Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Selama era reformasi, Indonesia telah tiga kali (2004, 2009, dan 2014) secara teratur menyelanggarakan pemilu untuk memilih anggota legislatif dan presiden/wakil presiden. Untuk tahun 2014, baru pileg (pemilu legislatif) yang sudah rampung pada 9 April ini, sedangkan untuk pilpres (pemilihan presiden/wakil presiden) akan diadakan pada 9 Juli. Kita patut menghargai pemilu yang teratur ini ditengok dari sisi perkembangan demokrasi yang sudah kita pilih sejak awal kemerdekaan. Sekalipun pada masa lalu pernah dua kali diterpedo oleh penguasa yang tidak nyaman dengan demokrasi, tokh akhirnya sejak tahun 1998 sistem politik itu kembali dihidupkan. Maka bermunculanlah instant politicians (politisi dadakan) bersama partai-partai baru sebagai tambahan dari partai yang sudah ada.
Dalam peradaban modern, sistem demokrasi, di mana pun di seluruh dunia, pasti menjadikan parpol sebagai pilar utamanya. Tidak bisa dinalar demokrasi tanpa keberadaan sejumlah parpol. Jika tidak demikian, maka demokrasinya hanyalah demokrasi dalam nama, tidak dalam kenyataan. Dalam tarikan nafas yang sama, parpol yang hanya berfungsi sebagai alat penguasa dalam pemilu yang tidak bebas dengan pemenang sudah ditentukan sebelum bertarung, maka demokrasi yang demikian itu pastilah sudah cacat sejak lahir. Indonesia juga berpengalaman dengan demokrasi yang cacat ini. Ini adalah pola umum yang terlihat di berbagai negara.
Hubungan sistem kepartaian dan demokrasi demikian bertautnya. Semakin sehat kehidupan parpol, maka dapat dipastikan kualitas demokrasi juga akan semakin kuat dan sehat. Dalam pengertian yang terbalik, semakin buruk budaya politik yang berkembang dalam sistem kepartaian, maka corak demokrasi yang muncul akan sarat dengan wajah bopeng, buruk, busuk, dan melelahkan. Jika mau bersikap jujur, pada tahap sekarang, demokrasi Indonesia pada umumnya masih berkutat dalam kategori yang kedua ini, sekalipun dalam kebebasan berpolitik kita sudah sangat maju. Terlihat di sini fenomena yang serba paradoks, antara kebusukan dan kebebasan. Dalam ungkapan lain, kebebasan yang tidak disertai rasa tanggung jawab, maka buah yang dihasilkannya dapat berupa keliaran dan permainan politik uang yang kini sedang masif di Indonesia. Lagi-lagi kualitas seorang caleg (calon anggota legislatif) yang manjadi bagian dari kaum elite parpol perlu pembenahan serius, baik pada ranah pengetahuan, kejujuran, moral, dan dalam visi politik kebangsaan yang jelas.
Politik uang ini sangat riil, dilakukan oleh banyak caleg, tersebar pada berbagai parpol di seluruh Nusantara. Sebagai contoh, menurut pengalaman teman tetangga saya yang terlibat dalam tim khusus, ada seorang caleg yang sudah bertitel haji pada dua TPS (tempat pemungutan suara) tingkat kampung saja, telah menebar uang sebesar Rp 50 juta, masing-masing diberi Rp 25 juta. Saya tidak tanya berapa jumlah TPS di dapil (daerah pemilihan) yang harus dilayaninya. Itu baru untuk merebut posisi di DPRD tingkat kapupaten. Untuk tingkat yang lebih atas, rupiah yang disebarkan tentu dalam jumlah yang jauh lebih besar lagi. Karena berada di kawasan tempat tinggal saya, tanda gambar caleg yang dimaksud memang bertengger di tiang-tiang listrik, pepohonan, dinding rumah, dan sebagainya. Dan, kata teman saya itu, caleg tersebut gagal dalam perjuangannya, sekalipun kantongnya sudah terkuras.
Kasus di atas masih mendingan. Yang menjijikkan adalah fenomena caleg yang gagal, meminta kembali sumbangan yang telah diberikan untuk masjid, mushalla, orang miskin, dan kampung tertentu. Caleg yang tidak punya malu ini tidak lain dari pada produk peradaban politik kita yang masih rendah, rendah sekali. Dan terkait dengan hal ini, pendidikan politik untuk meningkatkan kualitas elite kepartaian hampir tidak berjalan di negeri ini. Akibatnya, siapa pun yang punya uang cukup dapat dengan mudah memasuki suatu parpol dan kemudian terdaftar jagi caleg, untung kalau gagal. Jika berhasil, bisa dibayangkan kualitas DPR, DPRD, dan DPD kita pasti akan semakin runyam dan suram.
Akhirnya, sebagai antisipasi ke depan, perlu langkah berikut. Jika demokrasi Indonesia memang diharapkan akan berguna bagi kepentingan rakyat banyak, maka tidak ada pilihan lain kecuali kualitas politisi atau calon politisi dalam sistem kepartaian perlu mendapat pendidikan dan latihan politik kebangsaan yang jelas dan terarah, di samping prinsip-prinsip moral yang harus dipegang teguh.[sp/rol]
Selama era reformasi, Indonesia telah tiga kali (2004, 2009, dan 2014) secara teratur menyelanggarakan pemilu untuk memilih anggota legislatif dan presiden/wakil presiden. Untuk tahun 2014, baru pileg (pemilu legislatif) yang sudah rampung pada 9 April ini, sedangkan untuk pilpres (pemilihan presiden/wakil presiden) akan diadakan pada 9 Juli. Kita patut menghargai pemilu yang teratur ini ditengok dari sisi perkembangan demokrasi yang sudah kita pilih sejak awal kemerdekaan. Sekalipun pada masa lalu pernah dua kali diterpedo oleh penguasa yang tidak nyaman dengan demokrasi, tokh akhirnya sejak tahun 1998 sistem politik itu kembali dihidupkan. Maka bermunculanlah instant politicians (politisi dadakan) bersama partai-partai baru sebagai tambahan dari partai yang sudah ada.
Dalam peradaban modern, sistem demokrasi, di mana pun di seluruh dunia, pasti menjadikan parpol sebagai pilar utamanya. Tidak bisa dinalar demokrasi tanpa keberadaan sejumlah parpol. Jika tidak demikian, maka demokrasinya hanyalah demokrasi dalam nama, tidak dalam kenyataan. Dalam tarikan nafas yang sama, parpol yang hanya berfungsi sebagai alat penguasa dalam pemilu yang tidak bebas dengan pemenang sudah ditentukan sebelum bertarung, maka demokrasi yang demikian itu pastilah sudah cacat sejak lahir. Indonesia juga berpengalaman dengan demokrasi yang cacat ini. Ini adalah pola umum yang terlihat di berbagai negara.
Hubungan sistem kepartaian dan demokrasi demikian bertautnya. Semakin sehat kehidupan parpol, maka dapat dipastikan kualitas demokrasi juga akan semakin kuat dan sehat. Dalam pengertian yang terbalik, semakin buruk budaya politik yang berkembang dalam sistem kepartaian, maka corak demokrasi yang muncul akan sarat dengan wajah bopeng, buruk, busuk, dan melelahkan. Jika mau bersikap jujur, pada tahap sekarang, demokrasi Indonesia pada umumnya masih berkutat dalam kategori yang kedua ini, sekalipun dalam kebebasan berpolitik kita sudah sangat maju. Terlihat di sini fenomena yang serba paradoks, antara kebusukan dan kebebasan. Dalam ungkapan lain, kebebasan yang tidak disertai rasa tanggung jawab, maka buah yang dihasilkannya dapat berupa keliaran dan permainan politik uang yang kini sedang masif di Indonesia. Lagi-lagi kualitas seorang caleg (calon anggota legislatif) yang manjadi bagian dari kaum elite parpol perlu pembenahan serius, baik pada ranah pengetahuan, kejujuran, moral, dan dalam visi politik kebangsaan yang jelas.
Politik uang ini sangat riil, dilakukan oleh banyak caleg, tersebar pada berbagai parpol di seluruh Nusantara. Sebagai contoh, menurut pengalaman teman tetangga saya yang terlibat dalam tim khusus, ada seorang caleg yang sudah bertitel haji pada dua TPS (tempat pemungutan suara) tingkat kampung saja, telah menebar uang sebesar Rp 50 juta, masing-masing diberi Rp 25 juta. Saya tidak tanya berapa jumlah TPS di dapil (daerah pemilihan) yang harus dilayaninya. Itu baru untuk merebut posisi di DPRD tingkat kapupaten. Untuk tingkat yang lebih atas, rupiah yang disebarkan tentu dalam jumlah yang jauh lebih besar lagi. Karena berada di kawasan tempat tinggal saya, tanda gambar caleg yang dimaksud memang bertengger di tiang-tiang listrik, pepohonan, dinding rumah, dan sebagainya. Dan, kata teman saya itu, caleg tersebut gagal dalam perjuangannya, sekalipun kantongnya sudah terkuras.
Kasus di atas masih mendingan. Yang menjijikkan adalah fenomena caleg yang gagal, meminta kembali sumbangan yang telah diberikan untuk masjid, mushalla, orang miskin, dan kampung tertentu. Caleg yang tidak punya malu ini tidak lain dari pada produk peradaban politik kita yang masih rendah, rendah sekali. Dan terkait dengan hal ini, pendidikan politik untuk meningkatkan kualitas elite kepartaian hampir tidak berjalan di negeri ini. Akibatnya, siapa pun yang punya uang cukup dapat dengan mudah memasuki suatu parpol dan kemudian terdaftar jagi caleg, untung kalau gagal. Jika berhasil, bisa dibayangkan kualitas DPR, DPRD, dan DPD kita pasti akan semakin runyam dan suram.
Akhirnya, sebagai antisipasi ke depan, perlu langkah berikut. Jika demokrasi Indonesia memang diharapkan akan berguna bagi kepentingan rakyat banyak, maka tidak ada pilihan lain kecuali kualitas politisi atau calon politisi dalam sistem kepartaian perlu mendapat pendidikan dan latihan politik kebangsaan yang jelas dan terarah, di samping prinsip-prinsip moral yang harus dipegang teguh.[sp/rol]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mari kita membaca dengan hati plus mata