BAB I
Kerangka Filosofi Dan Teologi Pendidikan
A. Seputar Konsep Paradigma
Paradigma dalam Oxford advanced learner’s dictionaries berarti (general) pattern atau model. Basa juga berarti kaidah, dalil, tafsir dan pola dari sesuatu yang dianggap benar dan baku. Sesuatu yang di anggap benar dan baku adalah sesuatu yang dapat dijadikan sumber keyakinan sehingga dapat dijadikan pedoman, pegangan, tempat berpijak, pondasi, dasar dan rujukan dalam berfikir, bersikap dan berperilaku. Manusia sebagai bermoral senantiasa mendasarkan tindakannya pada nilai dan norma tertentu dan akan di nilai dari perspektifnnilai dan moral tertentu pula. Dalam dunia akademik, perilaku ilmiah senantiasa didasarkan pada paradigma tertentu sebagai landasan suatu teori dan metode. Pendidikan Islam sebagai sebuah science
memiliki kebenaran ilmiah relative. Problematika di bidang pendidikan yang terus berkembang mengharuskan adanya solusi-solusi baru yang mungkin tidak dapat lagi dipecahkan oleh teori-teori lama.
B. Filsafat
1. Konsep Filsafat
Istilah filsafat berarti cinta kebenaran (al-haq) dan kebijaksanaan (al-hikmah). Penggunaan istilah “cinta” bukan istilah lain misalnyanpenemu, pemilik dan penjaga, menggambarkan sikap rendah hati para filosof akan keterbatasannya dalam usaha menggapai kebenaran dan kebijaksanaan itu. Ia hanya mendapatkan kebenaran dan kebijaksanaan itu secara relatif dan temporal, sedangkan yang hakiki tetap tidak terjangkau.
Dalam pandangan Islam, kecintaan, kekaguman dan pengharapan manusia kepada yang benar dan yang bijaksana itu dinamakan fitrah dan hanief atau udah merupakan blue print dari Allah. Fitrah manusia dalam pandangan Islam bukan hanya bertuhan, melainkan ingin mengenal lebih jauh dan mencintai Tuhan yang hakiki, Tuhan yang Maha Benar dan Maha Bijaksana.
Filsafat juga di sebut sebagai the mother of science, induk dari ilmu pengetahuan. Menurut Will Durant, filsafat diibaratkan pasukan marinir yang merebut pantai untuk pendaratan pasukan infanteri. Pasukan infanteri sebagai pengetahuan yang di antaranya adalah ilmu.
Dalam abad ilmu pengetahuan yang sekarang ini, hubungan filsafat dengan ilmu tampaknya mengalami perubahan. tidak ada ilmuwan atau filosof yang murni. Menurut Yiung (1980: 26) mengatakan bahwa filsafat berupaya untuk mengintegrasikan sebagai informasi yang ditemukan oleh sains.
Filsafat juga di sebut sebagai the supreme art, pengetahuan tertinggi atau the art of life, pengetahuan tentang hidup. Ia bagaikan puncak gunung tertinggi sehingga dapat dengan jelas dan secara terpadu melihat realita dibawahnya.
2. Panggilan Berfilsafat
Berfilsafat dengan demikian merupakan panggilan hidup sebagai manusia pada umumnya dan lebih khusus lagi sebagai muslim. Dengan berfilsafat, berfikir bisa lebih sistematis, kritis, analitis, sintesis dan thick description atau penggambaran yang mendalam sehingga berbagai persoalan dapat dipecahkan secara lebih efektif. Dengan berfilsafat dapa mengurangi apologi-apologi truth claim, dan kepicikan dalam beragama dan sebaliknya dapat memperkaya argumentasi dan mampu mendialogkan antar teks dengan konteks. Dengan berfilsafat keluwesan dan keluasan hidup termasuk dalam beragama serta hidup multikulturalisme beragama dapat lebih mungkin terwujud. Dengan demikian tidak ada pertentangan apalagi larangan berfilsafat.
Dengan pikiran kritis dan analitis, kita dituntut untuk bersikap wajar (apa adanya) dan sadar hasil dari perenungan yang seksama, dengan sikap kritis kita dapat menerima perbedaan yang seksama, dengan perbedaan tanpa caci maki, karena masing-masing menyadari bahwa setiap manusia memiliki kebebasan untuk mengemukakan pendapat berdasarkan pada sistem nilai, informasi maupun agama yang dianut.
3. Filsafat Sebagai Aksi
Berfilsafat bukan semata-mata pekerjaan para filosof yang hanya memikirkan hal-hal yang abstrak. Berfilsafat adalah tugas dan kewajiban setiap orang dengan kadar masing-masing. Tindakan manusia senantiasa didasarkan atas fenomena aksi-reaksi dan kontemplasi berdasarkan pilihan-pilihan moral yang dianut.
Sedangkan berfilsafat sebagi sikap sebenarnya merupakan buah dari poin pertama dan kedua, maksudnya dengan berfilsafat seseorang memiliki kesadaran diri, kearifan dan kebijaksanaan.
C. Teologi
1. Pengertian teologi
Istilah teologi lahir dari tradisi Kristen. Secara harfiah, teologi berasal dari bahasa Yunani berarti ilmu pengetahuan, tapi pengertian ini menurut Steenbrink (1987:10) dianggap kurang cocok karena teologi memang tidak bermaksud membicarakan problematika mengenai ketuhanan baik wujud, sifat dan perbuatan-Nya, yang dalam hazanah Islam disebut Ilmu Kalam.
Kalau kita membicarakan teologi, sekurang-kurangnya dilihat dari tiga segi: teologi actual yaitu berteologi melahirkan keprihatinan iman dalam wujud tingkah lakunya sehari-hari; teologi intelektual yaitu teologi yang melahirkan pemikiran keagamaan berjilid-jilid yang hanya dipahami oleh para alim ulama di bidang ini; dan teologo spiritual yaitu teologi yang melahirkan perilaku mistik.
2. Teologi Kontekstual
Teologi yang fungsional, yaitu yang bisa membangun etos dan kesadaran etis dan pada gilirannya melahirkan amal saleh haruslah teologi kontekstual. Teologi yang hidup adalah teologi mengenai kehidupan. “A living theology is a theology of life”. Itu berarti bahwa ketika konteks kehidupan berubah, maka diperlukan pula suatu teologi yang baru, sebab teologi yang benar-benar kontekstual senantiasa dinamis dan kreatif, peka dan cepat tanggap terhadap konteksnya (Darmaputera, 1991: 8)
Dalam berbagai belahan dunia, teologi kontekstual adalah teologi yang amat menekankan konteks social, politik, ekonomi, dan budaya seperti teologi pembebasan (Brazil), Teologi Hitam dan Teologi Feminis (Amerika),teologi pembangunan, Teologi Transformatif (Asia), Teologi Ekologi dan lain sebagainya.
3. Fungsionalisasi Teologi
Teologi yang benar haruslah yang fungsional. Beriman yang benar adalah yang mampu melahirkan amal saleh, shalat yang benar adalah yang mampu mencegah dari perbuatan keji dan munkar dan seterusnya. Masalah fungsional atau tidaknya sebuah teologi atau keberagamaan seseorang adalah masalah yang sangat subyektif karena menyangkut pengalaman keagamaan yang sifatnya individual.
4. Berteologi di Bidang Pendidikan
Berteologi yang tidak kontekstual adalah teologi yang tidak fungsional cenderung melahirkan perilaku beragama yang ekskutif, mistik dan individualistik. Berteologi di bidang pendidikan berarti berusaha mengkontekskan keprihatinan imam atau panggilan hidup berdasarkan perintah keagamaan dengan masalah-masalah pendidikan.
D. Pendidikan
Istilah pendidikan adalah istilah genetik, dalam arti dapat diartikan secara luas maupun sempit. Istilah pendidikan dapat diartikan dengan lebih khusus lagi yaitu sebagai proses belajar-mengajar di kelas dan ilmu mendidik ((pedagogy). Dari segi istilah, pendidikan berasal dari dua kata latin educare dan educeere. Yang pertama member arti “merawat” melengkapi dengan gizi agar sehat dan kuat”. Yang kedua berarti “membimbing keluar dari” (Sidjabat, 194: 8).
Dari beberapa pengertian tentang pendidikan di atas, penulis menyimpulkan bahwa yang dimaksud pendidikan adalah usaha sadar atau bersahaja dengan bantuan orang lain (pendidik) atau secara mandiri sebagai upaya pemberdayaan atas segala potensi yang dimiliki (jasmani dan rohani) agar dapat menciptakan kehidupan yang fungsional dan bernilai bagi diri dan lingkungan.
Walaupun terdapat perbedaan perumusan, akan tetapi semuanya dapat benang merahnya, bahwa pendidikan senantiasa memiliki dua persoalan penting yaitu pewarisan nilai dan pemberdayaan.
E. Seputar Pendidikan Islam
1. Konsep Pendidikan Islam
Konsep pendidikan Islam seringkali mengundang keragaman arti. Pendidikan Islam bisa pula berarti lembaga pendidikan yang didalamnya terdapat kegiatan yang menjadikan Islam sebagai identitasnya. Perkembangan terakhir memberikan pengertian bahwa pendidikan Islam di beri arti lebih subtansial sifatnya, yaiti bukan sebagai proses belajar-mengajar, akan tetapi lebih menekankan sebagai suatu iklim pendidikan.
Pengertian pendidikan Islam yang berkembang dalam masyarakat baru baru sekedar penerapan etika Islam dalam pemanfaatannya, pada hal yang namanya pendidikan Islam seharusnya pengejawantahan nilai-nilai Islam dalam pendidikan baik secara ontology, epistomologo dan aksiologisnya.
Munawir Sadzali (1990) mengemukakan di kalangan kaum muslim sendiri ada empat pola pemahaman, pertama, Islam sebagai agama terakhir dan penyempurna dari agama-agama wahyu sebelumnya, Islam adalah punjak kehidupan umat manusia. Kedua, berpendaat bahwa Islam hanya mengatur hubungan antara manusia dan Tuhannya, mengajak manusia kembali ke kehidupan yang mulia dengan menjunjung tinggi budi pekerti yang luhur. Ketiga, Islam bukanlah sebuah sistem kehidupan yang praktis dan baku, melainkan sebuah sistem nilai dan norma yang secara dinamis harus dipahami dan diterjemahkan berdasarkan setting social dan dimensi ruang dan waktu tertentu. Keempat, mengatakan bahwa Islam itu adalah petunjuk hidup yang menghidupkan
Keempat pendapat tersebut sebenarnya tidak ada yang salah sehingga tidakm perlu yang satu menyalahkan yang lain.
2. Dasar Teologi Pendidikan Islam
ZarqawiSoejoeti mengemukakan bahwa pendidikan Islam paling tidak mempunyai tiga pengertian: pertama, lembaga pendidikan yang pendirian dan penyelenggaraannya didorong oleh hasrat mengejawantahkan nilai-nilai Islam yang tercermin dalam nama lembaga pendidikan itu dan kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan. Kedua, lembga pendidikan yang memberikan perhatian dan menyelenggarakan kajian tentang Islam yang tercermin dalam program kajian sebagai ilmu diperlakukan seperti ilmu-ilmu yang lain yang menjadi program kajian lembagapendidikan Islam yang bersangkutan. Ketiga, mengandung kedua pengertian di atas, dalam arti lembaga tersebut memperlakukan Islam sebagai sumber nilai bagi sikap dan tingkah laku yang harus tercermin dalam penyelenggaraannya maupun sebagai bidang kajian.
F. Pemikiran Filosofis Tentang Pendidikan Islam
Dalam mengkaji tentang pemikiran filosofis pendidikan Islam, perlu diterapkan filsafat sebagai content yaitu onotologi (metafisika), epistemology (teori pengetahuan), dan aksiologi (teori nilai, estetika) dalam usaha memahami hakikat dan tujuan pendidikan. Ide tentang tujuan pendidikan itu mempengaruhi pemikiran atau pandangan mengenai komponen-komponen dalam pendidikan. Akan tetapi, semua komponen itu tidak semata-mata dipengaruhi oleh tujuan pendidikan, melainkan juga dipengaruhi oleh dinamika politik dan ideologi yang berkembang dalam konteks.
BAB II
Visi dan Misi Pendidikan Islam
A. Rahmat Bagi Semesta Alam
1. Membangin Republik Surga
Misi yang diemban oleh pendidikan Islam tidak lain adalah misi Islam itu sendiri yaitu rahmatan lil’alamin (rahmat bagi seluruh alam), dalam bahasa yang sederhana misi Islam adalah agar manusia tidak hanya menabung dan berharap surge dan terhindar dari neraka di akhirat, tetapi juga dapat menciptakan republic surge dan menghindari neraka dunia. Dalam pandangan Islam, segala aktivitas manusia diniatkan sebagai upaya mewujudkan rahmatan lil’alamin bernilai ibadah.
Dan untuk mewujudkan misi Islam itu Allah telah memberikan tiga modal utama kepada manusia berupa potensi kemanusiaan, jagad raya, dan agama Islam. Manusia dengan bekal fitrahnya yang hanief atau dengan ruh, kalbu dan akal sehatnya yang secara kodrati memihak kepada kebenaran, sebenarnya sepakat dan bahkan senantiasa berupaya mancapai cita-cita Islam di atas, siapapun orangnya tanpa harus memandang identitas agama dan suku bangsanya.
2. Peran Agama dalam Konteks
Agama sebagai sumber nilai yang secara sosiologis diyakini kebenarannya oleh sebagian besar umat manusia mampu berperan, terutama dalam memberikan petunjuk, kekuatan moral, dan solusi-solusi tegas terhadap barbagai persoalan etik manusia. Studi sosiologis membuktikan bahwa agama memiliki hubungan yang erat dengan persoalan kehidupan manusia baik secara individu maupun bersama-sama.
Menghadapi kondisi kehidupan manusia yang senantiasa diwarnai dengan berbagai krisis kemanusiaan di satu sisi dan tuntutan penegak hak asasi manusia di sisi lain, agama harus tetap teguh sebagai kekuatan moral.
Memang dalam rangka menegakkan misi Islam, manusia perlu perjuangan, sebab dalam kenyataan kekuatan manusia untuk melakukan pengrusakan hampir sama kuatnya untuk membangunnya.
3. Pendidikan sebagai Penebar Rahmat dan Anti Kekerasan
Islam dalam wataknya yang asli adalah anti kekerasan. Islam mengajarkan agar manusia memiliki sikap social luhur: pengabdian menggantikan kekuasaan, pelayanna menggantikan dominasi, pengampunan menggantikan permusuhan.
Sikap lemah lembut dengan penuh kasih saying sudah sepatutnya dipercontohkan oleh para orangtua, para pendidik dan komunitas sekolah lainnya sebagai manivestasi ajaran agama yang diyakininya.
4. Jalan Tengah Mencapai Misi Islam
Dalam kehidupan dunia ini manusia cenderung bersifat ekstrim, yaitu cenderung menekan pada satu dan kurang bahkan meninggalkan aspek lainnya. Dalam pandangan islam, setiap permasalahan harus dilihat dari dua perspektif-dialektis: objektifitas dan transendensi, demokrasi dan teokrasi. Objektifitas menurut masing-masingkelompok kepentingan dalam masyarakat untuk menahan diri, tidak memaksakan kehendak apalagi menafikan lain pihak. Sedangkan yang dimaksud dengan transendensi adalah kesadaran bahwa manusia itu memiliki fitrah dan hanief.
B. Menghargai Ilmu dan Orang yang Berilmu
Para ahlul hikmah mengatakan bahwa ilmu adalah kekuatan, ilmu adalah mukjizat, ilmu adalah perisai yang akan melindungi pemiliknya dari kehancuran. Bangsa yang terhormat, Berjaya dan menjadi penguasa di dunia adalah bangsa yang berilmu pengetahuan.
Kita sudah sering mendengar bahwa agama Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi ilmu pengetahuan, menuntut ilmu adalah wajib, dan orang yang berilmu memperoleh kemulyaan dan derajat yang tinggi.
Dalam surat al-Mujadalah ayat 11 dikemukakan: “Allah akan mengangkat derajat oaring-orang yang beriman dan berilmu pengetahuan beberapa derajat”. Ayat ini mengilhami kita untuk bersungguh-sungguh dan konsisten dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.
C. Membangun Peradaban di Era Informasi
persoalan masa depan sebenarnya adalah persoalan intelektual.pemikiran intelektual akan menentukan pertumbuhan kesadaran dan cita masa depan umat manusia. Oleh karena itu peningkatan jumlah kaum intelektual pemikiran dan corak masa depan akan semakin beragam.
1. Agama dan Kebudayaan
Kualitas manusia terletak pada penilaian kembaliterhadap setiap produk kebudayaan yang diciptakan sehingga menunjukan kualitas kepribadian manusia itu sendiri. Secara fungsional yang membuat manusia berkedudukan paling tinggi di antara makhluk Allah yang lain adalah karena memiliki kemampuan untuk mengantisipasi dan memformat fenomena yang ada melalui fitrah dan kerangka nilai yang di serap untuk menciptakan kebudayaan.
2. Agama dan Fenomena Modernitas
Kebudayaan merupakan rekayasa manusia terhadap potensi manusiawi dan potensi alam dalam rangka mengangkat harkat dan martabat kemanusiaan. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai ujung tombak kebudayaan yang di pandang menentukan jalan sejarah telah mengalami lompatan-lompatan yang menakjubkan. Persoalan adalah apakah kemajuan teknologi informasi itu sungguh-sungguh dapat melahirkan masyarakat yang lebih baik.
Apa yang dihadapi manusia dalam rangka modernitas kebudayaan dengan kemajuan IPTEK tersebut di atas adalah masalah keselamatan manusia dan nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri beserta kerusakan bumi dan kerancuan makna kemanusiaan.
D. Penyelamat Peradaban Umat Manusia
1. Misi Islam dan Dambaan Fitri Umat Manusia
Misi yang diemban pendidikan Islam tidak lain adalah misi Islam itu sendiri yaitu agar manusia dalam menjalani amanat kehidupan ini dapat membangun kerajaan dunia yang makmur, dinamis, dan harmonis atas dasar nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan. Misi Islam tersebut akan dapat diwujudkan oleh tidak saja manusia yang mengaku beriman atau mengaku beragama, tetapi sekaligus orang yang berilmu pengetahuan, berwawasan luas tentang hakikat kehidupan beradab, terampil, komitmen kepada nilai-nilai idealitas kemanusiaan seperti keadilan, kebersamaan, dan kasih sayang.
Akan tetapi untuk mencapai kondisi yang ideal yang dicita-citakan Islam dan seluruh umat manusia kesadaran beragama dikalangan peserta didiknya.
2. Tujuan Pendidikan Nasional dan Pendidikan Agama
Pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengemban manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan , kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggungjawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Dilihat dari sudut pandang Islam, formulasi tujuan pendidikan nasional di atas dapat dikatakan sebagai penjabaran cerdas dari ajaran Islam yang universal dalam konteks keindonesiaan, karena memang dirumuskan oleh para wakil rakyat, cendikiawan yang dari komit dengan bangsanya dan keislamannya.
BAB III
Tujuan Pendidikan Nasional
A. Rumusan Tujuan Pendidikan Islam
Dalam aktivitas pendidikan, tujuan dan cita-cita itu dirumuskan dalam tujuan akhir, tujuan akhir biasanya dirumuskan secara padat dan singkat. Rumusan tujuan pendidikan Islam biasanya digambarkan dalm dua perspektif, yaitu prekspektif manusia (pribadi) ideal dan perspektif masyarakat (makhluk social) ideal.
Sebagai rumusan akhir dari sebuah cita-cita, tujuan tersebut bersifat ideal-statis dalam arti rumusan tetap, tetapi kualitas dari tujuan itu adalah dinamis dan berkembang nilai-nilai dan standarisasinya.
B. Strategi Merumuskan Tujuan
1. Strategi Normatif Filosofis
Strategi merumuskan tujuan pendidikan Islam merupakan bagian terpenting dari diskursus tentang filsafat pendidikan Islam. Tujuan adalah sesuatu yang di cari atau sesuatu yang ingin diperoleh. Nilai-nilai yang paling berharga yang harus dijadikan paradigma dalam merumuskan tujuan pendidikan Islam, secara singkat terdiri dari nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, dan kealaman.
2. Strategi Melalui Analisa Historis
Sejarah adalah gagasan peristiwa masa lalu yang bermakna bagi perjalanan hidup manusia ke depan. Sejarah memberikan pengalaman, pelajaran dan hikmah yang sangat berharga tentang kebaikan atau keburukan, keberhasilan atau kegagalan, kemajuan atau kemunduran, dan kejayaan atau keterpurukan umat manusia. Orang yang bodoh dalam perspektif sejarah bukan orang yang ber-IQ rendah, melainkan orang yang tidak mau belajar dari sejarah.
3. Strategi Melalui Analisa Ilmiah atau Sosiologis
Perumusan tujuan pendidikan melalui analisa ilmiah atau sosiologis, dimaksudkan agar lulusan pendidikan senantiasa konsektual dengan dinamika tuntutan masyarakat. Strategi ini meliputi dua strategi: pertama, strategi investasi sumber daya manusia, dimana lulusan pendidikan harus mampu memenuhi tuntutan ketenagakerjaan yang diperlukan masyarakat. Kedua, teori ekonomi neoklasik, pendidikan adalah investasi, tak ubahnya dengan investasi modal fisik, karena itu pendidikan harus menghasilkan manusia-manusia produktif yang mampu menghasilkan nilai tambah bagi pertumbuhan ekonomi.
Pendekatan melalui tiga aspek (filsafat, historis, scientific) itu secara terpadu diperlukan untuk memperoleh penetapan tujuan yang lebih realistis.
C. Setting Sosial Dalam Merumuskan Tujuan
Herry J. Benda dalam Bulan Sabit Mataharin Terbit menulis tentang model sekolah yang dikembangkan KH. A. Dahlan. “sekolah-sekolahnya termasuk beberapa yang bahkan memakai bahasa belanda sebagai bahasa pengantar silabus modern yang memasukkan pendidikan umum dan pendidikan gaya barat maupun pengajaran agama yang berdasarkan pelajaran bahasa Arab dan tafsir al=Qur’an” (Herry J. Benda, 1970)
Dari hasil studi menunjukan bahwa, langkah-langkah yang di ambil KH. A. Dahlan tersebut merupakan pelaksanaan cita-cita ingin membentuk manusia muslim yaitu:
1. Baik budi, alim dan agama
2. Luas pandangan , alim dalam ilmu-ilmu dunia (umum)
3. Bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakat (Amir Hamzah Wiryosukarto, 1968)
Kontekstualisasi pendidikan dengan persoalan hidup adalah niscaya, sebagian keniscayaan kontekstualisasi pemahaman dan pengalaman ajaran social Islam
D. Hambatan dalam Mencapai Tujuan
Pendidikan nasional adalah pelaksanaan pendidikan suatu Negara berdasarkan sosio cultural, sosio psikologis, sosio ekonomis, dan sosio politis suatu bangsa. Pendidikan nasional adalah satu keseluruhan yang terpadu dari semua satuan dan kegiatan pendidikan yang berkaitan satu dengan yang lainnya untuk mengusahakan tercapainya tujuan pendidikan nasioanal.
Yang menjadi tema sentral perhatian dan pemikiran kita sekarang ialah justru pada: pertama, ada tidaknya kemampuan dan keberanian umat Islam melakukan perombakan dan pembaharuan lembaga-lembaga pendidikan yang dimiliki atau yang sekarang ini baik isi, kelembagaan maupun sistem dan metodenya. Kedua, seberapa jauh manusia merasa aman dan ikut memiliki Indonesia ini dalam arti seluas-luasnya. Agaknya kalau terasa ada hambatan kemungkinan justru hambatan internal umat Islam itu sendiri.
Sebagai jalan keluar merealisasikan tujuan pendidikan tersebut adalah tidak ada alternative lain kecuali umat Islam terus menerus melakukan ijtihadnya, membangun etos berfikir dan bekerja keras.
BAB IV
Kurikulum Pendidikan Islam
A. Pandangan Islam Tentang Ilmu Pengetahuan
1. Paradigma Ilmu Bebas Nilai
Apa ilmu itu bebas niali? Bagi ilmuwan yang menganut paradigm positivistic tentunya mengiyakan atau member jawaban positif atas pertanyaan di atas.
pemikiran yang mengatakan bahwa filsafat merupakan proses kerja akal sebagai mother of science dapat dipahami sebagai dampak dari humanism antroprosentris itu.
Penulis mengakui bahwa filsafat humanism antroprosentrisdan konsep ilmu yang bebas nilai (value free) mampu membuat ilmu pengetahuan berkembang pesat meluas dan mendalam dan telah meninggalkan induknya, filsafat. Akibatnya suatu cabang ilmu telah memiliki berbagai cabang sedemikian rupa yang mengakibatkan masing-masing disiplin terpisah satu dengan yang lainnya. Walaupun masih dalam rumpun ilmu yang sama.
2. Paradigma Ilmu Tidak Bebas Nilai.
Sebagaimana diketahui bahwa teosentrisme adalah suatu paham yang menempatkan Tuhan sebagai sentral dalam sistem kehidupan ini bukan hanya dalam penciptaan dan kekuasaannya, tetapi juga dalam segala aktivitas.
Adapun langkah-langkah yang ditempuh untuk mewujudkan paradigm tauhid yang pada gilirannya akan mengislamkan ilmu pengetahuan di atas menurut Faruqi adalah: pertama, penguasaan disiplin modern yang difokuskan penguraian kategoris; kedua, survey disiplin ilmu, yang berusaha memahami ilmu-ilmu modernmulai dariparadigma yang di pakai sampai tokoh-tokohnya; ketiga, penguasaan tentang hakikat ilmu-ilmu keislaman; keempat, analisa hazanah ilmu-ilmu keislaman; kelima, penentuan relevansi Islam dengan cara khas terhadap disiplin-disiplin ilmu; keenam, penilaian kritis terhadap disiplin ilmu modern dalam konteks kekinian; ketujuh, penilaian kritis terhadap hazanah Islam dalam konteks kekinian; kedelapan, survey terhadap permasalahan yang dihapai umat Islam; kesembilan, survey permasalahan yang dihadapi umat manusia; kesepuluh, analisa kreatif dan sintesa; kesebelas, penemuan kembali disiplin ilmu modern kedalam kerangka Islam; dan keduabelas, sosialisasi ilmu-ilmu yang telah diislamkan.
Menurut penulis, polemik seputar islamisasi ilmu pengetahuan itu lebih bersifat intelektual exercise semata. Ilmu itu tidak perlu diislamkan karena secara epistemology sudah mengikuti sunnahtullah yang diperlukan oleh spiritualisasi human being.
3. Filsafat Pancasila dan Filsafat Pendidikan
Antara filsafat hidup dengan fisafat pendidikan memiliki hubungan yang erat. Bahkan fisafat pendidikan sering sekali dibentuk atau pengejawantahan lebih jauh dari filsafat hidup yang dianut. Pancasila sebagai pedoman hidup adalah dasarnya merupakan akumulasi dari nilai-nilai filsafat hidup seluruh bangsa Indonesia sebagai kesepakatan luhur kalimatun sawa’ atau common plat form dari seluruh bangsa Indonesia.
B. Pandanagn Islam Tentang Akhlak dan Peradaban
1. Pentingnya Akhlak
“Aku di utus oleh Allah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”. Demikian bunyi salah satu Hadist Nabi yang popular. Cara Rasulullah menyempurnakan akhlak itu dilakukan dengan perbuatan nyata (uswah hasanah), ajakan dan ketetapan-ketetapan. Dengan demikian terbentuk pribadi yang berakhlak, kekuasaan yang berakhlak merupakan salah satu tugas utama Islam dan umatnay. Pentingnya akhlak dalam Islam adalah nomor dua setelah iman. Seseorang tidaklah dikatak beriman kepada Allah kucuali ia berakhlak mulia. Sebab di antara tanda-tanda iman yang paling utama terletak pada akhlak mulia, dan di antara tanda-tanda nifak yang paling menonjol adalah akhlak yang buruk. Dalam al-Qur’an terdapat 1504 ayat atau hamper ¼ keseluruhan ayat dalam al-Qur’an , yang berhubungan dengan akhlak baik dari segi teori maupun praktis.
2. Islam Agama Peradaban
Al-Islamu huwa al-dinu wa al-madaniyah, Islam adalah agama (doktrin) dan peradaban. Masuklah kamu kedalam Islam, niscaya kamu akan beradab. Al-Qur’an sebagai sumber otentik ajaran islam memberikan daya dorong yang luar biasa bagi peradaban manusia.
Dilihat dari subtansinya, yang membuat manusia mendapat gelar ahsani taqwim atau sebaik-baik makhluk, bukan hanya sifat, postur tubuh, dan kegiatan-kegiatan yang ada padanya, melainkan keseluruhan komponen yang dimiliki manusia.
Sedangkan secara fungsional, yang membuat manusia berkedudukan tinggi melebihi makhluk lainnya, yaitu diberikan amanat sebagai khalifah, dan disebabkan ia mampu mengelola dan memformat fenomena alam melalui fitrahnya dan kerangka nilai, untuk menciptakan peradaban.
3. Kebudayaan Islam dalam Konteks
Kemajuan umat Islam pada abad pertengahan diawali dengan adanya etos berilmu, bekerja dan berbudaya yang tinggi serta penghargaan atas prestasi budaya secara obyektif dan tanpa apriori dalam memandang sebuah peradaban.
Kerangka Filosofi Dan Teologi Pendidikan
A. Seputar Konsep Paradigma
Paradigma dalam Oxford advanced learner’s dictionaries berarti (general) pattern atau model. Basa juga berarti kaidah, dalil, tafsir dan pola dari sesuatu yang dianggap benar dan baku. Sesuatu yang di anggap benar dan baku adalah sesuatu yang dapat dijadikan sumber keyakinan sehingga dapat dijadikan pedoman, pegangan, tempat berpijak, pondasi, dasar dan rujukan dalam berfikir, bersikap dan berperilaku. Manusia sebagai bermoral senantiasa mendasarkan tindakannya pada nilai dan norma tertentu dan akan di nilai dari perspektifnnilai dan moral tertentu pula. Dalam dunia akademik, perilaku ilmiah senantiasa didasarkan pada paradigma tertentu sebagai landasan suatu teori dan metode. Pendidikan Islam sebagai sebuah science
memiliki kebenaran ilmiah relative. Problematika di bidang pendidikan yang terus berkembang mengharuskan adanya solusi-solusi baru yang mungkin tidak dapat lagi dipecahkan oleh teori-teori lama.
B. Filsafat
1. Konsep Filsafat
Istilah filsafat berarti cinta kebenaran (al-haq) dan kebijaksanaan (al-hikmah). Penggunaan istilah “cinta” bukan istilah lain misalnyanpenemu, pemilik dan penjaga, menggambarkan sikap rendah hati para filosof akan keterbatasannya dalam usaha menggapai kebenaran dan kebijaksanaan itu. Ia hanya mendapatkan kebenaran dan kebijaksanaan itu secara relatif dan temporal, sedangkan yang hakiki tetap tidak terjangkau.
Dalam pandangan Islam, kecintaan, kekaguman dan pengharapan manusia kepada yang benar dan yang bijaksana itu dinamakan fitrah dan hanief atau udah merupakan blue print dari Allah. Fitrah manusia dalam pandangan Islam bukan hanya bertuhan, melainkan ingin mengenal lebih jauh dan mencintai Tuhan yang hakiki, Tuhan yang Maha Benar dan Maha Bijaksana.
Filsafat juga di sebut sebagai the mother of science, induk dari ilmu pengetahuan. Menurut Will Durant, filsafat diibaratkan pasukan marinir yang merebut pantai untuk pendaratan pasukan infanteri. Pasukan infanteri sebagai pengetahuan yang di antaranya adalah ilmu.
Dalam abad ilmu pengetahuan yang sekarang ini, hubungan filsafat dengan ilmu tampaknya mengalami perubahan. tidak ada ilmuwan atau filosof yang murni. Menurut Yiung (1980: 26) mengatakan bahwa filsafat berupaya untuk mengintegrasikan sebagai informasi yang ditemukan oleh sains.
Filsafat juga di sebut sebagai the supreme art, pengetahuan tertinggi atau the art of life, pengetahuan tentang hidup. Ia bagaikan puncak gunung tertinggi sehingga dapat dengan jelas dan secara terpadu melihat realita dibawahnya.
2. Panggilan Berfilsafat
Berfilsafat dengan demikian merupakan panggilan hidup sebagai manusia pada umumnya dan lebih khusus lagi sebagai muslim. Dengan berfilsafat, berfikir bisa lebih sistematis, kritis, analitis, sintesis dan thick description atau penggambaran yang mendalam sehingga berbagai persoalan dapat dipecahkan secara lebih efektif. Dengan berfilsafat dapa mengurangi apologi-apologi truth claim, dan kepicikan dalam beragama dan sebaliknya dapat memperkaya argumentasi dan mampu mendialogkan antar teks dengan konteks. Dengan berfilsafat keluwesan dan keluasan hidup termasuk dalam beragama serta hidup multikulturalisme beragama dapat lebih mungkin terwujud. Dengan demikian tidak ada pertentangan apalagi larangan berfilsafat.
Dengan pikiran kritis dan analitis, kita dituntut untuk bersikap wajar (apa adanya) dan sadar hasil dari perenungan yang seksama, dengan sikap kritis kita dapat menerima perbedaan yang seksama, dengan perbedaan tanpa caci maki, karena masing-masing menyadari bahwa setiap manusia memiliki kebebasan untuk mengemukakan pendapat berdasarkan pada sistem nilai, informasi maupun agama yang dianut.
3. Filsafat Sebagai Aksi
Berfilsafat bukan semata-mata pekerjaan para filosof yang hanya memikirkan hal-hal yang abstrak. Berfilsafat adalah tugas dan kewajiban setiap orang dengan kadar masing-masing. Tindakan manusia senantiasa didasarkan atas fenomena aksi-reaksi dan kontemplasi berdasarkan pilihan-pilihan moral yang dianut.
Sedangkan berfilsafat sebagi sikap sebenarnya merupakan buah dari poin pertama dan kedua, maksudnya dengan berfilsafat seseorang memiliki kesadaran diri, kearifan dan kebijaksanaan.
C. Teologi
1. Pengertian teologi
Istilah teologi lahir dari tradisi Kristen. Secara harfiah, teologi berasal dari bahasa Yunani berarti ilmu pengetahuan, tapi pengertian ini menurut Steenbrink (1987:10) dianggap kurang cocok karena teologi memang tidak bermaksud membicarakan problematika mengenai ketuhanan baik wujud, sifat dan perbuatan-Nya, yang dalam hazanah Islam disebut Ilmu Kalam.
Kalau kita membicarakan teologi, sekurang-kurangnya dilihat dari tiga segi: teologi actual yaitu berteologi melahirkan keprihatinan iman dalam wujud tingkah lakunya sehari-hari; teologi intelektual yaitu teologi yang melahirkan pemikiran keagamaan berjilid-jilid yang hanya dipahami oleh para alim ulama di bidang ini; dan teologo spiritual yaitu teologi yang melahirkan perilaku mistik.
2. Teologi Kontekstual
Teologi yang fungsional, yaitu yang bisa membangun etos dan kesadaran etis dan pada gilirannya melahirkan amal saleh haruslah teologi kontekstual. Teologi yang hidup adalah teologi mengenai kehidupan. “A living theology is a theology of life”. Itu berarti bahwa ketika konteks kehidupan berubah, maka diperlukan pula suatu teologi yang baru, sebab teologi yang benar-benar kontekstual senantiasa dinamis dan kreatif, peka dan cepat tanggap terhadap konteksnya (Darmaputera, 1991: 8)
Dalam berbagai belahan dunia, teologi kontekstual adalah teologi yang amat menekankan konteks social, politik, ekonomi, dan budaya seperti teologi pembebasan (Brazil), Teologi Hitam dan Teologi Feminis (Amerika),teologi pembangunan, Teologi Transformatif (Asia), Teologi Ekologi dan lain sebagainya.
3. Fungsionalisasi Teologi
Teologi yang benar haruslah yang fungsional. Beriman yang benar adalah yang mampu melahirkan amal saleh, shalat yang benar adalah yang mampu mencegah dari perbuatan keji dan munkar dan seterusnya. Masalah fungsional atau tidaknya sebuah teologi atau keberagamaan seseorang adalah masalah yang sangat subyektif karena menyangkut pengalaman keagamaan yang sifatnya individual.
4. Berteologi di Bidang Pendidikan
Berteologi yang tidak kontekstual adalah teologi yang tidak fungsional cenderung melahirkan perilaku beragama yang ekskutif, mistik dan individualistik. Berteologi di bidang pendidikan berarti berusaha mengkontekskan keprihatinan imam atau panggilan hidup berdasarkan perintah keagamaan dengan masalah-masalah pendidikan.
D. Pendidikan
Istilah pendidikan adalah istilah genetik, dalam arti dapat diartikan secara luas maupun sempit. Istilah pendidikan dapat diartikan dengan lebih khusus lagi yaitu sebagai proses belajar-mengajar di kelas dan ilmu mendidik ((pedagogy). Dari segi istilah, pendidikan berasal dari dua kata latin educare dan educeere. Yang pertama member arti “merawat” melengkapi dengan gizi agar sehat dan kuat”. Yang kedua berarti “membimbing keluar dari” (Sidjabat, 194: 8).
Dari beberapa pengertian tentang pendidikan di atas, penulis menyimpulkan bahwa yang dimaksud pendidikan adalah usaha sadar atau bersahaja dengan bantuan orang lain (pendidik) atau secara mandiri sebagai upaya pemberdayaan atas segala potensi yang dimiliki (jasmani dan rohani) agar dapat menciptakan kehidupan yang fungsional dan bernilai bagi diri dan lingkungan.
Walaupun terdapat perbedaan perumusan, akan tetapi semuanya dapat benang merahnya, bahwa pendidikan senantiasa memiliki dua persoalan penting yaitu pewarisan nilai dan pemberdayaan.
E. Seputar Pendidikan Islam
1. Konsep Pendidikan Islam
Konsep pendidikan Islam seringkali mengundang keragaman arti. Pendidikan Islam bisa pula berarti lembaga pendidikan yang didalamnya terdapat kegiatan yang menjadikan Islam sebagai identitasnya. Perkembangan terakhir memberikan pengertian bahwa pendidikan Islam di beri arti lebih subtansial sifatnya, yaiti bukan sebagai proses belajar-mengajar, akan tetapi lebih menekankan sebagai suatu iklim pendidikan.
Pengertian pendidikan Islam yang berkembang dalam masyarakat baru baru sekedar penerapan etika Islam dalam pemanfaatannya, pada hal yang namanya pendidikan Islam seharusnya pengejawantahan nilai-nilai Islam dalam pendidikan baik secara ontology, epistomologo dan aksiologisnya.
Munawir Sadzali (1990) mengemukakan di kalangan kaum muslim sendiri ada empat pola pemahaman, pertama, Islam sebagai agama terakhir dan penyempurna dari agama-agama wahyu sebelumnya, Islam adalah punjak kehidupan umat manusia. Kedua, berpendaat bahwa Islam hanya mengatur hubungan antara manusia dan Tuhannya, mengajak manusia kembali ke kehidupan yang mulia dengan menjunjung tinggi budi pekerti yang luhur. Ketiga, Islam bukanlah sebuah sistem kehidupan yang praktis dan baku, melainkan sebuah sistem nilai dan norma yang secara dinamis harus dipahami dan diterjemahkan berdasarkan setting social dan dimensi ruang dan waktu tertentu. Keempat, mengatakan bahwa Islam itu adalah petunjuk hidup yang menghidupkan
Keempat pendapat tersebut sebenarnya tidak ada yang salah sehingga tidakm perlu yang satu menyalahkan yang lain.
2. Dasar Teologi Pendidikan Islam
ZarqawiSoejoeti mengemukakan bahwa pendidikan Islam paling tidak mempunyai tiga pengertian: pertama, lembaga pendidikan yang pendirian dan penyelenggaraannya didorong oleh hasrat mengejawantahkan nilai-nilai Islam yang tercermin dalam nama lembaga pendidikan itu dan kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan. Kedua, lembga pendidikan yang memberikan perhatian dan menyelenggarakan kajian tentang Islam yang tercermin dalam program kajian sebagai ilmu diperlakukan seperti ilmu-ilmu yang lain yang menjadi program kajian lembagapendidikan Islam yang bersangkutan. Ketiga, mengandung kedua pengertian di atas, dalam arti lembaga tersebut memperlakukan Islam sebagai sumber nilai bagi sikap dan tingkah laku yang harus tercermin dalam penyelenggaraannya maupun sebagai bidang kajian.
F. Pemikiran Filosofis Tentang Pendidikan Islam
Dalam mengkaji tentang pemikiran filosofis pendidikan Islam, perlu diterapkan filsafat sebagai content yaitu onotologi (metafisika), epistemology (teori pengetahuan), dan aksiologi (teori nilai, estetika) dalam usaha memahami hakikat dan tujuan pendidikan. Ide tentang tujuan pendidikan itu mempengaruhi pemikiran atau pandangan mengenai komponen-komponen dalam pendidikan. Akan tetapi, semua komponen itu tidak semata-mata dipengaruhi oleh tujuan pendidikan, melainkan juga dipengaruhi oleh dinamika politik dan ideologi yang berkembang dalam konteks.
BAB II
Visi dan Misi Pendidikan Islam
A. Rahmat Bagi Semesta Alam
1. Membangin Republik Surga
Misi yang diemban oleh pendidikan Islam tidak lain adalah misi Islam itu sendiri yaitu rahmatan lil’alamin (rahmat bagi seluruh alam), dalam bahasa yang sederhana misi Islam adalah agar manusia tidak hanya menabung dan berharap surge dan terhindar dari neraka di akhirat, tetapi juga dapat menciptakan republic surge dan menghindari neraka dunia. Dalam pandangan Islam, segala aktivitas manusia diniatkan sebagai upaya mewujudkan rahmatan lil’alamin bernilai ibadah.
Dan untuk mewujudkan misi Islam itu Allah telah memberikan tiga modal utama kepada manusia berupa potensi kemanusiaan, jagad raya, dan agama Islam. Manusia dengan bekal fitrahnya yang hanief atau dengan ruh, kalbu dan akal sehatnya yang secara kodrati memihak kepada kebenaran, sebenarnya sepakat dan bahkan senantiasa berupaya mancapai cita-cita Islam di atas, siapapun orangnya tanpa harus memandang identitas agama dan suku bangsanya.
2. Peran Agama dalam Konteks
Agama sebagai sumber nilai yang secara sosiologis diyakini kebenarannya oleh sebagian besar umat manusia mampu berperan, terutama dalam memberikan petunjuk, kekuatan moral, dan solusi-solusi tegas terhadap barbagai persoalan etik manusia. Studi sosiologis membuktikan bahwa agama memiliki hubungan yang erat dengan persoalan kehidupan manusia baik secara individu maupun bersama-sama.
Menghadapi kondisi kehidupan manusia yang senantiasa diwarnai dengan berbagai krisis kemanusiaan di satu sisi dan tuntutan penegak hak asasi manusia di sisi lain, agama harus tetap teguh sebagai kekuatan moral.
Memang dalam rangka menegakkan misi Islam, manusia perlu perjuangan, sebab dalam kenyataan kekuatan manusia untuk melakukan pengrusakan hampir sama kuatnya untuk membangunnya.
3. Pendidikan sebagai Penebar Rahmat dan Anti Kekerasan
Islam dalam wataknya yang asli adalah anti kekerasan. Islam mengajarkan agar manusia memiliki sikap social luhur: pengabdian menggantikan kekuasaan, pelayanna menggantikan dominasi, pengampunan menggantikan permusuhan.
Sikap lemah lembut dengan penuh kasih saying sudah sepatutnya dipercontohkan oleh para orangtua, para pendidik dan komunitas sekolah lainnya sebagai manivestasi ajaran agama yang diyakininya.
4. Jalan Tengah Mencapai Misi Islam
Dalam kehidupan dunia ini manusia cenderung bersifat ekstrim, yaitu cenderung menekan pada satu dan kurang bahkan meninggalkan aspek lainnya. Dalam pandangan islam, setiap permasalahan harus dilihat dari dua perspektif-dialektis: objektifitas dan transendensi, demokrasi dan teokrasi. Objektifitas menurut masing-masingkelompok kepentingan dalam masyarakat untuk menahan diri, tidak memaksakan kehendak apalagi menafikan lain pihak. Sedangkan yang dimaksud dengan transendensi adalah kesadaran bahwa manusia itu memiliki fitrah dan hanief.
B. Menghargai Ilmu dan Orang yang Berilmu
Para ahlul hikmah mengatakan bahwa ilmu adalah kekuatan, ilmu adalah mukjizat, ilmu adalah perisai yang akan melindungi pemiliknya dari kehancuran. Bangsa yang terhormat, Berjaya dan menjadi penguasa di dunia adalah bangsa yang berilmu pengetahuan.
Kita sudah sering mendengar bahwa agama Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi ilmu pengetahuan, menuntut ilmu adalah wajib, dan orang yang berilmu memperoleh kemulyaan dan derajat yang tinggi.
Dalam surat al-Mujadalah ayat 11 dikemukakan: “Allah akan mengangkat derajat oaring-orang yang beriman dan berilmu pengetahuan beberapa derajat”. Ayat ini mengilhami kita untuk bersungguh-sungguh dan konsisten dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.
C. Membangun Peradaban di Era Informasi
persoalan masa depan sebenarnya adalah persoalan intelektual.pemikiran intelektual akan menentukan pertumbuhan kesadaran dan cita masa depan umat manusia. Oleh karena itu peningkatan jumlah kaum intelektual pemikiran dan corak masa depan akan semakin beragam.
1. Agama dan Kebudayaan
Kualitas manusia terletak pada penilaian kembaliterhadap setiap produk kebudayaan yang diciptakan sehingga menunjukan kualitas kepribadian manusia itu sendiri. Secara fungsional yang membuat manusia berkedudukan paling tinggi di antara makhluk Allah yang lain adalah karena memiliki kemampuan untuk mengantisipasi dan memformat fenomena yang ada melalui fitrah dan kerangka nilai yang di serap untuk menciptakan kebudayaan.
2. Agama dan Fenomena Modernitas
Kebudayaan merupakan rekayasa manusia terhadap potensi manusiawi dan potensi alam dalam rangka mengangkat harkat dan martabat kemanusiaan. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai ujung tombak kebudayaan yang di pandang menentukan jalan sejarah telah mengalami lompatan-lompatan yang menakjubkan. Persoalan adalah apakah kemajuan teknologi informasi itu sungguh-sungguh dapat melahirkan masyarakat yang lebih baik.
Apa yang dihadapi manusia dalam rangka modernitas kebudayaan dengan kemajuan IPTEK tersebut di atas adalah masalah keselamatan manusia dan nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri beserta kerusakan bumi dan kerancuan makna kemanusiaan.
D. Penyelamat Peradaban Umat Manusia
1. Misi Islam dan Dambaan Fitri Umat Manusia
Misi yang diemban pendidikan Islam tidak lain adalah misi Islam itu sendiri yaitu agar manusia dalam menjalani amanat kehidupan ini dapat membangun kerajaan dunia yang makmur, dinamis, dan harmonis atas dasar nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan. Misi Islam tersebut akan dapat diwujudkan oleh tidak saja manusia yang mengaku beriman atau mengaku beragama, tetapi sekaligus orang yang berilmu pengetahuan, berwawasan luas tentang hakikat kehidupan beradab, terampil, komitmen kepada nilai-nilai idealitas kemanusiaan seperti keadilan, kebersamaan, dan kasih sayang.
Akan tetapi untuk mencapai kondisi yang ideal yang dicita-citakan Islam dan seluruh umat manusia kesadaran beragama dikalangan peserta didiknya.
2. Tujuan Pendidikan Nasional dan Pendidikan Agama
Pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengemban manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan , kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggungjawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Dilihat dari sudut pandang Islam, formulasi tujuan pendidikan nasional di atas dapat dikatakan sebagai penjabaran cerdas dari ajaran Islam yang universal dalam konteks keindonesiaan, karena memang dirumuskan oleh para wakil rakyat, cendikiawan yang dari komit dengan bangsanya dan keislamannya.
BAB III
Tujuan Pendidikan Nasional
A. Rumusan Tujuan Pendidikan Islam
Dalam aktivitas pendidikan, tujuan dan cita-cita itu dirumuskan dalam tujuan akhir, tujuan akhir biasanya dirumuskan secara padat dan singkat. Rumusan tujuan pendidikan Islam biasanya digambarkan dalm dua perspektif, yaitu prekspektif manusia (pribadi) ideal dan perspektif masyarakat (makhluk social) ideal.
Sebagai rumusan akhir dari sebuah cita-cita, tujuan tersebut bersifat ideal-statis dalam arti rumusan tetap, tetapi kualitas dari tujuan itu adalah dinamis dan berkembang nilai-nilai dan standarisasinya.
B. Strategi Merumuskan Tujuan
1. Strategi Normatif Filosofis
Strategi merumuskan tujuan pendidikan Islam merupakan bagian terpenting dari diskursus tentang filsafat pendidikan Islam. Tujuan adalah sesuatu yang di cari atau sesuatu yang ingin diperoleh. Nilai-nilai yang paling berharga yang harus dijadikan paradigma dalam merumuskan tujuan pendidikan Islam, secara singkat terdiri dari nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, dan kealaman.
2. Strategi Melalui Analisa Historis
Sejarah adalah gagasan peristiwa masa lalu yang bermakna bagi perjalanan hidup manusia ke depan. Sejarah memberikan pengalaman, pelajaran dan hikmah yang sangat berharga tentang kebaikan atau keburukan, keberhasilan atau kegagalan, kemajuan atau kemunduran, dan kejayaan atau keterpurukan umat manusia. Orang yang bodoh dalam perspektif sejarah bukan orang yang ber-IQ rendah, melainkan orang yang tidak mau belajar dari sejarah.
3. Strategi Melalui Analisa Ilmiah atau Sosiologis
Perumusan tujuan pendidikan melalui analisa ilmiah atau sosiologis, dimaksudkan agar lulusan pendidikan senantiasa konsektual dengan dinamika tuntutan masyarakat. Strategi ini meliputi dua strategi: pertama, strategi investasi sumber daya manusia, dimana lulusan pendidikan harus mampu memenuhi tuntutan ketenagakerjaan yang diperlukan masyarakat. Kedua, teori ekonomi neoklasik, pendidikan adalah investasi, tak ubahnya dengan investasi modal fisik, karena itu pendidikan harus menghasilkan manusia-manusia produktif yang mampu menghasilkan nilai tambah bagi pertumbuhan ekonomi.
Pendekatan melalui tiga aspek (filsafat, historis, scientific) itu secara terpadu diperlukan untuk memperoleh penetapan tujuan yang lebih realistis.
C. Setting Sosial Dalam Merumuskan Tujuan
Herry J. Benda dalam Bulan Sabit Mataharin Terbit menulis tentang model sekolah yang dikembangkan KH. A. Dahlan. “sekolah-sekolahnya termasuk beberapa yang bahkan memakai bahasa belanda sebagai bahasa pengantar silabus modern yang memasukkan pendidikan umum dan pendidikan gaya barat maupun pengajaran agama yang berdasarkan pelajaran bahasa Arab dan tafsir al=Qur’an” (Herry J. Benda, 1970)
Dari hasil studi menunjukan bahwa, langkah-langkah yang di ambil KH. A. Dahlan tersebut merupakan pelaksanaan cita-cita ingin membentuk manusia muslim yaitu:
1. Baik budi, alim dan agama
2. Luas pandangan , alim dalam ilmu-ilmu dunia (umum)
3. Bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakat (Amir Hamzah Wiryosukarto, 1968)
Kontekstualisasi pendidikan dengan persoalan hidup adalah niscaya, sebagian keniscayaan kontekstualisasi pemahaman dan pengalaman ajaran social Islam
D. Hambatan dalam Mencapai Tujuan
Pendidikan nasional adalah pelaksanaan pendidikan suatu Negara berdasarkan sosio cultural, sosio psikologis, sosio ekonomis, dan sosio politis suatu bangsa. Pendidikan nasional adalah satu keseluruhan yang terpadu dari semua satuan dan kegiatan pendidikan yang berkaitan satu dengan yang lainnya untuk mengusahakan tercapainya tujuan pendidikan nasioanal.
Yang menjadi tema sentral perhatian dan pemikiran kita sekarang ialah justru pada: pertama, ada tidaknya kemampuan dan keberanian umat Islam melakukan perombakan dan pembaharuan lembaga-lembaga pendidikan yang dimiliki atau yang sekarang ini baik isi, kelembagaan maupun sistem dan metodenya. Kedua, seberapa jauh manusia merasa aman dan ikut memiliki Indonesia ini dalam arti seluas-luasnya. Agaknya kalau terasa ada hambatan kemungkinan justru hambatan internal umat Islam itu sendiri.
Sebagai jalan keluar merealisasikan tujuan pendidikan tersebut adalah tidak ada alternative lain kecuali umat Islam terus menerus melakukan ijtihadnya, membangun etos berfikir dan bekerja keras.
BAB IV
Kurikulum Pendidikan Islam
A. Pandangan Islam Tentang Ilmu Pengetahuan
1. Paradigma Ilmu Bebas Nilai
Apa ilmu itu bebas niali? Bagi ilmuwan yang menganut paradigm positivistic tentunya mengiyakan atau member jawaban positif atas pertanyaan di atas.
pemikiran yang mengatakan bahwa filsafat merupakan proses kerja akal sebagai mother of science dapat dipahami sebagai dampak dari humanism antroprosentris itu.
Penulis mengakui bahwa filsafat humanism antroprosentrisdan konsep ilmu yang bebas nilai (value free) mampu membuat ilmu pengetahuan berkembang pesat meluas dan mendalam dan telah meninggalkan induknya, filsafat. Akibatnya suatu cabang ilmu telah memiliki berbagai cabang sedemikian rupa yang mengakibatkan masing-masing disiplin terpisah satu dengan yang lainnya. Walaupun masih dalam rumpun ilmu yang sama.
2. Paradigma Ilmu Tidak Bebas Nilai.
Sebagaimana diketahui bahwa teosentrisme adalah suatu paham yang menempatkan Tuhan sebagai sentral dalam sistem kehidupan ini bukan hanya dalam penciptaan dan kekuasaannya, tetapi juga dalam segala aktivitas.
Adapun langkah-langkah yang ditempuh untuk mewujudkan paradigm tauhid yang pada gilirannya akan mengislamkan ilmu pengetahuan di atas menurut Faruqi adalah: pertama, penguasaan disiplin modern yang difokuskan penguraian kategoris; kedua, survey disiplin ilmu, yang berusaha memahami ilmu-ilmu modernmulai dariparadigma yang di pakai sampai tokoh-tokohnya; ketiga, penguasaan tentang hakikat ilmu-ilmu keislaman; keempat, analisa hazanah ilmu-ilmu keislaman; kelima, penentuan relevansi Islam dengan cara khas terhadap disiplin-disiplin ilmu; keenam, penilaian kritis terhadap disiplin ilmu modern dalam konteks kekinian; ketujuh, penilaian kritis terhadap hazanah Islam dalam konteks kekinian; kedelapan, survey terhadap permasalahan yang dihapai umat Islam; kesembilan, survey permasalahan yang dihadapi umat manusia; kesepuluh, analisa kreatif dan sintesa; kesebelas, penemuan kembali disiplin ilmu modern kedalam kerangka Islam; dan keduabelas, sosialisasi ilmu-ilmu yang telah diislamkan.
Menurut penulis, polemik seputar islamisasi ilmu pengetahuan itu lebih bersifat intelektual exercise semata. Ilmu itu tidak perlu diislamkan karena secara epistemology sudah mengikuti sunnahtullah yang diperlukan oleh spiritualisasi human being.
3. Filsafat Pancasila dan Filsafat Pendidikan
Antara filsafat hidup dengan fisafat pendidikan memiliki hubungan yang erat. Bahkan fisafat pendidikan sering sekali dibentuk atau pengejawantahan lebih jauh dari filsafat hidup yang dianut. Pancasila sebagai pedoman hidup adalah dasarnya merupakan akumulasi dari nilai-nilai filsafat hidup seluruh bangsa Indonesia sebagai kesepakatan luhur kalimatun sawa’ atau common plat form dari seluruh bangsa Indonesia.
B. Pandanagn Islam Tentang Akhlak dan Peradaban
1. Pentingnya Akhlak
“Aku di utus oleh Allah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”. Demikian bunyi salah satu Hadist Nabi yang popular. Cara Rasulullah menyempurnakan akhlak itu dilakukan dengan perbuatan nyata (uswah hasanah), ajakan dan ketetapan-ketetapan. Dengan demikian terbentuk pribadi yang berakhlak, kekuasaan yang berakhlak merupakan salah satu tugas utama Islam dan umatnay. Pentingnya akhlak dalam Islam adalah nomor dua setelah iman. Seseorang tidaklah dikatak beriman kepada Allah kucuali ia berakhlak mulia. Sebab di antara tanda-tanda iman yang paling utama terletak pada akhlak mulia, dan di antara tanda-tanda nifak yang paling menonjol adalah akhlak yang buruk. Dalam al-Qur’an terdapat 1504 ayat atau hamper ¼ keseluruhan ayat dalam al-Qur’an , yang berhubungan dengan akhlak baik dari segi teori maupun praktis.
2. Islam Agama Peradaban
Al-Islamu huwa al-dinu wa al-madaniyah, Islam adalah agama (doktrin) dan peradaban. Masuklah kamu kedalam Islam, niscaya kamu akan beradab. Al-Qur’an sebagai sumber otentik ajaran islam memberikan daya dorong yang luar biasa bagi peradaban manusia.
Dilihat dari subtansinya, yang membuat manusia mendapat gelar ahsani taqwim atau sebaik-baik makhluk, bukan hanya sifat, postur tubuh, dan kegiatan-kegiatan yang ada padanya, melainkan keseluruhan komponen yang dimiliki manusia.
Sedangkan secara fungsional, yang membuat manusia berkedudukan tinggi melebihi makhluk lainnya, yaitu diberikan amanat sebagai khalifah, dan disebabkan ia mampu mengelola dan memformat fenomena alam melalui fitrahnya dan kerangka nilai, untuk menciptakan peradaban.
3. Kebudayaan Islam dalam Konteks
Kemajuan umat Islam pada abad pertengahan diawali dengan adanya etos berilmu, bekerja dan berbudaya yang tinggi serta penghargaan atas prestasi budaya secara obyektif dan tanpa apriori dalam memandang sebuah peradaban.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mari kita membaca dengan hati plus mata