19 Jun 2013

Sejarah Terbentuknya Khalifah dalam Pemerintahan Islam; Sejarah Peradaban Islam

Pergantian pemerintah pada masa kepemimpinan Khulafa al-Rasyidin
    Sejarah mencatat, bahwa sepeninggal Nabi Muhammad, beliau digantikan oleh keempat orang sahabat terdekat, yakni Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali. Mereka kemudian dikenal dengan sebutan Khulafa’ al-Rasyidin, berarti para khalifah yang mendapatkan petunjuk dari Allah. Disebut demikian oleh karena, dibanding dengan rata-rata khalifah setelahnya, mereka masih tetap konsisten menjaga apa yang pernah dicontohkan oleh Nabi berupa akhlak dan petunjuk-petunjuk Allah khususnya dalam menjalankan kekhilafahannya.

    Sebagaimana diketahui bahwa Nabi Muhammad mempunyai peran ganda, disamping sebagai Nabi dan Rasul, beliau juga sebagai kepala negara saat itu. Setelah beliau wafat, maka peran beliau sebagai Nabi dan Rasul tidak digantikan untuk selamanya. Sebab, sesuai dengan keimanan Islam, beliau adalah Rasul terakhir, dan gelar kerasulan ini merupakan otoritas Tuhan. Namun, sebagai kepala negara dimana di dalamnya melekat baik tugas-tugas keagamaan maupun politik, perlu digantikan oleh sekrang pengganti yang dalam bahasa Arab disebut khalifah (sang pengganti).
    Berkenaan dengan soal siapa yang menggantikan kepemimpinannya, Nabi sendiri tidak menunjuk calon seseorang, atau menentukan kira-kiranya secara tegas. Demikian juga, karena dimasa itu perhatian penuh umat Islam kepada dakwah, maka masalah penggantian ini tidak dipikirkan secara khusus. Hal inilah yang kemudian melahirkan kontroversi di kalangan para sahabat sepeninggal Nabi. Yakni, tentang siapa yang mesti menjadi pengganti Nabi sebagai kepala negara, dan bagaimana proses pengangkatannya.

Pembentukan kekhilafahan dan sistemnya
    Dalam bukunya Islam dan Tata Negara (1993 : 21-28), Munawir Sjadzali memaparkan bahwa sebelum jenazah Nabi dimakamkan, telah muncul di kalangan masyarakat masalah sispa yang akan menggantikan beliau sebagai pemimpin negara atau biasa disebut khalifah (pengganti Nabi). Kasak-kusuk itu kemudian memaksa kaum Anshar lebih awal memprakarsai suatu pertemuan di balai pertemuan Bani Sa’idah, Madinah. Pertemuan itu, secara spontan diadakan, dan pertama muncul wacana pengangkatan salah seorang sahabat Anshar yang bernama Saad bin Ubadah sebagai khalifah. Mendengar hal tersebut, segeralah Umar mendatangi kediaman Nabi untuk meminta Abu Bakar yang masih berada di dalam rumah duka itu, untuk diajak ikut dalam pertemuan di balai. Semula Abu Bakar menolak anakan tersebut, tetapi setelah mendapatkan penjelasan tentang keadaan yang membutuhkannya terlibat, maka iapun akhirnya menerima untuk hadir. Di tengah-tengah perjalanan Umar dan Abu Bakar bertemu dengan salah seorang Muhajirin, Abu Ubaidah bin Jarah, lalu ia turut bergabung.
    Sesampainya di balai, telah terjadi perdebatan sengit antara kaum Anshar dan kaum Muhajirin. Hampir tidak dapat menguasai diri, Umar ingin angkat bicara, tetapi Abu Bakar mencegahnya, lalu Abu Bakar dengan nada tenang mulai berbicara. Beliau memberikan pertimbangan tentang bagaimana kriteria pengganti Nabi, lalu mengajukan dua tokoh quraisy, Umar bin Khattab dan Ubaidah bin Jarrah, untuk dipilih salah satunya. Orang-orang Anshra sangat terkesan dengan penjelasan Abu Bakar dan tampak berharap kepadanya, namun segera Umar berdiri dan mengajukan Abu Bakar sebagai pengganti Nabi. Sebab, menurutnya Abu Bakar orang kepercayaan Nabi. Jika beliau uzur menjadi imam shalat, maka Abu Bakarlah yang diminta untuk menggantikannya. Atas dasar itu, hadirin tidak keberatan untuk menerima Abu Bakar sebagai khalifah. Umar segera membaiat Abu Bakar dan menyatakan kesetiannya, kemudian diikuti oleh Abu Ubaidah, serta para sahabat-sahabat. Dimulai dari sahabat Anshar kemudian sahabat Muhajirin. Setelah itu acara pembaiatan secara umum dilakukan di Masjid Nabawi.
    Meskipun keempat khulafa’ al-Rasyidin ini mempunyai gaya dan watak yang berbeda-beda, tetapi semangat dan corak kepemimpinannya tetap konsisten mendasarkan apa yang pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad. Dalam hubungan dengan sistem pemerintahan, mereka sama-sama mendasarkan diri pada prinsip-prinsip Islam sebagai berikut.
    Pertama, prinsip musyawarah. Di dalam mengambil keputusan-keputusan penting menyangkut kepentingan publik, mereka mengadakan musyawarah dengan para tokoh sahabat yang lain. Misalnya, dalam measalah kemasyarakat, sengketa, dan pengadilan terhadap pelanggaran hukum, para khalifah dalam kapasitasnya sebagai hakim, selalu meminta pendapat dan nasehat sahabat-sahabat senior, baik secara perseorangan maupun secara bersama tanpa dilembagakan. Sebagai contoh, semasa Abu Bakar penasehat terdekatnya adalah Umar, Usman, Ali dan sahabat-sahabat senior lainnya.
    Kedua, jabatan khalifah adalah amanah dari Allah, karenanya khalifah dan pemerintahan hendaklah bersifat terbuka dan tidak bersifat absolut. Terbuka dalam arti bahwa khalifah boleh dikritik oleh rakyat atas kebijakan-kebijakan yang dilakukan. Sedang bersifat tidak absolut dalam arti bahwa pemerintahan yang dipimpinnya tidak dapat berlaku semena-mena terhadap rakyat, ia harus mengayominya. Berkenaan dengan khalifah yang terbuka disini dicontohkan oleh Umar bin Khattab. Setelah dibaiat, beliau berpidato yang antara lain meminta kepada rakyat untuk mengingatkannya manakala dalam perjalanan karirnya menyimpang. Secara spontan salah seorang berdiri mengatakan ”demi Allah, jika anda membengkok, maka kami tidak segan-segan mengingatkan dengan pedang-pedang kami”. Hal serupa juga dilakukan oleh khalifah Abu Bakar. Dalam pidatonya ia mengatakan bahwa dirinya bukanlah orang yang terbaik di antara yang lain, karenanya manakala rakyat mendapatkannya salah, ia meminta untuk diperingatkan.
    Ketiga, prinsip baiat. Baiat adalah pernyataan akan adanya pengakuan dan janji setia dari rakyat untuk mengikuti khalifah erpilih. Baiat dilakukan setelah adanya semacam transaksi sosial (aqd) antara pihak khalifah dan pihak rakyat. Khalifah berjanji akan menegakkan apa yang datang dari Allah dan Rasulnya, serta akan mensejahterakan rakyat. Demikian pula pihak rakyat akan mendukung dan setiap terhadap khalifah, selama khalifah berada jalur yang benar.
    Keempat, teknik pemilihan antara khalifah satu dengan yang lain memang tidak ada yang sama. Abu Bakar terpilih dengan cara musyawarah terbuka. Umar bin Khattab dipilih melalui wasiat atau tunjukan oleh pendahulunya yang sebelumnya dikonsultasikan kepada sebagian sahabat senior. Usman bin Affan dipilih melalui pemilihan dalam satu pertemuan terbuka oleh dewan formatur. Dan Ali bin Abi Thalib diangkat melalui pemilihan dan pertemuan terbuka, tetapi dalam suasana kacau di masa sebagian sahabat tidak mengakuinya. Namun demikian, terdapat unsur kesamaannya, yaitu sistem pemilihannya tidaklah dengan penunjukkan langsung kepada putera mahkota sebagaimana cara seperti ini biasa dipergunakan dalam sistem monarkhi absolut di Romawi, Persia, maupun di kerajaan-kerajaan Islam setelah Khulafa’ al Rasyidin sejak Muawiyah menjadi khalifah pertama di Bani Umayyah pada 661 M.
a.    Abu Bakar dan Umar (11-13 H / 632 – 634 M)
    Wajar jika pada masa kepemimpinan Abu Bakar yang hanya dua tahun itu banyak mengalami hambatan dan tantangan seperti muncul nabi palsu, gerakan kaum nunafik dan murtad, dan oposisi kelompok penentang zakat. Hal ini disebabkan oleh munculnya kembali fanatisme kesukuan masyarakat Arabia, belum kuatnya dasar-dasar keagamaan yang dimiliki oleh sebagian masyarakat yang jauh dari kota Madinah, dan lahirnya kembali lawan-lawan politik Islam yang dahulu di masa Nabi Muhammad belum sepenuhnya mengakui pemerintahan Madinah.
    Abu Bakar meyakini bahwa tantangan ini sangatlah serius akibatnya bagi kesinambungan dakwah Islam, manakala tidak segera diselesaikan. Oleh karena itu, pada tahun pertama kepemimpinannya, beliau memfokuskan program-programnya kepada upaya penyelesaian masalah ini. Beliau kemudian ditahun kedua beliau meneruskan ekapansi wilayah di luar semenanjung Arabia sebagaimana yang pernah dirintis oleh Nabi Muhammad dan belum mencapai tujuannya. Dengan kata lain, sebelum menangani urusan penting luar negeri, Abu Bakar menyelesaikan terlebih dahulu masalah-masalah penting dalam negeri.
    Kontribusi Abu Bakar yang paling menonjol bagi peletakan dasar-dasar keseinambungan peradaban islam adalah dua hal. Pertama, mengembalikan kebulatan keyakinan terhadap ajaran Islam, mengintegrasikan masyarakat dan politik islam yang berpusat di Madinah sebagaimana dahulu politik islam yang berpusat di Madinah sebagaimana dahulu pernah diletakkan oleh Nabi. Kembalinya kaum muslimin kepada ajaran Islam, dan pengakuan atas pemerintahan islam yang berpusat di Madinah, merupakan dasar yang kokoh bagi pengembangan cita-cita dakwah dan politik Islam. Kedua, Abu Bakar mengirim kekuatan ke luar Arabia. Khalid bin Walid memimpin delegasi ke Iraq dan dapat menguaai daerah Hirah pada 634 M. sementara untuk Syria dikirim pasukan dibawah pimpinan Abu Ubaidah, Amr bin ‘Ash, Yazid bin Abi Sufyan, dan Syurahbil. Sebelumnya pasukan dipimpin oleh Usamah yang masih berusia 18 tahun. Untuk memperkuat pasukan ini, Khalid bin Walid yang semula dikirim ke Irak, diperintahkan menuju ke Syria melalui gurun pasir yang amat sulit, dan akhirnya semua itu dapat dicapai. Inilah kontribusi kedua Abu Bakar untuk meneruskan cita-cita Nabi dalam pengembangan wilayah dakwah islam.

b.    Umar bin Khattab (13-24 H / 634 – 644 M)
    Pada prinsipnya program-program yang dijalankan oleh khalifah Umar bin Khattab adalah meneruskan upaya awal yang pernah dirintis oleh pendahulunya, Abu Bakar, khususnya program pengiriman pasukan untuk ekspansi wilayah di luar Arabia. Ekspansi pertama dilancarkan ke ibukota Syria, Dmaskus, Ardan dan Hins yang berhasil dikuasai hingga pada 635 M. Setahun kemudian, setelah tentara Bizantine kalah dalam pertempuran Yarmuk, seluruh daerah Syria dapat dikuasai oleh pemerintahan islam. Melalui syria ini penguasaan Mesir dilakukan dengan pimpinan Amru bin ’Ash,

c.    Usman bin Affan (24-36 H / 644 – 656 M)
    Masa kepemimpinan Usman bin Affan tergolong lama manakala dibandingkan dengan khalifah-khalifah yang lain, tepatnya dua belas tahun. Para ahli sejarah mencatat, bahwa enam tahun yang awal kepemimpinannya efektif dan cukup berhasil. Namun, pada enam tahun berikutnya kepemimpinannya tidak lagi efektif, bahkan mengalami degradesi hingga pada akhirnya melahirkan suatu pemberontakan yang menyebabkan ia wafat.
    Keberhasilan dibuktikan, ia masih mampu meneruskan kegiatan ekspansi wilayah hingga berhasil ditaklukkan, yaitu Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhades, Transoxania, Tabaristan, serta sebagian wilayah yang tersisa dari Persia. Namun, ekspansi wilayah islam yang pertama berhenti disini. Disamping itu, ia berhasil membangun bendungan untuk menjaga arus banjir yang besar dan mengatur pembagian suplai air ke kota-kota. Ia juga membangun jalan-jalan, jembatan-jembatan, masjid-masjid, termasuk memperluas masjid Nabawi di Madinah. Tidak dilupakan, ia memprakarsai pengumpulan dan penulisan mushaf al-Qur’an yang dianggap paling sempurna sehingga sampai hari ini menjadi standar tulisan al-Qur’an yang biasa disebut Mushaf Usmani.
   
d.    Ali bin Abi Thalib (36 – 41 H / 656 – 661)
    Ali bin Abi Thalib memimpin selama enam tahun. Selama itu pula kepemimpinannya dihadapkan kepada berbagai pergolakan yang akhirnya menimbulkan apa yang disebut oleh sejarah dengan al-fitnah al-kubra(huru-hara yang dahsyat). Setelah diangkat menjadi khalifah, ia memecat para gubernur yang pernah diangkat oleh Usman, kecuali Muawiyah bin Abi Sufyan gubernur di Syria. Belia yakin bahwa berbagai pemberontakan muncul karena keteledoran para gubernur. Tanah-tanah yang dihadiahkan oleh Usman kepada penduduk ia tarik dengan cara menyerahkan hasilnya kepada negara, dan menerapkan kembali kewajiban pajak bagi kaum muslimin sebagaimana pernah diterapkan Umar yang kemudian tidak berlaku.
    Memegang persaingan laten terus berjalan antara Bani Hasyim yang melibatkan Ali di dalamnya, dengan Bani Umawiyah dimana Usman berada di dalamnya. Ternyata latar belakang semacam ini dimanfaatkan oleh Thalhah, Zubair dan Aisyah untuk mengadakan pemberontakan dengan alasan bahwa khalifah Ali tidak mau menghukum para pembunuh Usman, dan mereka menuntut bela atas kematian Usman. Sebenarnya Ali ingin menghindari perang, ia mengajak berunding kepada Thalhah maupun Zubair, namun ajakan itu mereka tolak. Akhirnya pecahlah perang yang terkenal dengan sebutan Perang Jamal, dimana Aisyah berada di atas unta (jamal). Peperangan akhir dimenangkan oleh pihak Ali, sementara Thalhah dan Zubair terbunuh, sedangkan Aisyah tertawan lalu dikembalikan ke Madinah.






    Nabi Muhammad saw tidak menunjuk siapa yang akan menggantikan sepeninggalnya dalam memimpin umat yang baru terbentuk. Memang wafatnya beliau mengejutkan, tetapi sesungguhnya dalam sakitnya yang terakhir ketika beliau mengalami gangguan kesehatan sekurang-kurangnya selama tiga bulan, Muhammad telah merasakan bahwa ajalnya akan segera tiba.
    Masalah suksesi mengakibatkan suasana politik umat Islam menjadi sangat tegang. Padahal semasa hidupnya, Nabi bersusah payah dan berhasil membina persaudaran sejati yang kokoh di antara sesama pengikutnya, yaitu antara kaum Muhajirin dan Anshar. Dilambatkannya pemakaman jenazah beliau menggambarkan betapa gawatnya krisis suksesi itu. Ada tiga golongan yang bersaing keras dalam perebutan kepemimpinan ini; Anshar, Muhajirin dan keluarga Hasyim.
    Situasi itu demikian kritis, pedang hampir saja terhunus dari sarungnya. Masing-masing golongan merasa paling berhak menjadi penerus Nabi. Namun berkat tindakan tegas dari tiga orang, yaitu Abu Bakar, Umar Ibn Khattab dan Abu Ubaidah ibn jarrah yang dengan semacam kup (coup d’etat) terhadap kelompok, memaksa Abu Bakar sendiri sebagai deputy Nabi. Besar kemungkinan, tanpa intervensi mereka persatuan umat yang menjadi modal utama bagi hari depan komunitas muslim yang masih muda itu berada dalam tanda tanya besar. Dengan semangat ukhuwah islamiyah terpilihlah Abu Bakar. Dia adalah orang Quraisy yang merupakan pilihan ideal, karena sejak mula pertama menjadi pendamping Nabi, dialah sahabat yang paling memahami risalah Muhammad.
    Sebagai pemimpin umat Islam setelah Nabi, Abu Bakar bergelar khalifah rasulillah atau khalifah saja (secara harfiah artinya; orang yang mengikuti, pengganti kedudukan rasul). Meskipun dalam hal ini perlu dijelaskan bahwa kedudukan Nabi sesungguhnya tidak akan pernah tergantikan, karena tidak ada seorang pun yang menerima ajaran Tuhan sesudah Muhammad. Sebagai saluran wahyu-wahyu yang diturunkan dan sebagai utusan Tuhan tidak dapat diambil alih seseorang. Menggantikan rasul (khalifah) hanyalah berarti memiliki kekuasaan yang diperlukan untuk meneruskan perjuangan Nabi.


Abu Bakar as-Siddiq (11-13 H / 632 – 634 M)
    Namanya ialah Abdullah bin Abi Quhafat at-Tamimi. Di zaman pra islam bernama Abdul Ka’bah, kemudian diganti oleh Nabi menjadi Abdullah. Ia termasuk salah seorang sahabat yang utama. Julukannya ialah Abu Bakar (Bapak Pemagi) karena dari pagi-pagi  betul (orang yang paling awal) memeluk Islam. Gelarnya as-Siddiq diperolehnya karena ia dengan segera membenarkan Nabi dalam berbagai peristiwa, terutama Isra’ dan Mi’raj. Nabi seringkali menunjuknya untuk mendampinginya di saat-saat penting atau jika berhalangan, Rasul mempercayainya sebagai pengganti untuk menangani tugas-tugas keagamaan dan atau mengurusi persoalan-persoalan aktual di Madinah. Pilihan umat terhadap tokoh ini sangatlah tepat.
    Pidato inaugurasi yang diucapkan sehari setelah pengangkatannya, menegaskan totalitas kepribadian dan komitmen Abu Bakar terhadap nilai-nilai islam dan strategi meraih keberhasilan tertinggi bagi umat sepeninggal Nabi. Inilah sebagian kutipan khutbah Abu Bakar yang terkenal itu :
    “Wahai manusia ! Aku telah diangkat untuk mengendalikan urusanmu, padahal aku bukanlah orang yang terbaik diantaramu. Maka jikalau aku dapat menunaikan tugasku dengan baik, bantulah )ikutlah) aku, tetapi jika aku berlaku salah, maka luruskanlah ! Orang yang kamu anggap kuat, aku pandang lemah sampai aku dapat mengambil hak daripadanya. Sedangkan orang yang kamu lihat lemah, aku pandang kuat sampai aku dapat mengembalikan haknya kepadanya. Maka hendaklah kamu taat kepadaku selama aku taat kepada Allah dan Rasulnya, kamu tidaklah mentaatiku”








Abu Bakar (11-13 H / 632 – 634 M)
    Nabi Muhammad SAW meninggal dunia pada tahun 632M setelah sebagian besar Arabia masuk islam. Wafatnya nabi Muhammad menghadapkan masyarakat muslim yang masih bayi itu pada sesuatu yang berwujud krisis konstitusional. Nabi Muhammad tidak menunjuk penggantinya, bahkan tidak pula membentuk suatu dewan menurut garis-garis majelis suku yang mungkin bisa melaksanakan kekuasaan selama masa peralihan yang sangat gaway itu. Segera setelah wafatnya Nabi, tiga golongan yang bersaing – Anshar, Muhajirin, dan Bani Hasyim – terlibat di dalam permasalahan kekhalifahan (khilafah).

Persaingan di dalam pemilihan
Kaum Anshar menuntut bahwa mereka adalah orang-orang yang memberi tempat kepada nabi pada saat-saat krisis. Oleh karena itu, seorang penerus Nabi harus dipilih diantara mereka. Kaum muhajirin menuntut bahwa Abu Bakar adalah orang yang terbaik untuk menggantikan Nabi. Dengan mendasarkannya atas prinsip keabsahan, Bani Hasyim mengemukakan alasan bahwa Allah dan nabi Muhammad tidak akan menyerahkanmasyarakat Mukminin (orang beriman) kepada kesempatan dan keinginan yang sifatnya sesaat dari badan pemilih, dan karena itu pasti telah membuat ketetapan yang jelas bagi kepemimpinannya dengan menunjuk orang tertentu untuk mengganti Nabi Muhammad. Sayidina Ali, saudara sepupu Nabi dari pihak ayah, adalah orang yang direncanakan sebagai satu-satunya pengganti yang sah. Namun alasan Bani Hasyim itu sangat lemah. Pengertian penggantian menurut hukum itu tidak dikenal oleh orang-orang Arab pada waktu itu, dan tidak mustahil bahkan seandainya Nabi Muhammad meninggalkan seorang anak laki-laki pun urutan kejadian tidak akan berbeda.
Situasi itu sangat suram. Pada saat Nabi Muhammad wafat, Madinah penuh dengan orang-orang munafik yang berlagak suci yang hanya menunggu-nunggu wafatnya sang pendiri Islam untuk memberikan pukulan yang mematikan terhadap agama itu. Sementara itu, kaum Anshar berkumpul di Saqifa bani Sya’adah untuk membicarakan dan menyelesaikan masalah kekhalifahan itu.
Tampaklah bahwa baik golongan muhajirin maupun Anshar berada di tepi jurang perselisihan di antara mereka. Abu Bakar berdiri dan merinci kembali jasa-jasa kaum anshar bagi tujuan Islam. Akan tetapi, pada waktu itu pula dia menekankan kenyataan bahwa Allah Yang Maha Kuasa telah menganugerahkan keistimewaan kepada kaum Muhajirin zaman permulaan Islam karena mereka mengakui Muhammad sebagai Nabi, menerima agamanya, tetap bersama beliau dan sama-sama menderita kesusahan meskipun semua kaumnya menuduh mereka berbohong dan menjadi musuh bebuyutan mereka. Dan, tekad orang-orang ini tidak guncang oleh kecilnya jumlah mereka maupun oleh besarnya musuh mereka.

Pencapaian Abu Bakar
    Setelah menjadi khalifah, yang pertama-tama menjadi perhatian Abu Bakar adalah melaksanakan keinginan Nabi yang hampir tidak bisa terlaksana, yaitu mengirimkan suatu ekspedisi di bawah pimpinan Usamah ke perbatasan Siria untuk membalas pembunuhan ayah Usamah, yaitu Zaid, dan kerugian yang diderita oleh umat Islam di dalam perang Mut’ah. Akan tetapi keadaan di dalam negara Islam itu memburuk. Kabar tentang wafatnya Nabi merupakan isyarat bagi beberapa suku Arab untuk melepaskan kesetiaan mereka dari negara-kota Madinah. Oleh karena itu, anggota-anggota Majelis sura berpendapat bahwa keberangkatan Usamah akan membuat kota itu kurang pertahanan, dan banyak yang setuju untuk menunda ekspedisi itu. Akan tetapi, Abu Bakar, orang yang bersikap keras, menolak usul mereka. Ekspedisi itu ada pengaruhnya.keberanian Abu Bakar untuk melanjutkan pengiriman ekspedisi meyakinkan orang-orang Badui akan keadaan kekuatannya di dalam negeri.

Memerangi Kemurtadan
Kepribadian Nabi Muhammad yang dinamis menyebabkan seluruh bangsa Arab bersatu. Di samping itu, banyak suku Arab yang menganggap bahwa persetujuan pribadi yang berakhir dengan wafatnya Nabi. Segera setelah kabar tentang wafatnya Nabi sampai ke luar negeri, unsur-unsur yang tidak mau menurut mulai bangkit. Sejumlah suku mulai melepaskan diri dari kekuasaan Madinah dan menolak memberikan penghormatan kepada Khalifah yang baru, atau menolak perintahnya. Sebagian di antara mereka bahkan menolak Islam. Hal itu merupakan keadaan yang gawat. Islam tidak pernah merasuk ke dalam hati suku-suku Badui. Bertambahnya orang-orang yang masuk Islam setelah takluknya Mekkah begitu cepat sehingga Nabi tidak mampu berbuat banyak untuk mengajari orang-orang yang baru masuk Islam itu tentang prinsip-prinsip dan ajaran Islam.

Munculnya Nabi-nabi Palsu
Orang pertama yang menganggap dirinya memegang peran kenabian muncul di Yaman. Dia adalah Aswad Ansi. Pada tahun 10 H dia menaklukkan Najran, merebut ibu kota Yaman, Sanda, dan menaklukkan seluruh wilayah Yaman. Akan tetapi, dia dibunuh oleh seorang saudara Gubernur Yaman yang dibunuh oleh Aswad meskipun api pemberontakan tetap berkobar setelah kematian nabi palsu itu. Orang berikutnya yang menganggap dirinya nabi adalah Musailamah si Pembohong, yang terdorong oleh keberhasilan Aswad Ansi, mengumumkan bahwa Nabi Muhammad telah mengangkatnya sebagai mitra (partner) di dalam kenabian. Dia telah menghimpun sejumlah suku Arab dan membuktikan bahwa dia merupakan musuh Islam yang paling tangguh.
Nabi-nabi palsu ini mulai melancarkan serangan ke kota Madinah ketika Abu Bakar sedang bersiap-siap untuk mengirimkan Usamah ke perbatasan Siria. Dengan demikian, Abu Bakar berada di tengah-tengah bahaya, baik dari dalam maupun luar negeri.

Wafatnya Abu Bakar
    Abu Bakar jatuh sakit dalam musim panas tahun 634 M, dan selama 15 hari dia berbaring di tempat tidur. Khalifah ingin sekali menyelesaikan masalah penggantian dan mencalonkan seorang pengganti, kalu-kalau hal itu akan melibatkan rakyatnya ke dalam suatu perang saudara. Meskipun dari pengalamannya Abu Bakar benar-benar yakin bahwa tidak ada seorangpun kecuali Umar bin Khatab yang dapat mengambil tanggung jawab kekhalifahan yang berat itu, karena masih ingin menggembleng pendapat umum, dia bermusyawarah dengan para sahabat yang terpandang. Thabari menulis bahwa Abu Bakar naik ke atas balkon rumahnya dan berbicara kepada orang banyak yang berkerumun di bawah: ”Apakah kalian akan menerima orang yang saya calonkan sebagai pengganti saya?” kata Khalifah. ”Saya bersumpah bahwa saya melakukan yang terbaik dalam menentukan hal ini, dan saya telah memilih Umar bin Khatab sebagai pengganti saya. Dengarkanlah saya, dan ikutilah keinginan-keinginan saya.” Mereka semua berkata serampak, ”Kami telah mendengar Anda dan kami akan menaati Anda”.
    Kemudian dia memanggil Usman dan mendiktekan teks perintah yang menunjuk Umar sebagai penggantinya. Dia meninggal dunia pada hari Senin tanggal 23 Agustus 624 M. Shalat jenazah dipimpin oleh Umar, dan dia dikuburkan di rumah Aisyah disamping makam Nabi. Dia berusia 63 tahun ketika meninggal dunia, dan kekhalifahannya berlangsung selama 2 tahun 3 bulan 11 hari.

Umar bin Khattab (13-15 H / 634-644 M)
    Jika Abu Bakar mengonsolidasikan islam dan menyelamatkan dari kehancuran, Umar menjamin pengembangannya. Dia adalah seorang besar, orang yang mempunyai kekuasaan besar, mempunyai keinginan yang kuat, mempunyai rasa keadilan yang keras, mempunyai kesetiaan yang kukuh, dan seorang yang mempunyai bakat yang luar biasa untuk menjalankan pemerintahan.

Penaklukan Siria
    Pengepungan Damaskus, salah satu pusat Siria yang paling penting, sudah dimulai sejak zaman Abu Bakar, tetapi kota itu dapat direbut dalam masa pemerintahan Umar. Khalid bin Walid mencurahkan perhatian yang lebih dari biasa terhadap pengepungan kota itu. Hebatnya pengepungan itu memperkecil harapan orang-orang Kristen. Namun, mereka merasa agak lega karena Heraclius siap membantu mereka, dan bala bantuan itu diberangkatkan dari Hims dan sedang berada dalam perjalanan. Akan tetapi, bala bantuan itu terhalang di tengah jalan dan tidak pernah sampai ke tujuan. Keputusasaan sekarang menimpa penduduk Damaskus. Sementara itu, seorang anak Gubernur sekarang Damaskus dilahirkan.
    Setelah penaklukan Damaskus, umat islam mengalihkan perhatiannya ke arah Yordania, tempat bangsa Romawi mulai menghimpun kekuatan yang dikirim oleh Heraclius untuk membebaskan Damaskus. Demikianlah suatu kesatuan tentara berkekuatan kira-kira 40.000 dibentuk, dipimpin oleh Siklar, seorang jenderal Romawi. Suatu pertempuran sengit berkobar di Fihil, sebuah kota di sebelah timur Yordania. Bangsa Romawi kalah dan melarikan diri dengan kacau balau. Setelah pertempuran ini kota-kota dan benteng-benteng lainnya di provinsi Yordania dengan mudah ditundukkan, dan di dalam syarat-syarat perdamaiannya ditetapkan bahwa mereka yang hidup, barang-barang dan harta kekayaan, tanah dan rumah-rumah, gereja-gereja, kuil-kuil orang-orang yang ditaklukkan akan dilindungi.
    Setelah jatuhnya Damaskus dan Yordania, tinggal tiga kota penting lainnya akan ditaklukkan, yang berarti penaklukan seluruh Siria. Ketiga kota ini ialah Yerusalem, Hims (Amasi), dan Antiokia.

Pemberhentian Khalid bin Walid
    Pada tahap inilah Khalifah Umar bin Khattab mengangkat Abu Ubaidah sebagai panglima tertinggi dan memberhentikan Khalida bin Walid. Penurunan Khalid merupakan peristiwa yang penting dalam perjalanan peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan penaklukan Siria. Perbuatan tertentu Khalid yang berlebihan telah mengecewakan Umar. Dia juga sangat tidak puas dengan kekerasan Khalid terhadap beberapa musuh. Suatu ketika Khalid memberikan derma 10.000 dirham kepada seorang penyair. Umar menganggap serius hal ini, tetapi, Khalid menyatakan bahwa sumbangan itu dari kantungnya sendiri. Umar tidak puas dengan penjelasan ini. Demikianlah dia menulis kepada emua gubernur provinsi untuk memberitahukan kepada mereka bahwa dia tidak memecat Khalid karena dia merasa terganggu olehnya atau karena dia menganggapnya bersalah melanggar kepercayaan.

Penyerangan Yerusalem
    Setelah Perang Yarmuk, Abu Ubaidah, panglima tertinggi yang baru, bersama wakilnya, Khalid yang gemilang, berangkat dan menyerang Yerusalem, kota suci orang Kristen. Abu Ubaidah memimpin serangan pada suatu sisi, dan Khalid menyerang dari sisi yang lain. Khalid memperoleh kemenangan. Sementara itu, pendeta tinggi kristen menyerah kepada Abu Ubaidah. Pendeta tinggi itu meminta damai dengan syarat bahwa Khalifah Umar harus datang sendiri ke kota suci untuk menyelesaikan syarat-syarat penyerahan. Khalifah Umar memutuskan untuk datang dan memberikan putusan secara langsung. Tujuan Umar ke Yerusalem tidak hanya untuk menerima penyerahan kota suci itu, tetapi juga untuk mendirikan seluruh pemerintahan negeri itu atas dasar yang kuat, untuk memperbaiki perjanjian-perjanjian dan untuk mengatur pajak-pajak. Syarat-syarat penyelesaian itu juga mengagumkan. Umar menetapkan bahwa setengah bagian yang ditaklukkan oleh tentara islam harus menjadi wilayah muslim, dan setengah bagian yang diserahkan oleh pendeta tinggi akan tetap di dalam kekuasaan kristen meskipun gubernur muslim untuk kota itu memegang kekuasaan diatasnya. Setiap orang merasa puas dengan persetujuan ini.

Penaklukan Irak dan Persia
    Sebagai hasil peperangan pertama antara orang-orang islam dan orang-orang Persia di dalam pertempuran Hafir selama kekhalifahan Abu Bakar, Hira dan kerajaan-kerajaan tetangga lainya telah jatuh ke tangan kaum muslimin. Khalid akan menyempurnakan penaklukan Irak, tetapi masalah-masalah di Siria memaksa Abu Bakar mengeluarkan perintah kepada Khalid untuk segera datang ke Siria. Ketika berangkat ke siria, khalid menyerahkan tanggung jawab atas front Irak kepada Mutsana, ketua suku Badui. Tidak adanya Khalid segera dimanfaatkan oleh orang-orang Persia yang dengan persiapan matang menyerbu pasukan Mutsana dan hampir memusnahkan mereka di dalam pertempuran Jembatan pada tanggal 26 November 634 M. Ketika jumlah korban dihitung, diketahuilah bahwa dari pasukan yang terdiri atas 9.000 orang, hanya 3.000 orang yang masih hidup.

Penaklukan Mesir
    Amar bin As terutama bertanggung jawab atas penaklukan Mesir. Sebelum menjadi pengikut Islam Amar telah berulang kali melakukan ekspedisi dagang ke Mesir, dan dia mengetahui benar jalan-jalan kesana. Ketika Umar sedang melakukan perjalanan ke Yerusalem, Amar melayaninya dan menceritakan tentang Mesir kepadanya. Mula-mula khalifah Umar merasa enggan karena pertimbangan kebijaksanaannya, tetapi gambaran-gambaran Amar yang diulang-ulangnya membuat dia memberi izin untuk penyerbuan ke Mesir, dan 4.000 tentara diserahkan kepada Amar. Akan tetapi, hal itu merupakan izin bersyarat ’Berangkatlah, dan mudah-mudahan keberhasilan bersama Anda, tetapi seandainya anda memperoleh sepucuk surat dari saya sebelum sampai ke Mesir, kembalilah”. Sekembalinya ke Madinah, Umar berkonsultasi dengan Usman dan sahabat-sahabat lainnya yang menunjukkan risiko-risiko dan bahaya-bahaya yang terlibat di dalamnya. Khalifah Umar mengirimkan seorang utusan untuk menghentikan gerak maju pasukan itu. Namun, Amar tidak membuka surat itu, yang diterimanya tepat pada saat dia mencapai perbatasan Mesir (Desember 639 M). Amar memperoleh kemenangan sejak permulaan.

Pemerintah Umar
    Peranan Umar di dalam sejarah islam masa permulaan merupakan yang paling menonjol karena  perluasan dilayahnya. Setelah penaklukan Irak, Iran, Siria, Palestina, dan Mesir di dalam waktu yang singkat, yaitu selama sepuluh tahun kekhalifahannya, negara Islam yang masih bayi itu berubah menjadi suatu kekaisaran yang besar dan kekuatan yang paling besar di dunia pada waktu itu.
    Akan tetapi, kekhalifahan Umar tidak kurang pula mencoloknya dalam pembaruan-pembaruan pemerintahannya. Untuk itu dia dianggap sebagai pendiri yang sebenarnya dari pemerintahan Islam. ”Selama 30 tahun berdirinya republik itu”, kata Amir Ali ”Kebijaksanaannya memperoleh cirinya terutama dari Umar, baik selama masa hidupnya maupun setelah wafatnya.

Nasionalisme Arab
    Pemerintahan Umar dibimbing dengan pandangan ke depan, ketenggangan dan kesejahteraan tertinggi bagi setiap kelompok di negara itu. Titik tolak kebijakan ini ialah mengonsolidasikan bangsa Arab dan melebur suku-suku Arab ke dalam suatu bangsa. Jazirah Arabia harus dipertahankan sebagai benteng Islam yang bebas dari semua pengaruh jahat. Hal ini harus meniadakan semua unsur yang memusuhi dan persekongkolan dari Arabia, tempat lahirnya islam, dan mempertahankannya semata-mata bagi orang-orang Sarasen (orang-orang islam bangsa Arab). Dengan tujuan ini, orang-orang Yahudi harus meninggalkan Arabia.

Wafatnya Khalifah Umar
    Wafatnya Umar sangat tragis. Suatu hari seorang budah bangsa Persia yang bernama Feroz datang kepada Umar dengan pengaduan bahwa majikannya telah membebankan atasnya pajak yang sangat berat. Umar berjanji untuk memeriksa masalah itu. Hari berikutnya, ketika orang-orang berkumpul di masjid Madinah untuk shalat, Feroz menyelinap masuk dan berkumpul dengan mereka. Baru saja Umar mulai melakukan shalat, Feroz tiba-tiba menyerang dari belakang dan menusuk Umar. Umar meninggal dunia tiga hari kemudian dan dimakamkan pada hari Sabtu tanggal 1 Muharram tahun 23 H atau 644 M. Kekhalifahannya berlangsung selama 10 tahun 6 bulan dan 4 hari.

Usman (24-36 H / 644-656 M)
    Usman bin Affan, khalifah islam ketiga yang saleh itu, dilahirkan pada tahun 573 M di dalam marga Umayah dari keluarga besar quraisy. Nabi sangat mengaguminya karena kesederhanaan, kesalehan, dan kedermawanannya, dan memberikan dua putrinya untuk dinikahi olehnya secara berurutan, yaitu setelah yang meninggal dunia. Ketika putrinya yang kedua meninggal, dia berkata bahwa seandainya dia mempunyai putri yang lain, pasti dia telah menikahkannya dengan Usman.
    Usman melaksanakan tugas-tugas dengan baik bagi tujuan islam. Dia menderita penganiayaan bersama Nabi di tangan orang-orang quraisy, dan dia menyertai emigran ke Abesinia bersama istrinya. Usamah adalah orang yang sangat kaya, dan dia menyerahkan kekayaan itu kepada Nabi untuk melayani islam. Di dalam pembangunan masjid dan sumur di Madinah dan untuk memenuhi biaya peperangan islam, Usman memberikan bantuan keuangan yang paling besar setelah Abu Bakar. Dia mengambil bagian yang sangat penting di dalam semua kegiatan Nabi, dan dengan demikian dia memperoleh kedudukan yang terhormat diantara para sahabat Nabi.
    Selama kekhalifahan Abu Bakar dan Umar, Usman merupakan salah seorang penasehat dan pembantu utama di dalam urusah negara.

Pemilihan Usman
    Di tempat tidurnya, Umar mengangkat suatu dewan yang terdiri atas Usman, Ali, Thalhah, Zubair, Abdurrahman bin Auf, dan Said bin Waqqas untuk memilih seorang khalifah diantara mereka sendiri apabila khalifah Umar meninggal. Thalhah sedang tidak berada di Madinah. Oleh karena itu, kelima calon ini harus memilih seorang pengganti khalifah yang meninggal itu. Tugas itu benar-benar sulit karena nama Ali dan Usman harus diperhatikan. Namun, pada waktu pemilihan dilakukan, Ali memilih Usman dan sebaliknya Usman memilih Ali. Sa’ad memilih anak saudaranya, yaitu Usman. Tentang Abdurrahman dan Zubair tidak diketahui siapa yang dipilih oleh mereka. Bagaimanapun, Usman memperoleh mayoritas suara dan terpilih sebagai khalifah. Umat Islam memberikan sumpah setia kepadanya, dan dengan demikian menyetujui pemilihan itu. Orang yang keenam dari badan pemilih itu, Thalhah, tiba di Madinah setelah pemilihan itu berakhir. Dia juga memberikan sumpah setia kepada khalifah Usman.

Penyusunan Kitab Suci al-Qur’an
    Suatu karya khalifah Usman yang penting ialah penyusunan kitabsuci al-Qur’an. Selama kekhalifahannya didapati bahwa terdapat berbagai bacaan dan versi kitab suci al-Qur’an di berbagai wilayah imperium. Usman memutuskan untuk menghilangkan perbedaan dan menghimpun versi yang benar dari kitab suci al-Qur’an. Maka dia menyusun suatu dewan yang diketuai olah Zaid bin Tsabit. Dewan ini menghimpun kitab suci yang autentik, dan salinan yang terdapat pada Hafsah, salah seorang istri Nabi, banyak memberikan pertolongan dalam perhimpunannya. Mereka membuat beberapa salinan dari kitab suci yang sudah disusun itu. Salinan-salinan ini dikirimkan ke berbagai wilayah imperium, dan sisanya dibakar sehingga keautentikan kitab suci al-Qur’an dapat dipelihara.
Tuntutan terhadap Usman
    Khalifah Usman mengalami masa makmur dan berhasil di dalam beberapa tahun pertama kekhalifahannya. Di bagian terakhir masa kekuasaannya timbul kerusuhan-kerusuhan di imperium itu, terutama di Mesir dan Irak. Orang-orang menuduhkan nepotisme dan favoritisme terhadap khalifah. Mereka berkata bahwa dia menguntungkan sanak saudaranya, Bani Umayyah, dengan jabatan-jabatan tinggi dan harta kekayaan. Mereka menuduh gubernur-gubernur Umayyah tidak efisien, suka menindas, dan menyalahgunakan harta baitul mal (perbendaharaan negara). Ketidaksetiaan, dan hasutan, dengan cepat menjalar ke seluruh imperium.

Penyebab fitnah dan pembunuhan terhadap Usman
    Banyak orang islam yang menjadi iri terhadap kekuasaan Bani Umayyah di dalam kekhalifahan Usman. Mereka melihat bahwa Bani Umayyah memperoleh kedudukan yang tinggi di dalam negara dan mereka makmur dengan kekayaan dan hak-hak istimewa. Mereka tidak beranggapan baik kepada Bani Umayah. Bani Umayah merupakan orang-orang terakhir yang menerima islam, dan banyak dari mereka yang menerimanya berdasarkan keuntungan duniawi karena mereka mengetahui bahwa mereka akan kalah seandainya tetap setia kepada penyembahan berhala. Sebagian dari orang-orang Bani Umayah berperilaku sangat memalukan. Walid bin Uqbah, gubernur Kufah, muncul di masjid  dalam keadaan mabuk. Oleh karena itu, banyak muslim yang merasa jijik kepada mereka dan tidak menaruh simpati terhadap keluarga Umayyah.
    Kedua, di dalam kekhalifahan Usman, kaum Anshar dari Madinah merasa kedudukan dan pengaruh mereka menjadi hilang, mereka tidak memperoleh bagian yang menjadi hak mereka di dalam urusan-urusan imperium.

Ali (36-41 H / 656-661 M)
    Sebagai seorang anak laki-laki yang berusia 9 tahun, tetapi cerdas dan berani, Ali bin Abu Thalib, percaya keapda misi Nabi, dan dia merupakan anak muda pertama yang menerima Islam. Sejak masa bayinya dia dibesarkan oleh saudara sepupunya, Nabi Muhammad. Nabi mencintainya sebagai anak karena sifat-sifat yang mulia dan dia memberikan Fatimah, putrinya yang setia, menjadi istri Ali setahun setelah dia hijrah ke Madinah. Meskipun masih sangat muda, Ali selalu menemani Nabi di dalam menyiarkan misinya, dan telah menjadi pejuang yang terkemuka bagi Islam. Dia merupakan prajurit agung, dia berperang dan menjadi terkenal di dalam semua pertempuran yang dilakukan oleh umat Islam dalam melawan kaum kafir dan orang-orang Yahudi.

Pemilihan Khalifah
    Setelah pembunuhan khalifah Usman, kebingungan dan kekacauan terjadi di Madinah selama kira-kira lima hari. Pada waktu itu Abdullah bin Saba, pemimpin partai Mesir, mengusulkan bahwa Ali, sebagai pengganti Nabi yang sah, meneruskan kekhalifahan. Semua menyetujuinya. Ali mula-mula tidak mau menerima kekhalifahan itu pada saat dan keadaan seperti itu. Akan tetapi, mengingat, kepentingan-kepentingan islam, akhirnya dia setuju untuk menerima tanggung jawab kekhalifahan. Oleh karena itu, kepadanya dan dia dinyatakan sebagai khalifah islam.

Pemberontakan Thalhah dan Zubair
    Tidak lama setelah dinobatkan menjadi khalifah, Ali dituntut untuk menangani pemberontakan Thalhah dan Zubair.
    Thalhah merupakan salah seorang sahabat Nabi yang paling tua dan paling dihargai dan salah seorang kerabat khalifah Abu Bakar. Ibnu Zubair adalah bibi Nabi, dan saudara perempuannya, Umu Habibah, menikah dengan Nabi. Dia adalah kerabat Usman dan menantu Abu Bakar.

Perang Unta
    Khalifah Ali ingin sekali menghindari perang dan menyelesaikan masalahnya dengan Thalhah dan Zubair secara damai. Karena penyelesaian damai nampaknya semakin mustahil, dia berangkat untuk mengendalikan mereka dan bertemu dengan pasukan mereka di Koraiba. Khalifah Ali meneruskan perundingan untuk menyelesaikan secara damai, tetapi banyak orang yang berkepentingan tidak menyukainya. Kepentingan mereka terletak di dalam berlanjutnya kerusuhan sehingga khalifah tidak bisa mencurahkan perhatiannya untuk menangani para pembunuh khalifah Usman. Maka pertempuran yang tidak dapat dielakkan itupun terjadi. Hal itu dikenal dengan Jangi Jamal atau Perang Unta karena Aisyah berada di medan perang di atas punggung unta. Bakat kemiliteran Ali yang ulung segera berhasil menundukkan para pemberontak. Thalhah dan Zubair terbunuh ketika mereka melarikan diri. Sebanyak 20.000 orang islam gugur di dalam pertempuran itu. Aisyah ditawan. Khalifah Ali mengirimkannya ke Madinah ditemani oleh saudaranya, Muhammad dengan kehormatan sepantasnya. Setelah pertempuran itu khalifah memantapkan kekuasaannya di Basrah. Kemudian dia berangkat ke Kufa, yang sejak itu menjadi ibukotanya. Dia bermaksud menangani Muawiyah dari Kufa.

Perang Sifiin
    Demikian Muawiyah memperkuat penolakannya terhadap Ali sebagai khalifah dan menentang perintahnya untuk meletakkan jabatan. Khalifah Ali bergerak dari Kufa memimpin 50.000 tentara untuk menumpas pemberontakan Muawiyah yang maju dengan tentara yang besar untuk menghadapi tentara khalifah.

Sebab-sebab kegagalan khalifah Ali
    Penyelesaian melalui kompromi dengan Muawiyah itu sebenarnya merupakan kegagalan bagi Ali. Berbagai kerusuhan yang harus dihadapi Ali sejak penobatannya menjadi khalifah terutama disebabkan oleh kegagalannya menindas pemberontakan Muawiyah. Pemberontakan yang hebat dari Thalhah dan Zubair memperlemah kedudukan Ali dan memperkuat kekuasaan Muawiyah. Pemberontakan-pemberonta-kan terjadi pula di Basrah, Mesir, dan Persia untuk mendapat kemerdekaan. Khalifah ali harus menangani pemberontakan-pemberontakan ini dan memulihkan ketertiban di dalam imperium. Terutama kaum Khawarij sangat memperlemah kekuatannya dan terus-menerus menyibukannya.
    Dalam tenaga manusia, keuangan, dan sumber-sumber kekayaan Muawiyah jauh lebih kuat dibandingkan dengan khalifah Ali. Ali tidak memiliki sumber-sumber kekayaan yang memadai dan memimpin suatu kaum yang kesetiaan kepadanya berubah-ubah dan meragukan. Padahal Muawiyah memiliki sumber-sumber yang kaya di Siria dan memiliki dukungan yang tangguh dari keluarganya. Bani Umayah maupun orang-orang Siria dengan kuat berada di belakangnya dan memasoknya dengan sumber-sumber kekuatan yang tak habis-habisnya.
    Ali hanyalah seorang jenderal dan seorang prajurit yang gagah berani. Muawiyah adalah seorang diplomat yang licik dan seorang politikus yang pintar. Dia memainkan kelicikan apabila keberanian bertarung tidak berhasil. Dengan cerdik dia memanfaatkan pembunuhan khalifah Usman untuk menjatuhkan nama dan memperlemah khalifah Ali dan untuk membantu rencananya. Karena dia sendiri adalah orang yang paling licik pada waktu itu. Muawiyah menjalin persahabatn dan persekutuan dengan Amar, juga yang paling cerdik dan banyak akal pada saat itu. Karena gagal dalam menggunakan pedang, Muawiyah dan sekutunya menipu dan mengalahkan khalifah Ali dengan permainan kecerdikan dan kelicikan di dalam Perang Siffin.





4 komentar:

  1. subhanallah...yg disayangkan muawiyah...penerus akal liciknya abu
    sofyan dari jaman rasulullah...luarnya aja baik..

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. kunjungi juga kami http://gudangmakalah165.blogspot.co.id/2017/09/sejarah-berdiri-khilafah-bani-abbasiyah.html

    BalasHapus

Mari kita membaca dengan hati plus mata