Oleh
:
Dedi
Hariadi
Fajriannor
Arribat
prisfirdaus
Ana
Ahsanul Huda
Taufik
Eko Nugroho
BAB I
A.
Terminology
Wakaf di Negara Barat
Di
Negara barat juga dikenal dengan wakaf atau habas,
benda-benda wakaf di Negara barat dengan sebutan yang berbeda. Ada yang
menyebutnya dengan foundation ( yayasan), trust ( persekutuan wakaf), persekutuan
wakaf sosial ( charitable trust) dan
yayasan sosial ( endowment). Persekutuan ini merupakan badan hokum yang tidak
beriorentasi pada laba ( non fropit
corporation) yang kebanyakan mempunyai harta wakaf konsumtif dan produktif,
sekalipun banyak juga yang meminta subsidi dari masyarakat, terutama yayasan
hokum ini cara pengelolaanya banyak tergantung pada pendirinya dan juga
anggota, sehimngga system kepengurusannya diproses melalui pemilihan secara
demokratik.[1]
Menurut
kamus the new palgrave dictionary of
money and finance sebagaimana dikutif oleh mundzir Qahaf[2]
menyatakan bahwa yang membedakan antara persekutuan wakaf dan yayasan yang
tidak beriorentasi pada profit dari yayasan profit tidak adanya hak hokum bagi
siapapun atas keuntungan yayasan. Sebenarnya perbedaan ini muncul dari
ketidaktelitian, karena orang miskin atau orang yang menerima wakaf berhak
menuntut hak-haknya yang ada pada hasil pengembangan wakaf, dan pengelola
yayasan tidak berhak melarang mereka untuk meminta hak mereka. Sementara itu
dalam kamus stroud judicial dictionary [3]I
disebutkan bahwa tujuan wakaf ( charitable
purpose) adalah memberikan harta harta untuk dimanfaatkan hasilnya bagi
kepentingan sosial dan agama. Dalam kamus ini juga tidak dinyatakan bahwa
seorang berhak atas wakaf itu,sekalipun tidak termasuk yang mendermakan seperti
penjaga gereja.
B.
Konsep
Wakaf Barat
Menurut
konsep perundang-undangan barat , istilah “ endowment”
berbeda dengan istilah “ foundation” ( yayasan), perbedaan
pengertian ini sangat tipis sehingga sulit membeakannya. Istilah “ endowment” sebenarnya digunakan untuk menunjukkan setiap
harta yang diberikan kepada yayasan sosial. Pemberian harta ini adakalanya
digunakan sesuai keperluan yayasan dalam mencapai suatu tujuan tertentu,
pemberian harta ini adakalanya digunkana sesuai keperluan yayasan dalam
mencapai suatu tujuan tertentu, ataupun penggunaannya mengakibatkan habisnya
harta itu atau dengan tetap menjaga keutuhan barangnya sehingga dapat digunakan
lagi secara berulang-ulang pada waktu yang lain. Dengan pengertian ini dapat
diketetahui bahwa endowment terdiri
dari sebagian pemberian wakaf sosial dan subsidi biasa yang digunakan untuk kepentingan umum.
Sedangkan foundation merupakan badan
atau organisasi nonpemerintah yang dikelola oleh beberapa dewan pengurus , atau
orang yang diberi wasiat, dan biasa tidak meminta subsidi dari masyarakat, akan
tetapi pendanaannya banyak disubsidi oleh para pendirinya yang berasal dari
harta pribadi dan ditujukan untuk memberika pelayanan bagi masyarakat secara
umum.[4]
BAB II
A.
Menejment
Wakaf Diberbagai Negara Muslim
Dalam catatan sejarah Islam, sudah dipraktikkan baik dalam
bentuknya yang masih tradisional/konvensional, dalam “arti bentuk wakaf
berupa benda-benda tidak bergerak maupun wakaf produktif berupa wakaf uang
atau wakaf
tunai (cash
waqh) bahkan, wakaf tunai (cash waqh) ternyata sudah diperaktikan
sejak awal abad kedua hijriyah. M Syafii Antonio mengutip hadist yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhari, menjelasakan bahwa Imam az Zuhri (w. 124 H)
salah seorang ulama terkemuka dan peletak dasar kodifikasi hadist (tadwnin-
al hadist) mengeluarkan fatwa yang berisi anjuran melakukan wakaf dinar dan
dirham untuk membangun sarana dakwah, sosial, dan pendidikan umat Islam. Adapun
caranya adalah dengan menjadikan uang tersebut sebagai modal usaha kemudian
menyalurkan keuntungannya sebagai wakaf”.[5]
Menurut
Muhammad Abu Zahrah, dalam bukunya Muhadarat fi al-Waqf (Pembahasan Mengenai
Wakaf), “wakaf telah banyak dipraktekkan pada zaman pemerintahan kerajaan Bani
Umaiyah yaitu di Mesir dan Syam dan daerah-daerah bagian Islam yang telah
dibuka dalam pemerintahan tersebut. Harta wakaf ketika itu terdiri dari tanah,
bangunan dan kebun-kebun. Bahkan pada zaman pemerintahan Hisyam ibn Abdul Malik
telah dikukuhkan jabatan khusus bagi pengurus harta wakaf”. [6]
Muhammad Abu Zahrah juga menyebutkan bahwa “pembangunan
Masjid al-Haram dan Masjid al-Aqsa adalah sebahagian daripada bukti sejarah di
mana ibadah wakaf memegang peranan penting dalam pembangunan kehidupan umat
manusia”. [7]
Di beberapa negara muslim saat ini
pun aktivitas perwakafan tidak terbatas hanya kepada tanah dan bangunan,
“tetapi telah dikembangkan kepada bentuk-bentuk lain yang bersifat produktif”.
Ada beberapa Negara Islam yang memiliki manajemen wakaf produktif, diantaranya:
1. Manajemen Wakaf
di Mesir
Di Negara ini wakaf berkembang dengan menakjubkan karena
memang dikelola secara profesional. Meski begitu masih juga ada masalah yang
muncul dalam memenajnya, sehingga pemerintah ”Mesir terus melakukan pengkajian
untuk mengembangkan manajemen wakaf dengan tetap berlandaskan syariah”.
Pada masa Pemerintahan Muhammad Ali Pasya, ”perwakafan di
Mesir tidak terurus secara baik sehmgga tidak memberikan kontribusi yang
berarti bagi pembangunan ekonomi Mesir. Wakaf pada masa tersebut menjadi asset
yang terlantar. Hal itu disebabkan konsentrasi pemerintahan Muhammad Ali Pasya
terfokus pada upaya mewujudkan stabilitas politik internal dalam negeri dalam
rangka menghadapi masuknya pasukan barat ke Mesir. Kendatipun adanya usaha
meningkatkan perekonomian Mesir, namun wakaf tetap secara terabaikan. Dia
berusaha mengembalikan tanah kepada petani sebelumnya yang diambil oleh negara.
Ironisnya, petani tetap saja berurusan dengan negara”.
Keinginan kuat untuk mengelola wakaf secara baik baru
muncul pada masa pasca pemerintahan Muhammad Ali Pasya. ”Usaha pertama yang
dilakukan oleh pemerintah Mesir adalah menertibkan tanah wakaf melalui
penjagaan dan pemeliharaan serta diarahkan pada tujuan kemaslahatan umum sesuai
dengan syarat-syarat yang telah ditentukan. Selain itu, pemerintah juga
memberikan perlindungan kepada para mustahiq. Langkah selanjutnya yang
dilakukan pemerintah adalah membentuk diwan al-waqf yang menjadi cikal bakal
departemen wakaf”.
Kendatipun pemerintah Mesir telah membentuk satu
departemen untuk mengelola wakaf secara serius, tetapi ternyata persoalan
lainnya muncul seperti tidak adanya rasa keadilan yang ditetapkan oleh para
pewakaf (wakif), pengawasan dan pengelolan yang kurang profesional. Oleh sebab
itu, dalam pelaksanaannya tidak jarang wakif dalam berwakaf tidak
memperlihatkan rasa keadilan dalam masyarakat. Karena pada saat itu belum ada
aturan yang mengatur bagaimana hak dan kewajiban wakif dan dengan pihak yang
lain, sehingga terkesan aturan tersebut ditentukan wakif sendiri, terutama yang
berkaitan dengan orang-orang yang berhak menerima harta wakaf tersebut. Kondisi
demikian memunculkan sikap malas dan menurunkan etos kerja sebahagian mustahiq.
Sebagian dari penerima wakaf hanya menggantungkan ekonominya dari wakaf itu
saja, sehingga mereka malas untuk bekerja dan menambah deretan pengangguran
dalam masyarakat karena di antara mereka tidak lagi punya etos kerja yang baik.
Di samping itu, terdapat pula para nazir yang menyalahgunakan wewenangnya untuk
melakukan praktek riba.
Melihat ketidakteraturan pegelolaan wakaf tersebut, beberapa
kalangan masyarakat yang memiliki perhatian pada persoalan wakaf mendesak
pemerintah untuk segera melakukan perubahan peraturan perundang-undangan wakaf.
”Pada tahun 1926 masyarakat mengajukan Rancangan Undang-Undang (RUU) kepada
Dewan Perwakilan Rakyat. Tetapi ide dan wacana yang dikembangkan itu justru
mengundang polemik yang panjang di kalangan masyarakat luas”.
Pemerintah akhirnya mensahkan undang-undang tersebut
meskipun proses menuju pengesahan itu membutuhkan waktu yang agak panjang.
”Pada tahun 1946 peraturan perundang-undangan tentang wakaf menjadi sebuah
kenyataan dan menjadi sebuah putusan politik dengan dikeluarkannya
undang-undang No. 48 tahun 1946 yang isinya mencakup terjadinya wakaf dan
syarat-syaratnya”
”Pengesahan undang-undang tersebut menjadi harapan baru
bagi umat Islam Mesir untuk mengelola asset wakaf. Akan tetapi ternyata setelah
undang-undang tersebut disahkan, pcrsoalan muncul. Persoalan itu terlihat pada
semakin tajamnya perbedaan antara pemeritah dengan ulama, terutama yang
berkaitan dengan terjadinya wakal. Menurut undang-undang yang baru saja
disahkan dijelaskan bahwa wakif boleh menarik kembali harta yang telah
diwakafkan ataupun mengubahnya, tetapi tidak diperbolehkan untuk menarik wakaf
untuk diri sendiri. Wakaf jenis inilah yang terbanyak beredar di Mesir pada
masa sebelumnya. Misalnya, wakaf yang diberikan untuk kepentingan publik
seperti masjid. Dalam hal ini wakif tidak dibolehkan menarik kembali dan tidak
boleh mengubahnya” Di samping itu undang-undang ini juga memuat tentang
berakhimya wakaf muaqqat (wakaf yang dibatasi waktunya). ”Menurut undang-undang
ini wakaf muaqqat hanya terbatas pada wakaf ahli, sedangkan wakaf khari tidak
dibatasi waktunya. Dalam undang-undang ini juga dicantumkan tentang pihak-pihak
yang berhak atas harta wakaf, nazir, kekuasaan nazir atas harta wakaf dan
pengembangannya”
Pada tahun 1952 pemerintah melakukan revisi terhadap
undang-undang ini dengan mengeluarkan ”Undang-Undang No. 180 tahun 1952 yang
berisi tentang penghapusan peraturan wakaf ahli dengan disertai peraturan
pelaksanaannya”. Namun, di dalamnya tidak dibahas bagaimana mekanisme
pengawasan dan siapa yang bertanggung jawab serta bagaimana prosedur
membelanjakannya. Inilah kelemahan pertama yang terdapat dalam
undang-undang baru ini. Dengan kata lain, undang-undang ini ternyata juga belum
dapat menjawab persoalan dan subtansi yang diinginkan oleh masyarakat.
Menyadari hal
yang demikian maka pada tahun yang sama pemerintah kembali mengajukan rancangan
undang-undang yang akhirnya ”disahkan menjadi sebuah produk hukum No. 247
tentang pengawasan terhadap wakaf khairi dan penertiban belanja pemeliharaan
harta wakaf. Di samping berisi tentang bagaimana pengawasan, prosedur
pembelanjaan, dan pemeliharaan harta wakaf, undang-undang ini juga mengatur
tentang kebolehan wizarat al-auqaf dengan persetujuan Majelis Tinggi Wakaf,
untuk menyalurkan apakah seluruh atau pun sebagian saja dan harta wakaf jika
wakif tidak menentukan penerima wakaf”.
Pada tahun 1957 pemerintah mengajukan lagi rancangan
undang-undang wakaf yang baru yang akhirnya disahkan menjadi sebuah
Undang-Undang No. 30 tahun 1957. Melihat ketentuan hukum yang ada dalam
undang-undang ini, pada dasamya tidaklah banyak memuat hal-hal yang baru,
kecuali sekedar menyempumakan dan meluruskan undang-undang sebelumnya. Adapun
yang terbaru dari undang-undang ini hanyalah menyangkut tentang pendirian rumah
sakit yang berada di kota Kairo, Kemudian pada tahun yang sama disusul dengan
undang-undang (qanun) No. 152 tahun 1957 yang mengatur tentang penggantian
tanah pertanian yang diwakafkan untuk tujuan kebaikan.
Berkaitan
dengan pengaturan tentang penggantian tanah pertanian, pemerintah mengeluarkan
undang-undang tersendiri, yaitu ”undang undang No. 20 tahun 1957 yang memuat
tentang aturan lembaga perekonomian” Kemudian selanjutnya dilengkapi dengan
peraturan ”No. 51 tahun 1958, yang merupakan penyempurnaan dari undang undang
No. 152 tahun 1957. Dengan demikian sebagai negara yang mayoritas penduduknya
muslim secara terus menerus telah melakukan proses pematangan dan penyempurnaan
peraturan perundang-undangan wakaf dengan senantiasa merujuk kepada syari’at
Islam. Salah satu hasil dari proses ini ialah pada tahun 1971 pemerintah
berhasil membentuk suatu badan yang khusus menangani persoalan wakaf dan
pengembangannya yang disesuaikan dengan Qanun No. 80 tahun 1971. Badan ini
bertugas melakukan kerjasama dalam pengawasan dan memeriksa tujuan
undang-undang wakaf dan program wizarat al-auqaf. Di samping itu, badan ini
juga diberi wewenang untuk mengusut dan melaksanakan semua pendistribusian
wakaf serta semua kegiatan yang sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan”.
Dalam rangka memudahkan dalam pelaksanaan undang-undang
ini, maka pemerintah membentuk struktur kepengurusan wakaf yang terdiri dari
ketua badan atau lembaga dan direktur umum. ”Direktur umum dibantu oleh tiga
direktur umum lainnya, yang membidangi harta benda dari pengembangan, bidang
teknik (pengukuran) dan bidang pertanian. Di samping itu, kepengurusan ini juga
dibantu oleh empat orang wakil menteri, yaitu kementerian pertanian,
kementerian kependudukan dan kementerian ekonomi serta kementerian perwakafan.
Kemudian terdapat juga penasehat dan majelis pengadilan tinggi yang dipilih
oleh majelis dari seorang ahli hukum Islam yang dipilih oleh menteri
perwakafan. Adapun harta benda yang dikelola oleh badan ini: pertama, harta
yang dikhususkan oleh pemerintah untuk anggaran umum, kedua, barang yang
menjadi jaminan hutang, ketiga, hibah, wasiat dan sedekah, keempat, dokumen,
uang atau harta yang harus dibelanjakan dan sesuatu yang sudah menjadi haknya
untuk dikelola sesuai dengan Undang-undang No. 70 tahun 1972. Kelima, hasil
lain yang berguna untuk menmgkatkan dan mengembangkan harta wakaf”.
Sebagai negara yang sudah cukup lama mengelola harta
wakaf, Mesir telah berhasil mengembangkan wakaf untuk pengembangan ekonomi
umat. Di antara faktor-faktor yang menjadi pendukungnya adalah: ”Pertama, pihak
pengelola wakaf menyimpan hasil harta wakaf khair di bank sehingga dapat
berkembang. Kedua, untuk pembangunan ekonomi umat, pemerintah khususnya
Departemen Perwakafan ikut berpartisipasi dalam mendirikan Bank Syari’ah.
Ketiga, Departemen Perwakafan melakukan kerjasama dengan pihak lain sebagai
penanam modal untuk pendirian pabrik, rumah sakit Islam, pemeliharaan ternak,
bank untuk perumahan dan bangunan dan lain-lain. Keempat, Departemen Perwakafan
mengelola tanah wakaf yang kosong untuk dikelola secara produktif melalui
pendirian lembaga lembaga perekonomian, bekerja sama dengan perusahaan besi dan
baja”
Di samping itu, dalam rangka pengembangan wakaf
departemen wakaf tidak hanya menanamkan sahamnya dalam skala besar tetapi juga
pada penanaman dalam skala kecil. Misalnya, ”membantu permodalan usaha kecil
dan menengah serta membantu kaum dhuafa’, menjaga dan memelihara kesehatan
masyarakat melalui pendirian rumah sakit dan penyediaan obat-obatan dan
poliklinik, mendirikan tempat-tempat ibadah dan lembaga pendidikan serta ikut
serta dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan”.[8]
Dengan demikian terlihat jelas bahwa manajemen wakaf di
Mesir dikelola secara serius dan produktif oleh badan wakaf yang dibentuk oleh
pemerintah dalam rangka membantu kepentingan masyarakat baik di bidang sosial,
agama, pendidikan, ekonomi dan pengembangan ilmu pengetahuan. Pengelolaannya
juga terdiri dari tenaga-tenaga yang profesional dan sistem pengelolaannya juga
didukung oleh peraturan perundang-undangan yang memadai serta mudah untuk
diterapkan.
2. Manajemen Wakaf di Arab Saudi
Negara padang pasir pusat turunya agama Islam adalah
negara kerajaan yang mewarisi ajaran Islam. Kerajaan Saudi Arabia berdasarkan
syariat Islam dan konstitusinya adalah sebagaimana yang diajarkan oleh Islam.
Pemerintah
kerajaan Saudi Arabia membuat peraturan bagi majelis tinggi wakaf dengan
ketetapan ”No. 574 tanggal 16 Rajab 1386 sesuai dengan surat keputusan kerajaan
No. M/35, Tanggal 18 Rajab 1386. Majelis tinggi wakaf diketuai oleh Menteri
Haji dan wakaf, yakni menteri yang menguasai wakaf dan menguasai
permasalahan-permasalahn perwakafan sebelum dibentuk majelis tinggi wakaf. Majelis tinggi wakaf mempunyai wewenang untuk
membelanjakan hasil pengembanganwakaf dan menentukan
langkah-langkah dalam mengembangkan wakaf bedasarkan syarat-syarat yang
ditentukan wakif dan menajemen wakaf”
Disamping itu majelis tinggi wakaf juga mempunyai beberapa wewenang antara lain
1.) Melakukan pendataan
wakaf serta menentukan cara-cara pengelolahannya
2) Menenentukan
langkah-langkah umum untuk menanam modal, pengembangan dan peningkatan harta
wakaf
3) Mengetahui
kondisi wakaf yang ada.
4)
Membelanjakan harta wakaf untuk kebijakan menurut syarat-syarat yang telah
ditetapkan oleh wakif dan sesuai syariat islam
5) Menetapkan
anggaran tahunan demi kelangsungan wakaf dan mendistribusikan hasil
pengembangan harta wakaf tersebut menurut pertimbangan-pertimbangan tertentu.
6) Menggambarkan
wakaf secara produktif dan mengumumkan hasil wakaf yang sudah dikeluarkan oleh
pemerintah[9]
3. Manajemen Wakaf
di Yordania
Secara
administratif, pelaksanaan manajemen wakaf dikerajaan Yordania didasarkan pada
“Undang-Undang Wakaf Islam No. 25/ 1947”. Dalam UU tersebut bahwa “yang
termasuk dalam urusan kementrian wakaf dan kementerian agama Islam adalah wakaf
mesjid, madrasah lembaga-lembaga Islam, rumah-rumah yatim, tempat pendidikan,
lembaga-lembaga syariah, kuburan-kuburan Islam, Urusan-urusan haji dan urusan
fatwa. UU wakaf yang mengatur tentang peraturan UU wakaf No. 26/ 1966. dalam
pasal 3, secara rinci disebutkan bahwa tujuan kementrian wakaf dan urusan agama
Islam” antara lain adalah sebagai berikut:
1) Memelihara masjid dan
harta wakaf serta mengendalikan urusan-urusanya.
2)
Mengembangkan masjid untuk menyampaikan risalah Nabi Muhamad SAW dengan
mewujudkan pendidikan Islam
3)
Membakar semangat zihad dan menguatkan jiwa Islam serta meningkatkan kualitas
keimanan
4)
Menumbuhkan akhlak Islam dan menguatkan dalam kehidupan kaum muslimin
5)
Menguatkan semangat Islam dan menggalakan pendidikan agama dengan mendirikan
lembaga-lembaga dan sekolah untuk menghafal Al-Quran
6)
Menyosialisasikan budaya Islam, menjaga peninggalan Islam melahirkan kebudayaan
baru Islam dan menumbuhkan kesadaran beragama[10]
4. Manajemen Wakaf
Di Bangladesh
Disamping negara termiskin, Bangladesh juga merupakan
negara terbelakang dengan jumlah penduduk yang besar, yaitu ”sekitar 120 juta
jiwa dengan luas daerah 55.000 mill persegi”. Selain itu, kondisi alam
seringkali kurang menguntungkan karena negara ini termasuk sering tertimpah
bencana banjir dengan angin topan. Peningkatan populasi Bangladesh juga cukup
padat, yaitu 717 orang per km persegi dan juga termasuk salah satu dari negara
yang mempunyai sumber daya alam yang sangat terbatas. Berbagai dimensi kemiskinan
ini antara lain tercermin dari penurunan pendapatan sektor pertanian,
ketidakmerataan distribusi pendapatan yang cenderung menguntungkan masyarakat
perkotaan, perbedaan gaji antara sektor formal dan informal, peningkatan
dramatis dalam biaya hidup, mencuatnya beberapa masalah penemuan kesehatan
masyarakat, pengangguran dan imigrasi internal.
Di Bangladesh wakaf telah dikelolah oleh ”Social
Investement Ltd. (SIBL) Bank ini telah mengembangkan pasar modal sosial
(the voluntary capital market). Instrumen-instrumen keuangan Islam yang
telah dikembangkan,antara lain: surat obligasi pembangunan perangkat wakaf,
sertifikat wakaf tunai, sertifikat wakaf keluarga, obligasi pembangunan
perangkat mesjid, saham komunitas mesjid, sertifikat pembayaran zakat, sertifikat
simpanan haji, dan lain-lain”. [11]
[1] . Abdul
Manan. Aneka Masalah Hukum Perdata Di Indonesia, hal 244
[2]
.Munzir Qahaf, Wanajmen Wakaf Produktif, terj, hal 50
[3] .
ibid .
[4]
.ibid., hlm .51-52
[5] . Ahmad Djunaidi, Thobieb Al-Asyhar, “Menuju Era Wakaf Produktif” (Jakarta:
Mumtaz Publishing, 2007), hlm. 27-44
[6] . Muhammad Abu Zahrah, “Muhadarat fi
al-Waqf”, (Mesir: Dar al-Fikr al-'Arabiy, 1971), hlm. 5.
[7] .
ibid.hlm 5
[8] . OpCit, Ahmad Djunaidi, Thobieb Al-Asyhar, “Menuju Era Wakaf Produktif” (Jakarta:
Mumtaz Publishing, 2007), hlm. 27-44
[9] . Ahmad Djunaidi, Op.cit, hlm.
27-44
[10] . Ahmad Djunaidi, Thobieb Al-Asyhar,
“Menuju Era Wakaf Produktif” (Jakarta:
Mumtaz Publishing, 2007), hlm. 27-44
[11] . Ahmad Djunaidi, Thobieb Al-Asyhar, “Menuju Era
Wakaf Produktif” (Jakarta: Mumtaz Publishing, 2007), hlm. 27-44
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mari kita membaca dengan hati plus mata