Judul Buku : Filsafat Pendidikan Islami
Penulis : Prof. Dr. Ahmad Tafsir
Penerbit : PT REMAJA ROSDAKARYA
Tebal : 338 Halaman
Cetakan : Cet. III November 2008
Pendidikan merupakan pondasi pembangunan suatu bangsa, jika pendidikan
tidak berjalan dengan semestinya maka pembangunan tidak akan terlaksana, atau
bahkan dapat mengakibatkan krisis multidimensi yang berkepanjangan. Hal ini
dikarenakan pendidikan merupakan media pembangunan yang memiliki posisi
strategis dalam mengintegrasikan dan mengatur sub-sub sitem dalam masyarakat.
Pendidikan juga merupakan sarana transformasi ilmu pengetahuan, yang meliputi
sosialisasi ilmu pengetahuan, pengembangan ilmu pengetahuan, sosialisasi norma
dan nilai dalam masyarakat, baik budaya, agama, maupun idiologi.
Indonesia merupakan negara dunia ketiga yang sedang melakukan
pembangunan pendidikan sebagaimana yang diamanatkan Undang-Undang Dasar 1945,
namun dalam perjalanannya timbul berbagai penyimpangan dan masalah-masalah
didalam proses perealisasiannya. Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini
dapat dikatakan masih sangat rendah, hal ini dibuktikan dengan data UNESCO
(2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index),
yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan
per kapita yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia
semakin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan
ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999).
Masalah pendidikan di indonesia bukan saja karena kualitas
intelektualitas yang masih rendah, tetapi juga diperparah dengan degradasi
moral generasi muda yang masih belum bisa menyaring perkembangan globalisasi.
Tawuran antar pelajar, free sex, narkoba, dan tindakan asusila maupun
pelanggaran hukum banyak mewarnai pendidikan Indonesia, bahkan hal ini dapat
kita saksikan baik secara langsung maupun dimedia massa. Banyak masyarakat
mempertanyakan kinerja pendidikan dengan pandangan sekeptis, namun kita juga
tidak bisa menyalahkan lembaga pendidikan karena sebagai masyarakat kita juga
memiliki andil yang besar dalam proses pendidikan.
Berbicara mengenai masalah-masalah pendidikan tentunya tiada habisnya,
namun kita sebagai generasi muda harus memiliki sikap kritis dalam membaca
realitas yang sedang terjadi dalam masyarakat, dan mungupayakan pencarian
solusi terhadap permasalahan tersebut. Upaya perbaikan tersebut sangat
diperlukan dalam rangka membangun intelektual yang mandiri dalam pembangunan
dan bersaing dalam masyarakat global. Bukan saja dalam membangun kecerdasan
intelektual tetapi juga membangun kecerdasan emosional dan spiritual generasi
muda.
Diakui atau tidak, kualitas kepribadian anak didik kita belakangan ini
kian memprihatinkan. Maraknya tawuran antar remaja di berbagai kota ditambah
dengan sejumlah perilaku mereka yang cenderung anarkis, meningkatnya
penyalahgunaan narkoba, dan suburnya pergaulan bebas di kalangan mereka adalah
bukti bahwa pendidikan kita telah gagal membentukakhlak anak didik. Pendidikan
kita selama ini memang telah melahirkan alumnus yang menguasai sains-teknologi
melalui pendidikan formal yang diikutinya. Akan tetapi, pendidikan yang ada
tidak berhasil menanamkan nilai-nilai kebajikan. Kita lihat berapa banyak
lulusan pendidikan memiliki kepribadian yang justru merusak diri mereka.
Salah satu faktor rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia adalah
karena lemahnya para guru dalam menggali potensi anak. Para pendidik seringkali
memaksakan kehendaknya tanpa pernah memperhatikan kebutuhan, minat dan bakat
yang dimiliki siswanya. Kelemahan para pendidik kita, mereka tidak pernah
menggali masalah dan potensi para siswa. Pendidikan seharusnya memperhatikan
kebutuhan anak bukan malah memaksakan sesuatu yang membuat anak kurang nyaman
dalam menuntut ilmu. Proses pendidikan yang baik adalah dengan memberikan
kesempatan pada anak untuk kreatif. Itu harus dilakukan sebab pada dasarnya
gaya berfikir anak tidak bisa diarahkan.
Selain kurang kreatifnya para pendidik dalam membimbing siswa,
kurikulum yang sentralistik membuat potret pendidikan semakin buram. Kurikulum
hanya didasarkan pada pengetahuan pemerintah tanpa memperhatikan kebutuhan
masyarakat. Lebih parah lagi, pendidikan tidak mampu menghasilkan lulusan yang
kreatif. Ini salahnya, kurikulum dibuat di Jakarta dan tidak memperhatikan
kondisi di masyarakat bawah. Jadi, para lulusan hanya pintar cari kerja dan
tidak pernah bisa menciptakan lapangan kerja sendiri, padahal lapangan
pekerjaan yang tersedia terbatas.
Tampaknya dunia pendidikan di Indonesia masih dipenuhi kemunafikan karena
yang dikejar hanya gelar dan angka. Bukan hal mendasar yang membawa peserta
didik pada kesadaran penuh untuk mencari ilmu pengetahuan dalam menjalani
realitas kehidupan. Pendidikan semacam itu tidak terjadi di negeri ini sebab
orientasinya semata-mata sebagai sarana mencari kerja. Kenyataannya yang
dianggap sukses dalam pendidikan adalah mereka yang dengan sertifikat
kelulusannya berhasil menduduki posisi pekerjaan yang menjanjikan gaji tinggi.
sementara nilai-nilai akhlak dan budi pekerti menjadi `barang langka’ bagi
dunia pendidikan.
Melalui buku Filsafat Pendidikan Islami ini, Ahmad Tafsir menggugat
pendidikan kita yang masih menghasilkan lulusan berakhlak buruk seperti suka
menang sendiri, pecandu narkoba dan hobi tawuran, senang curang dan tidak punya
kepekaan sosial, atau gila harta dan serakah. Menurut penulis yang sehari-hari
mengajar filsafat di Universitas Islam negeri Bandung ini, kegagalan pendidikan
bukan hanya diukur dari standar pemenuhan lapangan kerja. Masalah yang lebih
besar adalah pendidikan kita belum bisa menghasilkan lulusan yang berakhlak
mulia. Ahmad Tafsir menegaskan, bangsa-bangsa yang dimusnahkan Tuhan bukan
karena tidak menguasai iptek atau kurang pandai, namun karena buruknya akhlak.
Karena itu, mengutip kata-kata bijak para filosof, pendidikan sejatinya
ditujukan untuk membantu memanusiakan manusia.
Pendidikan tersebut harus mencakup unsur jasmani, rohani dan kalbu.
Implementasi ketiga unsur itu dalam format pendidikan niscaya menghasilkan
lulusan dengan nilai kemanusiaan yang tinggi. Hanya saja, kita melihat
pendidikan di Indonesia sangat jauh dari yang diharapkan bahkan jauh tertinggal
dengan Negara-negara berkembang lainnya. Hal ini setidaknya dapat dilihat dari
rendahnya kualitas SDM yang dihasilkan. Pendek kata, pendidikan kita belum
mampu mengantarkan anak didik pada kesadaran akan dirinya sebagai manusia.
Padahal, manusia adalah pelaku utama dalam proses pendidikan. Untuk itu penulis
membuka kajiannya dengan penjelasan mengenai hakekat manusia. Penjelasan soal
ini dibagi dalam tiga bagian yakni penjelasan tentang manusia menurut manusia.
Pada bagian ini banyak dikutip pendapat para filosof yang memaparkan
unsur-unsur manusia. Bagian kedua memuat penjelasan Allah tentang manusia. Di
sini diungkap beberapa ayat Alquran yang merinci faktor-faktor penentu bagi
kehidupan manusia. Misalnya. Allah menjadikan manusia sebagai khalifah di muka
bumi dengan banyak kelebihan. Manusia juga dilengkapi banyak kelemahan yang
tidak dimiliki makhluk lain. Bahasan seputar manusia ditutup dengan bagian
terakhir, yaitu inti manusia.
Penjelasan soal inti manusia didasarkan pada hadis qudsi yang
menerangkan bahwa ada tujuh kulit yang melingkupi inti manusia. Pembahasan
tentang inti manusia ini tidak bisa dipisahkan dari dunia pendidikan. Sebab
pendidikan yang sejati adalah untuk manusia. Selain mengurai hakikat manusia,
penulis juga menjelaskan soal hakikat pendidikan, tujuan pendidikan, dan
pengembangan pendidikan sebagai usaha membangun manusia seutuhnya.
Buku ini merupakan sebuah sumbangsih yang sangat besar bagi kaum
pelajar khususnya setingkat mahasiswa dan mahasiswa pasca sarjana yang mungkin
masih awam dalam memahami tentang filsafat pendidikan islam. Permasalahan
mengenai filsafat yang dikaji di setiap kampus pendidikan ternyata hampir sama,
yaitu sulitnya membedakan antara filsafat pendidikan dan teori pendidikan.
Dengan semua daya dan upaya penulis optimalkan dalam menyusun buku
ini, penulis adalah seorang yang ahli di dalamnya yaitu seorang pengajar
tentang Filsafat Pendidikan dan Ilmu Pendidikan di beberapa perguruan tinggi,
yang mahasiswanya adalah mahasiswa program S1 dan S2.
Penulis dalam menyusun buku ini diawali dengan mejelaskan terlebih
dahulu mengenai perbedaan filsafat dengan ilmu. Dari penjelasan yang ada di BAB
I ini mencerminkan pemahaman penulis yang dalam tentang filsafat. Namun, dari
BAB ini juga pembahasannya tidak hanya menceritakan perbedaan filsafat dan
ilmu. Akan tetapi, menjelaskan pula latar belakang penulisan judul buku yang
sedang kita kaji sekarang judulnya.
Buku ini juga tidak ditulis secara sistematik menurut struktur
Filsafat Pendidikan. Tetapi, penulis hanya membicarakan beberapa topik atau
tema saja yang dianggapnya penting. Bahkan sebagian besar bahan-bahan materinya
diangkat dari makalah-makalah yang pernah penulis dibahas di forum-forum
diskusi atau formal lainnya.
Prof. Tafsir menggugat pendidikan kita yang masih menghasilkan lulusan
yang suka menang sendiri dan memaksakan kehendak, suka narkoba dan tawuran,
suka curang dan tidak punya kepekaan sosial, bahkan suka serakah dan korupsi.
Padahal itu semua, termasuk koruptor adalah orang yang gagal menjadi manusia
sekalipun dia seorang pejabat atau pengusaha sukses.
Jadi kegagalan pendidikan bukan hanya tidak memenuhi standar lapangan
kerja. Masalah yang lebih besar adalah pendidikan kita belum bisa menghasilkan
lulusan yang berakhlak mulia. Kata Tafsir, bangsa-bangsa yang dimusnahkan Tuhan
itu bukan karena tidak menguasai iptek atau kurang pandai, tapi karena buruknya
akhlak. Bukankah orang yang tidak berakhlak itu derajatnya lebih rendah dari
binatang.
Karena itu, kata para filosof, pendidikan dimakudkan untuk membantu
memanusiakan manusia. Pendidikan tersebut harus mencakup unsur jasmani, rohani
dan kalbu, perpaduan ketiga unsur itu dalam desain pendidikan akan menghasilkan
lulusan dengan nilai kemanusiaan yang tinggi Insya Allah.
biar copy paste dong kang
BalasHapus