PENDAHULUAN
Umat Islam sudah seharusnya tahu bagaimana kebenaran perjalanan
sejarah peradaban Islam sejak kemunculannya, fakta-fakta objektif
masyarakatnya, prestasi dan kegagalan dinasti yang memerintahnya, dan kejayaan
Islam yang pernah dicapai pada masa silam. Setelah kelahiran Islam masa
Rasulullah Muhammad SAW, sejarah peradaban Islam melewati masa-masa
kekhalifahan, Dinasti Umayyah dan Abbasiyah, terpecahnya kekhalifahan menjadi
dinasti-dinasti kecil di Barat dan Timur, dan lahirnya Dinasti Fathimiyah sebelum
dikuasainya kembali oleh Dinasti Abbasiyah, sampai akhirnya direbut oleh bangsa
Mongol.
Kemunculan Dinasti Fathimiyah yang merupakan Dinasti Sy’iah dalam
Islam.[1] Perannya
sebagai tandingan bagi penguasa dunia muslim saat itu yakni Dinasti Abbasiyah,
merupakan fenomena yang selayaknya diketahui oleh umat Islam. Demikian juga
kejayaan yang telah diukirnya, baik dalam hal kehidupan masyarakat dan sistem
administrasi, perkembangan pengetahuan, seni, dan arsitektur, sampai pada
kemunduran dan sebab-sebabnya.
Di antara kejayaan Islam pada masa Dinasti Fathimiyah adalah kemakmuran di bidang ekonomi dan
berkembangnya Masjid Agung al-Azhar menjadi lembaga pendidikan universitas di
Kairo. Pembangunan pusat pembelajaran Dār al-‘Ilm yang melakukan pengkajian
ilmu-ilmu keislaman, astronomi, dan kedokteran.[2]
Sisi menarik yang perlu diungkapkan dalam bidang politik dan kenegaraan pada
masa Dinasti Fathimiyah adalah adanya fenomena upaya penyatuan antara agama dan
negara. Hal ini terlihat dari sejarah kemunculannya yang menganggap pemimpinnya
sebagai Imam Mahdi. Golongan Fathimiyah tidak hanya menolak kekuasaan Abbasiyah
tetapi menyatakan bahwa merekalah yang sebenarnya paling berhak memerintah
seluruh kerajaan Islam.[3]
Persoalan penting yang perlu diperhatikan lebih jauh adalah
faktor-faktor apa saja yang mendorong dan menjadi pemicu timbulnya dinamika
umat Islam sehingga mencapai kejayaan pada masa tersebut. Hal yang tak kalah
pentingnya juga adalah mengetahui persoalan mendasar yang menjadi penyebab
terjadinya kemunduran setelah diperolehnya kemajuan. Sangatlah berdasar apabila
umat Islam termotivasi untuk mengembalikan kejayaannya seperti yang pernah
dicapai pada masa silam.
A.
Kelahiran
Dinasti Fatimiyah
Dinasti
Fatimiyah adalah satu-satunya Dinasti Syiah dalam islam. Dinasti ini didirikan
di Tunisia pada 909 M., sebagai tandingan bagi penguasa dunia muslim saat itu
yang terpusat di Baghdad, yaitu Bani Abbasyiah. Dinasti Fatimiyah didirikan
oleh sa’id ibn Husayn, kemungkinan keturunan pendiri kedua sekte Ismailiyah,
perang Persia yang bernama ‘Abdullah ibn Maymun yang sangat mencengangkan ini
merupakan puncak dari propaganda sekte Ismailiyah yang terampil terorganisir
dengan baik. Kusuksesan mereka itu sama dengan kesuksesan gerakan pertama sekte
ini, yang pernah menggoncang kekhalifahan Umayyah. Keberhasilan ini tidak bisa
dilepaskan dari upaya personal dari (propagandis) utama sekte ini, yaitu Abu
‘Abdullah al-Husain al-syi’i. Ia adalah seorang penduduk dari shan’a Yaman,yang
menjelang awal abad ke-9 memproklasikan dirinya sebagai pelopor Mahdi, dan
menyebarkan hasutan di tengah suku Berber diafrika utara, khusunya suku
kitamah. Perkenalannya dengan anggota suku ini terjadi pada musim haji di
Mekkah. Wilayah Afrika kecil-Tunisia dan Afrika Utara ketika itu berada dibawah
kekuasaan Aglabiyah.[4]
Sukses gemilang yang diraih oleh al-Syi’i diwilayah yang mendorong
sa’id untuk meninggalkan markas besar Ismailiyah di Salamiyah, dan pergi sambil
menyamar sebagai pedagang menuju barat laut Afrika. Ketika ia terlempar ke
penjara bawah tanah di Sijilmasah atas perintah penguasa Dinasti Aglabiyah,
Ziyadatullah (903-909), Sa’id ditolong oleh al-Syi’i, yang kemudian pada 909
menghancurkan dinasti Aglabiyah yang telah berkuasa selama berabad-abad, dan
mengusir keturunan terakhir Ziyadatullah keluar dari negeri itu. Pandangan para
sejarawan tentang al-Syi’i sebagai keturuna Fatimah terbagi menjadi dua
kelompok. Setidaknya ada delapan silsilah berbeda yang diungkapakan baik
kelompok pendukungnya maupun musuh-musuhnya, bahkan sampai ada yang jauh
memusuhinya yaitu dengan mengatakan anak orang Yahudi.[5]
Jawhar adalah pendiri kedua dinasti Fatimiyah yang setelah Syi’i
dan wilayahnya mencangkup Afrika Utara. Arab bagian barat adalah warisan dari
Ikhsidiyah yang telah dipercaya oleh penguasa Abbaasyiah sebagai pelindung kota
suci. Segera setelah kedudukannya di Mesir meluas, ia mulai melirik negara
tetangganya, suriah dan mengirimkan seorang panglima perang dan berhasil
menaklukkan Damaskus 969. Lawan utama Jawhar adalah sekte Qaramitah, yang pada
saat itu sedang berkuasa di beberapa di Suriah.[6]
B.
Khalifah-khalifah
Dinasti Fatimiyah
1)
Al-Mahdi
(909-934 M.) memperluas
wilayah kekuasaan ke seluruh Afrika yang terbentang dari perbatasan Mesir ke
wilayah Fes di Maroko. Pada 914 M. ia menguasai Alexandria, kemudian juga
kota-kota lainnva seperti Malta, Syria, Sardina, Corsica, dan sejumlah kota
lainnya. Ia juga ingin menaklukkan Spanyol dari kekuasaan Bani Umayyah.
Karenanya, ia bekerjasama dengan Muhammad ibn Hafsun, pimpinan oposisi di
Spanyol. Namun, ambisi itu belum tercapai sampai ia meninggal pada 934 M.
2)
Al-Qaim
(934-949 M), putra
AI-Mahdi, mengadakan perluasan ke selatan Pantai Perancis pada 934 M. Di sana
ia berhasil menduduki Genoa dan wilayah sepanjang pantai Calabria. Saat itu
pula ia mengirim pasukan ke Mesir, tetapi gagal dan diusir oleh Dinasti
Ikhsidiyah dari Alexandaria. Ia dapat menghalau berbagai serangan dari
`pemberontak Khawarij yang dipimpin Abu Yazid, meskipun pada 946 M. meninggal
dunia bertepatan dengan terjadinya pemberontakan Abu Yazid di Susa’. Anaknya,
Al-Mansur menggantikanya dan mendirikan kota Al-Mansuriyah yang megah di
wilayah perbatasan Susa’. Ia mampu mempertahankan prestasi ayahnya dalam
mengamankan seluruh wilayah Afrika di bawah kekuasaan Fatamiyyah, meskipun
berbagai serangan dari Khawarij terus dilancarkan.
3)
Mu’iz (965-975
M.), putra Al-Mansur, adalah khalifah Fathimiyah yang paling besar. Ia
berhasil membawa rakyat damai dan makmur, di samping wilayahnya yang semakin
dapat diperluas. Setelah melakukan konsolidasi ke dalam, hingga mendapatkan
pengakuan sukses dari rakyat, ia baru melakukan perluasan wilayah. Tidak lama
ia dapat menguasai Maroko dari Bani Umayyah di Spanyol dengan pimpinan panglima
Jauhar al-Shaqilli, selanjutnya ia mengutus Hasan ibn Ali merebut wilayah
pantai Spanyol, tetapi justru Abdurrahman III dari Spanyol menyerbu wilayah
Susa’. Sementara Romawi memanfaatkan situasi dengan menyerbu Crete pada 967 M.
yang semula dikuasai oleh Islam sejak AI-Makmun. Namun, Fathimiyah berhasil
nengambil Sicilia dari kekuasaan Bizantine, kemudian membangun Universitas
kedokteran yang sama besarnya dengan universitas-universitas di maupun Cardova.
Prestasi politik muiz yang paling besar adalah penaklukkan Mesir.
Penaklukkan kota Fusthat tanpa perlawanan berarti pada 969 M. oleh panglima
Jauhar al-Shaqili. Jauhar segera membangun kota ini menjadi kota baru dengan
nama Qahirah (Kairo). Sejak 973 kota ini dijadikan ibukota Fathimiyah.
Selanjutnya, Mu’iz mendirikan masjid Al-Azhar yang kemudian beralih menjadi
Universitas Al-Azhar yang berkembang hingga sekarang.
4)
Al-Aziz
(975-996 M.), putra Mu’iz,
adalah khalifah yang paling bijaksana dan pemurah, sehingga mampu membawa
rakyat lebih makmur. la menekankan adanya perdamaian antara pengikut agama,
baik Islam maupun Kristen, sehingga salah satu wazirnya beragama Kristen, yaitu
Isa bin Nastur. Ia sberhasil membawa Fathimiyah pada puncak kemajuan yang
mengungguli Bani Abbas di Baghdad saat itu. Bangunan megah ia dirikan di Kairo
seperti The Golden Palace, The Pearl Pavillion, dan Masjid Karafa, serta Masjid
Akademik Al-Azhar diresmikan.
Salah-satu kebijakan al-Aziz yang membawa akibat yang cukup fatal
adalah penarikan orang Turki dan Negro sebagai basis pasukan militer. Hal ini dimaksudkan
untuk menandingi kekuatan Barbar. Ketika kelompok Barbar mulai menguasai
jajaran militer, terjadilah persaingan antar ras di tubuh militer Fatimiyyah
yang pada gilirannya jadi salah salah satu factor kemunduran Fatimiyyah. Pada
masa-masa belakangan militer Turki semakin besar kekuatannya dan ketika
kekuatan Fatimiyyah mulai melemah, unsur-unsur militer mendirikan
dinasti-dinasti yang merdeka. Al-Aziz meninggal pada tahun 386 H/996 M. dan
bersamaan dengan ini berakhirlah kejayaan dinasti Fatimiyyah.
5)
Al-Hakim
(996-1021 M.), putra Al-Aziz,
diangkat menjadi khalifah ketika berusia sebelas tahun. Oleh karenanya,
pemerintahan sangat dipengaruhi oleh gubernur Barjawan. Akhirnya, pemerintahan
tidak stabil, kekerasan berlangsung, dan tak dapat dihindarkan konflik dengan
umat Kristen dan Yahudi yang merasa hak-haknya dipersempit. Ia menyelesaikan
pembangunan Dar Al-Hikmah, sebagai pusat ilmu pengetahuan dan pendidikan,
sekaligus dijadikan sebagai sarana penyebaran teologi Syi’ah.
6)
Al-Zahir
(1021-1036 M.), putra
Al-Hakim, ia diangkat menjadi khalifah pada usia enam belas tahun, sehingga
pemerintahan disetir oleh bibinya, Sitt al-Mulk. Setelah sang bibi meninggal,
ia dijadikan boneka oleh para menterinya. Karena musibah banjir, rakyat
menderita kekurangan pangan, sedang harga barang tidak lagi terjangkau. Ia
pernah mengusir sekelompok tokoh mazhab Maliki dari Mesir karena persengketaan
keagamaan di tahun 1025 M. Tetapi, pada dasarnya Al-Zahir mempunyai toleransi
terhadap Sunni dan Kristen.
7)
Al-Mustanshir
(1036-1095 M.), putra
Al-Zahir, ia memerintah paling lama, 61 tahun. Masa pemerintahannya yang
pertama sepenuhnya di tangan ibunya, sebab sewaktu dinobatkan ia masih berumur
tujuh tahun. Padamasanya, pemerintahan Fathimiyah mengalami kemunduran yang
drastis. Demikian pula para khalifah setelahnya, Al-Musta’li, Al-Amir, Al-Hafiz, Al-Zafl,
Al-Fa’iz dan Al Azid, tidak mampu lagi membawa pemerintahannya untuk kembali
seperti semula. Rata-rata mereka dinobatkan masih berusia sangat muda, sehingga
pemerintahan disetir oleh pihak lain. Khalifah terakhir Al-Azid berhasil
diturunkan dari tahtanya oleh Shalahuddin al-Ayyubi pada 1171 M. Maka,
berdirilah kemudian Dinasti Ayyubiyah di Mesir.[7]
C.
Puncak kejayan
Dinasti Fatimiyah
a.
Keadaan Politik
Pada masa
Dinasti Fathimiyah, terutama pada waktu kekuasaan Abu Manshur Nizar al-Aziz,
kehidupan masyarakat selalu diliputi oleh kedamaian. Hal ini merupakan imbas
dari keadaan pemerintahan yang damai. Al-Aziz adalah khalifah Fathimiyah yang kelima sejak berdirinya dinasti ini di
Tunisia, dan khalifah pertama yang memulai pemerintahan di Mesir. Simbolisme
istana yang penting diekspresikan dalam upacara, kesenian arsitektur, dan agama
Islam. Di dalam istana terdapat sebuah ruangan besar untuk mengajarkan
keyakinan Isma’iliyah. Para hakim, misionari, qari al-Quran, dan imam shalat
secara reguler hadir dalam berbagai upacara di dalam istana.[8]
Periode ini
menandai munculnya era baru dalam sejarah bangsa Mesir, yang untuk pertama
kalinya sepanjang sejarah, menjadi penguasa absolut dengan kekuatan besar dan
penuh yang didasarkan atas prinsip keagamaan. Usaha untuk menegakkan penyatuan
kepemimpinan agama dan politik jelas terlihat. Prinsip kepemimpinan yang
mengharuskan seorang imam harus menjadi sosok yang adil, yang bisa menjauhkan
umat dari siksaan, suara kebenaran, yang bersinar seperti matahari dan
bercahaya seperti bintang, dan menjadi pilar agama, rizki, dan kehidupan
manusia, telah berhasil menjulangkan popularitas sang khalifah. Nama sang
khalifah senantiasa disebut-sebut dalam khutbah-khutbah Jumat di sepanjang
wilayah kekuasaannya yang membentang dari Atlantik hingga Laut Merah, di Yaman,
Mekah, Damaskus, dan bahkan di Mosul.[9]
Pemerintahan
Fathimiyah ini dapat dimasukkan ke dalam model pemerintahan yang bersifat
keagamaan. Dalam arti bahwa hubungan-hubungan dengan agama sangatlah kuat,
simbol-simbol keagamaan, khususnya. Dalam hubunganya dengan keluarga Ali,
sangat ditonjolkan dalam mengurus pemerintahan Fatimiyah membangun
masjid-masjid., seperti Al Azhar dan Al Hakim, dengan menara serta kubahnya
vang menjulang bagaikan ketinggian para Imam, dan mengingatkan terhadap kota
suci Makkah dan Madinah Sebagai suatu
cara memuliakan terhadap khalifah karena kesungguhannya dalam berbakti kepada
Tuhan.[10]
b.
Bidang
Administrasi
Sistem administrasi
pemerintahan Dinasti Fathimiyah tidak begitu berbeda dengan sistem administrasi
Abbasiyah, atau lebih cenderung pada sistem administrasi Persia kuno. Administrasi
internal kerajaan dibentuk oleh Ya’kub ibn Killis yang wafat tahun 991 M,
seorang wazir atau menteri pada kekhalifahan al-Mu’iz dan al-Aziz. Ya’kub
adalah seorang Yahudi yang masuk Islam. Berkat kecakapannya dalam bidang
administrasi, ia berhasil meletakkan dasar-dasar ekonomi sehingga Dinasti
Fathimiyah mencapai kemakmuran pada awal pemerintahannya.
Pengelolaan
negara dilakukan dengan mengangkat para menteri. Fathimiyah membagi kementrian
menjadi dua kelompok yaitu: pertama, kelompok militer yang terdiri atas tiga
jabatan pokok: (1) Para amir, yang terdiri atas para perwira tertinggi dan para
pengawal khalifah; (2) Para perwira istana yang terdiri atas para ahli (ustadz)
dan para kasim; (3) Komando-komando resimen yang masing-masing menyandang nama
berbeda seperti Hafizhiyah, Jususyiyah, Sudaniyah, atau yang disebut dengan
nama khalifah, wazir, atau suku. Para
wazir atau menteri juga terdiri atas beberapa kelas, yang tertinggi adalah
menteri keamanan yang mengatur tentara dan urusan perang, kemudian menteri
dalam negeri, menteri urusan rumah tangga yang menyambut tamu-tamu kehormatan utusan
luar negeri, dan yang terakhir adalh menteri sekertaris negara yang terdiri
atas para qadhi yang juga menjadi kepala percetakan uang; menteri pengawas
pasar yang mengawasi ukuran dan
timbangan dalam Tingkatan pegawai yang paling rendah adalah para pegawai di
departemen sekretariat negara yang terdiri atas para pegawai sipil, termasuk
para pedagang dan sekretaris dari berbagai departemen[11]
Sejak kekusaan
Abu Manshur Nizar Al- ‘Aziz (975-996), Mesir selalu penuh kedamain. Ia adalah
khalifah yang kelima Dinasti Fatimiyah dan khalifah yang pertama yang memulai
pemerintahannya di Mesir. Dibawah pemerintahannyalah mesir mencapai puncak
kejayaannya, dan nama selalu disebut-sebut dalam wilayah-wilayah,
khutbah-khutbah Jumat diwilayah kekuasaannya yang membentang dari Alantik
hingga laut merah.[12]
Dari kemajuan
bidang administrasi Dinasti Fatimiyah secara garis besar tidak jauh berbeda
dengan keadaan pada saat dinasti Abbasyiah, sekalipun pada masa ini muncul
pejabat yang berbeda , baik tentang urusan keduniawian maupun sipiritual.
Khalifah berwenang untuk menurunkan dan menaikkan jabatan-jabatan dibawahnya.
Kementrian
negara (wasir) terbagi menjadi dua kelompok, pertama para ahli pedang dan yang
kedua adalah para ahli pena. Kedudukan kelompok pertama adalah bertugas sebagai
militer dan keamana serta pengawal sang khalifah. Sedangkan bagian kelompok
kedua adalah beberapa menduduki jabatan pemerintahan, diantarnya adalah (1)
hakim, (2) pejabat, (3) inspektur pasar yang bertugas untuk menertibkan pasar,
(4) pejabat keuangan yang bertugas untu mengurusi keuangan negara, (5) regu
pembantu istana, (6) petugas pembaca Al-Qur’an. Tingkat terendah adalah
kelompok “ahli pena” terdiri atas
kelompok pegawai negeri, yang bertugas sebagai penjaga dan juru tulis dalam
berbagai departemen.
Dari kemajuan
bidang sosial mayoritas khalifah Fatimiyah bersikap moderat dan sangat
perhatian kepada nonmuslim. Selama masa kini orang-orang nonmuslim diperlakukan
secara bijaksana, hanya khalifah Al-Hakim yang bersikap agak keras kepada
mereka. Orang-orang kristen Kopti tidak pernah merasakan kemurahan dan
keramahan melebihi sikap pemerintah muslim. Pada masa Al-Aziz mereka bahkan
lebih diharagai dari umat islam dimana mereka ditunjuki sebagai pejabat-pejabat
tinggi negara. Mayoritas khalifah Fatimiyah berpola hidu mewah dan santai.
Al-Mustansir menurut informasi dan kabar telah mendirikan paviliun di istananya
sebagai tempat berfoya-foya dengan penari yang rupawan.[13]
c.
Perkembangan
Ekonomi
Dalam membahas
masalah perkembangan ekonomi akan dibicarakan mengenai kehidupan masyarakat dan
keadaan negara dilihat dari kemajuan ekonomi dan kemakmurannya. Seperti yang
telah disinggung di awal, masyarakat pada masa pemerintahan Dinasti Fathimiyah
hidup dengan damai. Kekuasaan rezim Syi’ah tetap memberi toleransi kepada
masyarakat, baik kepada golongan Koptik maupun kepada masyarakat umum yang
bermazhhab Sunni. Sebenarnya masa keemasan dalam sejarah dinasti ini di Mesir
dimulai pada periode al-Mu’iz dan mencapai puncaknya pada periode al-Aziz, tetapi
pada periode sesudahnya yaitu masa al-Munthashir masih menunjukkan bahwa Mesir
merupakan negara Islam paling maju.
Khalifah
al-Aziz hidup di kota Kairo yang mewah dan gemerlap, dikelililngi beberapa
masjid, istana, jembatan, dan kanal-kanal yang baru dibangun. Pada prosesi
ibadah, misalnya idul fitri, dia biasa berkeliling dengan pasukannya dengan
memakai pakaian berornamen brokat dan dilengkapi dengan pedang dan sabuk emas.
Tenda yang dipakai oleh khalifah dihiasi mutiara. Kegemilangan Mesir pada masa al-Muntashir
ini dapat tergambar sebagaimana dideskripsikan oleh seorang Persia yang
mengunjungi negara ini tahun 1046-1049, beberapa saat sebelum terjadi
kehancuran ekonomi dan politik. Ia mengemukakan bahwa istana khalifah
mempekerjakan 30.000 orang, 12.000 orang di antaranya adalah pelayan dan 1.000
orang pengurus kuda. Khalifah muda yang dilihatnya pada sebuah perayaan
menunggangi kuda, dinaungi oleh pelayan dengan payung yang dihiasi batu-batu
mulia. Di tepi Sungai Nil terdapat tujuh buah perahu berukuran 150 kubik dengan
60 tiang pancang sedang berlabuh. Khalifah memiliki 20.000 rumah di ibu kota,
hampir semuanya dibangun dengan batu bata, dengan ketinggian hingga lima atau
enam lantai. Ia juga memiliki ribuan toko yang masing-masing bisa menghasilkan dua
hingga sepuluh dinar perbulan. Jalan-jalan utama diberi atap dan diterangi
lampu. Para penjual toko menjual dengan harga yang telah ditetapkan. Jika ada
seorang pedagang yang curang, ia akan dipertontonkan di sepanjang jalan kota
sambil membunyikan lonceng dan mengakui kesalahannya. Bahkan begitu amannya
kota, toko perhiasan atau tempat penukaran uang tidak pernah dikunci saat
ditinggal oleh pemiliknya. Kota Fusthat memiliki tujuh masjid besar; Kairo
memiliki delapan buah.[14]
Seluruh kota merasakan ketenangan dan kemakmuran dengan ungkapannya yang
antusias, “Bahkan aku tidak bisa memperkirakan kekayaan kota ini, dan tidak
pernah sekali pun aku melihat satu tempat yang lebih makmur dari kota ini.[15]
Khalifah
al-Muntashir hidup dalam kemewahan dan kesenangan. Dia mewarisi harta yang berlimpah dari para
pendahulunya. Kekayaan khalifah terbukti dengan ditemukannya warisan harta
sangat berharga yang tersebar di antara tentara-tentara Turki berupa vas-vas
kristal, piring-piring berlapis emas, tempat tinta yang terbuat dari gading dan
kayu eboni, gelas-gelas berbahan gading, cermin-cermin dari baja, payung dengan
gagang terbuat dari emas dan perak, papan catur dengan bidak terbuat dari emas
dan perak, belati berhiaskan mutiara, dan pedang-pedang berukir indah.[16]
d.
Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Dinasti
Fathimiyah memiliki perhatian besar terhadap ilmu pengetahuan. Khalifah al-Aziz
sendiri adalah seorang penyair dan sangat menyenangi pendidikan. Pada masanya
dikembangkanlah Masjid Agung al-Azhar menjadi universitas sebagai salah satu
lembaga pendidikan Islam tertua.
Khalifah
al-Hakim melakukan pembangunan pusat pembelajaran Dār al-Hikmah (rumah
kebijaksanaan) dan Dār al-‘Ilm (rumah ilmu) pada tahun 1005 yang melakukan
pengkajian ilmu-ilmu keislaman, astronomi, dan kedokteran. Dia menyediakan dana
yang besar untuk mengembangkan institusi ini, di antaranya digunakan untuk
menyalin berbagai naskah, memperbaiki buku, dan pemeliharaan umum lainnya.
Bangunan tersebut ditempatkan berdekatan dengan istana kerajaan. Di dalam bangunan
itu terdapat sebuah perpustakaan dan ruang-ruang pertemuan. Al-Hakim juga
membangun sebuah observatorium karena ketertarikannya pada
perhitungan-perhitungan astrologi. Alat untuk mengukur tanda-tanda zodiak yang
terbuat dari tembaga didirikan oleh al-Hakim di atas dua menara.
Beberapa tokoh
ilmuwan yang terkenal pada masa ini di
antaranya ‘Ali ibn Yunus. Dia adalah seorang astronom paling hebat yang
menciptakan tabel astronomi. Juga ada Abu ‘Ali al-Hasan ibn al-Haitsam (bahasa
Latin, Alhazen) yang merupakan peletak dasar ilmu fisika dan optik. Ia menulis
tidak kurang dari seratus karya yang meliputi bidang matematika, astronomi,
filsafat, dan kedokteran. Karya terbesarnya adalah Kitāb al-Manāzhir mengenai
ilmu optik. Kitab ini sangat berpengaruh terhadap perkembangan ilmu optik dan
menjadi rujukan utama hampir semua penulis tentang optik pada Abad Pertengahan.
Tokoh lainnya adalah ‘Ammar ibn ‘Ali al-Maushili yang menghasilkan karya
al-Muntakhab fi ‘Ilaj al-‘Ain (Karya Pilihan tentang Penyembuhan Mata) dan Ibn
‘Isa yang menghasilkan karya Tadzkirah.[17][23]
Dalam karya ‘Ammar ini dijelaskan dasar-dasar operasi katarak yang merupakan
penemuannya yang berharga dalam bidang kesehatan.
Dalam
perkembangan berikutnya, pada masa al-Muntashir, terjadilah kemunduran dalam
bidang ilmu pengetahuan dengan banyaknya buku-buku yang hilang dari
perpustakaan kerajaan yang telah didirikan sejak masa al-‘Aziz yang ketika itu
memiliki kurang lebih 200.000 buku dan 2.400 Alquran.[18]
Berkurangnya koleksi perpustakaan ini sebagai akibat peristiwa perebutan
rampasan perang pada tahun 1068. Naskah-naskah berharga itu digunakan sebagai
bahan bakar untuk membakar rumah-rumah dan kantor-kantor orang Turki.
D.
Kemunduran
Dinasti Fatimiyah
1.
Awal Kemunduran
Kemunduran yang
dialami Dinasti Fathimiyah sudah mulai ada pada masa Abu ‘Ali Manshur al-Hakim.
Al-Hakim adalah pengganti al-Aziz, ia baru berusia 11 tahun ketika naik tahta.
Karena masih terlalu muda ketika diangkat menjadi khalifah, kekuasaan
sesungguhnya berada di tangan para wazir. Para wazir ini akhirnya sering
mendapat julukan kebangsawanan “al-malik”.
Masa
pemerintahannya, ditandai dengan sifat aneh berupa tindakan-tindakan kejam yang
menakutkan. Ia membunuh beberapa orang wazir, dan menetapkan aturan-aturan
ketat kepada kalangan nonmuslim. Ia membuat kebijakan menghancurkan beberapa
gereja dan Kuburan Suci umat Kristen, yang kelak akhirnya menjadi salah satu
peristiwa yang melatarbelakangi pecahnya Perang Salib. Ia juga secara umum
menyatakan dirinya sebagai penjelmaan dari Tuhan, sebuah klaim yang menimbulkan
polemik yang dahsyat di kalangan ummat Islam. Inilah akhirnya menjadi akar
melemahnya dukungan politik terhadap kepemimpinan al-Hakim, sehingga pada tahun
1094 terjadi perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh panglima militer, al-Afzal
Sahinsyah.
Pengganti
al-Hakim adalah anaknya, al-Zhahir (1021-1035), yang ketika naik tahta berusia
enam belas tahun. Ia mendapatkan izin dari Konstantin VIII agar namanya
disebut-sebut di masjid-masjid yang berada di bawah kekuasaan sang kaisar. Ia
juga mendapat izin untuk memperbaiki masjid di Konstantinopel sebagai balasan
terhadap restu al-Zhahir untuk membangun kembali gereja yang di dalamnya
terdapat Kuburan Suci.
2.
Terjadinya
Pemberontakan
Pengganti
al-Zhahir adalah anaknya, Ma’ad al-Muntashir (1035-1094). Seperti al-Hakim,
al-Muntashir naik tahta saat berusia sebelas tahun. Pada masa awal
kekuasaannya, ibunya, seorang budak dari Sudan, menikmati kekuasaan anaknya
dengan leluasa. Sejak saat itu, kekuasaan Fathimiyah mulai menyusut sedikit demi
sedikit. Penyebabnya karena sering terjadinya pemberontakan seperti di
Palestina dan Suku Arab di dataran tinggi Mesir yang akhirnya mampu menduduki
Tripoli dan Tunisia. Pada tahun 1071, sebagian besar wilayah Sisilia dikuasai
oleh bangsa Normandia yang daerah kekuasaannya terus meluas hingga ke pedalaman
Afrika. Hanya kawasan Semenanjung Arab yang masih tetap mengakui kekuasaan
Fathimiyah. Sejalan dengan itu, provinsi-provinsi Dinasti Fathimiyah di Afrika
memutuskan hubungan dengan pusat kekuasaan dan berkeinginan untuk memerdekakan
diri atau kembali kepada Dinasti Abbasiyah. Selain itu kericuhan dan pertikaian
terjadi di antara orang-orang Turki, suku Berber dan pasukan Sudan. Kekuasaan
negara dapat dikatakan lumpuh. Perekonomian negara juga tidak berdaya sebagai
akibat kelaparan selama tujuh tahun.
3.
Persaingan
Antarwazir
Setelah
al-Muntashir meninggal pada tahun 1094, kekuasaan diteruskan oleh anaknya yaitu
al-Malik al-Afdhal. Pada masa ini muncul perseteruan terus-menerus di antara
para wazir yang didukung oleh kelompok tentaranya masing-masing. Al-Afdhal lalu
menempatkan anaknya yang paling muda sebagai khalifah dengan julukan
al-Musta’li. Sementara itu terjadi kekacauan sekitar permasalahan suksesi di
masa pemerintahan khalifah al-Musta’ali. Nizar, putera Musta’ali yang tertua
dihukum penjara hingga meninggal, namun pengikut Nizar mengakui bahwa Nizar
masih hidup. Ini menimbulkan kekacauan dan melahirkan dua kubu yang saling
bersaing, yaitu kubu Must’aliyah dan kubu Nizariyah.
Putra
al-Musta’ali bernama al-Amir yang masih berusia lima tahun, menggantikan
ayahnya sebagai penguasa di Mesir. Al-Amir akhirnya menjadi korban pembunuhan
pada tahun 1130. Penerus al-Amir adalah al-Hafizh. Sepeninggal al-Amir, Dinasti
Fathimiyah semakin mengalami kemunduran. Pada saat itu, timbul pertentangan
paham keagamaan antara kalangan penguasa dengan mayoritas masyarakat yang
menganut Sunni. Sejumlah kelompok kecil mengikuti imam mereka masing-masing dan
mengabaikan klaim penguasa Fathimiyah.
Ketika
al-Hafizh (1130-1149) meninggal, kekuasaannya benar-benar hanya sebatas istana
kekhalifahan. Penggantinya yaitu anaknya yang bernama al-Zhafir (1149-1154)
masih berusia sangat muda hingga kemudian kekuasaannya direbut oleh seorang
wazir dari Kurdistan ibn al-Sallar yang menyebut dirinya sebagai al-Malik
al-‘Adil.
4.
Al-‘Adid
sebagai Khalifah Terakhir
Hari kedua
setelah meninggalnya khalifah, dinobatkanlah anak al-Zhafir yang baru berusia
empat tahun yakni al-Faiz sebagai khalifah (1154-1160). Khalifah kecil ini
meninggal pada usia sebelas tahun, dan digantikan oleh sepupunya al-‘Adid yang
baru berusia sembilan tahun.[19]
Dialah khalifah yang keempat belas yakni khalifah yang terakhir pada Dinasti
Fathimiyah yang berkuasa selama lebih dari dua setengah abad.
Pada masa
pemerintahan al-Adid, kehidupan masyarakat sangat sulit dengan adanya bencana
kelaparan dan wabah penyakit yang sering terjadi. Akibatnya adalah pajak yang
tinggi untuk memuaskan kebutuhan khalifah dan angkatan bersenjata. Keadaan
semakin sulit dengan datangnya pasukan Perang Salib ke Mesir. Maka khalifah
al-Adid meminta bantuan kepada Nuruddin Zanki, gubernur Suriyah di bawah
kekuasaan Abbasiyah Baghdad.[20]
Nuruddin akhirnya mengutus Shalahuddin al-Ayubi yang membawa tentara ke Mesir
untuk menghalau tentara Salib. Karena keberhasilannya, dia diangkat menjadi
menteri di Mesir, di bawah Fathimiyah tentunya. Namun khalifah al-Adid amat tua
untuk memimpin dan tekanan politik makin tinggi, sementara keberhasilan
Shalahuddin al-Ayubi membuat dukungan atasnya menjadi khalifah sangat kuat.
Pada akhirnya, Shalahuddin al-Ayubi bisa menjadi khalifah dan mengakhiri
Dinasti Fathimiyah pada tahun 1171. Kepemimpin Shalahuddin al-Ayubi mengubah
corak kekuasaan yang sebelumnya Syi’ah beralih ke Sunni, sehingga disebut
Dinasti Sunni al-Ayyubiyah.
Dinasti
Ismailiyah yang didirikan oleh Ubaidillah al-Mahdi ini hanya mampu bertahan
selama lebih kurang dua setengah abad (909-1171 M).Tiga orang khalifah Dinasti
Fatimiyah lainnya yang pernah memerintah di Maroko adalah al-Qaim (322-323
H/934-946 M), al-Manshur (323-341 H/946-952 M), dan al-Muizz (341-362 H/952-975
M). Dinasti ini dapat maju antara lain karena didukung oleh militer yang kuat,
administrasi pemerintahan yang baik, ilmu pengetahuan berkembang, dan
ekonominya stabil. Krisis kepemimpinan Khalifah berikutnya setelah al-Aziz,
yakni al-Hakim (386-411 H/996-1021 M), al-Zahir (411-427 H/1021-1036 M),
Al-Mustansir (428-487 H/1036-1094 M), hingga al-Musta’li (487-495 H/1094-1101
M), tak mampu mengendalikan pemerintahan seperti yang dilakukan oleh al-Aziz.
Bahkan, krisis di antara kekuatan dalam pemerintahan Daulah Fatimiyah itu terus
berlangsung paada masa al-Hafiz (525-544 H/1131-1149 M), al-Zafir (544-549
H/1149-1154 M), al-Faiz (549-555 H/1154-1160 M), dan al-Adid (555-567
H/1160-1171 M).
Sekalipun Fathimiyah
runtuh di Mesir, namun beberapa kelompok kecil Ismailiyah masih bertahan di
Syiria, Persia dan Asia Tengah, serta mengalami perkembangan pesat di India.
Artinya, setelah runtuh, sebuah kekuatan tidak serta merta lenyap, tetapi masih
ada dan bertahan, atau setidaknya tumbuh di tempat lain.
KESIMPULAN
Selama dua abad lebih menguasai Mesir, keberadaan Dinasti
Fathimiyah telah memberikan sumbangan peradaban yang besar. Kemajuan terbesar
adalah memberikan ruang berkembangnya ilmu pengetahuan di dunia Islam yang
melahirkan banyak ilmuwan dengan didirikannya Dār al-Hikmah dan Dār al-‘Ilmi
dan keberadaan Universitas al-Azhar sebagai pusat pengkajian ilmu pengetahuan
yang masih terasa hingga kini.
Kemajuan lain yang dicapai oleh Dinasti Fathimiyah adalah
tertatanya sistem administrasi pemerintahan yang membuahkan kemakmuran. Catatan
sejarawan tentang kecemerlangan Mesir saat itu dan jejak peninggalannya berupa karya-karya
seninya yang bernilai sangat tinggi, membuktikan kebenaran fakta tersebut.
Dinasti Fathimiyah juga terkenal dengan toleransi beragamanya. Para
penguasa Fathimiyah tidak mencoba melakukan tekanan agar penganut Sunni
menyeberang ke Syi’ah Ismailiyah. Mereka juga sangat menghargai kemerdekaan
agama Kristen maupun Yahudi. Satu-satunya pengecualian adalah pada masa
khalifah al-Hakim.
Kemunduran Dinasti Fathimiyah bukan hanya disebabkan oleh faktor
eksternal berupa serangan dari pasukan luar, melainkan juga karena masalah
internal yang tidak dapat diselesaikan seperti berkurangnya kesetiaan publik
kepada penguasa yang dianggap berprilaku aneh, banyaknya campur tangan para
wazir akibat penguasa yang belum cukup umur, dan timbulnya perselisihan dalam
suksesi pemerintahan.
Terlepas klaim sebagai keturunan nabi yang masih diperdebatkan dan
salah seorang khalifah tidak mencerminkan kepemimpinan yang ideal, namun yang
jelas sumbangan dinasti ini merupakan sumbangan berharga.
DAFTAR PUSTAKA
Ira M. Lapidus,
1999. A History of Islamic Societies.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Ira M. Lapidus,
1999. A History of Islamic Societies, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Jaih Mubarok, ,
2008. Sejarah Peradaban Islam.Bandung: Pustaka Islamika
Mubarok, J.
2008. Sejarah Peradaban Islam. Cet. I. Bandung: Pustaka Islamika
Musyrifah
Sunanto, 2007. Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam.
Jakarta, Kencana.
Nurhakim, Moh. 2003.
Sejarah Peradaban Islam. Malang, UMM Pres.
Philip K.
Hitti, 2008. History of Arabs. Jakarta: PT Serambi Ilmu Sentosa.
Samsul Munir
Amin, 2009. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Amzah.
[1] Philip K.
Hitti, History of Arabs ( Jakarta: PT Serambi Ilmu Sentosa. 2008 ), 787.
[2] Ibid, 801.
[3] Musyrifah
Sunanto, Sejarah Islam Klasik: Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam ( Jakarta,
Kencana. 2007), 142.
[4] Ibid, 787.
[5] Ibid, 788.
[6] Ibid, 789.
[7] Samsul Munir
Amin, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta: Amzah, 2009), 256-262
[8] Ira M. Lapidus, A History of Islamic
Societies, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999), 536.
[9] hilip
K. Hitti, 2008, 791
[10] Nurhakim, Sejarah
Peradaban Islam, (Malang, UMM Pres, 2003) 101-103.
[11] Philip K.
Hiti, 2008 h. 800
[12] Ibid, 791.
[13] Munir, Sejarah
Peradaban Islam (Jakarta: Amzah, 2009), 265.
[14] Philip K.
Hitti, 2008, 798.
[15] Philip K.
Hitti, 2008, 799.
[16] Philip K.
Hitti, 2008,799
[17] Philip K.
Hitti, 2008, 803.
[18] Philip K.
Hitti, 2008, 803.
[19] Philip K.
Hitti,
2008, 796.
[20] Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung:
Pustaka Islamika, 2008)
193.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mari kita membaca dengan hati plus mata