Oleh
MuFe El-Bageloka[1]
A. Latar Belakang Perkembangan Teologi Islam
Teologi merupakan pembahasan ajaran-ajaran dasar suatu agama. Dalam menyelami seluk beluk agama secara detail sangat diperlukan ilmu teologi yang di dalamnya terdapat agama, karena dengan mempelajari teologi akan dapat memberikan keyakinan yang berdasarkan pada landasan yang sangat kokoh, yang tidak mudah diporak-porandakan oleh perkembangan zaman.
Munculnya gerakan khawarij, mereka membagi tugas untuk melancarkan aksi mereka, Hujaj bertugas membunuh Muawiyah di Damaskus, Amru bin Abu Bakar membunuh amru bin Ash di Mesir, Ibnu Muljam membunuh Ali di Kufah. Persoalan politik inilah yang akhirnya membawa kepada timbulnya persoalan-persoalan teologi. Timbul persoalan siapa yang kafir dan siapa yang mukmin dalam arti siapa yang telah keluar dari Islam dan siapa yang masih tetap Islam. Khawarij memandang bahwa Ali, Muawiyah, Amr bin al-Ash, Abu Musa Asy’ary dan lain-lain menerima arbitrase adalah kafir, karena mereka mengambil dalil dari Al-Quran yang berbunyi: “Wa man lam yahkum bima anzallahu fa ulaikahumul kaafirun. Dari ayat inilah mereka mengambil semboyan La hukma illa lillah.
Lambat laun kaum Khawarij pecah menjadi beberapa sekte. Konsep kafir turut pula mengalami perubahan. Yang dipandang kafir bukan lagi hanya orang yang tidak menentukan hukum dengan al-Quran, tetapi orang yang berbuat dosa besar, yaitu murtakib al-Kaba’ir atau capital sinner, juga dipandang kafir.
Persoalan ini menimbulkan tiga aliran teologi dalam Islam. Pertama aliran khawarij, yang mengatakan bahwa orang berdosa besar adalah kafir, dalam arti keluar dari Islam atau tegasnya murtad maka wajib untuk dibunuh. Aliran kedua adalah aliran murji’ah yang menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa besar tetap masih mukmin bukan kafir. Adapun dosa besar yang dilakukannya, terserah kepada Allah SWT, untuk mengampuni atau tidak. Aliran ketiga adalah aliran mu’tazilah tidak menerima pendapat-pendapat di atas. Bagi mereka orang yang berdosa besar bukan kafir tetapi juga bukan mukmin. Orang serupa ini kata mereka mengambil posisi diantaranya keduanya yaitu biasa disebut manzilah bain al-Manzilatain (posisi diantara dua posisi).
B. Pengaruh Filsafat Yunani
Aliran Mu’tazilah yang pertama kali menyandarkan kekuatan madzhabnya kepada filsafat Yunani, dengan filsafat mereka memperkuat argumentasi-argumentasinya. Cukup banyak perkataan al-Nidlam, Abu Hudzail, Jahidz dan lain-lainnya mengutip ungkapan filosof Yunani, sedangkan tokoh-tokoh yang lain menjadikannya sebagai metode-metode dalam dialog dan memberikan penilaian.
Buku-buku filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, sehingga pengaruh pola fikir mereka mulai terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran dan kebudayaan Yunani yang mendepankan rasio atau pendewaan akal yang memiliki kedudukan tinggi dalam kebudayaan Yunani (klasik). Pemakaian rasio ini dibawa oleh kaum mu’tazilah ke dalam lapangan teologi, sehingga mereka mengambil corak teologi liberal, dalam arti bahwa meskipun kaum mu’tazilah pola berfikirnya mengedepankan rasio akan tetapi mereka tidak meninggalkan wahyu. Dalam pemikiran-pemikiran mereka selamanya terikat dengan wahyu yang ada dalam Islam. Dan sudah tentu kaum mu’tazilah yang percaya pada kemerdekaan akal untuk berfikir, maka mu’tazilah memakai paham qadariyah.
Dengan masuknya kembali paham rasionalisme ke dunia Islam, kalau dahulu masuknya melalui kebudayaan Yunani klasik akan tetapi sekarang melalui kebudayaan Barat modern, maka ajaran-ajaran mu’tazilah mulai timbul kembali, terutama dari kalangan kaum integensia Islam yang mendapat pendidikan barat. Sehingga kata neo-mu’tazilah mulai dipakai dalam tulisan-tulisan Islam.
C. Aliran-Aliran dalam Teologi Islam
Pada dasarnya umat Islam terpecah dalam sepuluh aliran besar dan setiap aliran ada sekte-sekte tersendiri, diantaranya:
1. Syia’ah; aliran syi’ah terbagi menjadi tiga golongan, antara lain: Syi’ah Ghaliyah, Syi’ah Rafidhah (Imamiyyah) dan Syi’ah Zaidiyyah. Dari ketiga gologan di atas masih terpecah lagi menjadi beberapa sekte. Syi’ah Ghaliyyah terpecah menjadi 15 (lima belas) sekte, syi’ah Rafidhah terpecah menjadi 24 sekte, Syi’ah Zidiyyah terpecah menjadi 6 sekte.
2. Khawarij; terpecah menjadi dua golongan, yaitu golongan Ajaridah dan gologan Ibadiyah. Golongan Ajaridah terbagi menjadi 15 kelompok dan golongan Ibadiyyah terbagi menjadi 4 kelompok.
3. Murji’ah; para pengikut Murji’ah berbeda anggapan tentang iman dan kufur. Yang berhubungan dengan perbedaan masalah iman terpecah menjadi 12 kelompok dan perbedaan dengan masalah kufur terpecah menjadi 7. Pengikut Murji’ah menjadi perbedaan anggapan tentang perbuatan maksiat termasuk dosa besar atau kecil, terpecah menjadi 2. Begitu juga yang berhubungan dengan taqlid dalam keimanan, terpecah menjadi dua (2) kelompok.
4. Qadariyyah; Kaum ini berpendapat bahwa manusia mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya. Menurut faham Qadariyyah manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Dengan demikian nama Qadariyyah berasal dari pengertian bahwa manusia memiliki Qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada Qadar tuhan.
5. Jabariyyah; manusia tidak memiliki kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya. Manusia faham ini terikat pada kehendak tuhan. Jadi nama Jabariyyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa. Memang dalam aliran ini terdapat faham bahwa manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa, bahwa perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh Qada’ dan Qadar Tuhan.
6. Mu’tazilah
7. Dhirariyyah; diantara prinsip dasar ajaran Dhirar ibnu Amr, ialah: (1) Perbuatan manusia itu sebenarnya diciptakan Allah. Sekalipun begitu dapat saja suatu perbuatan diciptakan oleh dua belah pihak, yaitu Allah dan manusia. (2) Adanya kemampuan sebelum perbuatan, sehingga kemampuan suatu unsur penting yang mengakibatkan manusia mampu berbuat. Dan masih banyak prinsip dasar ajaran Dhirariyyah yang tidak dipaparkan di sini.
8. Bakriyyah; para pengikut seorang laki-laki yang bernama Bakr ibn Zaid, seorang keponakan Abdul Wahab ibnu Zaid. Mereka beranggapan bahwa orang muslim yang berbuat dosa besar ini munafik, hamba setan yang dusta dan ingkar kepada Allah, sehingga dia pun akan dimasukkan ke neraka secara kekal.
9. Huseiniyyah; perbuatan manusia itu sebenarnya diciptakan Allah. Tetap perbuatan manusia itupun bukanlah milik-Nya, sekalipun Allah yang menghendaki karena Dia selalu berkehendak atas sesuatu yang dikehenaki-Nya, baik yang akan terjadi maupun belum terjadi.
10. Ahli Sunnah; Beriman kepada rukun Iman.
D. Pokok-Pokok Pemikiran Mu’tazilah, Ahlussunnah dan Syi’ah
1) Mu’tazilah
Para pengikut aliran mu’tazilah bersepakat bahwa Allah SWT. Itu Maha Esa, tanpa sesuatupun yang menyerupai-Nya, yang Maha Mendengar dan Maha Melihat dan Dia pun tanpa jisim, tanpa bayang-bayang, tanpa bekas, tanpa bentuk, tanpa daging, tanpa darah, tanpa karakter, tanpa aksiden, tanpa warna, tanpa rasa, tanpa bau, tanpa panas, tanpa dingin, tanpa kering, tanpa basah, tanpa dimensi panjang, tanpa lebar dan dalam, tanpa unsur tergabung atau terpisah, tanpa gerak, tanpa diam, tanpa terbagi, tanpa bagian, tanpa anggota, tanpa arah kiri atau kanan, tanpa depan atau belakang, tanpa atas bawah, tanpa ruang atau waktu, Dia merupakan Dzat yang tunggal. Aliran ini lebih mengedepankan rasio dengan menomorduakan wahyu meskipun itu tidak dapat dijangkau oleh Akal. Contohnya, memikirkan Dzat dan Wujud Allah.
2) Ahlussunnah; golongan yang berpegang teguh pada sumber Islam yaitu Al-Quran dan As-Sunnah.
3) Syi’ah; Karena mereka mengikuti Ali bin Abi Thalib dan melebihkan ketimbang sahabat-sahabat yang lain. Meskipun syi’ah terbagi dalam banyak sekte, tetapi ajaran pokok mereka satu yakni memuja Ali bin Abi Thalib dan melecehkan sahabat-sahabat yang lain.
E. Pola Pemikiran Teologis Islam Indonesia
1. Muhammadiyah; tidak pernah menyatakan secara eksplisit keterkaitannya dengan doktrin Ahlussunnah Wal jama’ah, kecuali dalam putusan tarjih. Gerakan Muhammadiyah, semenjak didirikan tahun 1912 telah menunjukkan kepeduliannya akan perlunya pembaruan bagi umat Islam di Indonesia. Muhammadiyah adalah gerakan yang mendasarkan amal usahanya pada Al-Quran dan Sunnah.
2. NU (Nahdatul Ulama); Ini adalah tradisional muslim, secara eksplisit menyatakan dalam anggaran organisasinya bahwa mereka, dalam hal keyakinan ibadah, menganut ajaran Ahlussunnah wa al-jama’ah. Di samping itu, mereka juga memperjuangkan Islam sesuai dengan salah satu madzhab fikih dalam Islam yaitu Madzhab Syafi’i.
Daftar Pustaka
Abul Hasan Ismail al-Asy’ari, Maqaalat Al-Islamiyyin waihtilaaf al-Mushalliin. Bandung: CV. Pustaka Setia, 1998
Fauzan Saleh, Teologi Pembaruan. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta
Hasan Baharun, Islam Esensial. Jakarta: Pustaka Amini, 1998
Harun Nasution, Teologi Islam. Jakarta: Penerbit UI Press, 1986
Taufiq Djamidin, Tragedi Pembunuhan Tiga Khalifah. Yogyakarta: Pinus Book Publisher, 2009.
[1] Nama
Pena dari M. Feri Firmansyah S.PdI, Sang
Pemimpi menjadi Prof. Dr. M. Feri Firmansyah M.PdI &
King of Novelis (Sastrawan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mari kita membaca dengan hati plus mata