Iman dalam Perspektif Sejarah kebudayaan Islam telah menjadi saksi bahwa dengan iman, umat Islam generasi pendahulu mencapai kejayaan, berhasil merubah keadaan dunia dari kegelapan menjadi terang benderang. Dengan iman, masyarakat mereka menjadi masyarakat adil dan makmur. Namun, setelah redup cahaya iman di hati setiap insan, maka lenyaplah nilai-nilai kebaikan itu dan masyarakatnya menjadi
masyarakat yang penuh dengan kebohongan, kesombongan, kekerasan, individualisme, keserakahan, kerusakan moral, dan berbagai perilaku mungkar lainnya. Oleh karena itu apabila ingin mencapai kejayaan sebagaimana yang telah dicapai para generasi pendahulu, maka sudah barang tentu kata kuncinya tak lain adalah iman dalam arti yang sebenarnya serta melaksanakan segala yang menjadi konsekuensinya.
A. Pengertian Iman
Menurut definisinya, kata iman berarti membenarkan, mempercayai. Artinya, membenarkan dengan hati, diucapkan dengan lisan dan dibuktikan dengan perbuatan. Dasarnya adalah hadits riwayat Ibnu Majah dari Ali R.A, bahwa iman itu ma’rifat di hati, pengakuan dengan lisan, dan pekerjaan dengan anggota tubuh (Syukir, 1984:9).
Ibnu Taimiyah ketika ditanya tentang iman, beliau menjawab: Ucapan yang disertai dengan perbuatan, diiringi dengan ketulusan niat, dan dilandasi dengan Sunnah. Sebab, iman itu apabila hanya ucapan tanpa disertai perbuatan adalah kufur, apabila hanya ucapan dan perbuatan tanpa diiringi ketulusan niat adalah nifaq, sedang apabila hanya ucapan, perbuatan dan ketulusan niat, tanpa dilandasi dengan sunnah adalah bid'ah (Al-Islam, 1999a).
Bukan sekedar pengertian dan keyakinan dalam hati; bukan sekedar ikrar dengan lisan, dan bukan pula sekedar amal perbuatan. Tetapi iman itu pada hakikatnya adalah keyakinan yang disertai dengan perbuatan. Dengan demikian keyakinan dalam hati saja
tidaklah cukup untuk membuktikan keimanan, hal ini tercermin dalam tindakan Iblis yang meyakini keesaan Allah tapi mereka membangkang terhadap perintahNya. Imam Hasan Basri mengatakan bahwa "… iman itu bukanlah sekedar angan-angan, dan bukan
pula sekedar basa-basi dengan ucapan, akan tetapi sesuatu keyakinan yang terpatri dalam hati dan dibuktikan dengan amal perbuatan” (Al-Islam, 1999a).
B. Kedudukan Iman dalam Islam
Iman dan Islam adalah dua sejoli yang tidak boleh dipisahkan. Keduanya ibarat dua sisi uang logam. Tidak ada Iman tanpa Islam, dan tidak ada Islam tanpa Iman. Tetapi bukan berarti Islam itu adalah Iman, dan Iman adalah Islam.
Iman apabila disebutkan bersama-sama dengan Islam menunjukkan kepada hal-hal batiniyah sebagaimana dalam Rukun Iman. Demikian juga Islam, apabila disebutkan bersama-sama dengan Iman, maka menunjukkan kepada hal-hal lahiriyah sebagaimana dalam Rukun Islam (Hadits Jibril riwayat Al-Bukhari dan Muslim).
Namun, apabila Iman disebutkan tersendiri (tanpa dengan Islam) maka mencakup pengertian Islam dan tidak terlepas darinya, karena iman adalah keyakinan, ucapan dan perbuatan. Demikian pula Islam, apabila disebutkan tersendiri (tanpadengan Iman) maka mencakup pengertian Iman dan tidak boleh dipisahkan darinya. Karena Islam pada hakikatnya adalah berserah diri (lahir dan batin) kepada Allah SWT dengan mengikuti segala perintahNya dan menjauhi segala laranganNya (Q.S. Al-Anfal: 2-3, Al-Mu'minun:1-9, dan Al-Imran:19, 85).
Keeratan hubungan antara Iman dan Islam menunjukkan bahwa kedudukan Iman dalam Islam menempati posisi amat penting dan strategis. Iman adalah dasar bagi seluruh perbuatan manusia. Tanpa iman, tidak sah dan tidak akan diterima amal keislamannya. Hal ini dinyatakan oleh Allah SWT dalam FirmanNya:
"Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal shaleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun" (Q.S. An-Nisa':124).
Selain itu, dalam Al-Qur'an persoalan iman disebutkan lebih dari 840 kali. Hal ini tiada lain menunjukkan betapa penting posisi dan kedudukan iman dalam Islam.
C. Nilai-nilai Iman dalam Kehidupan
Kedudukan dan posisi Iman dalam Islam adalah sesuatu yang sangat azasi. Hanya dengan imanlah kehidupan manusia mempunyai arti dan makna. Karena imanlah yang mendorong manusia untuk berbuat kebajikan (amal shaleh), menegakkan kebenaran (al-haq) serta menjadi filter dan pengingat ketika hendak berbuat kejahatan. Terlebih lagi dalam kehidupan moderen seperti sekarang ini, di mana arus informasi memasuki era globalisasi, maka tidak ada yang dapat membentengi seseorang dan melindungi dirinya kecuali keimanannya.
Bahkan hanya imanlah yang dapat memberikan kepuasan dan kebahagiaan hidup yang sejati. Karena kepuasan dan kebahagiaan tidaklah dapat dicapai kecuali dengan ketenangan jiwa, dan ketenangan jiwa tidak dapat dicapai kecuali dengan iman yang benar.
"Dialah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan Allah mempunyai tentara-tentara langit dan bumi, dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijak-sana." (Q.S. Al-Fath: 4).
Abas bin Abdil Muthalib menerangkan pula bahwa Muhammad SAW. pernah bersabda:
"Orang yang merasakan kelezatan iman, ialah orang yang rela Allah sebagi Tuhan, Islam sebagi agama dan Muhammad SAW sebagai Rasul." (HR. At-Turmudzi).
Jadi Iman adalah sumber segala yang diperlukan manusia dalam kehidupan. Iman adalah kekuatan; Iman adalah ruh kehidupan; iman adalah dunia keindahan, penunjuk jalan, pelita dalam kegelapan, dan kunci rahasia kehidupan. Singkatnya, Iman adalah kebutuhan essensial bagi kehidupan manusia di segala zaman. Dengan demikian, tanpa Iman, sia-sialah hidup ini.
Yusuf Al-Qardawi dalam Al-Islam (1999b), menjelaskan bahwa individu tanpa agama dan iman, ibarat bulu yang ditiup angin, terombang-ambing kesana-kemari, tak mempunyai arah dan tujuan. Individu tanpa agama dan iman adalah manusia yang tak ada nilai dan akarnya. Pribadi yang galau dan bingung, tak tahu hakikat dirinya, atau rahasia eksistensinya. Tak tahu siapa yang memberinya kehidupan, dan untuk apa, lalu mengapa dicabutnya kembali? Manusia tanpa agama dan iman, adalah makhluk hidup yang buas. Pengetahuan dan hukum saja, tak dapat membatasi kebuasannya atau memotong kuku-kuku cengkeramannya. Dan masyarakat tanpa agama dan iman, adalah masyarakat rimba. Meski berkilau tanda-tanda kemajuan, tapi siapa yang kuatlah yang hidup dan berkuasa, bukan siapa yang lebih mulia atau lebih bertakwa. Masyarakat yang tak berharga dan rendah nilainya, karena tujuan orang-orangnya tak lebih dari sekedar memenuhi kepuasan perut dan syahwat. Mereka hanya bersenang-senang dan makan minum seperti halnya binatang.
D. Perilaku dalam Perspektif Islam
Perilaku manusia sangatlah kompleks dan mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, seakan-akan tiada batas. Hal ini menunjukkan betapa exclussive dan special kodrat manusia dalam kehidupannya di muka bumi ini. Ia menduduki posisi sentral di alam jagat raya ini. Ia adalah makhluk teomorfis, yang memiliki suatu kemiripan dengan Tuhan dalam dirinya. Ia mengemban misi Illahiyah di dunia ini. Oleh karenanya manusia diberiNya kebebasan untuk berperilaku. Dengan kebebasannya inilah manusia mempunyai kemampuan untuk menjadi khalifah (penguasa) di bumi, yang malaikat saja tak sanggup mengembannya.
Sebenarnya, adanya konsep kehendak bebas itu menunjukkan bahwa manusia tidak diikat dengan takdir dalam arti harfiah. Karena kebebasan itu ada setelah manusiadiberikan perangkat kecakapan untuk memilih. Baru kemudian ia memiliki kebebasan untuk menjadi seperti “tuhan” dengan mewujudkan sifat teomorfisnya, yaitu untuk memanfaatkan kehendak bebasnya atau untuk ingkar kepada Tuhan.
Namun nampaknya di balik kebebasan itu terdapat konsekuensi yang harus ditanggungnya, yakni berupa pertanggungjawaban. Ia bebas berperilaku, tetapi dia harus bertanggungjawab penuh atas yang diperbuatnya. Konsep kehendak bebas dan pertanggungjawaban inilah yang sesungguhnya membuktikan adanya keterbatasan bagi manusia. Karena hanya Tuhanlah yang mutlak bebas, tetapi dalam batas-batas skema penciptaanNya manusia juga secara relatif bebas. Yang menurut Schuon dalam Naqvi (1985:83), Tuhan pun memiliki kebebasan absolut; tetapi kebebasan manusia, walaupun relatif, dalam pengertian bahwa kebebasan itu secara relatif absolut, adalah tak lain dari kebebasan juga, sebagaimana suatu cahaya yang suram juga merupakan cahaya.
Konsep bebas bertanggungjawab menunjukkan pula adanya batasan-batasan mengenai apa yang bebas dilakukan manusia. Hal ini berarti bahwa pemujaan kepada individualisme yang tak terkendalikan dan tak beretika jelas tidak diperkenankan oleh agama ataupun etika. Bahkan logika murni harus dapat diyakinkan bahwa kebebasan yang tak terbatas adalah sesuatu yang dibuat-buat, karena kebebasan yang tak terbatas berarti pertanggungjawaban yang tak terbatas pula. Ini jelas merupakan kontradiksi, bahwa kedua pernyataan itu tidak dapat benar pada waktu yang sama.
Meskipun demikian manusia banyak yang tidak menyadari kalau kebebasan itu harus diimbangi dengan pertanggungjawaban. Menurut mereka perilaku adalah bebas nilai dalam arti bebas yang sebebas-bebasnya. Sedangkan baik dan buruk, tergantung pada individu yang memaknainya.
Sebaliknya bagi yang berpandangan bahwa perilaku sarat akan nilai, maka mereka akan mengendalikan perilakunya sesuai dengan nilai-nilai yang mereka yakini kebenarannya. Mereka berkeyakinan bahwa semua perilaku manusia akan dimintai pertanggungjawaban, karenanya segala perilaku mereka senantiasa dituntun oleh nilai-nilai tersebut. Dalam hal ini Naqvi (1985:68), berpendapat bahwa pada umumnya logika implisit dari perilaku suatu masyarakat dapat ditelusuri kembali pada konsepsi metafisika atau religius mereka. Misalnya perilaku ekonomi seorang muslim sangat dipengaruhi oleh keteguhan keimanannya kepada Hari Pembalasan dan kehidupan setelah mati.
Pendapat Naqvi tersebut mendukung pandangan sebagian orang bahwa perilaku tidaklah bebas nilai (wertfrei), dan sebagai seorang muslim ia lebih tegas menyatakan bahwa perilaku harus islami. Oleh karena itulah Naqvi (1985:68-71) berpendapat bahwa filsafat etika Islam (yang memiliki obyek material perilaku yang Islami) dapat dengan tepat diikhtisarkan oleh empat aksioma etika, yaitu tauhid (keimanan), kesetimbangan (keadilan), kehendak bebas, dan pertanggungjawaban, yang bersama-sama membentuk perangkat perentangan.
Sesuai dengan kerangka pemikirannya tentang manusia, Al-Ghozali dapat dikatakan sepaham dengan pandangan Naqvi. Menurut Shubhi (2001:30), Etika, dalam pandangan Al-Ghozali, bukanlah sekedar perilaku kebiasaan manusia, menimbang bahwa sesungguhnya perilaku hanya dapat terwujud dengan adanya keyakinan. Iman di hati yang menggerakkan kehendak dan pada gilirannya kehendak akan menggerakkan perilaku. Sedangkan menurut Langgulung (1987:274), Al-Ghozali memandang perilaku dari segi suatu yang mempunyai tujuan agama dan kemanusian. Hal itu sejalan dengan semangat Islam yang memandang kepada manusia sebagai suatu pribadi yang utuh yang aktivitasnya menggabungkan antara ibadat murni atau ibadat formal dan aktivitas keduniaan atau ibadat informal, jika perbuatan itu berasas pada suatu yang dapat masuk akal dari segi kepentingan individu atau masyarakat dan kemuliaan manusia.
Lebih lanjut, Langgulung (1987:274-275) juga mengikhtisarkan pendapat al-Ghozali tentang perilaku manusia, yaitu (1) prilaku itu mempunyai penggerak, pendorong, dan tujuan. (2) Motivasi itu bersifat dari dalam yang muncul dari diri manusia sendiri, tetapi ia dirangsang dengan rangsangan-rangsangan luar, atau dengan rangsangan-rangsangan dalam yang berhubungan dengan kebutuhan-kebutuhan jasmani dan kecenderungan-kecenderungan alamiah, seperti rasa lapar, cinta, dan takut kepada Allah. (3) Menghadapi motivasi-motivasi manusia mendapati dirinya terdorong untuk mengerjakan sesuatu. (4) Perilaku ini mengandung rasa kebutuhan dengan perasaan tertentu dan kesadaran akal terhadap suasana tersebut. Ini semua disertai oleh aktivitas jenis tertentu yang tidak terpisah dari rasa, perasaan, dan kesadaran terhadap suasana itu. (5) Kehidupan psikologis adalah suatu perbuatan dinamis dimana berlaku interaksi terus menerus antara tujuan atau motivasi dan perilaku. (6) Perilaku itu bersifat individual yang berbeda menurut perbedaan faktor-faktor keturunan dan perolehan atau proses belajar. Jadi aktivitas atau sifat-sifat jiwa tidak berpisah dari padanya, begitu juga bentuk-bentuknya tidaklah serupa, sebab kalau serupa tentulah tidak ada perbedaan, misalnya antara si A dan si B. (7) Tampaknya perilaku manusia menurut al-Ghozali ada dua tingkatan. Pada tingkat pertama manusia berdekatan dengan semua makhluk hidup. Sedang pada tingkat yang lain ia mencapai cita-cita idealnya dan mendekat kepada makna-makna ketuhanan dan tingkah laku malaikat. Tingkat pertama dikuasai oleh motivasi-motivasi dan faktor-faktor kegopohan, sedang tingkat dua dikuasai oleh kemauan dan akal.
Bila dilihat dari obyek material Etika yaitu perilaku atau perbuatan manusia yang secara sadar, maka pendapat al-Ghozali dan keempat aksioma etika dari Naqvi tersebut menunjukkan bahwa manusia dengan kehendak bebasnya memahami pilihan-pilihan yang seharusnya diambil di antara sekian banyak pilihan bertingkah laku. Ia sadar bahwa perilakunya mengandung konsekuensi terhadap diri dan lingkungannya, karenanya pertanggungjawaban selalu melekat pada kehendak bebas yang dimilikinya.
Oleh karena itu dia harus dibimbing dengan tujuan sadar, dengan sepenuhnya mengerahkan kebijaksanaannya secara seimbang. Bukankah dalam diri setiap manusia terdapat nafsu jahat dan ide-ide yang menggelegak yang harus diwadahi dan dikumpulkan bersama dalam perimbangan yang tepat agar menghasilkan makhluk manusia yang adil. Maka nilai-nilai ketauhidan (keimanan) sangat diperlukan agar manusia berperilaku yang adil, bebas dan bertanggungjawab.
Islam, sebagai agama yang menghargai kebebasan, memberikan keleluasaan kepada umat manusia untuk berperilaku sesuai dengan kehendak bebasnya. Bahkan masalah beragama pun tidak mengenal paksaan. Tetapi Islam menetapkan batasan-batasan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh dilakukan oleh manusia dengan membuatnya bertanggungjawab atas semua yang dilakukan. Hal ini telah digariskan, bahwa:
“Tiap-tiap diri bertanggungjawab atas apa yang telah diperbuatnya” (Q.S. Al- Mudatsir, 38).
“Barang siapa memberikan hasil yang baik, niscaya ia akan memperoleh bagian pahala. Dan barang siapa menimbulkan akibat yang buruk, niscaya akan memikul konsekuensinya” (Q.S. An-Nisa’,85).
Disamping itu, Islam menggalakkan perilaku yang baik, akhlak yang mulia, dan membuang jauh-jauh perilaku yang buruk. Bahkan inti dari misi kerasulan Muhammad SAW. adalah memperbaiki perilaku tersebut, sebagaimana pengakuan beliau: “Aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia” (H.R. Ahmad).
Menurut Al-Ghozali, akhlak (etika) adalah sesuatu yang menggambarkan tentang perilaku seseorang yang terdapat dalam jiwa yang baik, yang darinya keluar perbuatan secara mudah dan otomatis tanpa terpikir sebelumnya. Dan jika sumber perilaku itu didasari oleh perbuatan yang baik dan mulia yang dapat dibenarkan oleh akal dan syariat maka ia dinamakan akhlak yang mulia, namun jika sebaliknya maka ia dinamakan akhlak yang tercela (Al-Islam, 2000a).
Akhlak dalam Islam memiliki dimensi vertikal dan horisontal. Dimensi vertikal akhlak mencakup akhlak kepada Allah dan RasulNya. Sedangkan akhlak secara horisontal meliputi akhlak kepada sesama manusia dan makhluk lain seperti menyayangi binatang dan tumbuh-tumbuhan. Bahkan dalam Islam diatur pula akhlak terhadap orang non muslim, yaitu tetap berbuat adil kepada mereka berupa membalas kekejaman mereka atau memaafkannya dan berbuat baik kepada mereka secara manusiawi selama hal itu tidak bertentangan dengan syariat Islam dan mengajak mereka kepada Islam.
Hasan Langgulung (1987:275-279) telah mengidentikasi perilaku yang mulia yang bersumberkan dari al-Qur’an dan al-Hadits, yaitu kesetimbangan dan sederhana; akhlak yang baik; rendah hati (tawadlu’); kebenaran (shidiq); amanah; syukur; penyantun dan kasih sayang; kecintaan; pemurah; dan menjaga lidah. Perilaku-perilaku tersebut, menurut Langgulung (1987), merupakan tindakan atau perbuatan yang digerakkan oleh kerangka moral dan akhlak tertentu. Dengan kata lain pandangan Islam terhadap perilaku adalah perilaku yang telah diberi persyaratan (conditioned) nilai-nilai tertentu, bukan perilaku rendah yang ditentukan oleh pengaruh lingkungan (stimulust–respont) saja, tetapi telah dididik dan dibudayakan dengan nilai-nilai.
Istilah lain yang mirip dengan akhlak adalah moral. Tetapi perlu dibedakan antara akhlak dan moral. Karena akhlak lebih didasari oleh faktor yang melibatkan kehendak Sang Pencipta, sementara moral penekanannya pada unsur manusiawinya. Contohnya, ketika mengucapkan salam kepada non muslim itu tidak dibenarkan menurut akhlak, tetapi moral dapat membenarkan. Demikian juga mengucapkan selamat natal kepada non muslim secara akhlak tidak dibenarkan, tetapi secara moral itu biasa-biasa saja.
E. Kedudukan Iman dalam Sistem Perilaku
Kedudukan iman dalam sistem perilaku akan tampak pada aktualisasinya. Apabila perilakunya terpuji maka sudah barang tentu perilaku tersebut merupakan aktualisasi iman. Karena iman pada hakikatnya harus mendahului perilaku, tetapi tidak sebaliknya. Hal ini sesuai dengan prinsip-prinsip etika sebagaimana yang diungkapkan oleh Shubhi (2001:29-30), bahwa menyadarkan etika kepada prinsip-prinsip apriori tidak saja penting demi keharusan dan universalitas, dan bukan hanya agar norma etika dapat menjaga sakralitasnya melainkan juga karena prinsip-prinsip tersebut merupakan tema keimanan. Mengharapkan terwujudnya etika tanpa sistem kepercayaan, seperti dinyatakan Sant Hilaire adalah suatu hal yang sulit. Iman haruslah mendahului perbuatan, karena ia merupakan modal bagi adanya ketenangan jiwa sebelum seseorang menentukan suatu tindakan tertentu. Adalah aneh bila filsafat yang tidak mengakui agama pun mengakui kebenaran ini.
Prinsip-prinsip keyakinan menurut para pemikir muslim, terlepas dari perbedaan di antara mereka, mendahului perbuatan, diukur dari waktu dan akal pikiran. Karena, bagaimana mungkin ritual ibadah dilakukan tanpa didahului keimanan. Apa yang terjadi pada ritual ibadah itu juga terjadi pada nilai-nilai etika, di mana keimanan harus mendahului perbuatan. Karenanya dalam pemikiran Islam, perilaku dan keluarnya etika
dari keimanan atau juga dari prinsip-prinsip aqidah, tidak dianggap semata-mata sebagai
pemikiran keagamaan saja.
Kendati demikian, teori etika dalam pemikiran agama sangat berbeda dengan teori Kant tentang etika. Perbedaan ini bukan karena tidak samanya metafisika dengan agama. Tapi, karena tema-tema etika dalam metafisika, seperti eksistensi Tuhan, kebebasan berkehendak, dan kekekalan jiwa (menurut Kant) merupakan postulat yang eksistensinya diterima moralitas. Sementara dalam keyakinan agama, tema-tema tersebut merupakan obyek keimanan yang kosong dari keharusan moral.
Sebagai contoh, iman kepada Hari Ahkir (salah satu rukun iman). Hari Akhir adalah sesuatu yang ghoib, dalam artian tidak pernah bisa dilihat dan dibuktikan secara empiris dalam kehidupan dunia. Oleh karena informasi tentang Hari Akhir dari Allah melalui Rasul-RasulNya, maka bagi orang-orang yang beriman meyakini kebenarannya. Bahkan menurut Khanif Muslim Bin Hasyim (2001), beriman kepada Hari Akhir akan dapat memberikan dampak, pertama, senang dan tekun menjalankan ketaatan (berbuat kebajikan) serta mengharapkan pahala untuk persiapan hari pembalasan. Kedua, takut dan gelisah di saat bermaksiat karena mengimani akan adanya suatu siksaan yang sangat pedih di hari pembalasan itu. Ketiga, penghibur bagi orang mukmin yang tidak sempat mendapatkan kenikmatan dunia, sebagai gantinya ia punya harapan yang akan ia peroleh di hari akhirat berupa kenikmatan dan pembalasan pahala.
Dengan demikian sungguh nyata bahwa iman itu akan memberi arah terhadap perilaku manusia untuk berbuat kebaikan. Tidak ada undang-undang ciptaan manusia yang mampu menjadikan perilaku manusia tetap tegak dan lurus seperti beriman kepada Hari Akhir. Oleh karena itu akan selalu terdapat perbedaan perilaku antara orang yang beriman dengan orang yang ingkar terhadap Allah dan Hari Akhir. Orang yang beriman mengetahui dunia adalah tempat singgah sementara, sedang amal sholeh adalah bekal untuk akhirat. Maka bagi orang yang percaya hari pembalasan dia akan berbuat dengan melihat kepada timbangan langit, bukan timbangan bumi. Dan dia akan melihat hisab akhirat, bukan hisab dunia. Adapun bagi orang yang tak beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hisab dan balasan, maka ia mencoba menjalani rutinitas kehidupan dunia ini dengan mengejar kesenangan yang disertai kerakusan, mengumpulkan harta benda dengan berbagai cara, tak peduli halal dan haramnya. Karena itu dia akan di-hisab dan akan celaka karena dia tidak menghiraukan hari pembalasan.
F. Hubungan Iman dan Perilaku
Adapun hubungan iman dan perilaku, menurut ajaran Islam, bersifat timbal balik dan saling mempengaruhi. Iman mempengaruhi perilaku, dan sebaliknya perilaku dapat mempengaruhi fluktuasi iman. Perilaku yang mulia dapat meningkatkan kadar keimanan. Karena perilaku itu merupakan cerminan ketaatan terhadap Tuhan. Hal ini sesuai dengan Firman Allah:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka karenanya; dan kepada Tuhan mereka bertawakkal” (Q.S. Al-Anfal, 2).
Sebaliknya, perilaku maksiyat akan menurunkan atau bahkan menghilangkan keimanan, karena perilaku maksiyat merupakan wujud keingkaran terhadap larangan Allah. Dalam hal ini Rasulullah SAW. bersabda: "Tidaklah seorang mukmin berzina ketika ia mukmin". Dalam Hadits lain, Rasulullah SAW. juga bersabda: "Tidaklah seorang mukmin mencuri ketika ia mukmin." (Al-Hadits).
Oleh karena itu untuk menjaga keimanan dibutuhkan penopang yang kokoh yaitu berupa keyakinan kepada Allah SWT. dengan diiringi perbuatan-perbuatan taqwa dan menjauhi kemaksiatan sekecil apapun. Sebagai contoh, rasa malu (al-hayaa). Dalam ajaran Islam, memelihara rasa malu itu bahkan termasuk bagian dari iman (Al-haya-uminal iimaan). Al-haya (rasa malu) menurut pengertian sebagian besar ulama adalah perilaku mulia yang dapat menjauhkan manusia dari perbuatan tercela. Rasa malu itu tidak terbatas kepada manusia, tapi lebih penting lagi adalah malu kepada Allah. Seorang Muslim yang faham bahwa dirinya selalu dalam pengawasan Allah, tentu tidak akan terjerumus pada perbuatan tercela, sebab rasa malunya kepada Allah akan mencegahnya. Sebaliknya, jika rasa malu sudah tiada maka kemaksiyatan akan merajalela, termasuk dekadensi moral yang melanda sebagian besar generasi bangsa ini, salah satu penyebab utamanya adalah karena hilangnya rasa malu, baik malu kepada sesama manusia maupun kepada Allah Swt. Akibatnya perbuatan maksiyat bisa dijumpai di mana saja. Tindakan asusila merebak di mana-mana. Hal ini sudah ditengarai oleh Rasulullah SAW. dalam sabda beliau: "Jika sudah tidak ada rasa malu, maka berbuatlah sesukamu" (HR. Abu Nafis).
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka semakin jelas bahwa antara iman dan perilaku memiliki hubungan saling keterpengaruhan, dalam artian bahwa, iman menentukan corak perilaku, dan sebaliknya perilaku akan menentukan fluktuasi iman.
G. Kesimpulan
Manusia memiliki kebebasan untuk memilih dan menentukan perilakunya. Namun di balik kebebasan itu terdapat tanggungjawab, baik terhadap diri dan lingkungannya maupun kepada Yang Maha Adil yang meberinya kebebasan itu. Oleh karena itu, perilaku yang terkendali dan beretika sepanjang masa, adalah perilaku yang dibimbing oleh nilai-nilai iman. Iman dan perilaku memiliki hubungan timbal balik dalam bentuk saling mempengaruhi. Iman menentukan corak perilaku, sedangkan perilaku menjadi penyebab utama terjadinya fluktuasi iman. Dengan demikian iman itu bukanlah sekedar sistem kepercayaan tetapi menuntut konsekuensi dalam bentuk perbuatan atau perilaku.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Islam. 1999a. Iman dan Nilainya Dalam Kehidupan I. Dakwah Jumat, Edisi08/10/1999. Jakarta: Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia.
Al-Islam.1999b. Iman dan Nilainya Dalam Kehidupan II. Dakwah Jumat, Edisi15/10/1999. Jakarta: Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia.
Al-Islam.2000a. Krisis Akhlaq Umat Islam. Dakwah Jum’at, Edisi 04/02/2000. Jakarta:Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia.
Al-Islam. 2000b. Beriman Kepada Yang Ghoib. Hikmah Al-Qur’an, Edisi 25/02/2000.Jakarta: Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia.
Al-Islam.2001a. Kesempurnaan Iman. Hikmah Al-Qur’an, Edisi 10/02/2001. Jakarta:Pusat Informasi dan Komunikasi Islam Indonesia.
Al-Islam.2001b. Hakekat Iman. Hikmah Al-Qur’an, Edisi 07/04/2001. Jakarta: PusatInformasi dan Komunikasi Islam Indonesia.
Khanif Muslim Bin Hasyim. 2001. Dampak Beriman Kepada Hari Akhir TerhadapSikap dan Prilaku Manusia. Bulletin An-Nur, Pekan 4 Muharam 1422H/April2001M. Jakarta: Yayasan Al-Sofwa.
Langgulung, Hasan. 1987. Azas-azas Pendidikan Islam. Jakarta: Pustaka Al-Husna.
Magnis, Franz von. 1983. Etika Umum: Masalah-masalah Pokok Filsafat Moral.Yogjakarta: Yayasan Kanisius
Naqvi, Syed Nawab Haider. 1985. Etika dan Ilmu Ekonomi: Suatu Sintesis Islami.Jakarta: Mizan
Razak, Nasruddin. 1989. Dienul Islam: Penafsiran Kembali Islam sebagai suatu Aqidahdan Way of Life. Bandung: Alma’arif (cet. 10).
Shubhi, Ahmad Mahmud. 2001. Filsafat Etika (terjemahan). Jakarta: PT. Serambi IlmuSemesta.
Syukir, Asmuni. 1984. Iman dan Taqwa Berdasarkan Al-Qur’an-Hadits. Surabaya:Karya Utama
Zubair, Ahmad Charris. 1990. Kuliah Etika. Jakarta: Rajawali Pers
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mari kita membaca dengan hati plus mata