebih rinci, syari’at islam hanya
menetapkan kaedah dan patokan umum. Penjelasannya dan rinciannya diserahkan
pada ijtihad pemuka masyarkat. Dengan
menetapkan patokan umum tersebut , syari’at islam dapat benar-benar menjadi
petunjuk yang universal, dapat diterima disemua tempat dan setiap saat. Setiap
saat umat manusia dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan garis-garis
kebijaksanaan al-qur’an
Penetapan
al-qur’an tentang hukum islam dalam bentuk yang global dan simpel itu
dimaksudkan untuk memberikan kebebasan pada umat manusia untuk melakuakan
ijtihad sesuai dengan situasi dan kondisi zaman. Dengan sifat yang global ini
diharapkan hukum islam dapat berlaku disepanjang masa.[13]
2.
Elastis
Hukum islam
bersifat elastis ( lentur dan luwes), ia meliputi segala lapangan dan bidang
kehidupan manusia.
Hukum islam
mempunyai kemampuan bergerak dan berkembang, mempunyai daya hidup, dapat
membentuk diri sesuai dengan perkembangan dan kemajuan zaman. Prinsip –prinsip
hukum islam dan kaidah-kaidah universalnya bisa mengakomodasi semua tuntutan
waktu dan tempat, kapan dan dimanapun. Bukan berarti hukum islam itu berubah
–uabah tergantung siapa, kapan dan dimana tetapi karena hukum islam itu
mempunyai dua dimensi hukum.[14]
a.
Hukum
yang berhubungan dengan prinsip-prinsip hukum islam dan kaidah-kaidah universal
dan permanen, tidak berubah dengan berubahnya waktu dan tempat. Sebagai contoh,
berlaku adil dan lainnya.
b.
Hukum
yang berhubungan dengan tekhnis dan operasionalnya, diamana hukum tersebut nisa
dipengaruhi oleh tuntutan waktu dan tempat. Sebagai contoh , untuk mencapai
keadilan itu ada tekhnis dan mekanismenya.[15]
3.
Universal
dan Dinamis
Ajaran islam
bersifat universal. Ia meliputi seluruh alam tanpa tapal batas, tidak dibatasi
pada daerah tertentu seperti ruang lingkup
ajaran ajaran nabi yang sebelumnya. Ia berlaku bagi orang arab dan orang
ajam ( non arab).[16]
4.
Sistematis
Arti dari kata
bahwa hukum islam itu bersifat sistematis adalah bahwa hukum islam itu
mencerminkan sejumlah doktrin yang bertalian secara logis. Beberapa lembaganya
saling berhubungan satu dengan yang lainnya.
Perintah shalat
dalam al-qur’an senantiasa diiringi dengan perintah zakat, berulang-ulang allah
berfirman ; mkana dan minumlah kamu,
tetapi janganlah berlebihan.
Dari ayat
tersebut islam tidak dipahami sebagai ajaran spritual yang mandul. Dalam hukum
islam seorang dilarang hanya “ bermu’amalah” dengan allah dengan melupakan
dunia. Dalam islam allah memerintahkan utnuk menvacari rezeki tapi melarang
imperial dan kolonial ketika mencari rezeki tersebut.[17]
5.
Hukum
Islam Bersifat Taa’quli an Ta’abuddi
Sebegitu jauh
hukum islam hanya mempunyai dua dasar pokok al-qur’an dan sunnah. Disamping dua
sumber pokok tersebut adalagi sumber poko yang lain yaitu konsensus masyarakat
( ulama’). Seperti diterangkan dimuka, syari’at islam mencangkup bidang
mu’amalah dan ibadah . dalam bidang ibadah terkandung nilai-nilai ta’abuddi/ghairu
ma’qulah al-ma’na irrasional. Arinya manusia, manusia tidak boleh beribadah
kecuali dengan apa yang telah disyariatkan. Dalam bidang ini tidak ada pintu
ijtihad bagi manusia. Sedangkan bidang
mu’amalah, didalamnya terkandung nilai-nilai ta’aquli/ ma’qullah al-ma’na
rasional. Artinya umat islam dituntut untuk berijtihad guna membumikan
ketentuan-ketentuan syari’at tersebut.[18]
Dalam bukunya
Muhammad Syafi’i Antonio menjelaskan dengan detail tentang karakteristik ajaran
/hukum islam diantaranya adalah robbaniyah, takamul syumul, jalbu
al-masolih, qillatu attaklif, raf’u al-haroj, al-adalah, murunah, wasathiyah,
idela dan realistis,tadaruj.[19]
C.
Hukum
Islam : Antara Positivisme dan Idealisme
1.
Positivisme
Hukum
a.
Positivisme
Positivisme
adalah metode berpikir yang hanya mengakui fakta-fakta positif dan
penomena-penomena yang bisa diobservasi, hubungan obyektif fakta-fakta dan
hukum-hukum yang menentukannya, dan meninggalkan semua penyelidikan yang
,menjadi sebab-sebab atau asal-usul tertinggi. Comte membedakan tiga tahap
evolusi dalam pemikiran manusia. Teori tersebut terkenal dengan nama” teori
tiga tahap”.[20]
Berdasarkan
teori tiga tahap , seluruh sejarah pemikiran manusia berevolusi dari stadium (
tahap) teologi ( mistis) ke tahap
falsafi , dan akhirnya tiba pada
stadium positivism sebagai kemenangan pasti akal. Dalam tahap
teologis , semua penomena dijelaskan dengan sebab-sebab supernatural dan yang
bersifat illahi yang mengacu kepada tuhan yang tidak terjangkau oleh panca
indera. Tahap kedua pemikiran diarahkan menuju prinsip-prinsip dan ide-ide
tertinggi. Mencari hakikat segala sesuatu. Kemudian dalam tahap positivism
orang mengucapkan selamat tinggal untuk selama-lamanya pada dunia dewa-dewa dan
hakikat-hakikat, dan membatasi penyelidikan ilmu penegetahuan pada “ fakta”. Langkah terakhir ini menolak semua
hipotesis di dalam filsafat dan membatasi diri pada observasi empiric dan hubungan
fakta-fakta dibawah bimbingan metoe-metode yang dipergunakan dalam ilmu-ilmu
alam.[21]
b.
Hukum
dan Positivisme
Satu-satunya
jalan masuk ke kenyataan dalam positivisme adalah ilmu pengetahuan positif.
Emikian juga dengan positivisme hukum, ia hanya mengenal satu jalan masuk ke
hukum, yaitu jalan pengetahuan hukum positif. Dia menetapkan pada ajaran hukum
batas-batas yang ketat, yang mengakibatkan masukan filsafat dan etika dihidari
sekali. Satu-satunya landsan legitimasi yang dapat diberikan kepada hukum
positif adalah dasar yang berlandaskan keyakinan-keyakinan sosial.[22]
c.
Aliran-Aliran
positivisme Hukum
Di
dalam aliran ini ada dua sub aliran yang terkenal, yaitu Aliran Positivisme
Hukum Analitis dan aliran Hukum Positivisme pragmatik.
1.
Positivisme
Hukum Analitis
John Austin ,
seorang yuris inggris yang hidup antara tahun 1790-1859, adalah tokoh yang
telah memformulasikan sistem positivisme hukum analitis dengan sangat
komprehensif. Ia mendefinisikan hukum sebagai sesuatu aturan yang ditentukan
untuk membimbing mahluk berakal yang telah memiliki kekuatan mengalahkannya.
Jadi, hukum bagi aliran positivisme analitis berarti a command of the
lawgiver i( perintah dari pembentuk undang-undang atau penguasa).[23]
Menurut austin
, ilmu yurisprudensi membicarakan hukum –hukum positif , tanpa memperhatikan
baik dan buruknya hukum-hukum itu. Hukum dianggap sebagai sesuatu sistem yang
logis, tetap dan bersifat tertutup . hukum secara tegas dipisahkan dari mioral
dan keadilan. Terdapat empat unsur penting , menurut austin ketika sesuatu itu
dikatakan sebagai hukum, yaitu : perintah, sanksi, kewajiban, dan kedaulatan.[24] keberhasilan
dari aliran ini terlihat pada bentuk kepastian hukum yang benar-benar terjamin
pada masing-masing negara yang menganutnya. Akan tetapi dari ajaran tersebut
yang telah berkembang pada konsep para pemikir di Barat, ajaran-ajran dari
hukum positif yang analitis ini juga mempunyai banyak kelemahan di sana-sini.
Adapun titik kelemahannya yang pokok, bahwa aliran hukum positif yang analitis
itu cenderung membuat suatu kekuatan dari penguasa untuk membentuk suatu
pemerintahan absolut.[25]
2.
Positivisme
Hukum Pragmatis
Positivisme
pragmatis , sebagai gerakan kaum realis amerika , merupakan lawan dari teori
Austin. Positivisme pragmatis melihat hukum-hukum sebagai karya dan fungsi
bukan sebagai yang tertulis di dalam kertas .inti dari pendekatan pragmatis
pada problem-problem hukum adalah tidak mengikuti apa yang tercatat diatasa
kertas. Sudah tentu ia sangat umum sifatnya. Untuk mengkongkritkan apa yang ada
dalam pikirannya, para relais berbalik pada ilmu-ilmu pengetahuan yang mulai
mengamati perilaku manusia dalam masyarakat, terutama ekonomi, kriminologi,
sosiologi umum , dan psikologi, dan mencoba memanfaatkan bagi ilmu hukum.[26]
2.Positivisme dan Idealisme
Dalam teori
hukum , positivisme dan idealisme digambarkan saling bertentangan. Teori-teori
idealistik didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan dan berkaitan dengan hukum
yang seharusnya. Filsafat hukum idealis ,dipergunakan metode deduksi dalam menarik
hukum dari azaz-azaz yang didasarkan pada manusia sebagai mahluk etis rasional.
[27]
3.
Hukum
Islam ( Hukum Sempurna)
Tuhan adalah
maha sempurna, dengan demikia, hukum islam sebagai hukum yang ditentukannya
tentu juga sempurna. Karena, jika terjadi sebaliknya, maka akan ada anggapan
bahwa asal usul ketidaksempurnaan itu adalah Allah, dan ini justru tidak
mungkin terjadi. Ia maha kuasam maha mengetahui dan maha ada, sehingga
hukumnya maha meliputi. Jadi hukumnya
adalah universal dan untuk sepanjang zaman yang beresumber kepada dua yaitu
Al-qur’an dan al-hadist.[28]
Positivisme dan
idealisme dalam hukum islam , benar-benar harmonis antara satu dengan yang
lain. Pernyataan ini sesuai dengan firman Allah : Allah menurunkan kitab
dengan membawa kebenaran dan neraca,[29]
demi jiwa dan penyempurnaanya penciptaannya, kemudian dia mengilhamkan
kepadanya jalan kefasikan dan ketaqwaannya. Sungguh beruntunglah bagi yang
mensucikannya dan sebaliknya , sungguh merugi bagi orang yang mengotorinya[30].
Secara
theologis , islam diyakini sebagai sistem nilai dan ajaran yang bersifat
illahiyah, transenden,abadi, dan berlaku universal. Dari persepektif lain,
ketika islam dipahami sebagai ajaran dan sisitem nilai, islam dapat dipandang
sebagai penomena budaya. Demikian pula ketika pemeluk islam berinteraksi
dengan sesamanya dalam mengamalkan
ajaran agamanya, atau ketika ia berinteraksi dengan non-muslim , islam dapat dipandang sebagai
penomena sosial, baik ketika islam tampil dlam bentuk doktrin dan paham-paham
keagamaan, institusi-institusi dan interaksi antar pemeluk dan antar lembaga keagamaan, islam sangat
terbuka terhadap pengaruh situasi dan dinamika lokal. Dari perspektif inilah,
islam menjadi kontekstual, dapat berubah dan berbeda-beda fenomenanya, baik
dalam formulasi ajarannya maupun pemahaman dan ekspresi pengamalan para
pemeluknya.[31]
Dengan demikian
, hukum islam merupakan hukum yang bersumber dari wahyu tuhan, sekaligus
melibatkan penalaran dan analisis manusia yang memahami wahyu itu. Ijtihad yang
dilkukan oleh para yuris muslim merupakan bukti kongkrit keterlibatan manusia
dalam menggali hukum yang hidup dalam masyarakat.[32]
DAAFTAR PUSTAKA
Djamil, Faturrahman, H.Dr., Filsafat Hukum Islam, cet. II, Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 1997.
Al-qardawi , Yusuf, Dr,. Fiqih Taysir, cet. I, Jakarta Timur:
Pustaka Al-kautsar, 2001. Terjemah
Abdurrahman, Asjimuni, H,Dr,. Prof . Manhaj Tarjih, cet. V,
yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Djumhur Salikin, Adang, Dr,. Reformasi Syari’ah dan HAM dalam
Islam, cet. I, yogyakarta: GAMA MEDIA,2004.
Syafi’i antonio, Muhammad, Dr,. Muhammad SAW The Super leader The
Super Manager, cet I, Jakarta : Tazkia Publising, 2007
Karim Zidan, Abdul, Dr,. 100 kaidah Fiqih Dalam Kehidupan
Sehari-Hari, cet I. Jakarta: pustaka Al-kautsar, 2008.
Fanani, Muhyar, Dr,. “ Fiqih Madani Konstruksi Hukum Islam di Dunia
Modern, cet I. Yogyakarta: LkIs, 2010
[1] . dr. Faturrahman Jamil, “ Filsafat Hukum Islam” ( jakarta: Logos
Wacana Ilmu: 1999) hal 39.
[2] . ibid hal 39
[3] . ibid hal 40
[4] . Dr. Abdul Karim Zaidan,” 100 Kaidah Fiqih Dalam Kehidupan
Sehari-Hari ( jakarta: pustaka al-kautsar: 2008) hal 227.
[5] . dr. Faturrahman Jamil, “ Filsafat Hukum Islam”. Hal 41
[6] . prof.Drs. H. Asjimuni Abdurrahman, “ Manhaj Tarjih Muhammadiyah”. (
yogyakarta: pustaka pelajar:2001) hal 75-76
[7] . ibid: hal 42
[8] . Dr. Muhyar Fanani, “ Fiqih Madani Konstruksi Hukum Islam di Dunia
Modern” . ( Yogyakarta : LkiS: 2010) . hal 303.
[9] .lihat Filsafat Hukum Islam hal 43.
[10] . DR. Yusuf Al-qardawi , “ Fiqih Taiysir “ ( jakarta utara : Pustaka
Al-kautsar: 2001) terjemh hal 10
[11] . ibid hal 10
[12] . Lihat Muhyar Fanani hal 304-305
[13] . lihat Faturrahman Djamil hal 46-47
[14] . Dr. Muhammad Syafi’i Antonio, “ Muhammad SAW The Super leader The
Super Manager,”( Jakarta: Tazkia Publishing; 2007). Hal 232.
[15] . ibid hal 232.
[16] . lihat surat Sabi’ :28
[17] . lihat Dr. Faturrahman Djamil. MA hal 51
[18] .lihat Faturrahman Djamal hal 51-52
[19] Lihat M Syafi’i Antonio hal
227.
[20] . lihat Faturrahman Djamal hal 53
[21] . lihat Faturrahman Djamal hal 54
[22] . lihat Faturrahman Djamal hal 55
[23] . lihat Faturrahman Djamal hal 66
[24] . lihat faturrahman djamil hal 57
[26] . lihat faturrahman djamil hal 61
[27] . lihat faturrahman djamil hal 63
[28] . lihat faturrahman djamil hal 64
[29] . Qs. Asyura : 17
[30] . Qs. Al-syams : 7-10
[31] . Dr. Adang Djumhur Salikin “ Reformasi Syari’ah dan HAM dalam Islam”.
( yogyakarta: GAMA MEDIA: 2004) hal 53
[32] . lihat faturrahman djamil hal
65
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mari kita membaca dengan hati plus mata