Oleh Dedi Hariadi
I.
PENDAHULUAN
Secara sosiologi diakui bahwa masyarakat senantiasa mengalami
perubahan. Perubahan suatu masyarakat dapat mempengaruhi pola pikir dan tata
nilai yang ada pada masyarakat tersebut. Semakin maju cara berpikir suatu
masyarakat, maka mestinya akan semakin terbuka untuk menerima kemajuan ilmu dan
teknologi. Bagi umat beragama, khususnya Islam, kenyataan ini dapat menimbulkan
masalah, terutama apabila kegiatan itu dihubungkan dengan norma-norma agama.
Akibatnya, pemecahan atas masalah tersebut diperlukan, sehingga syariat Islam dapat
dibuktikan tidak bertentangan dengan kemajuan ilmu dan teknologi. Lebih dari
itu, juga dapat diyakini bahwa syariat Islam akan selalu sesuai untuk setiap
masyarakat dimanapun dan kapanpun mereka berada.
Dalam menghadapi permasalahan-permasalahan kontemporer yang
berkembang di tengah-tengah masyarakat, Muhammadiyah sebagai salah satu
organisasi sosial keagamaan yang sering dikenal sebagai gerakan Islam, gerakan
da’wah dan gerakan tajdid[1]
tentunya memiliki metodologi dalam menjawab tantangan zaman yang berkembang
tersebut. Sejalan dengan hal itu, maka Majlis Tarjih Muhammadiyah yang dibentuk
pada tahun 1982 semakin dituntut untuk meningkatkan peranannya dalam
menyelesaikan persoalan-persoalan akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Kalau dahulu hanya membahas tentang ibadah yang bersifat mahdhoh saja,
tapi mulai pada tahun 1968 Majlis ini telah memulai membahas tentang
masalah-masalah muamalah seperti bunga bank, bayi tabung, asuransi, dll.[2]
Untuk itu, dalam hal metode yang dipakai dan ditetapkan oleh Majlis
Tarjih Muhammadiyah tersebut, maksud penulis adalah ingin mengetahui
dasar-dasar dalam proses pengambilan keputusan hukum sebagai jawaban terhadap
masalah-masalah yang timbul di tengah masyarakat yang terus berkembang ini.
Adapun masalah yang akan menjadi bahan kajian penulis adalah berkenaan dengan
Bagaimanakah metode yang telah
ditetapkan oleh Majlis Tarjih Muhammadiyah dalam penetapan hukum?.
II.
PEMBAHASAN
II.1.
Sumber Hukum dan posisi Ijtihad dalam Muhammadiyah
Seluruh umat
Islam dalam berbagai madzhab dan aliran meyakini bahwa Al Quran dan Hadits
adalah sumber utama dalam penetapan hukum Islam. Diantara dua sumber itu, al
Quran merupakan rujukan utama dalam menetapkan hukum. Sedangkan hadits adalah
sebagai penjelas terhadap al Quran. Tentu penjelasan nabi tidak boleh
bertentangan dengan dengan apa yang dijelaskan al Quran.[3]
Muhammadiyah
sebagai gerakan Islam juga berpendapat bahwa
sumber utama dalam penetapan hukum adalah al Quran dan al-Hadits as-Syarif
sebagaimana yang tertuang dalam Himpunan Majelis Tarjih Muhammadiyah yang menyebutkan
bahwa “Dasar mutlak untuk berhukum dalam agama Islam adalah al Quran dan al
Hadits as-Syarif.”[4] Dan juga
ditegaskan dalam halaman sebelumnya bahwa “Agama yakni Agama Islam yang dibawa
oleh Nabi Muhammad SAW ialah apa yang diturunkan Allah dalam Quran dan yang
tersebut dalam Sunnah yang shahih, berupa perintah-perintah dan larangan serta
petunjuk untuk kebaikan manusia di dunia dan akhirat.”[5]
Dengan kata lain bahwa sumber ajaran
Islam diyakini oleh Muhammadiyah adalah Quran dan Sunnah sohihah.
Sedangkan yang dimaksud dengan sunnah shahihah adalah sunnah maqbulah,
yang ketika itu disepakati pergantian redaksinya dalam Munas Tarjih di Malang
tahun 2000 lalu.[6]
Kemudian untuk
menghadapai persoalan-persoalan baru, sepanjang persoalan baru itu tidak
berhubungan dengan ibadah mahdoh dan tidak terdapat nash sharih dalam al Quran dan Hadits, maka Muhammadiyah
mempergunakan ijtihad dan istinbath dari nash-nash yang ada melalui persamaan illat.[7]
Pernyataan ini menunjukkan bahwa bagi Muhammadiyah ijtihad bukan sumber hukum,
melainkan metode penetapan dalam hukum Islam.[8]
II.2. Metode Ijtihad dalam Tarjih Muhammadiyah
Dalam mencari
hukum yang ada dalam al Quran, ulama ushul menempuh dengan jalan ; 1) Istinbath,
dengan memahami nash yang qath’i, 2) Ijtihad, terhadap
nash yang belum menunjukkan hukum satu masalah, 3) Ijtihad juga
dalam memahami masalah yang hanya ditunjukkan oleh jiwa nash, yakni
kemaslahatan.
Rumusan itu
dituangkan ke dalam bentuk istilah : 1) Ijtihad Bayani, 2) Ijtihad
Qiyasi, dan 3) Ijtihad Istislahi . Pokok-pokok rumusan tersebut
adalah sebagai berikut:[9]
1.
Ijtihad
Bayani
Ijtihad bayani adalah pola ijtihad yang berkaitan dengan kajian
kebahasaan (semantik) yaitu kapan suatu lafal diartikan secara majaz,
bagaimana memilih salah satu arti dari lafal musytarak (ambiguitas),
mana ayat yang umum yang diterangkan secara ‘am atau mubayyan dan
mana pula yang khusus yang menerangkan khas atau mubayyin, mana
ayat yang qat’i dan mana pula ayat yang dhanni, kapan dalil itu
bersifat perintah yang dianggap wajib dan kapan pula dianggap sunat,
kapan larangan itu dianggap haram dan kapan pula dianggap makruh dan
seterusnya.[10] Dengan arti
lain bahwa ijtihad Bayani adalah menjelaskan hukum yang kasusnya telah terdapat
dalam nash Al Quran dan Hadits.[11]
Contoh : kesepakatan tentang iddah perempuan yang telah digauli dan
masih kedatangan haidh adalah tiga quru’.
Menurut Ulama’ Hanafiah, ada lima bayan, bayan-bayan dimaksud
adalah sebagai berikut :
a.
Bayan
Taqrir, yaitu
penjelasan dalam rangka mengungkapkan suatu makna dengan dasar-dasar lain, yang
memberikan tambah jelasnya yang dimaksud, baik antara makna kata-kata maupun
ungkapan dalam nash atau dalil.
b.
Bayan
Tafsir, yaitu
penjelasan suatu lafal atau kata-kata, sehingga nash tersebut menjadi lebih
jelas maksudnya.
c.
Bayan
Taghyir, yaitu
keterangan-keterangan yang mengubah dari makna dhahir menjadi makna yang
dituju, seperti kata-kata yang mengandung pengecualian. Dalam hal ini, usaha
yang dilakukan adalah mencari mukhassis yang umum tadi.
d.
Bayan
Tabdil, yaitu usaha
mencari penjelasan dengan jalan nasakh. Maksudnya, mencari apakah ada nasikh
mansukh dalam hukum masalah yang dicari oleh seorang mujtahid.
e.
Bayan
Dlarurah, yaitu
keterangan yang tidak disebutkan, tetapi tidak boleh tidak harus diungkapkan,.
Bayan itu tidak berupa kata-kata, tetapi sesuatu yang didiamkan. [12]
2.
Ijtihad
Qiyasi
Ijtihad qiyasi
juga disebut dengan ta’lili, secara umum ijtihad ini adalah ijtihad
yang dilakukan untuk mendapatkan hukum
suatu masalah yang tidak ada nashnya secara langsung.[13]
Dalam pola ijtihad ini dimasukkan semua penalaran yang menjadikan
‘illat sebagai titik tolaknya. Disini dibahas cara-cara menemukan ‘illat,
persyaratan, dan penggunaannya di dalam qiyas dan istihsan serta
pengubahan hukum itu sendiri sekiranya ditemukan ‘illat baru (sebagai
pengganti yang lama). [14]
Contoh : perintah untuk mengambil zakat hanya dari tiga jenis tanaman yaitu
gandum, kurma, anggur. Yang kemudian dianalogikan dengan makanan pokok.
3.
Ijtihad
Istislahi
Ijtihad Istislahi
adalah ijtihad yang mengidentifikasi masalah-masalah yang tidak mempunyai nash
khusus sebagai rujukan.[15]
Pola ini dapat ditempuh dengan berbagai metode berikut :
a.
Metode
Istihsan
b.
Metode
Sadduz Dzaro’i
c.
Metode
Maslahah Mursalah
d.
Metode
Urf yang tidak bertentangan dengan nash dan tidak mendatangkan mafsadah.[16]
Artinya bahwa
prinsip dalam metode ijtihad istislahi ini menempuh tiga tingkatan, yaitu Dharuriyat,
Hajjiyat, Tahsiniyat.[17]
Secara umum rumusan
metode ijtihad Muhammadiyah adalah sebagaimana yang tersebut diatas, hal ini
dapat kita lihat dari pokok-pokok Manhaj Tatrjih Muhammadiyah, point satu yang
menyebutkan bahwa “di dalam beristidlal, dasar utamanya
adalah al-Qur'an dan as-Sunnah ash-Shahihah (al Maqbulah). Ijtihad dan
istinbath atas dasar illah terhadap hal-hal yang tidak terdapat di dalam nash,
dapat dilakukan. Sepanjang tidak menyangkut bidang ta'abbudi, dan memang
merupakan hal yang diajarkan dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia. Dengan
perkataan lain, Majelis tarjih menerima ijtihad, termasuk qiyas, sebagai cara
dalam menetapkan hukum yang tidak ada nash-nya secara langsung.”, point ke-8 “Menggunakan
asas sadd-u'l-dzara'i untuk menghindari terjadinya fitnah dan masfsadah” point
ke-9 “Menta'lil dapat dipergunakan untuk memahami kandungan dalil-dalil
al-Qur'an dan as-Sunnah sepanjang sesuai dengan tujuan syari'ah. Adapun qaidah:
a-hukmu yadiru ma'a illatihi wujudan wa'adaman dalam hal-hal tertentu
dapat berlaku” point ke-13 “Dalam bidang ibadah yang diperoleh
ketentuan-ketentuannya dari al-Qur'an dan as-Sunnah, pemahamannya dapat
menggunakan akal, sepanjang diketahui latar belakang dan tujuannya. Meskipun
harus diakui bahwa akal bersifat nisbi, sehingga prinsip mendahulukan nash
daripada akal memiliki kelenturan dalam menghadapi perubahan situasi dan
kondisi” point ke-14 “Dalam hal-hal yang termasuk al-umur-u dunyawiyah yang
tidak termasuk tugas para nabi, penggunaan akal sangat diperlukan, demi
kemaslahatan umat. [18]
III.
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Dalam
penetapan hukum yang dilakukan oleh Muhammadiyah, khususnya dalam Majelis
Tarjih Muhammadiyah adalah dengan menggunakan tiga metode ijtihad, yaitu ; a.
Ijtihad Bayani, yakni menjelaskan hukum yang kasusnya telah terdapat dalam nash
Al Quran dan al Hadits. b. Ijtihad Qiyasi / Ta’lili, yakni menyelesaikan kasus
baru dengan menganalogikan kasus yang hukumnya telah diatur dalam al Quran dan
al Hadits sebelumnya. c. Ijtihad Istislahi, yakni menyelesaikan beberapa
masalah yang kasusunya tidak terdapat dalam kedua sumber (Quran-Sunnah) dengan
cara menggunakan penalaran didasarkan atas maslahat.
Dengan
demikian bahwa dapat dikatakan metode ijtihad yang dilakukan oleh Muhammadiyah
dalam masalah mu’amalat dunyawiyah selalu bertumpu pada maqasid
asy-syariah dengan memperhatikan hal yang bersifat daruriyat, hajjiyat,
dan dhoruriyat. Wallahu a’lam Bis Showab
DAFTAR
PUSTAKA
Abdurrahman,
Asjmuni, Manhaj Tarjih Muhammadiyah
Metode dan Aplikasinya, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2010.
Djamil, Fathurrahman, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah,
Jakarta : Logos, 1995.
Kamal, Mustafa,
Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam,
Yogyakarta : Persatuan, 1988
Mu’allim,
Amir dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam, Yogyakarta: UII
Press, 2001.
Munir , Ahmad, Manhaj Ijtihad Majlis Tarjih, Makalah dalam
Rapat Konsolidasi dan Kajian Tarjih PWM Jawa Timur, disampaikan pada tanggal 08
Juli 2001 di Surabaya.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan Majelis Tarjih
Muhammadiyah, tth.
[1] Mustafa Kamal, Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam, Yogyakarta :
Persatuan, 1988, hal. 48-49
[2] Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, Jakarta
: Logos, 1995, hal. 07.
[4] Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Himpunan Majelis Tarjih Muhammadiyah, tth,
cet. III hal. 278.
[5] Ibid hal. 276
[6] A. Munir , Manhaj Ijtihad Majlis Tarjih,makalah dalam Rapat
Konsolidasi dan Kajian Tarjih PWM Jawa Timur, disampaikan pada tanggal 08 Juli
2001 di Surabaya
[7] Pimpinan Pusat Muhammadiyah, op. cit. hal. 278
[8] Fathurrahman Djamil, op. cit. hal. 70
[9] Asjmuni Abdurrahman, Manhaj Tarjih Muhammadiyah Metode dan
Aplikasinya, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010, cet. V hal. 105-106.
[10] Amir Mu’allim dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam,
Yogyakarta: UII Press, 2001, Ed. 1,cet. 2 hal . 61.
[11] Fathurrahman Jamil, op. cit. Hal. 78
[12] Asjmuni Abdurrahman, op. cit. Hal. 106
[13] Ibid hal 107
[14] Amir Mu’allim dan Yusdani, op. cit. Hal. 62
[15] Ibid
[16] Asjmuni Abdurrahman , op. cit. Hal 108-109
[17] Amir Mu’allim dan Yusdani, op. cit. Hal 62-63
[18] Asjmuni Abdurrahman, op. cit. hal 12-13
mantap, bermanfaat, thanks
BalasHapussebaiknya karya tulis ini boleh di copy paste, agar lebih bermanfaat
BalasHapuskalau gak boleh di copy paste, hanya akan sejkedar begini saja