19 Jun 2013

NU dan Pelestarian Tradisi Pesantren; Dasar-Dasar Pendidikan Islam

Oleh Mansyur Kaharuddin

    Nahdhatul Ulama (NU; kebangkiatn ulama) dan pondok pesantren adalah dua institusi yang berbeda, tapi dua institusi ini hampir tidak dapat dipisahkan. NU adalah organisasi sosial-keagamaan, bahkan dalam sejarahnya pernah menjadi partai politik dan menjadi kontestan dalam pemilu 1955 dan 1971, setelah sebelumnya pada tahun 1952keluar dari Partai Masyumi. Sementara pesantren adalah lembaga pendidikan yang menjadikan Islam sebagai sumber nilai, dan sebagai materi dalam proses belajar mengajarnya. Meski dua lembaga keagamaan ini berbeda yang satu sebagai organisasi kemasyarakatan dan satunya lagi organisasi/sistem pendidikan, namun tidak dapat dipisahkan, masing-masing saling menopang keberadaannya. Bahkan tidak sekedar itu, pesantren adalah bagian terpenting diantara elemen-elemen pendukung NU.
    Besarnya jumlah penganut NU tidak bisa dilepaskan dari besarnya jumlah pesantren dan kyai, yang sefaham dengan NU. Para kyai adalah ahli agama yang disegani para pengikutnya, dan mereka mempunyai kemampuan melayani masyarakat muslim pada semua tingkatan, lebih-lebih pada masyarakat bawah. NU yang dikenal sangat akomodatif terhadap berbagai corak budaya sehingga memiliki daya tarik tersendiri bagi masyarakat Muslim di pedesaan.
    NU pada permulaan kemunculannya sengaja tampil sebagai gerakan sosial-keagamaan yang menawarkan program-program pendidikan, sosial dan ekonomi dalam bingkai keislaman yang bercorak tradisional. NU bahkan menjadi benteng perlawanan kalangan tradisi terhadap kalangan pembaharu yang konon dianggap telah mengamalkan Islam di luar tradisi yang dianggap mapan.
    NU yang dapat dianggap mewakili corak Islam tradisional, selama ini lebih concern terhadap pendidikan pesantren daripada pendidikan jenis sekolah. Ini tidak berarti NU seterusnya hanya menggeluti dunia pesantren. Pada kenyataannya akhir-akhir ini NU juga banyak mengembangkan pendidikan sekolah. Bahkan beberapa telah melampaui sekolah-sekolah kalangan Islam modern. Berbeda dengan Muhammadiyah yang sejak awal berdirinya, lebih memusatkan perhatiannya terhadap pendidikan sekolah, meski akhir-akhir ini mulai mempertimbangkan juga pentingnya pendidikan pesantren.

A.    Sekitar Kemunculan NU
    NU didirikan di Surabaya tahun 1926 dengan sebuah pola dasar perjuangan yang dikenal dengan “Khittah 1926”. Pada awalnya, NU lahir didesain sebagai sebuah jam’iyah diniyah atau organisasi sosial keagamaan, tapi dalam perkembangannya tampaknya berubah-ubah dari gerakan sosial-keagamaan memasuki medan politik, dan akhirnya kembali lagi sebagai ke gerakan sosial-keagamaan. Pasca Orde Baru, agaknya NU membagi konsentrasinya antara bergerak pada bidang-bidang sosial-keagamaan dan memasuki wilayah politik praktis, tepatnya adalah orang-orang NU.
    NU didirikan oleh ulama dan sesuai namanya Nahdhatul Ulama (kebangkitan ulama). Menurut KH. Sahal Mahfud, kata ulama membuktikan adanya ciri yang amat melekat pada NU dan merupakan ciri diferensi yang membedakannya dengan gerakan keagamaan lainnya. Ciri keulamaan sekaligus menandakan pentingnya ulama dalam gerakan keagamaan ini sebagai tokoh panutan yang secara moral, ilmu, amal dan akhlaknya dapat dipertanggung jawabkan (Marijan, 1992 : x)
    Nama NU juga hampir tidak dapat dipisahkan dengan seorang kyai kharismatik KH. Hasyim Asy’ari. Bahkan di kalangan penganut Islam tradisional di pedesaan, identitas ke-NU-an dapat ditelusuri dari gambar kyai kharismatik itu yang tempel pada dinding ruang tamu berjajar dengan kyai pesantren yang juga menjadi panutan dari pemilik rumah. Ini menunjukkan bahwa masyarakat muslim pedesaan Jawa sangat hormat dan mengagumi ulama sebagai panutannya. Beberapa kyai yang berjasa mempelopori kelahiran NU, juga sangat dihormati sebagai panutan para pengikutnya. Selain KH. Hasyim Asy’ari, ialah KH. Wahab Hasbullah, KH. Bisri, KH. Ridwan (Semarang), KH Nawawi (Pasuruan), KH. R. Asnawi (Kudus), KH. R. Hambali (Kudus), K. Nakhrawi (Malang) dan KH. Doromuntaha (Bangkalan) (Zuhairini, 1995 : 178).


B.    NU dan Pelestarian Tradisi Pesantren
    Pesantren adalah benteng pertahanan Islam tradisional yang paling efektif. Institusi pendidikan pesantren sanggup menjaga kewibawaan Islam tradisional, melalui pengajaran paham ahlussunnah wal jamaah yang menjadi acuan penganut Islam ini. Karena itu pesantren hampir-hampir dapat dikatakan identik dengan NU.
    Sumbangan terbesar NU terhadap pendidikan pesantren adalah terletak pada kesanggupannya dalam menjaga kelangsungan sistem pendidikan pesantren dengan segala macam tradisinya. Pesantren yang dalam sejarahnya muncul sejak abad ke-19, kelangsungannya banyak bergantung kepada kesediaan umat Islam untuk menjaga dan mengembangkannya. Peran penjagaan ini cukup dominan dimainkan oleh kalangan ulama NU. Meski tidak ada perencanaan makro untuk melangsungkan tradisi pesantren, tetapi tradisi yang ada selama ini telah cukup efektif menjaga kelangsungan sistem pendidikan pesantren. Santri-santri yang menganggap dirinya mempunyai kesanggupan melakukan transmisi pengetahuan agama melalui sistem pesantren, dengan suka rela membuka pesantren-pesantren baru. Para kyai sepuh dengan cermat juga telah menyiapkan pengganti-penggantinya yang bobot pengetahuan agamanya, dipandang cukup untuk menggantikan kedudukannya sebagai pengasuh pesantren. Komitmen untuk menjaga tradisi dan mengembangkan paham ahlussunnah wa al jamaah mengharuskan NU untuk terus menjaga kelangsungan sistem pendidikan pesantren.
    Sumbangan lain adalah pengembangan pesantren yang tidak sekedar bercorak tradisional, tapi juga mengikuti kecenderungan modernisasi yang berkembang di masyarakat. Sejumlah besar pesantren memang masih bercorak tradisional, tapi sebagian pesantren yang lain telah berkembang pesat dan tampil sebagai institusi pendidikan modern, dengan menyelenggarakan bentuk-bentuk pendidikan formal yang dikelola secara profesional. Para kyai adalah guru agama, pemimpin agama dan tokoh agama yag siap mengikuti arus perubahan zaman. Karena itu pesantren yang mereka pimpin sangat siap mengikuti segala bentuk perubahan yang berada di luar dirinya.
    Meski NU sebagai organisasi sebagai organisasi keagamaan memiliki kontribusi terbesar dalam menjaga kelangsungan dan turut mengembangkan sistem pendidikan pesantren, tidak berarti bahwa organisasi keagamaan lainnya sama sekali tidak mengembangkan sistem pendidikan model ini. Muhammadiyah meski dalam kadar yang tidak sebesar perhatian NU terhadap sistem pendidikan pesantren, gerakan keagamaan ini juga menaruh perhatian terhadap sistem pendidikan ini, dalam rangka mempersiapkan ahli-ahli agama dan juru dakwah yang sanggup menjadi penyebar ideologi pembaruan. Gerakan keagamaan lain yang juga bercorak pembaru seperti Persatuan Islam juga menaruh  perhatian terhadap sistem pendidikan pesantren. NU boleh dikatakan cenderung lebih concern dalam pengembangan sistem pendidikan pesantren daripada sistem pendidikan sekolah. Sebab, pesantren tidak saja dapat dijadikan sebagai wahana kaderisasi ahli agama, tapi juga menjadi benteng yang kokoh bagi kelangsungan faham ahlu sunnah wal jamaah. NU tidak saja mengembangkan pesantren, tapi juga menaruh perhatian terhadap sistem pendidikan sekolah.*)
Pondok Modern Gontor sebenarnya tidak bisa disebut sebagai contoh dari keberhasilan menumbuhkan bentuk baru di tanah dimana ia tumbuh, walaupun ia telah menjelmakan diri sebagai salah satu bentuk pendidikan nasional yang setaraf dengan Taman Siswa-nya Ki Hadjar Dewantara. Pesantren ini memang merupakan kampus yang megah dan cukup mengagumkan jika dilihat profil fisiknya tetapi ia tidak tumbuh bersama dengan masyarakat sekitarnya, bahkan pondok yang sebenarnya bisa berbuat banyak terhadap lingkungannya yang miskin itu tidak memberi pengaruh terhadap perkembangan masyarakat desanya. Kyai Zarkasi, direktur intelektual pondok ini, tersebut pernah menjelaskan bahwa Gontor harus memiliki konsentrasi terhadap tujuan utamanya, yaitu ingin menyumbangkan sesuatu terhadap pendidikan nasional dan perkembangan Islam sebagai agama dunia. Karena itu ia melepaskan anak didiknya dari kewajiban memikirkan sesuatu yang sifatnya terlalu “kekinian” dan terlalu “praktis” yang sifatnya amat sementara. Pendidikan ketrampilan atau kejuruan dan kegiatan untuk memikirkan “pembangunan masyarakat desa” dinilai bukan tugas Gontor melainkan tugas pemerintah setempat, walaupun ia amat menghargai tugas ini. Sebagai akibat dari udhur ini, maka para santri praktis tidak dididik untuk sadar akan lingkungannya. Para santri Gontor memang nampak “modern”, mampu berbicara dalam bahasa Arab dan Inggris dengan tamu-tamunya dan suasana yang berlangsung di kampus yang luasnya 10 hektar dengan bangunan batu dan beton itu memang berbeda engan pondok-pondok yang mencerminkan “keterbelakangan”, tetapi kampus itu tak ubahnya seperti enclave yang kontras dengan sekelilingnya, bahkan secara sosial, Gontor dengan lingkungan desanya menggambarkan suatu “konflik” alam fikiran dan gaya hidup. Tidak seperti pondok-pondok lainnya, Gontor “bukan milik” masyarakat sekitarnya, walaupun penumbuh Gontor adalah orang-orang yang dibesarkan oleh dan keturunan masyarakat setempat. Sudah pasti Gontor telah berhasil diakui sebagai salah satu milik nasional bahkan merupakan kebanggaan dari ummat islam, tidak saja di Indonesia, tetapi juga di dalam negeri.
    Kedudukan Darul Fallah mirip dengan Gontor, tetapi berbeda dengan yang terakhir, pesantren pertanian yang didukung oleh orang-orang yang penuh pengabdian itu telah menjalin hubungan fungsional dengan masyarakat sekitarnya dalam program-program pembangunan desa. Tiadanya tokoh kyai yang bisa menghimpun dukungan emosional dan sosial pada pesantren Darul Fallah, diakui oleh pimpinan pondok ini sebagai salah satu kelemahan yang pokok. Karena itu mereka sedang mengusahakan agar ada seorang kyai yang bersedia menjadi pemimpin rohaniah di pondok ini, yang bisa menterjemahkan proses perubahan sosial serta pragmatisme ilmu pengetahuan ke dalam bahasa kulturil yang bisa dipahami dan dihirup ke dalam rongga alam fikiran mereka.
    Dengan pola kehidupannya yang unik, pesantren mampu bertahan selama berabad-abad untuk mempergunakan nilai-nilai hidupnya sendiri. Karena itu, dalam jangka panjang pesantren berada dalam kedudukan kulturi yang relatif lebih kuat daripada masyarakat di sekitarnya. Kedudukan ini dapat dilihat dari kemampuan pesantren untuk melakukan transformasi total dalam sikap hidup masyarakat sekitarnya, tanpa ia sendiri harus mengorbankan identitas dirinya. Pola pertumbuhan hampir setiap pesantren menunjukkan gejala kemampuan melakukan perubahan toal ini. Bermula dari inti sebuah surau guna keperluan ibadat dan pengajaran, kemudian pesantren berkembang menjadi sebuah lembaga masyarakat yang memainkan peranan dominan dalam pembentukan tata nilai bersama yang berlaku bagi kedua belah pihak. Dalam proses pembinaan inti surau yang kecil hingga menjadi sebuah lembaga masyarakat yang kompleks dengan kelengkapannya sendiri, pesantren juga merubah pola kehidupan masyarakat disekitarnya.
    Sebuah kasus dapat ditunjukkan, yaitu sejarah pertumbuhan pesantren Tebuireng di Jombang. Masyarakat pedusunan di tempat itu pada mulanya adalah sebuah masyarakat serba keduniawian (mundaan) yang didukung oleh kehidupan yang relatif makmur dengan adanya sebuah pabrik gula di salah satu pedukuhan desa itu. Sikap hidup masyarakat Jawa lama, yang berorientasi kepada harmoni dengan sang Pencipta dalam suatu kehidupan yang serba keagamaan, bersinggungan dengan ekses-ekses dari kehidupan ekonomi liberal yang mendukung eksistensi pabrik gula itu. Proses akulturasi hasil perbenturan ini menciptakan masyarakat yang secara budaya berwatak rawan : hilangnya rasa aman perorangan dari gangguan “jago-jago” dan meluasnya relativitas moral. Berdirinya sebuah pesantren di tempat itu, pada mulanya memperoleh tantangan keras dari masyarakat, tetapi lambat laun masyarakat itu mengalami transformasi menjadi sebuah pola kehidupan yang baru, dimana nilai kehidupan beragama kembali mendapatkan tempat yang dominan. Transformasi pola kehidupan masyarakat itu terjadi bersamaan dengan dan menjadi sarana bagi perkembangan pesantren Tebuireng sendiri, hingga akhirnya pesantren itu memiliki kedudukan kulturil yang relatif lebih kuat dibandingkan dengan unsur lain dalam masyarakat.
    Kedudukan yang dipegang seorang kyai adalah kedudukan ganda sebagai pengasuh dan sekaligus pemilik pesanren dan secara kulturil kedudukan ini sama dengan kedudukan bangsawan feodal yang biasa dikenal dengan nama kanjeng di Pulau Jawa. Ia dianggap memiliki sesuatu yang tidak dimiliki oleh orang lain di sekitarnya dan atas dasar ini hampir mengenai setiap kyai yang ternama beredar legenda tentang keampuhannya yang umumnya bersifat magis. Almarhum Kyai Hasyim Asy’ari dari Tebuireng termasyhur dengan tongkatnya yang hanya akan mengenai mereka yang bersalah atas satu perbuatan saja jika dilemparkan sekenanya ke tengah-tengah sekelompok santrinya. Seorang kyai muda di daerah Kediri, dewasa ini termasyhur kuat mengangkat batang kelapa yang panjangnya dua puluh meter seorang diri saja, dan demikian seterusnya. Dengan kedudukan sedemikian ini, kyai sekaligus juga menjadi pembimbing para santri dalam segala hal. Fungsi ini menghasilkan peranan kyai sebagai peneliti, penyaring dan akhirnya asimilator aspek-aspek kebudayaan dari luar yang masuk ke pesantren. Karena para santri nanti mengembangkan aspek-aspek kebudayaan yang telah memperoleh imprimatur sang kyai, di masyarakat mereka sendiri, dengan sendirinya peranan kyai sebagai agen budaya (cultural brokers) juga tidak dapat dianggap kecil, sebagaimana disinyalir oleh para sarjana yang melakukan penelitian “proyek Modjokuto” dua puluh tahunan yang lampau.
    Kedudukan ustaz memiliki dua fungsi pokok : sebagai latihan penumbuhan kemampuannya untuk menjadi kyai dikemudian hari, dan sebagai pembantu kyai dalam mendidik para santri. Di dalam menunaikan fungsinya yang pertama, ia mulai diperkenalkan kepada masyarakat di luar pesantren dalam bentuk bermacam-macam, minimal dalam meladeni para orang tua santri dan tamu yang berkunjung ke pesantren. Dalam fungsi ini belajar melakukan peranan sebagai asmilator antara tata nilai yang telah ada dan “radiasi” kulturil yang baru. Sebagai pembantu kyai, ia diharuskan mematangkan penguasaannya atas literatur keagamaan yang diajarkan di pesantren. Kedua tugas sebagai calon asimilator budaya dan ahli dalam ilmu pengetahuan agama ini adalah tugas yang sangat berat, terlebih lagi ia senantiasa berada dibawah pengawasan kyai, yang biasanya adalah seorang perfeksionis dalam keuda hal itu.**)
Perjalanan waktu membawa kesadaran baru bagi pemimpin pesantren. Tntutan sosio-kultural, sosio ekonomik, dan sosio-politik yang selalu berubah-ubah membuka tabir yang menghalangi wawasan kiai dan ustadz serta memaksa mereka untuk segera mengadakan pengembangan pendidikan di pesantren termasuk metode pengajaran (pendidikan) yang dipandang kurang relevan lagi dengan tuntutan zaman. Kuntowijoyo dan Mukti Ali melaporkan bahwa pada abad ke20 banyak pesantren mulai mengembangkan metode mengajar dengan sistem madrasi (sistem klasikal0. dari segi sistem pendidikan yang dianut, pesantren tidak banyak mengalami perubahan sampai awal abad ke-20 ketika sistem klasikal yang disebut madrasah mulai diperkenalkan di Indonesia.
Mulai sekitar 1901 hingga 1945 memang beberapa pesantren telah mengadakan pembaharuan metode, tetapi sebagian lainnya masih mempertahankan gaya tradisionalnya. Artinya, belum ada kesepakatan pesantren dalam mengadakan perubahan metode. Perubahan metode ini masih dipertentangkan atau setidaknya diragukan oleh pemegang kendali pesantren. Kemudian baru pasca kemerdekaan, perubahan metode pengajaran memperoleh perhatian yang makin luas di kalangan pesantren. Penelitian Karel A. Steenbrink mengungkapkan bahwa sejumlah pesantren tidak mengadakan perubahan sebelum 1945, namun sebagian besar lainnya makin lama makin berkembang dengan mengubah metode dengan memasukkan sistem klasikal.
Perbedaan sikap ini disebabkan adanya beberapa faktor yang mempengaruhinya, yaitu kondisi perangkat keras dan perangkat lunak yang berlainan, serta kesederhanaan dan kelengkapan yang mewarnai masing-masing pesantren. Kondisi yang serba kurang terdapat pada pesantren kecil sedang yang serba lengkap ada dalam pesantren besar. Selain itu, jumlah santri, asal-usulnya, jangkauan pengaruh kiai, dan keberhasilan lulusan (alumni) menjadi ulama juga turut membentuk besar kecilnya suatu pesantren, yang ternyata menempuh sikap berlainan dalam menerapkan metode pendidikan dan pengajaran.
Metode yang diterapkan pesantren pada prinsipnya mengikuti selera kiai, yang dituangkan dalam kebijakan-kebijakan pendidikannya. Dari prespektif metodik, pesantren terpolarisasikan menjadi tiga kelompok: kelompok pesantren yang hanya menggunakan metode yang bersifat tradisional dalam mengajarkan kitab-kitab Islam klasik, kelompok pesantren yang hanya menggunakan metode-metode yang bersifat tradisional dan mengadakan penyesuaian dengan metode pendidikan yang dipakai dalam lembaga pendidikan formal.
Dibandingkan kelompok pertama atau kedua, model pesantren pada kelompok ketiga itu makin menjadi kecenderungan akhir-akhir ini. Betapapun masih terdapat model pesantren yang hanya menerapkan metode yang bersifat tradisional, tetapi pesantren yang melakukan pemanduan atau kombinasi berbagai metode (lama dan baru) dengan sistem klasikal dalam bentuk madrasah, tampaknya belakangan ini menjadi semacam mode. Akibatnya situasi dalam proses belajar mengajar menjadi bervariasi dan menyebabkan santri bertambah interest akibat aplikasi berbagai metode secara kombinatif. Maka pesantren tidak lagi dipandang anti kemajuan dan sarang kebekuan, melainkan telah tumbuh dinamika metodik yang memberikan warna baru bagi kehidupannya.***)











Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mari kita membaca dengan hati plus mata