Judul Asli: Ad-Daulah Al-Umayyah wa Ahdats allati
Edisi Indonesia: Dinasti Bani Umayyah (diterbitkan oleh Pustaka Kautsar silahkan kunjungi www.kautsar.co.id, email: redaksi@kautsar.com).
Penerbit: Dar El-Fikri, Beirut
Tahun Terbit: 1998/1419 H
Pengantar
Sebelum membahas tentang Daulah Bani Umayyah terlebih dahulu yang harus diketahui pertama kali adalah hikmah Allah SWT menurunkan syariat Islam pertama kali di Mekkah, menurut Syaikh Abul Hasan ‘Ali Al-Hasani an-Nadwi dalam bukunya yang berjudul As-Sirah An-Nabawiyyah, antara lain:
• Lembaran hatai orang arab masih suci belum tertulis di atasnya tulisan yang rinci yang sulit dihilangkan dan dihapus. Istilahnya hati mereka masih sederhana, yang telah tergores dengan tangan kebodohan kesahajaan. Jadi dalam istilah modern, mereka adalah dengan bodoh dengan bersahaja, mudah diobati.
• Mereka sangat alami, memiliki keinginan yang kuat. Jika pemahaman terhadap kebenaran yang diselewengkan, niscaya mereka akan memerangi.
• Jika mereka tahu secara langsung tentang sesuatu, maka merekapun mencintainya bahkan rela mati.
• Meraka dermawan, sederhana, keras dan jujur serta berkemauan keras.
• Bangsa arab jauh dari peradaban dan kemewahan yang sulit disembuhkan. Adanya kemewahan ini berdampak bisa berdampak pada tiadanya kebersamaan untuk sebuah keyakinan dan resiko kehilangan dalam perjalanan demi keyakinan.
• Kekuatan bekerja dan berfikir dengan bakat-bakat alami tersimpan pada bangsa arab. Kekuatan dengan bakat tersebut selamat dari kerusakan yang diakibatkan oleh filsafat-filsafat imajinatif, perdebatan bizatium, aliran-aliran ilmu kalam yang rumit juga konflik wilayah politik.
• Mereka adalah bangsa tumbuh atas dasar keinginan kuat terhadap kebebasan dengan persamaan, cinta yang alami, kesederhanaan, yang tidak tunduk pada pemerintah yang asing, tidak menerima perbudakan dan belum ternodai oleh kesombongan-kesombongan kerajaan Iran dan Romawi.
Sejarah adalah etalase peradaban manusia. Yang dimana di dalamnya akan ditemukan berbagai macam peristiwa yang mewarnai, mempengaruhi hingga meledakan peradaban mahluk Allah bernama manusia. Menurut peresum sejarah adalah rekaman berbagai peristiwa dengan benar dan mendalam, dari menafsirkannya dengan tafsiran yang dapat terus berlaku. Di sini Yusuf Al-‘Isy menjelaskan beberapa aspek yang berhadapan dengan sejarah (peristiwa-peristiwa) yang terekam dalam sejarah secara khusus sebagai berikut:
Pertama, aspek kelompok-kelompok manusia dalam kecenderungan dan tabiat warganya, kegiatan aktif atau kepasifannya, keharmonisan dan keretakan yang ada ketika peristiwa sejarah itu.
Kedua, aspek inidividu-tokoh yang andil dalam bagian peristiwa-peristiwa sejarah sesuai dengan keinginan, tabiat dan kemashlatan bersama.
Ketiga, aspek ekonomi,
Keempat, aspek pemikiran-pemikiran, ideologi-ideologi, aliran-aliran, sistem-sistem yang menyelemuti gologan-golongan yang ada.
Kelima, Aspek waktu (zaman)
Keenam, aspek geografis.
Setiap aspek memiliki ini memiliki pengaruh dalam peristiwa-peristiwa sejarah dan terkadang berbenturan atau sulit membedakan satu sama lainnya secara tegas. Sehingga tidak disangkal lagi bahwa penjelasan pengaruh dari setiap aspek-aspek tersebut menegaskan tanggung jawab sejarah, serta mengedepankan nilai kejadian-kejadian sejarah serta semakin memperguh penilaian kita terhadap pelaku di dalamnya atau memudahkan kita untuk meneliti ulang tentang sejarah tersebut.
Pada Masa Awal Islam
Mengkaji fitnah yang terjadi di masa Ustman bin Affan, maka akan terungkap faktor-faktor yang penting dan berpengaruh. Adapun faktor-faktor yang memainkan peranan tersebut antara lain:
1. Sistem hukum (pemerintahan) di masa khulafaurrasyidin.
2. Pembentukan masyarakat arab
3. Sistem keuangan di masa Khulafaurrasyidin
Karena dengan mengetahui faktor-faktor di atas memahami Islam serta mengetahui sistem Negara yang dianut pada zaman tersebut. Sistemlah yang memberikan yang memberikan kepada suatu zaman bobot nilainya, karena dialah yang menghadapinya dan terjadi di dalamnya aliran-aliran yang bermacam-macam. Maka sistem yang ada pada masa Umar bin Khatab adalah sistem yang terkonsntrasi pada urusan khilafah. Tantanan sistem khilafah pertama diletakkan oleh Abu Bakar Ash-Shiddiq melalui proses Syura dari para sahabat yang diadakan dalam majelis syura (permusyawaratan), bahkan seluruh tatanan yang ada dibuat melalui musyawarah dan mengambil pendapat para sahabat. Baik yang menyangkut masalah Imamah dan Imarah. Baik Imamah dalam urusan agama dan Imarah dalam urusan agama.
Hanya saja seorang khalifah mempunyai kekuasaan yang sangat luas, maka tidak didapati pada sistem khulafaurrasyidin pembagian kekuasaan dan pembatasannya, sebagaimana dimakluimi saat ini ada tiga macam kekuasaan yaitu kekuasaan legislative, eksekutif dan yudikatif. Pada pemerintah itu, ketiga kekuasaan tadi ada di tangan khalifah, namun dia bisa melakukan pendelegasian kekuasaan kepada yang lain, seperti bisa mewakilkan kekuasaan yudikatif kepada Qadhi (hakim) dan si Qadhi harus mengikutinya, dan seorang khalifah berhak menggantinya dengan orang lain kapan saja. Begitu juga undang-undang (legislative) juga merupakan kekuasaan khalifah, tapi pada batas Al-Quran dan Hadist. Sedangkan kekuasaan eksekutif merupakan miliknya yang seluas-luasnya dan tanpa batas, terkecuali yang telah ditetapkan oleh syara’.
Sistem Keuangan Pada Masa Khulafaurrasyidin yakni menganut sistem sosialis (isytirakiyah), yang mana sistem keuangan ini bercirikan bahwa semua orang semestinya hidup dalam tingkat kehidupan yang standar dan wajar, tidak hidup mewah dan tidak hidup di bawah garis kemiskinan. Negara harus memperhatikan nasib kaum fakir miskin dan memberi haknya, inilah sistem yang diletakkan atas dasar Al-Quran dan Sunnah. Pada masa Umar didirikanlah sebuah diwan (kantor pencatat) yang disebut diwanul Athaa’, dimana direkam di dalamnya segala nama-nama yang memanfaatkan dari harta-harta tersebut.
Hasil dari semua sistem keuangan telah menjadi sistem Arab, dimana pembagiannya telah didasarkan atas asas kabilah-kabilah Arab, sehingga berdampak dalam sejarah Islam pada umumnya dan dinasti Umayyah pada khususnya. Sedangkan sedekah dan zakat dimasukkan ke baitul-maal namun tidak dibagiakan kepada golongan atha’ tapi dibagikan kepada fakir miskin karena mereka sangat jelas yaitu sesuaatu yang diambil setiap tahunnya dari harta kalangan berada (kaya). Yang mana harta umat itu setiap empat puluh tahun masuk ke tangan fakir untuk dibelanjakan dan dimanfaatkan darinya. Adapun Jizyah (pungutan untuk melindungi non muslim dan menjamin keamanan mereka, namun mereka tidak diikutkan dalam peperangan, jizyah diserahkan ke baitul-maal dan dibagikan kepada orang-orang yang terdaftar dalam kantor pencatat (diwanul-atha’). Kesimpulan akhir dari sistem ini adalah sistem keagamaan yang bersandar pada sistem syuura. Kekuasaan diserahkan kepada seseorang yang dipilih oleh Ahlu hilli wal-aqdi (para cerdik dan bijak) dari kalangan bangsa Arab untuk kemudian diakui oleh mayoritas rakyat dan ia yang terpilih bertanggung jawab kepada mereka.
Peristiwa Fitnah Sampai Akhir Tragedi Perang Unta
Tidak ada diantara rentetan peristiwa sejarah umat Islam satu peristiwapun yang mencapi polemik seperti kejadian yang menyebabkan kematian Khalifah Ustman bin Affan, hingga tragedi perang Shiffin. Bahkan peristiwa ini dinamakan fitnah karena terjadi sesama manusia (umat Islam). Karena dalam peristiwa ini betul-betul menguji tingkat keberagaman, akhlak dan keteguhan mereka dalam prinsip dan Aqidah. Maka sebaiknya seorang muslim itu harus mengelompokkan berita-berita itu sesuai dengan riwayatnya agar bisa dipertemukan dengan para periwayat sebelumnya, dan agar bisa dibedakan antara pembawa berita yang jujur dan yang mencoba melakukan penyesatan.
Adapun karya para sejarawan terdahulu, seperti Abu Mikhnaf Luth bin Yahya (157 H) karya “Maqtal Utsman (Pembunuhan Ustman)”. Kemudian Saif bin Umar At-Tamimi (sekitar 180 H), ia menulis buku “Al-Futuh Al-Kabiir wa Ar-Riddah” dan Al-Jamal wa Masiiratu Aisyah wa Ali”. Kemudian Abu Ubaidah Mu’ammar bin Mutsanna (Tahun 207 H) dengan bukunya “Maqtal Ustman” Dan kemudian buku “Ar-Riddah wa Ad-Daar” ditulis oleh Muhammad bin Umar Al-Waqidy (207 H) seputar terbunuhnya Ustman di rumahnya. Selanjutnya Ali bin Al-Madany (225 H) mengeluarkan kitab “Maqtal Utsman. Dan Umar bin Syaibah (262 H) adalah sejarawan yang terdahulu yang paling akhir menulis karya tentang “Maqtal Ustman” (Pembunuhan Ustman). Sebagai contoh Abu Mikhnaf yang beraliran Syi’ah, ia tidak pernah mengangkat sosok Utsman sebagai Khalifah, ia justru menjatuhkannya sehingga ia berhak mendapatkannya. Selain itu ia juga membeberkannya bahwa Thalhah bin Ubaidillah adalah salah seorang yang menentang dan memberontak padanya. Dan menegaskan bahwa Ali bin Abi Thalib tampil seakan-akan condong membela Utsman, padahal ia marah terhadap perkataan dan perbuatannya. Sedang Al-Waqidy dari riwayat-riwayatnya dapat dilihat kebenciannya terhadap Utsman, sampai At-Thabary memperkecil penulikan riwayat darinya karena kekejiannya, sebab apa yang bisa dinukil darinya berisi hujatan dan tuduhan terhadap Utsman. Sedangkan Al-Waqidy tidak mengurai pengesanan para sahabat sebagai perekayasa terhadap pembunuh Utsman, khususnya Thalhah. Tidak penting baginya bahwa Ali bin Abi Thalib tampak bersebrangan dengan Ustman dan berseteru dengannya, adapun Muhammad bin Abu Bakar adalah pelaku atau pembunuhan tersebut. Ini semua didapatkan dari para syaikh terdahulunya.
Adapun Saif bin Umar menjelaskan peristiwa pembunuhan dengan tanpa menukil lalu mengesampingkan riwayat Abu Mikhnaf dan Al-Waqidy, dengan menyajikan rantai sejarah yang tidak ada di dalamnya tuduhan kepada para sahabat bahkan membebaskan mereka semua. Imam An-Nasa’I dan Asy-Syafi’I menyuruh kita untuk berhati terhadap perkataan Al-Waqidy dan menuduhnya dengan dusta dan mengada-mengada, yaitu suatu klaim terpedas yang disandangkan kepada seorang periwayat kabar berita. Adapun Bukhari, Ad-Dulaby, Ul-Uqaly dan Bu Hatim Ar-Razi telah sepakat untuk tidak mengambil riwayat-riwayatnya. Dikatakan Adz-Dzahaby: “Telah tercapai kesepakatan umum (ijma’) untuk melemahkan riwayat Al-Waqidy”.
Tapi ada riwayat lama dari peristiwa fitnah ini yang tidak terputus, dengan penuturan sejarah yang hampir lengkap dan meliput banyak kondisi dari sekitar kejadian. Dan dapat dijadikan pegangan, berikut ini adalah ketujuh riwayat lama tersebut yang ternisbat pada periwayat berikut:
1. Yazid bin Abi Habib (tahun 53-128 H) yaitu Mufti Mesir pada zamannya
2. Muhammad bin Syihab Az-Zuhri (58-124 H) ahli hadist dari negeri Syam
3. Abu Khunais Sahm Al-Azdi yang hadir dalam peristiwa dan hidup sampai masa Umar bin Abdul Aziz
4. Said bin Al-Musayyib (13-94 H) salah satu dari tujuh fuqaha terkemuka di Madinah.
5. Al-Ahnaf bin Qais (72 H) yaitu pembesar Bani Tamim yang terkenal dengan kesantunan dan kecerdasannya. Ia hidup sezaman dengan tragedi fitnah atau tidak jauh darinya.
6. Abu Said Maulana Abu Usaid Al-Anshari, ikut menyaksikan tragedy fitnah dan mengetahui keadaannya.
7. Zubair bin Awwaam, salah seorang sahabat terkemuka.
Pemaparan Riwayat Abu Said Abu Usaid As-Sa’idy Al-Anshari menerangkan bahwa;
Bagian pertama: Pertemuan antara Utsman dan utusan dari Mesir yang memperotes kebijakan Ustman bin Affan
Bagian kedua: Ditemukannya surat bercap tanda tangan Utsman berisi perintah untuk membunuh beberapa orang utusan Mesir. Di sini terbongkar tiga fakta yang harus diketahui, yakni antara lain:
1. Kisah si pengendara, di sini terdapat keanehan dan keganjilan yang semestinya pengendara tadi bukan utusan semberangan utusan yang dikirim untuk misi rahasia dan isi surat dari Khalifah semestinya ia tidak mengetahuinya. Namun si pengendara bermaksud agar misinya diketahui, maka tampak ia menghalangi para utusan Mesir itu kemudian menjauh. Lantas kemabli lagi, terus berpisah jauh dan kadang mendahului mereka.
2. Terungkap dari bagian kedua ini adalah Ali bin Abi Thalib. Dan para utusan Mesir itu telah menunjukkan kepadanya surat yang mengajaknya untuk pergi ke Madinah mendatangi Utsman, padahal surat tidak benar adanya. Sehingga Ali mengatakan: “Demi Allah saya tidak pernah sama sekali menulis surat kepada kalian”. Maka di sana terdapat pemalsuan mengatasnamakan lisannya dan surat yang tertulis atas namanya untuk menggugah dan menggerakkan orang. Selain Ali bin Abi Thalib, Aisyah r.a. juga tidak lepas dari fitnah, sehingga Aisyah r.a menjawab “Tidak, Demi Dzat yang diimani kaum mukmin dan dikafiri kaum kafir, saya tidak pernah menulis kepada orang-orang itu noda hitam di atas putih sampai saya duduk di majelisku ini”. Dan dikomentari oleh Al-A’masy: “mereka menganggap bahwa surat itu ditulis dengan mengatas namakan dengan lisan Aisyah”
3. Fakta ketiga yang tampak pada bagian kedua dari teks riwayat ini adalah Utsman setelah menafikan dirinya menulis surat tersebut, ia mengalihkan perhatian bahwa stempel yang tertera bukanlah stempelnya, melainkan stempel buatan yang terukir persis seperti stempelnya.
Tiga fakta ini telah menjelaskan kepada kita bahwa di balik kejadian ini terdapat konspirasi dan rekayasa dan terencana dan pelakunya bukanlah seperti yang diklaim oleh beberapa teks-teks palsu-para sahabat yang berada di Madinah, seperti Ali, Thalhah, Zubair dan Aisyah. Melainkan mereka adalah pemeran-pemeran palsu yang tidak menampakkan diri dan nantinya segala upaya mereka akan jelas kemudian.
Bagian ketiga: Penolakan utusan Mesir pemberian air dari Utsman dan diskusinya dengan mereka.
Bagian keempat: Mimpi Utsman melihat Rasulullah SAW di saat tidurnya dan masa penantian kematian.
Bagian kelima: Bagaimana Utsman dibunuh dan siapa yang membunuhnya?
Adapun Riwayat Sahm Al-Azdi penulis menilai bahwa apa yang dia paparkan tidak bertolak belakang dan berbeda dengan kisah Abu Sa’id dan tidak berbeda, terkecuali dalam rinciannya atau hal-hal yang tidak dijelaskan oleh pihak lain, maka keduanya saling melengkapi satu sama lainnya; suatu hal merupakan ciri khas riwayat-riwayat sejarah yang shahih dan benar.
Adapun pemaran Ahnaf bin Qais; sedikit berbeda pada riwayat yang diriwayatkan oleh Sa’id atau Sahm, namun saling melengkapi keduanya. Di samping itu ia menafikan perbedaan yang lalu antara Ali, Zubair, Thalhah dan antara Ali dengan Aisyah. Dan ini menunjukkan bahwa Mereka beritikad bahwa Ali telah berubah setelah kekhalifahannya, atau Ali tidak berjalan dengan pada syarat-syarat yang telah memba’itnya. Dan Aisyah pernah merelakannya menjadi khalifah setelah muncul kabar terbenunuhnya Utsman di kota Mekkah dimana Aisyah berada. Adapun pelajaran yang dapat diambil dari ketiga riwayat itu antara lain:
1. Pertama, bahwa Utsman bin Affan telah banyak menjawab tuduhan yang tertuju kepada dirinya, dan telah meminta ampun atas segala perbuatannya yang telah ia akui sebagai kesalahan yang ia perbuat, sehingga orang-orang yang marah kepadanya rela terhadap apa yang ia janjikan untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan tersebut.
2. Kedua, bahwa Utsman belum pernah merubah janjinya dan belum pernah mengirim surat kepada para pegawainya di Mesir untuk membunuh para pemberontak.
3. Pijakan ketiga, bahwa Utsman sebenarnya memerangi mereka yang dianggap keluar dan membalasnya, namun ia tidak ingin bertindak sesuatu yang mengakibatkan tumpahnya darah kaum muslimin dalam rangka membela dirinya, atau untuk meninggalkan kota Madinah. Bahkan dia mengambil sikap pasif, yakni sampai ia rela untuk dibunuh atas dasar mimpi yang ia saksikan.
4. Pijakan keempat, bahwa para sahabat generasi awal berada dipihak Utsman, menyerahkan segala urusan kepadanya, memperkokoh kekuasaannya, ditambah dengan dukungan putra-putra mereka.
5. Pijakan kelima, bahwasanya tidak pernah ada di benak Thalhah dan Zubair untuk menguasai kekhalifahan, dan juga tamak keduanya akan setelah Utsman. Keduanya bahkan melihat Ali yang paling pantas sebagai khalifah. Begitu pula dengan Aisyah sepakat dengan kedua sahabat ini
6. Pijakan keenam, bahwa Aisyah, Thalhah dan Zubair telah keluar untuk menuntut tumpah darahnya Utsman, karena keyakinan mereka bahwa Utsman terbunuh dengan kedzaliman dan mereka berkeyakinan bahwa Ali yang paling pantas menjadi khalifah.
7. Pijakan ketujuh, bahwa diantara penduduk Madinah ada beberapa orang yang mempunyai dendam kepada Utsman bin Affan karena persoalan materi. Sebab Utsman bin Affan pernah berkehendak melarang mereka untuk ikut serta dalam harta hasil pemebasan wilayah baru (futuhat). Dan kebanyakan dari mereka adalah yang meninggalkan tanah, pertanian dan peternakan mereka dan pergi ke Madinah untuk menuntut pembagian harta tersebut.
8. Pijakan kedelapan, diantara penentang Ali adalah meraeka yang merasa cemburu (ghirah) atas dasar agama.
9. Perkara kesembilan, adanya tangan-tangan tersembunyi yang bermain di balik layar untuk menciptakan perpecahan di kalangan Muslimin. Pihak itulah yang membuat surat-surat atas nama para sahabat, dan tangan jahil itulah yang memalsukan surat yang kirim kepada para pegawai Utsman di Mesir dan kelompok inilah yang memprovokasi semua perkara.
10. Perkara kesepuluh, bahwa diantara para penentang terdapat beberapa dari shabat yang memiliki rasa dendam, seperti Muhammad bin Abu Bakr, mungkin juga Muhammad bin Abu Hudzaifah dan Ammar bin Yasir. Namun permasalahan ini tidak sampai kepada keterlibatan mereka dalam pembunuhan Utsman.
Tapi sebelum melihat sumber sejarah, ada sebaiknya kita melihat hal ini, sumber-sumber dari peristiwa fitnah tersebut:
a. Sumber para ahli sejarah terdahulu yang telah menulis tentang fitnah, dan berita-berita tersebut sampai melalui kitab-kitab yang telah beredar yaitu karya Al-Waqidy, Abu Mikhnaf dan Saif.
b. Sumber kisah fitnah lainnya dari para saksi mata, atau dari siapa saja yang bertemu dan bersambung dengan para saksi mata, yaitu seperti Yazid bin Abu Habib, Az-Zuhri dan Said bin Al-Musayyib, Zubair bin Awwam.
Pada dasarnya, bahwa ketiga riwayat-riwayat yang diakui tadi, khususnya riwayat Abu Sa’id menunjukkan adanya permasalahan tapi tidak didapati jalan keluarnya. Masalah itu adalah adanya tangan tersembunyi yang menggerakkan peristiwa tersebut dan memancing kemarahan para penentang. Dan tangan-tangan tadi selalu berada di belakang untuk menyulut mereka jikalau keadaan sudah tenang, juga yang memalsukan surat-surat yang mengatasnamakan para sahabat, terutama tangan-tangan tersebutlah yang memalsukan surat dengan nama Utsman bin Affan tertuju kepada para pembantunya di Mesir. Sesungguhnya kesimpulan dari peristiwa fitnah dan sebab-sebabnya bisa dirasakan dengan segala perasaan bahwa di sana terdapat tangan di balik peristiwa fitnah tersebut. Hal itu semakin bertamah terasa tatkala ditelaah teks-teks shahih yang secara terbuka ditemukan kasus adanya tangan-tangan jahil.
Sebab-sebab terjadi fitnah secara umum, antara lain;
a) Pada masa Utsman terdapat orang-orang yang merasa tidak puas akan kebijakannya. Maka Utsman memeriksa para sahabat ataupun bukan di kalangan para sahabat, serta menghisab perbuatan-perbuatan mreka dan mendiskusikannya. Diantara mereka ada yang terganggu dengan upaya tersebut, dan diantara mereka ada yang menyalahkannya baik perkataan ataupun perbuatan. Abdullah ibnu Mas’ud mislanya pernah menaruh harapan bahwa Utsman akan memberikan kepercayaan kepadanya untuk mengumpul Al-Quran (mushaf) karena dirinya adalah Qari’ yang menguasainya, namun yang terjadi Utsman mempercayakan hal ini kepada Zaid bin Tsabit.
b) Sedangkan Ammar bin Yasir pernah bersilang pendapat dengan Abbas bin Utbah bin Abu Lahab, hingga terjadi perang mulut, maka keduanya dipukul oleh Utsman. Dan juga Muhammad bin Abu Bakar dan Muhammad bin Abu Hudzaifah keduanya berselisih dengan Utsman.
c) Dan ada pula yang kurang puas terhadap Utsman dari penduduk Madinah dari kalangan pengecap duniawi dan penghambur, dimana pada masa Utsman segala macam bentuk hiburan dan hal-hal yang sia-sia diberanguskan, dan para pelanggannya dikucilkan dari Madinah serta dihukumi karenanya, dan ini penyebabnya mereka memprotes.
d) Dan di sana ada ada kalangan ahli zuhud menyakasikan adanya harta yang dianggap milik kaum muslimin dari hasil futuhat (pembebasan wilayah) tampak dihabiskan untuk mendirikan rumah-rumah yang megah dan mengambil sarana kesejahteraan yang tidak pernah ada dalam Islam. Dan diantaranya pucuk kalangan ahli zuhud tersebut Abu Dzar Al-Ghifari. Mereka melihat adanya isyarat dalam Al-Quran yaitu ayat “adapun orang-orang yang menumpuk emas, perak dan tidak membelanjakannya di jalan Allah” Akibatnya mereka memperotes dan menuntut kaum kaya untuk memberikan hartanya kepada kaum fakir miskin dan tidak menimbunnya maka timbullah suara-suara sumbang. Utsman kemudian membuang Abu Dzar karena marah kepadanya.
e) Ada pula kalangan mantan pegawai yang dipecat dan dikeluarkan dari wilayahnya dan diletakkan penggantinya dari kalangan Bani Umayyah, diantara mereka adalah ‘Amru bin Ash. Pada saat dirinya masih berada di Mesir, dia dijauhkan dari wilayah kekuasaannya sehingga ia marah terhadap Utsman
f) Ada juga orang-orang yang cemburu dan iri akan kedudukan Bani Umayyah yang didapat dari Utsman bin Affan dan pada masa ini Bani Umayyah mencapai kejayaannya.
g) Jadi rasa ketidakpuasaan terhadap Utsman sudah ada pada beberapa orang, dan ketidakpuasaan itu memiliki latar belakang dan mungkin bisa dimanfaatkan. Di samping itu Utsman juga melakukan beberapa pembaharuan dalam uruan agama, contohnya ia mendahulukan khutbah ‘Id dari pada shalat sunnah ‘Id. Juga mengizinkan semua orang untuk mengeluarkan zakat secara perorangan dan memotong bebearpa sektor pemasukan untuk diberikan kepada pemiliknya (yang berhak), dan yang lainnya. Sehingga sebagaian orang menilai Utsman telah melakukan bid’ah dari apa yang sudah diketahui dari biasa mereka laksanakan.
h) Adanya fitnah dari Abdullah bin Saba’ (Ibnu as-Sauda’) serta pengikutnya (As-Saba’iyah). Menghasut untuk membenci Utsman, mencela Abu Bakar Ash-Shiddiq. Alasan Utsman bin Affan melarang para sahabatnya untuk memerangi mereka, karena dengan alasan;
• Karena ia telah mengetahui dari sabda Rasulullah SAW bahwa ia akan terbunuh secara zalim dan Rasulullah SAW memerintahkannya agar bersabar. Jika Utsman meminta bantuan untuk menolongnya berarti bertentangan dengan sikap sabar yang telah ia tekadkan.
• Utsman mengetahui bahwa pada waktu itu jumlah para sahabat sedikit dan kelompok yang ingin membunuhnya berjumlah lebih banyak. Jika ia mengizinkan mereka untuk memerangi pemberontak itu, tentu banyak para sahabat yang akan menjadi korban. Oleh karena itu dia membiarkan dirinya menjadi korban untuk menyelamatkan para sahabat yang lain. Ia adalah pemimpin dan pemimpin wajib melindungi rakyatnya dengan segenap kemampuan. Di samping itu ia telah mengetahui bahwa ia akan terbunuh sehingga ia dapat menyelamat mereka semua.
• Utsman mengetahui bahwa ini adalah fitnah. Dan jika fitnah sudah mengarah kepada penghunusan pedang maka tidak ada jaminan bahwa orang-orang yang tidak berdosa akan menjadi korban. Utsman tidak memerintahkan para sahabatnya untuk menghunuskan pedang dalam fitnah ini. Ini merupakan bentuk kasih sayang dia kepada para sahabatnya sehingga para sahabat terlindungi karena sikapnya
• Utsman memilih untuk bersabar dan tidak meminta pertolongan agar para sahabatnya menjadi saksi atas kezhaliman, penentangan terhadap perintahnya dan penumpahan darahnya tanpa alasan yang benar. Dan beliau tidak mau menjadi khalifah pertama setelah Rasulullah SAW wafat karena akan banyak darah tertumpah karena dirinya, inilah alasan Utsman bin Affan (DIKUTIP DARI BUKU PERJALANAN HIDUP EMPAT KHALIFAH YANG AGUNG; ABU BAKAR, UMAR, UTSMAN DAN ALI, ED. TERJ. ABU IHSAN AL-ATSARI_Terbitan Darul Haq).
Faidah yang dapat kita ambil dengan fitnah terbunuhnya Utsman bin Affan, antara lain:
1. Hadist shahih dari Rasulullah SAW bahwa akan terjadi fitnah yang menyebabkan terbunuh Utsman bin Affan as dan mengajak kaum muslimin agar berpihak kepada Utsman bin Affan ketika fitnah tersebut terjadi. Beliau SAW juga menerangkan bahwa Utsman dan para sahabatnya berada di atas kebenaran dan hidayah.
2. Rasulullah SAW telah mengisyaratkan bahwa fitnah tersebut sangat besar sehingga beliau menyebutkannya bersama peristiwa wafatnya diri beliau dan fitnah Dajjal. Barangsiapa selamat dari fitnah tersebut maka sentosalah ia. Beliau SAW bersaksi bahwa waktu itu Utsman bin Affan berada di atas kebenaran dan Utsman bin Affan adalah orang yang mati syahid lalu akan masuk surga dan kekal selama-lamanya.
3. Rasulullah SAW telah mengabarkan kepada Utsman bin Affan bahwa fitnah tersebut akan terjadi dan ia akan diminta agar mengundurkan diri dari jabatan kekhalifahan. Kemudian Rasulullah SAW memerintahkan agar ia jangan memenuhi permintaan tersebut.
4. Nabi SAW menerangkan betapa besarnya fitnah ini, barangsiapa selamat dari fitnah ini maka sentosalah ia, baik orang-orang yang hidup pada waktu terjadinya fitnah tersebut maupun orag-orang yang hidup setelahnya. Adapun keselamatan bagi orang-orang hidup setelah fitnah ini adalah dengan tidak mendalami cerita tersebut secara bathil.
5. Adapun beberapa aib Utsman bin Affan yang dinukil dari beberapa buku, diantaranya sanadnya shahih dari para pemberontak dan ada juga yang tidak shahih serta ada yang sudah masyhur, namun sanadnya tidak diketahui secara jelas. Aib-aib Utsman bin Affan dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, aib yang pada hakikatnya merupakan keistimewaan beliau. Kedua, kedustaan terhadap diri beliau dan Ketiga, merupakan hasil ijtihad beliau yang mendapat pahala.
6. Sesungguhnya sosok Ibnu Saba’ adalah sosok yang hakiki terdapat dalam riwayat-riwayat yang shahih yang tidak hanya dirawayatkan oleh Saif bin Umar at-Tamimi, bahkan yang lain juga meriwayatkan juga baik melalui sanad yang shahih maupun sanad yang dhaif.
7. Wajib menghindar dari perbincangan terhadap sikap Utsman tentang perbincangan tersebut. Karena Nabi SAW telah memberinya petunjuk-petunjuk untuk menyikap fitnah ini. Adapun berita yang telah sampai kepada kita hanya sedikit sekali.
8. Akidah salaf dalam menyikapi perselisihan yang terjadi dikalangan para sahabat ialah tidak memperbincangkannya keculai jika muncul ahli bid’ah yang mencela mereka maka ketika itu wajib untuk membela mereka dengan kebenaran dan keadilan.
9. Allah SWT tidak ridha terhadap hambanya kecuali Dia telah mengetahui bahwa hamba tersebut akan melaksanakan apa yang telah Dia ridhai. Para sahabat telah mendapatkan keridhaan kepada Allah. Jika mereka wafat, maka wafat di dalam kebaikan. Dan inilah yang terjadi.
10. Utsman bin Affan telah berusaha segenap kemampuan untuk meredakan pemberontak datang, hingga beliau membukakan pintu dan masuklah si pembunuh lantas membunuhnya.
11. Para sahabat telah berusaha membela Utsman bin Affan pada hari pengepungan itu, hanya saja beliau melarang sehingga para sahabat tidak dapat membelanya. Para sahabat tidak memerangi Utsman bin Affan kecuali setelah meliaht para sahabat sudah putus asa untuk mendapatkan izin membela beliau.
12. Melaksanakan hasil musyawarah beliau dengan Abdullah bin Salam ra. Agar ia mencegah terjadinya peperangan.
13. Tidak terjadi peperangan yang sengit di dalam rumah Utsman bin Affan tetapi yang terjadi hanyalah kekacauan ringan yang menyebabkan terlukanya al-Hasan bin Ali ra. Dan ia keluar dari rumah tersebut.
14. Bahwa diakhir hayatnya Utsman bin Affan ra. Bermimpi melihat Rasulullah SAW berserta Abu Bakar dan Umar ra. Bersabda “Ya Utsman, berbukalah bersama kami.” Maka pada paginya Utsman berpuasa dan memerintahkan seluruh yang ada di dalam rumah agar keluar lalu ia meletakkan mushaf dihadapannya lantas menyuruh untuk membuka pintu dan mulai membaca al-Quran. Maka masuklah orang berkulit hitam dari mesir yang bergelar Jabalah karena warna tubuhnya yang hitam, boleh jadi orang tersebut adalah Abdullah bin Saba’ si Yahudi.
15. Tidak ada seorang sahabatpun yang ikut andil dalam menentang Utsman bin Affan apalagi membunuhnya. Adapun riwayat yang menunjukkan bahwa mereka ikut andil dalam peristiwa itu, sanadnya lemah
16. Adapun riwayat-riwayat Muhammad bin Umar al-Waqidi tentang fitnah terbunuhnya Utsman bin Affan maka terdapat banyak kebohongan yang menyelisihi riwayat-riwayat yang shahih dan banyak memutarbalikkan fakta tentang kasus fitnah tersebut seolah-olah para sahabat telah mengambil sikap yang salah dan kelihatannya riwayat tersebut terpengaruh oleh pemahaman syi’ah.
17. Bahwa riwayat-riwayat Saif bin Umar at-Tamimi tentang fitnah terbunuh Utsman bin Affan ra. Adalha kumpulan dari berbagai riwayat yang sanadnya dihapus oleh Saif. Kemudian dia meriwayatkan dari beberapa jalur guru-gurunya dengan sanad yang terkadang bersambung kepada empat syaikh. Namun semua riwayat ini tidak terlepas dari celaan terhadap para sahabat serta menuduh mereka dengan suatu yang tidak pernah mereka lakukan. Dan terkadang ada riwayat adil yang menunjukkan sikap yang benar dari para sahabat.
18. Sebab-sebab Utsman tidak memerangi para pemberontak adalah;
a. Ia mengetahui bahwa fitnah akan reda setealh ia terbunuh sebagaimana yang telah diberitakan oleh Rasulullah SAW kepadanya
b. Ia tidak menginginkan bahwa ia menjadi khalifah pertama setelah Rasulullah SAW wafat yang menumpahkan darah pada umatnya.
c. Perkiraannya bahwa para pemberontak menginginkan dirinya. Jadi ia berfikir untuk menyelamatkan kaum mukminin dengana mengorbankan dirinya. (DIKUTIP DARI BUKU PERJALANAN HIDUP EMPAT KHALIFAH YANG AGUNG; ABU BAKAR, UMAR, UTSMAN DAN ALI, ED. TERJ. ABU IHSAN AL-ATSARI_Terbitan Darul Haq).
Tangan terselubung dalam peristiwa, sebenarnya Al-Waqidy dan Abu Mikhnaf telah menerang tentang tangan-tangan tersembunyi tersebut, yaitu tangan-tangan para sahabat sendiri yang berada disekeliling Utsman bin Affan, seperti Thalhah, Zubair, Aisyah, Amru bin Ash, Muhammad bin Abu Hudzaifah, Ammar bin Yasir dimana mereka ikut serta dalam menyulutkan ketidakpuasaan orang banyak terhadap Utsman bin Affan. Namun jika meneliti sejarah lagi, bagaimana mungkin mereka mengobarkan api fitnah sementara merekalah yang pergi menuntut Ali untuk menuntut tumpah darahnyah Utsman dan dalam pasukan Ali bin Abi Thalib sendiri terdapat beberapa orang yang pernah mengepung Utsman bin Affan, apakah para pengepung itu mengetahui bahwa Thalhah, Zubair, Aisyah dan Amru bin Ash adalah bersama mereka dan termasuk orang yang menggerakkan dan terlibat dalam pembunuhan Utsman bin Affan.
Menurut Saif bin Umar karena di sini ada peran dari Abdullah bin Saba’ (orang Yahudi yang berasal dari Shan’a), yakni dengan mempengaruhi orang-orang Islam dengan perkataan bahwa yang dia bawa adalah wasiat Nab SAW, ini dia perkataannya “Sesungguhnya Muhammad adalah Nabi terakhir dan Ali adalah Wasiat terakhir, adakah orang yang lebih zalim dari pada orang yang tidak membolehkan adanya wasiat Rasul, padahal beliau telah memberikan wasiatnya kepada Ali” Ia juga menambahkan “Sesungguhnya Utsman telah mengambil wasiat ini tanpa hak, padahal ini adalah wasiat Rasulullah, untuk itu bangkitlah dan bergeraklah, mulailah dengan mengkhinati pemimpin-pemimpin kalian! Lakukanlah AMAR MAKRUF NAHI MUNKAR, maka engkau akan mendapatkan hati masyarakat, bawalah kepada mereka hal ini”
Dari teks ini Ibnu Saba’ menginginkan kedudukan Ali bin Abi Thalib diangkat dan menuduh Utsman sebagai oranag yang mengambil tanpa hak, sehingga diharapkan sahabat akan pecah dalam dua golongan, yakni sebagaian akan berada dipihak Ali bin Abi Thalib dan ia akan berusaha menggerakkan masyarakat dengan mengajaknya kepada yang kelihatannya baik yaitu amar makruf nahi munkar. Waktu mau terjadi perang Jamal sebenarnya pasukan Aisyah, Thalhah dan Zubair dengan Ali bin Abi Thalib mau berdamai tetapi karena dihasut oleh Saba’iyyah (pengikut Ibnu Saba’) agar mereka terus berperang sehingga terjadilah perang Jamal.
Menurut penulis, bahwa riwayat Saif bin Umar mampu merincikan peristiwa sejarah dengan sangat detail karena dia berasal dari Bani Tamim (Kabilah Tamim) yang terkenal dalam bidang cerita sejarah. Tokoh mereka Al-Ahnaf bin Qais adalah tokoh bijaksana dan mengetahui fenomenanya. Ia telah mengamati peristiwa fitnah dari dekat.
Analisa fitnah; bahwa Ali bin Abi Thalib, Thalhah, Zubair dan Aisyah dalam menyikapi fitnah ini. Sikap mereka semua sama yaitu menghendaki kebenaran dan tidak menginginkan pertempuran. Sedangkan kebenaran pada waktu itu adalah menghukum para pembunuh Utsman, akan tetapi mereka berbeda dalam bagaimana cara menghukum para pelaku pembunuhan itu. Ali bin Abi Thalib melihat bahwa sekarang belum saatnya melakukan hal itu karena akan menyebabkan kabilah-kabilah arab bergejolak dan terjadilah persengketaan di antara mereka, hampir saja ia dan orang-orang yang menyelesihinya berdamai, akan tetapi para pengikut Ibnu Saba’ telah kembali membakar fitnah-fitnah dan adu domba mereka, maka terjadilah pertempuran pada waktu malam gelap gulita dimana seorang pasukan tidak tahu mana kawan dan mana lawan.
Perselisihan Ali dengan Muawiyah; titik persoalan yang kita perhatikan secara khusus dalam perselisihan antara Ali dan Muawiyah adalah argumentasi dari masing-masing pihak untuk membenarkan sikap masing-masing. Dengan argumentasinya; Ali berpendapat bahwa dialah pemimpin yang harus ditaati, dan orang-orang muslim yang tidak menyamakan antara Ali dan Muawiyah. Ali lah yang menjadi pilihan mereka mereka sehingga wajib bagi Muawiyah untuk membaiatnya. Sedangkan argument dari Muawiyah adalah membawa walaupun Ali tidak ikut membunuh Utsman, dan Muawiyah tidak rela kecuali dengan menyerahkan para pembunuh Utsman bin Affan. Menurut Imam Al-Ghazali bahwa Muawiyah meminta tebusan darah Utsman dengan secepatnya, dengan mengatakan “Muawiyah menganggap bahwa perkara Utsman kalau diakhirkan maka akan terjadi tindak pidana yang lebih besar lagi karena akan membuat umat bertindak yang tidak bertanggung jawab kepada pemimpin-pemimpin mereka dan akan membuat mereka berani menumpahkan darah”.
Perang Shiffin dan Peristiwa Tahkim
Pada perang Shiffin Amru bin Al-Ash menasehati Muawiyah untuk mengangkat mushaf di atas tombak-tombak mereka meminta perselisihan itu diselesaikan dengan kitab Allah. Ali mengetahui bahwa hal itu adalah tipu daya, akan tetapi para Qurra’ dan ahli ibadah takut kalau mereka tidak menerima Al-Quran sebagai hukum, mereka lalu menemui Ali untuk meminta supaya ia menerima penghukuman (tahkim) dengan Al-Quran tersebut. Hasil dari perundingan (tahkim) adalah Utsman dibunuh secara zhalim, dan perselisihan harus dihentikan dengan cara menurunkan Ali dan menyerahkan khilafah kepada permusyawaratan kaum muslimin.
Kekalahan Ali pada perang Shiffin disebabkan oleh sahabat-sahabatnya sendiri yakni para tentaranya yang terdiri dari pertama orang-orang Hijaz yang mendampinginya ke Irak. Kedua, golongan orang-orang Irak baik yang datang ke Hijaz dan ikut membunuh Utsman maupun penduduk Irak sendiri, mereka semua adalah pasukan yang mengililingi Ali. Adapun siasat politik Ali menurut para sejarawan bahwa Ali tidak cakap dalam bidang politik, sehingga ia terjebak dalam beberapa kesalahan. Berikut ini kesalahan-kesalahan beliau menurut para sejarawan;
a. Siasat yang dianut oleh Ali adalah siasah Rasyidiah mengikuti Khulafaurrasyidun yang lain, sedangkan keadaan pada saat itu sangat kacau.
b. Beliau memecat Muawiyah karena ia memandang bahwa mereka-merekalah yang merusak citra Utsman
c. Orang-orang rasyid selalu mengedepankan syura, dengan demikian Ali adalah seorang khulafaurrasyidin tulen, hanya satu sikap bukan khulafaurrasyidin, yaitu membiarkan para pembunuh Utsman. Karena beliau mempunyai pertimbangan yakni waktunya masih belum tepat, takutnya akan memecah belahkan umat Islam.
Faktor-faktor penyebab berpindahnya kekuasaan dari Khulafaurrasyidin kepada Bani Umawiyah:
1. Perubahan daerah kekuasaan Islam sebagai hasil pembukaan daerah, sehingga Madinah tidak cocok lagi untuk menjadi ibu kota Negara.
2. Perubahan pusat perekonomian, Hijaz telah menjadi pusat pengumpulan harta rampasan perang dari negeri-negeri yang telah dibuka hingga tidak mempunyai pengaruh secara ekonomi lagi, kecuali hanya menjadi pusat pembagian dari harta Negara.
3. Perubahan tabiat kehidupan materi, masyarakat telah berpindah dari hidup yang susah dan zuhud terutama pada awal-awal pemerintahan Khulafaurrasyidin menjadi masyarakat yang bergelimang harta dan kemewahan yang tidak sesuai dengan arah kebijkaan pemimpinnya.
4. Perubahan dalam tatanan masyarakat dengan munculnya kaum arab badui dan orang-orang murtad yang ada pada masa dua khalifah pertama dimarginalkan, munculnya mereka mempunyai pengaruh yang besar dalam merubah keadaan masyarakat, terutama pada waktu terhentinya pembukaan daerah untuk bebrapa masa.
5. Perubahan besar dalam masyarakat dengan munculnya generasi baru di masyarakat, mereka adalah bukan generasi sahabat dan hidup tidak bersama sahabat sehingga sifat mereka tidak sama dengan sifat para sahabat terdahulu. Mereka menjadi generasi anarkis dan frontal, dengan tidak rela dengan realita budaya yang dianut oleh generasi sahabat sebelumnya.
6. Semua perubahan tersebut telah membentuk masyarakat dengan cara berfikir yang baru dan jauh sekali dengan cara berfikir para sahabat yang mendapat petunjuk, mereka tidak memahami lagi rasionalitas berfikir dan tidak menjiwainya dalam menetapkan keputusan.
Kami perlu menegaskan di sini bahwa kekuasaan khulafaurrasyidin adalah kekuasaan yang berlalu dengan tipe khusus masanya. Tipe ini terkenal dengan system Syura (musyawarah), padahal semua kekuasaan di dunia pada masa itu menggunakan system otoriter dan diktator.
Masa Muawiyah
Sistem pemerintahan dan siasatnya, yakni siasat yang jauh terencana dan pandangannya, mencakup segala lini kehidupan dengan terperinci, ia selalu memperhatikan setiap berita, seakan-akan ia ingin mengetahui segala sesuatu. Dengan politik praktis dia mengetahui dengan siapa harus memberikan tanggung jawab dan harus sepaham dengan dia. Pada masa Muawiyah ia menggunakan syariat Islam dan cocok sekali dengan masa modern. Ia di saatu sisi menjadi khalifah dan di satu sisi menjadi raja dengan keagungannya, ia raja dan khalifah yang kekuasaan berada di tangannya sendiri, akan tetapi tidak diktator, ia menggunakan kekuasaan dengan cara yang demokratis dengan tetap menjaga kewibawaan dan keagungannya, ia adalah raja sekaligus menjadi politikus ulung, di sisi lain ia juga mempunyai kekuasaan yang kuat. Muawiyah tidak menggunakan sistem Syura dalam pemerintahannya. Pemerintahan Muawiyah tidak terpusat di tangan khalifah saja, ia mengangkat gubernur untuk mendampinginya. Kemudian tujuan yang ingin dicapai Muawiyah adalah perbaikan kehidupan masyarakat umum dan bukannya memenuhi keadilan individu.
Adapun perbandingan antara pemerintahan Khulafaurrasyidin dengan masa Muawiyah ada dua hal, yakni;
a. Khalifah dalam pemerintahan khulafaurrasyidin merupakan seorang hakim yang memutuskan hukum-hukum sedangkan para khalifah Umawiyah ia adalah raja yang memimpin masyarakat.
b. Kekuasaan agama pada masa khulafaurrasyidin merupakan asas Negara sedangkan pada masa Negara keluarga Sufyan, pemerintahan Negara adalah di atas segalanya.
Masa Yazin bin Muawiyah
Pada masa ini terjadi tiga peristiwa yang mengerikan yaitu terbunuh Husain, perang Harrah dan Penyerangan Ka’bah. Sebagai kesimpulan bahwa Husain keluar disebabkan ajakan penduduk Kufah untuk membaiatnya dan keimanan akan kewajiban dirinya, penduduk Kufah mempunyai keyakinan bahwa ia akan datang dan membaiatnya begitu juga Husain beranggapan yang sama. Akan tetapi Yazid mengetahui orang-orang yang memuji dan ingin menolong Husain, ia akan disiksa dan diperangi. Dan di sini ada penghasut dan pengadu domba yakni Syamar bin Dzil Jausyin yang menganjurkan agar Husain dibunuh saja, ini terjadi setelah ia mengetahui bahwa Umar bin Sa’d berbuat baik pada Husain bin Ali.
Pandangan Umum tentang masa Yazid, antara lain:
a. Yazid tidak mampu menyelesaikan masalah konflik dengan baik dan benar
b. Yazid tidak mau menganalisa masalah secara mendetail tapi ia suka menganalisa secara global saja
c. Ia banyak menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan masalah dari pada perundingan
d. Ia tidak pandai berdiplomasi
e. Ia bersifat romantis dan perasa.
Persaiangan memperebutkan khalifah antara Kalbiyin dan Qaisiyyin adalah dari segi politik belaka yang dilatarbelakangi tentang kelayakan Syam sebagai pusat khilafah, dan realita politik fanatisme kedaerahan Syam merupakan rahasia inti kenapa Penduduk Syam mempunyai dua sikap yang berlawanan. Perselisihan ini hanya seputar asal-usul penduduk negeri Syam saja. Al-Kalbiyyin menganggap diri mereka sebagai penduduk asli negeri Syam, karena mereka migrasi ke negeri Syam dan bermukim di sana sebelum datangnya Islam. Sedangkan Qaisyyin datang bersama-sama dengan tentara Islam lalu mereka bermukim di sebelah utara negeri Syam untuk itulah mereka merupakan bukan warga Negara asli tetapi mereka adalah penduduk Hijaz. Kemenangan umum politik Syam mutlak setelah kematian Ibnu Az-Zubair dan ini merupakan kemenangan politik Syam yang kedua kalinya terhadap Hijaz, berikut ini penyebabnya, antara lain:
a. Hijaz secara geografis sangat susah untuk menjadi pusat kekuasaan dan khilafah Islam, karena terletak sangat jauh letaknya dari kota-kota Islam.
b. Khilafah di Hijaz tidak mempunyai pasukan yang rapi, dan khilafah tidak membentuk, sampai khalifah tidak mempunyai pasukan pengawal khalifah, sedangkan Syam mempunyai pasukan teratur dengan baik dan polisi yang selalu menjaga keamanan khalifah.
c. Politik di Hijaz tidak mempunyai dasar-dasar pengaturan kekuasaan secara terperinci, tetapi sarana untuk mencapai kekuasaan hanya bersifat ada dari generasi ke generasi.
Abdul Malik bin Marwan
Ini adalah masa akhir persengketaan antara Syam dan musuh-musuhnya. Salah satu gubernurnya adalah Al-Hajjaj di Irak, problematika yang dihadapinya adalah
• Mencegah revolusi baru di Irak dengan menumpas usaha fitnah di Irak.
• Membangun ekonomi Negara yang telah terpuruk pasca fitnah
• Kembali membuka daerah dan menyebarkan Islam setelah berhenti sekian lama.
Jika Muawiyah sebagai pendiri kekuasaan Bani Umawiyah dan peletak dasar-dasarnya. Maka Abdul Malik merupakan seorang pengatur, orang yang menertibkan dengan segala perincian, seluk-beluk maupun rangkaian-rangkaiannya. Ia lebih senang bertindak sesuai dengan apa yang ia kehendaki saja, dan ia hanya memerintahkan sesuatu yang arhus dilaksanakan, dan tidak boleh para pendampingnya untuk berani mengkritik kesultanannya sedikitpun. Berikut ini cara yang dia lakukan untuk mengatur pemerintahannya, antara lain:
_Mengatur Administrasi Negara; di sini Abdul Malik mendirikan kantor-kantor pemerintahan yang pada masanya kekuasaan Abdul Malik ada tiga kantor pemerintahan yang terkenal, yaitu:
a. Kantor administrasi, ini hanya bertugas mengurus, menertibkan dan mengatur agenda pemerintahan dan administrasi negera, Abdul Malik tidak pernah melakukan kegiatan kecuali menurut agenda-agenda yang sudah digarap bagian administrasi.
b. Kantor pemberian santunan, merupakan kantor yang sudah dibentuk oleh Umar bin Khatab yang berfungsi membagikan segala santunan kepada seluruh masyarakat, terutama kepada para Mujahidin dalam kantor ini tertulis semua nama-nama masyarakat dan hak-hak keuangannya.
c. Kantor pajak bumi (kharaj), ia mengatur pegawai dan mengurusi gaji kepegawaian, tetapi ia membentuk satu dasar yang baru yakni “arabisasi”. Sehingga berkembanglah arabibasasi pada masa Abdul Malik, hingga pada masa Khalid bin Yazid buku-buku Kimia dan umum diterjemahkan dalam bahasa Arab. Arabisasi yang digalak Abdul Malik yang paling ditekankan dalam dua bidang yaitu: Arabisasi kantor perpajakan dan Arabisasi kantor keuangan. Usaha arabisasi kantor perpajakan merupakan hal yang sangat penting, karena hal itu akan mengarabkan ekonomi negara dan keuangannya yang akan dipegang langsung oleh khalifah Abdul Malik dengan petunjuk buku bahasa Arab yang jelas dan mudah dipahami.
_Diarabkannya mata uang
_Pengangkatan gubernur
Dalam hal ini ia melakukan hal yang berbeda dengan Muawiyah pada dua hal, antara lain:
Pertama, ia mengangkat gubernur hanya dari kalangan Bani Umayyah saja, bahkan ia mengangkat gubernur dari para kawan-kawan, kerabat-kerabat dan keturunannya saja. Kedua, ia tidak memberikan kekuasaan mutlak kepada para gubernurnya, tetapi memegang kekuasaan mutlak yang hanya berada di tangannya saja.
_Mendirikan kantor pos. kantor pos merupakan hal yang esensi bagi negara, khalifah tidak akan berkuasa mutlak tanpa didukung dengan pelayanan pos yang cepat dan teratur dan aman, ia mendirikan pos-pos dan membuka jalan-jalan kelancaran surat-surat.
Al-Walid bin Abdul Malik
Masa ini muncul generasi ahli hadist. Selain itu, dia membangun masjid (membuat masjid sangat megah). Salah satu yang terkenal adalah Masjid Umawi yang mana masjid itu merupakan tempat gereja Romawi yang kemudian dibeli oleh Al-Walid. Selain itu yang menjadi titik focusnya adalah kemakmuran, bangunan, ekonomi, pertanian dan administrasi. Salah satu politiknya adalah pembukaan daerah, pada masa pemerintahannya kita menemukan pasukan muslimin bergerak menembus daerah-daerah hingga wilayah kaum muslimin luas, kecuali Eropa Timur.
Sulaiman bin Abdul Malik
Ada dua faktor berlawanan yang mempengaruhi sikap Al-Walid yaitu: politik Al-Hajjaj yang keras dan Umar bin Abdul Aziz yang berbudi halus dan jujur. Kemudian dia mengutus Ibnu Aziz untuk menjadi gubernur di Madinah, sehingga ia mengumpulkan sepuluh ulama di Madinah dan mereka dijadikan penasehat oleh dia. Sejarah politik Umar bin Abdul Aziz dimulai masa Sulaiman bin Abdul Malik.
Umar bin Abdul Aziz
Ini masa keemasan Islam, dimana masa keadilan, kebijaksanaan, ketakwaan dan keilmuan ditegakkan. Adapun perbaikan umum Ibnu Abdul Aziz, antara lain;
a. Mengembalikan harta Mazhalim, artinya harta ataua hak milik yang diambil dari jalan yang tidak benar.
b. Tanah-tanah berpajak dan pengelolaannya yakni diwakafkan selamanya, hasilnya diserahkan ke Baitul Mal, kemudian dibagikan oleh badan urusan subsidi.
c. Jizyah dan orang-orang yang baru masuk Islam, yaitu semua orang Islam tidak wajib membayar pajak, tidak peduli apakah peraturan hal itu hilang.
d. Tanah garapan (Qitha’i) adalah ia menentukan batas maksimal dikelolanya tanah tersebut yaitu sampai tahun 100 H.
e. Mengukuhkan pemukiman para pembuka daerah di Andalusia.
Pandangan Umum
Adapun dalam hal keilmuan, sejarah Bani Umayyah telah masyhur, tak perlu diragukan lagi. Sejak awal berdirinya Bani Umayyah telah menaruh perhatian besar terhadap keilmuan yakni dengan mendirikan Baitul hikmah (perpustakaan). Sesungguhnya merekalah yang menciptakan dasar pemerintahan baik ekonomi Islam maupun keilmuan Islam sehingga ini berkembang pada masa Bani Abbasiyah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mari kita membaca dengan hati plus mata