Oleh Chammim Thoha
Mengenai pemakaian hadis dha’if untuk masalah aqidah, para ulama sepakat tentang larangannya. Namun mereka berbeda pendapat tentang pemakaiannya dalam masalah yang lain. Dalam hal ini terdapat tiga pendapat:
a. Para ulama muhaqqiq berpendapat bahwa hadis dha’if tidak boleh diamalkan sama sekali, baik dalam masalah aqidah, hukum syar’i, targhib dan tarhib maupun dalam fadha’ilul amal (keutamaan amal). Menurut mereka apa yang dinyatakan Imam an-Nawawi rahimahullah tentang adanya kesepakatan ulama yang membolehkan memakai hadis dha’if untuk fadha’ilul amal ini merupakan satu kekeliruan yang nyata. Sebab, ada ulama yang tidak sepakat dan tidak setuju digunakannya hadis dha’if untuk masalah-masalah tersebut. Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah Syaikh Muhammad Jamaluddin al-Qasimi, Abu Bakar Ibnul Arabi, Imam al-Bukhari, Imam Muslim dan Imam Ibnu Hazm. Pendapat serupa adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Syeikh Muhammad Nashiruddin al-Albany.
b. Pendapat kebanyakan ahli fiqih yang membolehkan pengamalan hadis dha’if secara mutlak manakala tidak didapatkan hadis lain dalam permasalahan yang sama. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah, As-Syafi’i, Imam Malik dan Ahmad.
c. Sebagian ulama membolehkan untuk mengamalkan dan memakai hadis dha’if khusus dalam masalah targhib dan tarhib (motivasi dan ancaman) dan fadha’ilul amal, sedangkan untuk masalah aqidah dan hukum halal dan haram, mereka melarang pemakaiannya.
Ketiga pendapat diatas masing-masing memiliki argumen yang berbeda. Pendapat yang melarang pemakaian hadis dha’if karena syari’at haruslah berdasarkan dalil-dalil yang pasti. Sedangkan yang membolehkan secara mutlak karena mereka menilai bahwa hadis dha’if walau bagaimanapun tetaplah hadis yang memiliki kemungkinan bahwa itu berasal dari Nabi saw, dan selama tidak ada dasar lain yang meyelisihinya, maka hadis dha’if adalah lebih baik daripada pendapat ahli fiqih. Adapun alasan yang membolehkan pemakaian dengan syarat beralasan bahwa dalam masalah motivasi beramal shalih atau amcaman dari perbuatan buruk, maka pamakaian hadis dha’if tidak menjadi masalah, atau dengan kata lain, pemakaiannya tidak akan sampai merusak aqidah dan ajaran syari’ah yang ia amalkan, tetapi justru akan mendorong orang semakin giat dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan agama.
Wallahu A'lam....
Mengenai pemakaian hadis dha’if untuk masalah aqidah, para ulama sepakat tentang larangannya. Namun mereka berbeda pendapat tentang pemakaiannya dalam masalah yang lain. Dalam hal ini terdapat tiga pendapat:
a. Para ulama muhaqqiq berpendapat bahwa hadis dha’if tidak boleh diamalkan sama sekali, baik dalam masalah aqidah, hukum syar’i, targhib dan tarhib maupun dalam fadha’ilul amal (keutamaan amal). Menurut mereka apa yang dinyatakan Imam an-Nawawi rahimahullah tentang adanya kesepakatan ulama yang membolehkan memakai hadis dha’if untuk fadha’ilul amal ini merupakan satu kekeliruan yang nyata. Sebab, ada ulama yang tidak sepakat dan tidak setuju digunakannya hadis dha’if untuk masalah-masalah tersebut. Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah Syaikh Muhammad Jamaluddin al-Qasimi, Abu Bakar Ibnul Arabi, Imam al-Bukhari, Imam Muslim dan Imam Ibnu Hazm. Pendapat serupa adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Syeikh Muhammad Nashiruddin al-Albany.
b. Pendapat kebanyakan ahli fiqih yang membolehkan pengamalan hadis dha’if secara mutlak manakala tidak didapatkan hadis lain dalam permasalahan yang sama. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah, As-Syafi’i, Imam Malik dan Ahmad.
c. Sebagian ulama membolehkan untuk mengamalkan dan memakai hadis dha’if khusus dalam masalah targhib dan tarhib (motivasi dan ancaman) dan fadha’ilul amal, sedangkan untuk masalah aqidah dan hukum halal dan haram, mereka melarang pemakaiannya.
Ketiga pendapat diatas masing-masing memiliki argumen yang berbeda. Pendapat yang melarang pemakaian hadis dha’if karena syari’at haruslah berdasarkan dalil-dalil yang pasti. Sedangkan yang membolehkan secara mutlak karena mereka menilai bahwa hadis dha’if walau bagaimanapun tetaplah hadis yang memiliki kemungkinan bahwa itu berasal dari Nabi saw, dan selama tidak ada dasar lain yang meyelisihinya, maka hadis dha’if adalah lebih baik daripada pendapat ahli fiqih. Adapun alasan yang membolehkan pemakaian dengan syarat beralasan bahwa dalam masalah motivasi beramal shalih atau amcaman dari perbuatan buruk, maka pamakaian hadis dha’if tidak menjadi masalah, atau dengan kata lain, pemakaiannya tidak akan sampai merusak aqidah dan ajaran syari’ah yang ia amalkan, tetapi justru akan mendorong orang semakin giat dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan agama.
Wallahu A'lam....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mari kita membaca dengan hati plus mata