Oleh MuFe El-Bageloka[1]
Abstrak
Wacana Pendidikan Karakter menjadi topik utama dalam dunia pendidikan. Hal ini disebabkan karena meningkatnya degradasi moral anak bangsa Indonesia. Namun di satu sisi dalam dunia pendidikan juga dikenal dengan istilah Pendidikan Akhlak yang walaupun keduanya memiliki muara yang sama baik dari konsep, tujuan dan manfaatnya.
Kata Kunci: Pendidikan Karakter, Pendidikan Akhlak, konsep, Tujuan dan Manfaat
Pengantar
Pendidikan Karakter menjadi isu penting akhir-akhir ini dalam dunia pendidikan Indonesia yang mana saat ini generasi muda Indonesia mengalami degradasi moral, akhlak dan lain sebagainya. Seperti tawuran, pemerkosaan, video porno dan lain sebagainya kesemuanya ini menjadi sorotan dalam dunia pendidikan Indonesia terutama pendidikan Islam.
Adanya kriminal-kriminal yang diungkapkan oleh penulis merupakan bukti kuat mengindikasikan jika pendidikan Indonesia gagal dalam menanamkan nilai-nilai akhlak atau karakter pada para peserta didiknya terutama nilai-nilai yang terkandung dalam sumber agama Islam itu sendiri, yakni al-Quran dan As-Sunnah.
Sebelum mengkaji tentang pendidikan karakter terlebih dahulu yang harus dipahami pertama yakni perbedaan antara akhlak, moral, etika dan karakter. Karena ketiga istilah ini merupakan kata kunci pengantar dalam memahami istilah Pendidikan Karakter ataupun Pendidikan Akhlak.
Menurut Asmaran As yang dikutip oleh Yunahar Ilyas dalam bukunya yang berjudul Kuliah Akhlak bahwa ketiga istilah ini sama-sama menentukan nilai baik dan buruk sikap dan perbuatan manusia. Perbedaanya terletak pada standar masing-masing. Akhlak standarnya adalah al-Quran dan Sunnah; etika standarnya pertimbangan akal pikiran (epistemologinya); sedangkan moral standarnya adat kebiasaan yang umum berlaku di masyarakat. (Yunahar Ilyas. 2001: 3). Sedangkan karakter itu sendiri masih ambigu, tidak tahu penempatan fungsi yakni antara akhlak atau moral. Ini yang akan menjadi kajian dari penulis.
Membahas pendidikan karakter atau akhlak merupakan hal sangat penting dan mendasar. Karakter merupakan mustika hidup yang membedakan manusia dengan binatang. Manusia tanpa karakter adalah manusia yang sudah “membinatang”. Orang-orang yang berkarakter kuat dan baik secara individual maupun sosial adalah mereka yang memiliki akhlak, moral dan budi pekerti yang baik. Mengingat begitu urgennya karakter, maka institusi pendidikan memiliki tanggung jawab untuk menanamkan nilai-nilai karakter melalui proses pembelajaran.
Berdasarkan masalah yang telah dipaparkan maka penulis tertarik mengangkat tema komparatif antara karakter dengan akhalk. Meskipun secara sekilas keduanya memiliki pengertian yang sama, namun ini perlu dikaji secara detail dan mendalam. Adapun dari penelitian ini “Akhlak VS Karakter; Sebuah Analisis Komparatif dari Dua Konsep Pendidikan”
Kajian Pustaka
1. Pengertian Akhlak
Secara etimologi adalah budi pekerti, kelakuan, watak (Peter Salim & Yenny Salim. 2009: 29), budi pekerti, kelakuan. Kata akhlak berasal dari bahasa adalah bentuk jamak dari khuluq yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Seakar dengan kata khaliq (Pencipta), mahluq (yang diciptakan) dan khalq (Penciptaan).
Kata Al-Khuluq dengan “Lam” dibaca dhommah atau sukun, berarti tabiat atau watak sebagaimana dalam kamus As-Shihhah. Imam AL-Qurtubi dalam tafsirnya mengatakan “ Kata Al-Khuluq secara etimologi adalah apa-apa yang diambil dan diserap manusia untuk dirinya dari berbagai perilaku, karena ia menjadi bagian dari dirinya. Adapun apa yang terbentuk kuat dalam dirinya dari beuah perilaku dinamakan al-Khiam ini tidak ada bentuk tunggalnya. Maka bisa dikatakan bahwa Al-Khuluq adalah tabiat yang dibentuk, sedangkan Al-Khiam adalah tabiat yang bersifat gharizi (naluri). (Muhammad. 2004: 261).
Adanya kesamaan kata di atas mengisyaratkan bahwa dalam akhlak tercakup pengertian terciptanya keterpaduan antara kehendak khaliq (Tuhan) dengan perilaku mahluknya. Atau dengan kata lain, tata perilaku seseorang terhadap orang lain dan lingkungannya baru mengandung nilai ahklak yang hakiki manakala tindakan atau perilaku tersebut didasarkan kepada kehendak khaliq (Tuhan). Berarti akhlak bukan merupakan tata aturan atau norma yang mengatur hubungan antar sesama manusia dengan Tuhan dan bahkan dengan alam semesta sekalipun.
Berdasarkan pendapat para pakar syariat Islam yang dikutip oleh Yunahar Ilyas, pengertian akhlak, antara lain;
a) Imam Al-Ghazali; akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
b) Ibrahim Anis; Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa, yang dengannya lahirlah macam-macam perbuatan, baik atau buruk, tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan.
c) Abdul Karim Zaidan; Akhlak adalah nilai-nilai dan sifat-sifat yang tertanam jiwa yang dengan sorotan dan timbangannya seseorang dapat menilai perbuatannya baik atau buruk untuk kemudian memilih melakukan atau meninggalkannya. (Yunahari Ilyas. 2001: 1-2).
d) Sedangkan menurut Ibu Qudamah dalam kitabnya Mukhtashar Minhaj al-Qashidin yang dikutip oleh M. Mujib Anshor Akhlak adalah ungkapan tentang kondisi jiwa, yang begitu mudah bisa menghasilkan perbuatan, tanpa membutuhkan pemikiran dan pertimbangan. Jika perbuatan itu baik maka disebut akhlak yang baik, dan jika buruk disebut akhlak yang buruk (M. Mujib Anshor. 2013: 25)
Keempat defenisi yang telah dikutip tadi dapat ditarik kesimpulan bahw akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa manusia, sehingga dia muncul secara spontan bilamana diperlukan, tanpa memerlukan dorongan dari luar atau dengan kata lain adab manusia baik secara vertikal maupun horizontal.
Keadaan jiwa yang berupa watak dan karakter jiwa yang berupa watak dan karakter tersebut dapat berupa fitrah alami sejak lahir (pembawaan) yang disebut oleh Miskawaih sebagai al-thab’ (watak, pembawaan lahir) seperti sifat kedermawanan dan kekikiran, serta penakut dan pemberani tergantung pada fitrah dan mood-nya. Dan dapat pula merupakan hasil latihan-latihan dan pembiasaan, yang ini disebut sebagai al-sajiyyah (sifat, karakter), itu berlangsung sesuai pembiasaan yang dilakukan sampai menjadi karakter yang sedemikian melekat, sehingga dapat dilakukan secara spontan. (Tim Dosen Fakultas Tarbiyah. 2009: 145).
Berdasarkan pengertian yang telah dikutip dari beberapa pakar agama Islam, maka penulis menyimpulkan akhlak adalah perilaku atau dorongan manusia untuk melakukan sesuatu karena spontanitas dan pembiasaan tanpa memerlukan dorongan dari luar yang mana ini lahir karena khazanah keilmuan yang dia miliki.
Adapun ruang lingkup Akhlak dalam buku Dustur al-Akhlaq fi al-Islam yang telah dikutip oleh Yunahar Ilyas membagi akhlak dalam lima bagian, antara lain;
a) Akhlak pribadi. Terdiri dari; yang diperintah (al-awamir, yang dilarang (an-nawahi), yang dibolehkan (al-mubahat), akhlak dalam keadaan darurat (al-mukhalafah bi al-idhthirar).
b) Akhlak berkeluarga; kewajiban timbal balik orang tua dan anak, kewajiban suami isteri dan kewajiban terhadap karib kerabat.
c) Akhlak bermasyarakat; kaidah-kaidah bergaul dalam masyarakat.
d) Akhlak bernegara; hubungan pemimpin dengan rakyatnya, hubungan luar negeri.
e) Akhlak beragama; kewajiban kepada Allah SWT.
Kedudukan dan keistimewaan akhlak dalam Quran, antara lain;
a) Rasulullah SAW menempatkan penyempurnaan akhlak yang mulia sebagai misi pokok Risalah Islam
b) Akhlak merupakan suatu ajaran pokok agama Islam
c) Akhlak yang baik akan memberatkan timbangan kebaikan seorang nanti pada hari kiamat
d) Rasulullah SAW menjadikan baik buruknya akhlak seseorang sebagai ukuran kualitas imannya.
e) Islam menjadikan akhlak yang baik sebagai bukti dan buah dari ibadah kepada Allah SWT.
f) Nabi Muhammad SAW selalu berdoa agar Allah SWT membaikkan akhlak beliau.
g) Di dalam Al-Quran banyak terdapat ayat-ayat berhubungan dengan akhlak.
2. Hakikat Pendidikan Akhlak dalam Perspektif Islam
a. Konsep Pendidikan Akhlak secara Komprehensif
Seorang anak membutuhkan pembentukan akhlak, agar aktivitas sosial anak terjaga dan terhindar dari penyimpangan serta kesalahan. Kesungguhan dalam hal ini sangat diperlukan, melihat perubahan watak yang dibentuk menjadi suatu kebiasaan atau naluri, teramat sulit karena membutuhkan waktu panjang yakni sepanjang usia manusia itu sendiri. Kesungguhan dan perhatian orang tua (pendidik) menjadi suatu keharusan, terutama pada fase kanak-kanak. Karena pada fase ini mereka memiliki keistimewaan, yaitu masih terjaga fitrahnya, bersih dan tanggap.
Di sinilah peran Pendidikan Akhlak sebagaimana yang dirumuskan oleh Ibnu Masykawaih yakni upaya mewujudkan sikap yang mampu mendorong secara spontan lahirnya perbuatan baik. Hal ini menunjukkan tujuan puncak dari Pendidikan Akhlak adalah terbentuknya karakter positif dalam perilaku anak didik. Karakter positif ini adalah penjelmaan sifat-sifat mulia Tuhan dalam kehidupan manusia. (Progresiva Vol. 5, No. 1, Desember 2011: 143).
Sebagaimana yang telah dipaparkan oleh penulis bahwa pendidikan akhlak adalah sebuah watak spontanitas untuk berbuat kebaikan dan ini merupakan konsep dari pendidikan akhlak itu sendiri. Hal ini sesuai dengan tujuan dari pendidikan Islam yakni membentuk peserta didik yang berakhlak al-karimah, yaitu sebuah perilaku, watak seseorang yang implementasikan secara spontanitas bersumber dari al-Quran dan As-Sunnah. Namun demikian, menurut Az-Zarnuji agar peserta didik tidak hanya mengandalkan kemampuan akal namun juga bertawakkal kepada Allah SAW (Tim Fakultas Tarbiyah. 2009: 288).
Pentingnya akhlak dalam Islam adalah nomor dua setelah Iman. Seseorang tidaklah dikatakan beriman kepada Allah kecuali ia berakhlak mulia. Sebab tanda-tanda-tanda iman yang paling utama terletak pada akhlak yang mulia, dan diantara tanda nifak yang paling menonjol adalah akhlak buruk. Di antara perhiasan yang paling mulia bagi manusia sesudah iman, taat dan takut (kagum) kepada Allah adalah akhlak mulia. Dengan akhlak ini terciptalah kemanusian manusia dan sekaligus membedakannya dengan binatang. Dalam al-Quran terdapat 1504 ayat atau hampir seperempat keseluruhan ayat dalam al-Quran yang berhubungan dengan akhlak baik dari segi teori maupun praktis. Hal ini tidak berlebihan, sebab misi Nabi sendiri adalah menyempurnakan akhlak mulia. Itu sebabnya Allah secara tegas menyatakan bahwa “Engkau benar-benar berada dalam akhlak yang mulia (QS. Al-Qalam: 4)”. (Tobroni. 2008: 72)
Persoalan akhlak ini harus mendapatkan perhatian utama dalama Pendidikan Islam. Karena Rasulullah itu sendiri adalah orang yang memiliki moral dan akhlak yang tinggi sebagaimana dikemukkan sendiri oleh Allah SAW: “Sesungguhnya Engkau memiliki moral dan akhlak yang tinggi”. (Tobroni. 2008: 73).
Terbentuknya akhlak al-karimah pada peserta didik akan selaras dengan tujuan dari penciptaan Allah SWT, yaitu beribadah dan bertakwa kepada Allah . Takwa itu sendiri adalah mengikuti perintah Allah dan Rasul-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Serta mengikuti jalan yang paling benar, mengambil petunjuk dari para pendahulu yang telah mengarungi kehidupan, mengikuti etika yang benar dari Nabi Muhammad SAW dan orang yang paling mulia pada masa dahulu dan mendatang. (Imam Nawawi. 2012: 7).
Menurut Ibnu Taimiyah, sebagai mana yang dikutip oleh Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, tujuan pendidikan Islam tertumpu pada empat aspek, yaitu; (1)Tercapainya pendidikan tauhid dengan cara mempelajari ayat Allah SWT. dalam wahyu-Nya dan ayat-ayat fisik (afaq) dan psikis (anfus); (2) mengetahui ilmu Allah SWT melalui pemahaman terhadap kebenaran mahluk-Nya; (3) mengetahui kekuatan Allah melalui pemahaman jenis-jenis, kuantitas dan aktivitas mahluk-Nya; dan (4) mengetahui apa yang diperbuat Allah tentang realitas (alam) dan jenis-jenis perilakunya. (Abdul Mujib & Jusuf Mudzakkir. 2008: 78).
Mengingat urgennya pendidikan akhlak maka penulis akan mengumakakan nilai-nilai yang terkandung dalam pendidikan akhlak, yaitu; (1) Niat yang Ikhlas; (2) amanah; (3) jujur; (4) tawakkal; (5) Syukur; (6) Zuhud; (7) Sabar; (8) lemah lembut; (9) kasih sayang; (10) pemaaf; (11) Pemalu dan lain sebagainya. Selain akhlak yang telah disebutkan di atas banyak lagi ajaran-ajaran Islam yang mengajarkan tentang akhlak al-karimah terutama dalam hal adab baik kepada Allah maupun kepada manusia, ini telah dipaparkan oleh Imam Nawawi dalam kitabnya “Riyadhus Shalihin”.
b. Penaman Nilai Pendidikan Akhlak kepada Peserta Didik
Urgensi penanaman nilai-nilai adab sejak kecil tampak begitu jelas ketika Rasulullah SAW memberikan perhatiannya yang begitu besar dalam proses pembekalan akhlak. Aktivitas penanaman akhlak dan adab dalam diri anak dan pembiasaannya hingga menjadi tabiat dan perangai dalam kehidupan sehari-hari lebih utama dibandingkan dengan sedekah yang mampu melebur kesalahan. Diriwayatkan At-Turmudzi dari Jabir Ibnu Samrah ra., Rasulullah SAW “Seseorang yang mengajarkan adab kepada anaknya lebih baik baginya dari sedekah satu sha” (Muhammad. 2010: 264).
Dalam membentuk dan mendidik akhlak mulia, manusia seharusnya mengenali terlebih dahulu jiwanya sendiri, potensi dan karakteristiknya, berikutnya daya-daya (al-aqwa) yang dimilikinya, yang dengannya manusia dapat mencapai kesempurnaan dan kebahagian dalam arti yang sebenarnya. (Tim Fakultas Tarbiyah. 2009: 146).
Berarti ini menandakan bahwa proses pembentukan akhlak al-karimah harus diselaraskan dengan tumbuh kembang dari peserta didik itu sendiri ini disebabkan bahwa jiwa manusia tiga fakultas. Pertama, fakultas yang berkaitan dengan proses berfikir (al-fikr), melakukan observasi (al-nazhar), dan memberikan pertimbangan (al-tamyiz) atas segala realitas. Kedua, fakultas yang terperesentasikan dalam amarah (al-ghadhab) dan keberanian (al-iqdam) dalam menghadapi ancaman atau bahaya, atau dalam hasrat untuk menjadi berkuasa, mengunggulkan diri, atau mencapai berbagai penghargaan lainnya. Dan ketiga, fakultas yang menjadikan seseorang memiliki dorongan keinginan hawa nafsu (as-syahwat) terhadap makanan, minuman, senggama serta kenikmatan indrawi lainnya. (Tim Fakultas Tarbiyah. 2009: 148).
Terpenting bagi pendidik ialah menumbuhkan akhlak mulia pada peserta didik sejak usia dini serta memaksakan berbagai kewajiban syariat tatkala ia telah memasuki akil baligh. Dalam hal ini, orang tua/ pendidik membiasakan anak-anaknya untuk melaksanakan berbagai macam ibadah, sebagai bentuk meneladani sikap kaum salaf.
Para sahabat senantiasa mengajak anak-anak mereka untuk melaksanakan shaum (puasa) dan memberikan berbagai permainan untuk mengalihkan rasa lapar mereka. Mereka juga mengajak anak-anak mereka untuk shalat jum’at berjama’ah ataupun shalat tarawih. Menyuruh mereka untuk mengumandangkan adzan dan lain sebagainya (Laila. 2008: 52).
Selain metode pembiasaan dan uswah (keteladanan) yang sering diterapkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat Beliau SAW, antara lain
a) Metode Tilawah; membacakan ayat-ayat Allah yang bertujuan memandang fenomena alam sebagai ayat-Nya. Istilah lain, men-tadaburi ayat-ayat Allah baik dari al-Quran maupun al-Hadist.
b) Metode Tazkiyah (penyucian); meliputi menyucikan diri dengan upaya amar makruf nahi mungkar (tindakan proaktif dan tindakan reaktif). Indikator dari metode ini adalah fisik, psikis dan sosial. Aplikasinya yakni dengan pembiasaan, ceramah dan motivasi.
c) Metode Ta’lim Al-Kitab; mengajarkan al-Quran dengan menjelaskan hukum haram dan halal.
d) Metode Ta’lim Al-Hikmah; sama dengan metode poin C cuma bobotnya dan proporsi serta frekuensinya diperluas dan diperbesar.
e) Yu’allim-Kum ma lam takunu ta’lamun; suatu metode yang mengajarkan yang memang asing dan belum diketahui, sehingga metode ini membawa peserta didik pada suatu alam pemikiran yang benar-benar luar biasa.
f) Pendekatan Islah (perbaikan). (Abdul Mujib & Jusuf Mudzakkir. 2008: 176-179)
Menurut Khomeini ada empat metode dalam Pendidikan Akhlak yaitu penjernihan akal, penyucian jiwa/hati (tazkiyatun nafs), perbaikan perilaku dan pemurnian amal. Keempat metode ini harus dilakukan secara simultan karena jika hanya menonjolkan salah satu dari keempat pilar ini akan mendatangkan tazalzul qolbi (guncangan hati) dan tidak tercapai tujuan pendidikan akhlak.
Adapun menurut Laila Binti Abdurrahman, metode yang lebih aplikatif dalam menumbuhkan akhlak al-karimah pada peserta didik, antara lain;
a) Menanamkan kebiasaan yang baik pada awal pertumbuhan anak
b) Hendaklah tidak memutus susuan hingga anak merasa kepuasaan dalam menyusu.
c) Hendaklah menidurkan anak saat ia menginkannya.
d) Dan ketika ia melihat seseorang yang fakir, hendaklah orang tua menjelaskan kepadanya bagaimana ia harus mengasihi, sehingga dapat belajar tentang kasih sayang dan sikap tawadhu’.
e) Memerintahnya untuk melaksanakan hukum-hukum dan adab-adab syari’at,
f) Orang tua harus melarang anaknya untuk melakukan akhlak tercela
g) Bila ia laki-laki maka hendaklah tidak memakaikan kain sutra, dan lain sebagainya yang menjadi perhiasan perempuan.
h) Memotivasi anak untuk melakukan perbuatan terpuji (Laila. 2008: 53-56).
3. Pengertian Karakter
Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia kata karakter terdiri dari beberapa kata antara lain karakter, berkarakter, karakterisasi, karakteristik, karakterologi. Karakter itu sendiri adalah watak, sifat, tabiat. Berkarakter adalah berwatak, mempunyai tabiat. Karakterisasi adalah berwatakan yang bersifat khusus. Karakteristik adalah bersifat khusus/khas dan Karakterologi adalah ilmu watak/tabiat seseorang berdasarkan perilaku dan perbuatan. (Peter Salim & Yenny Salim. 2009: 662).
Kata karakter diambil dari bahasa Inggris character, yang juga berasal dari bahasa Yunani character. Awalnya, kata ini digunakan untuk menandai hal yang mengesankan dari koin (keping uang). Saat ini, istilah karakter digunakan untuk mengartikan hal yang berbeda antara satu hal dengan hal yang lainnya, dan akhirnya juga digunakan untuk menyebut kesamaan kualitas pada tiap orang yang membedakan dengan kualitas lainnya. Dalam istilah modern, ditekan pada perbedaan dana individualitas yang cenderung menyamakan istilah karakter dengan personalitas (kepribadian). Kepribadian juga dapat dipahami sebagai organisasi dinamis pada individu tempat sistem psikofisikal menentukan penyesuaian unik terhadap lingkungannya. Kepribadian juga merupakan tingkah laku yang bisa kita laihat sebagai hasil kondisi individu dan struktur psikologis. Intinya, pola tingkah laku dan perbuatan pada cara seseorang dalam merespon situasi yang menunjukkan konsistensi tertentu, biasanya kita pahami sebagai karakter dan kepribadiannya. (Fatchul Mu’in. 2011: 162).
Pengertian karakter menurut pusat Bahasa Depdiknas adalah bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, tempramen, watak. Adapun berkarakter adalah kepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat dan berwatak. (M. Mujib Anshor. 2013: 22). Kamus Besar Bahasa Indonesia, belum memasukkan kata karakter, yang ada adalah kata watak, yang diartikan sebagai sifat batin manusia yang memengaruhi segenap pikiran dan tingkah laku, budi pekerti dan tabiat. Karakter berarti tabiat atau kepribadian. Karakter merupakan keseluruhan diposisi kodrati dan diposisi yang telah dikuasai secara stabil yang mendefenisikan seorang individu dalam keseluruhan tata perilaku psikisnya yang menjadikannya tipikal dalam cara berfikir dan bertindak. (Zubaidi. 2011: 8).
Dalam tulisan bertajuk Urgensi Pendidikan Karakter, Prof. Suyanto, Ph. D. Menjelaskan bahwa “Karakter adalah cara berfikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Invidu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggung jawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat” (Zubaidi. 2011: 11).
Sementara Abdullah Munir menyebutkan secara bahasa, karakter berasal dari bahasa Yunani, charassein, yang artinya mengukir. Dari makna ini, kalau dicermati sifat utama ukiran adalah melekat kuat di atas benda yang diukir. Tidak mudah usang tertelan waktu atau terkena gesekan. Menghilangkan ukiran sama saja dengan menghilangkan benda yang diukir itu. Sebab ukiran melekat dan menyatu dengannya. Berbeda dengan gambar atau tulisan tinta yang hanya disapukan di atas permukaan benda. Inilah gambaran hakikat karakter itu. (Abdullah Munir. 2010: 2-3)
Selanjutnya, Abdullah Munir menegaskan bahwa karakter itu adalah sebuah pola, baik itu pikiran, sikap, maupun tindakan yang melekat pada diri seseorang dengan sangat kuat dan sulit dihilangkan.
Senada dengan pengertian ini, Fatchul Mu’in menyatakan “Intinya, pola tingkah laku dan perbuatan pada cara seseorang dalam merespon situasi yang menunjukkan konsistensi tertentu, biasanya kita pahami sebagai karakter dan kepribadian. (Fatchul Mu’in. 2011: 162).
Karena karakter sama dengan budi pekerti, yang dalam bahasa sansekserta berarti “tingkah laku atau perbuatan yang sesuai dengan akal sehat”. Perbuatan yang sesuai dengan akal sehat itu yang sesuai dengan nilai-nilai, moralitas masyarakat dan jika perbuatan itu menjadi kebiasaan dalam masyarakat, maka akan menjadi tata krama di dalam pergaulan warga masyarakat. Menurut Edi Setyawati menunjukkan lima jangkauan nilai budi pekerti, yaitu sikap dan perilaku dalam hubungan: (1) dengan Tuhan, (2) dengan diri sendiri, (3) dengan keluarga, (4) dengan masyarakat dan bangsa, serta, (5) dengan alam semesta. (Sutarjo Adisusilo, J. R. 2012: 55).
Menurut Winnie sebagaimana yang dikutip oleh Barnawi dan M. Arifin berpendapat bahwa karakter memiliki dua pengertian, yaitu; Pertama, ia menunjukkan bagaimana seseorang bertingkah laku. Kedua, istilah karakter erat kaitannya dengan personality. Seseorang baru bisa disebut orang berkarakter apabila tingkah lakunya sesuai kaidah moral. Sedangkan Imam Ghazali menganggap bahwa karakter lebih dengan dengan akhlak, yaitu spontanitas manusia dalam bersikap atau melakukan perbuatan yang telah menyatu dalam diri manusia sehingga ketika muncul tidak perlu dipikirkan lagi. (Barnawi & M. Arifin. 2012: 21).
Berdasarkan pemaparan yang telah diungkapkan oleh penulis bahwa karakter itu adalah jati diri, kepribadian dan watak yang melekat pada diri seseorang yang muncul secara spontanitas tanpa memerlukan dorongan dari luar. Karakter bisa terbentuk pada seseorang dari pengalaman yang dia dapat, pengorbanan, pengaruh lingkungan dan pergaulan yang dia dapatkan dari kehidupan sehari-harinya. Dari pengalaman ini membuat dia bertindak dan menjadi kebiasaan sehingga ini yang menjadi karakter. Perbuatan yang sesuai dengan akal sehat itu yang sesuai dengan nilai-nilai, moralitas masyarakat dan jika perbuatan itu menjadi kebiasaan dalam masyarakat, maka akan terbentuk karakternya.
Seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW dengan sabda Beliau “Sesungguhnya, kalian tidak akan bisa berbuat baik terhadap sesama manusia dengan harta benda kalian karena itu berbuat baiklah kepada mereka denga wajah yang manis dan pergaulan (akhlak) akhlak yang baik”. Ini dibuktikan dengan perbuatan para Rasul yakni mereka tidak membalas kejahatan dengan kejahatan yang sama. Mereka justru memberi maaf, toleran dan senantiasa berbuat baik kepada orang lain, sekalipun orang lain berbuat jahat terhadap mereka. (Imam Nawawi dkk. 2011: 215 & 217-218)
4. Hakikat Konsep Pendidikan Karakter Kontemporer
Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra bahwa ada seseorang yang berkata Nabi. “Ya Rasulullah, berilah aku pesan!” Beliau SAW bersabda, “Janganlah kamu marah!” Orang itu mengulang-ulang permohonannya, namun Nabi tetap saja hanya berpesan, “janganlah kamu marah!” (HR. Bukhari no 6116).
Wasiat yang perintahkan oleh Rasulullah kepada seorang sahabatnya merupakan bentuk dari perilaku dan watak yang baik (akhlak/ karakter). Karena akhlak yang baik menurut Syaikh Abdurrahman As-Sa’di adalah engkau menahan diri dari menyakiti orang lain dalam bentuk apapun serta memberi maaf kepada mereka atas tindakan buruk dan menyakitkan yang mereka lakukan. (Imam Nawawi dkk. 2011: 220).
Wacana pendidikan karakter sebenarnya sudah diwacanakan oleh Ki Hajar Dewantara yakni dengan istilah Pendidikan Budi Pekerti yang pada saat itu konsep ini diimplementasikan pada Taman Siswa yang dia dirikan. Ini selaras dengan pendapatnya yang telah ditulis dalam bukunya “Bagian Pertama Pendidikan” dikutip oleh Abuddin Nata.
Dikiranya bahwa pengajaran budi pekerti mengandung arti: Pemberian kuliah-kuliah atau ceramah tentang kejiwaan atau peri keadaban manusia atau keharusan memberi keterangan-keterangan dan penjelasan-penjelasan tentang budi pekerti secara luas dan mendalam. Mungkin ada yang mengira bahwa untuk itu si pengajar harus seseorang yang berpengetahuan dan berpengalaman. Paling sedikit harus seseorang yang suci hidupnya, lahir dan batin. Guru diartikan sebagai orang yang harus “digugu” dan “ditiru”. Segala dugaan itu adalah tidak benar, atau boleh dikatakan sebagai sangkaan-sangkaan yang melebihi batas-batas kemungkinan dan keinginan. Karena itulah hendaknya diinsyafi, bahwa pengajaran budi pekerti itu tidak lain artinya dari pada menyokong perkembangan hidup anak-anak, lahir dan batin, dari sifat kodrati menuju ke arah peradaban dalam sifatnya yang umum. Menganjurkan atau kalau perlu memerintahkan anak-anak untuk duduk yang baik, jangan berteriak-teriak agar tidak mengganggu orang lain, bersih badan dan pakaiannya, hormat kepada ibu bapak dan orang tua yang lainnya, menolong teman-teman yang perlu ditolong, demikian seterusnya, itulah semuanya merupakan pengajaran budi pekerti. Terhadap anak-anak kecil cukuplah kita membiasakan mereka mereka untuk bertingkah laku yang baik, sedangkan bagi anak-anak yang sudah dapat berfikir, seyogianyalh diberikan keterangan-keterangan yang perlu-perlu. Agar mereka dapat pengertian dan keinsyafan tentang kebaikan dan keburukan pada umumnya. Barang tentu juga kepada anak-anak dewasa kita berikan anjuran-anjuran untuk melakukan pelbagai yang baik dengan cara disengaja. Dengan begitu maka syarat pendidikan budi pekerti, yang dahulu biasanya disebut metode menyadari, menginsyafi dan melakukan dapat terpenuhi.
Itulah maksud dan tujuan pemberian pengajaran budi pekerti, dihubungkan dengan tingkatan-tingakatan perkembangan jiwa yang ada di dalam hidupnya anak-anak, mulai kecilnya sampai dewasanya. Ada baiknya untuk perbandingkan kita memperhatikan tradisi pendidikan keagamaan (Islam) yang sudah di zaman dahulu terkenal sebagai metode syari’ah, hakiat, tarikat dan makrifat. (Abuddidn Nata. 2005: 139-140)
Uraian yang dipaparkan oleh Ki Hajar Dewantara secara gamblang memberi gambaran bahwa Konsep Pendidikan Budi Pekerti masih lekang hingga sekarang. Cuma yang menjadi perbedaannya adalah istilah Pendidikan Budi Karakter diubah menjadi Pendidikan Karakter. Dalam tulisannya Ki Hajar Dewantara, konsep Pendidikan Budi Pekerti memiliki hakikat asli dari sebuah pendidikan seperti mencakup metode, memperhatikan psikis dari anak didik, peran guru (pendidik) dan berperilaku baik orang lain.
Selain itu, Ki Hajar Dewantara memiliki pandangan bahwa subtansi dari pendidikan memiliki korelasi dengan budi pekerti. Artinya dia menginginkan bahwa setiap pengajaran dari semua pendidik harus berlandaskan pada nilai-nilai Pendidikan Budi Pekerti. Ini juga serasi dengan pendapat dari Abuddin Nata yakni gagasan dan pemikiran Ki Hajar Dewantara tentang Pendidikan Budi Pekerti terlihat jelas diarahkan pada pembentukan karakter bangsa yang sesuai dengan nilai-nilai agama dan budaya bangsa. Ia menginginkan agar bangsa Indonesia memiliki sikap dan pandangan yang maju di satu pihak, namun di pihak lain ia tetap berpijak pada kepribadian sebagai bangsa Indonesia yang memiliki budaya dan kepribadian yang khas, tidak meniru atau bersikap kebarat-baratan dan lain sebagainya. (Abuddidn Nata. 2005: 141).
Budi pekerti itu sendiri dapat diturunkan dari berbagai sumber. Pertama, dari ajaran agama. Semua agama menghendaki umatnya berlaku dan bertindak baik, bahkan doktrin ini menjadi inti ajaran agama. Tak ada satu pun agama mengajak kepada umatnya untuk bertindak anarkis, destruktif dan menginjak-injak hak dan kehormatan orang lain; Kedua, falsafah hidup berbangsa dan bernegara. Setiap negara memiliki falsafah hidup yang menjadi pedoman baginya bangsanya untuk berperilaku baik. Falsafah hidup tersebut diturunkan dari kesepakatan bersama yang disusun berpijak pada prinsip-prinsip berketuhanan, kemanusian, persatuan, kebijaksanaan, permusyawaratan dan keadilan untuk kebaikan dan keharmonisan bersama; Ketiga, tradisi yang melekat di suatu masyarakat, yang mana kebiasaan itu dilakukan secara menetap dan konsisten oleh anggotanya. Tradisi terbentuk atas kesepakatan bersama karena dipandang memiliki nilai kebaikan bagi komunitas masyarakat tertentu.( Abdul Mujib & Jusuf Mudzakkir. 2008: xiii).
Pendidikan karakter berasal dari dua suku kata yang berbeda yaitu pendidikan dan karakter. Kedua kata ini mempunyai makna sendiri-sendiri. Pendidikan lebih merujuk pada kata kerja, sedangkan karakter lebih pada sifatnya. Artinya, melalui proses pendidikan tersebut, nantinya dapat dihasilkan sebuah karakter yang baik. (Muhammad Fadlillah & Mualifatu Khorida. 2013: 16).
Jadi Pendidikan Karakter menurut penulis adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi pengetahuan, kesadaran, tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut yang kesemuanya itu melalui metode pembiasaan, keteladanan dan pengajaran sehingga bisa tertanam dalam benak peserta didik.
Pendidikan Karakater di Indonesia didasarkan pada sembilan karakter dasar. Karakter dasar menjadi tujuan pendidikan karakter. Kesembilan karakter dasar ini, antara lain: (1) cinta kepada Allah; (2) tanggung jawab, displin dan mandiri; (3) jujur; (4) hormat dan santun; (5) kasih sayang, peduli dan kerja sama; (6) percaya diri, kreatif, kerja keras dan pantang menyerah; (7) keadilan dan kepemimpinan; (8) baik dan rendah hati, dan; (9) toleransi, cinta damai dan persatuan (Zubaidi. 2011: 72).
Kesembilan karakter dasar ini menjadi urgen dalam Pendidikan Karakter, karena kesembilan dasar ini adalah pondasi utama dari Pendidikan Karakter dan ini menjadi tujuan dari penanaman karakter pada peserta didik (tujuan dari Pendidikan Karakter). Dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pemerintah menyebutkan bahwa tujuan pendidikan ialah untuk berkembang potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Adapun tujuan yang lebih spesifik menurut Darma kesuma, tujuan pendidikan karakter, khususnya dalam setting sekolah, di antaranya sebagai berikut; (1) menguatkan dan mengembangkan nilai-nilai kehidupan yang dianggap penting dan perlu sehingga menjadi kepribadian atau kepemilikan peserta didik yang khas sebagaimana nilai-nilai yang dikembangkan; (2) mengoreksi perilaku peserta didik yang tidak bersesuaian dengan nilai-nilai yang dikembangkan oleh sekolah; (3) Membangun koneksi yang harmonis dengan keluarga dan masyarakat dalam memerankan tanggung jawab pendidikan karakter secara bersama. (Muhammad Fadlillah & Mualifatu Khorida. 2013: 25)
Analisis Hasil
A. Analisis Komparatif antara Pendidikan Karakter dengan Pendidikan Akhlak
Dalam kaitannya dengan pendidikan akhlak, terlihat bahwa pendidikan karakter mempunyai orientasi yang sama, yaitu pembentukan karakter. Perbedaan bahwa pendidikan terkesan timur dan Islam, sedangkan pendidikan karakter terkesan Barat dan sekuler, bukan alasan untuk dipertentangkan. Pada kenyataannya kedua konsep ini memiliki ruang untuk saling mengisi. Bahkan Lickona sebagai Bapak Pendidikan Karakter di Amerika justru mengisyaratkan keterkaitan erat antar karakter dan spiritualitas. Dengan demikian, bila sejauh ini pendidikan karakter telah berhasil dirumuskan oleh para penggiatnya sampa pada tahapan yang sangat operasional meliputi metode, strategi dan teknik, sedangkan pendidikan akhlak sarat dengan informasi kreteria ideal dan sumber karakter baik, maka memadukan keduanya menjadi suatu tawaran yang sangat inspiratif. Hal ini sekaligus menjadi entry point bahwa pendidikan karakter memiliki ikatan yang kuat dengan nilai-nilai spiritualitas dan agama. (Zubaidi. 2011: 65).
Menurut Khomeini memberikan komentar yang tegas bahwa pelajaran akhlak yang mencakup sejarah akhlak, tinjauan filosofis sampai pada pembersihan diri tidak akan membantu perbaikan akhlak dan pencerabutan akar kejahatan, bahkan tidak akan membawa pada penyucian jiwa (Progresiva. 2011: 143-144).
Dalam pandangan penulis subtansi dari pendidikan karakter sama dengan pendidikan akhlak cuma yang menjadi titik perbedaanya adalah Pendekatan yang digunakan dari kedua Konsep Pendidikan ini. Kalau Pendidikan Akhlak menggunakan pendekatan tazkiyatun nafs (penyucian jiwa) yang dipadukan dengan metodologi pembelajaran ta’lim al-kitab karya para ulama sehingga mindset peserta didik tertanam untuk berbuat kebaikan. Sedangkan Pendidikan Karakter lebih tanpa menggunakan pendekatan tazkiyatun nafs tetapi konsep pendidikan ini langsung pada praktiknya melalui pembiasaan dan keteladanan.
Berdasarkan yang penulis teliti dari kedua konsep Pendidikan ini, perbedaan yang mencolok juga yakni sumbernya. Kalau pendidikan akhlak sumbernya dari Al-Quran dan Hadist atau dengan kata lain sisi religiusnya lebih kental. Sedangkan pada pendidikan karakter sumbernya adalah moral yang berlaku dalam masyarakat Barat. Adapun tujuan, nilai dan manfaat dari kedua konsep pendidikan ini bermuara pada satu yakni membentuk peserta didik yang berakhlak mulia atau berperilaku baik.
Sebagai penguat analisis dari penulis yakni terdapat dalam sambutan Rektor Universitas Pendidikan Indonesia, H. Sunaryo Kartadinata menyatakan bahwa pendidikan karakter tidak ubahnya seperti mengukir, memberikan sentuhan agar baranag tersebut memiliki nilai lebih. Itulah sebabnya, ukiran bernilai ketimbang harga yang diukir itu sendiri. “Di dalam karakter ada nilai inti yang berasal dari budaya. Kita tidak mungkin membangun karakter yang terlepas dari budaya kita sendiri. Pendidikan alih generasi harus dilakukan sejak sekarang. Dan sebaik-baik bekal yang diberikan bagi generasi mendatang adalah pendidikan karakter” (Thomas Lickona. 2013: viii-ix).
Selain sambutan di atas, Rektor Universitas Malang, H. Suparno mengatakan, pendidikan character building pada intinya untuk membentuk insan yang berkarakter. Ini, kata Suparno ini harus di dasarkan pada norma yang berlaku, yaitu mencakup aspek religius maupun aspek kebangsaan yang berlandasan bangsa dalam kehidupan yang multietnis. Menurutnya secara garis besar terdapat beberapa program yang harus dijalankan untuk melaksanakan pendidikan berbasis pembangunan karakter “Program tersebut antara lain untuk membentuk manusia yang terpelajar dengan karakter yang kuat dan kepribadian yang kokoh dalam pengembangan serta pengamalan, pengabdian, pemberdayaan ilmu dalam kemaslahatan”, papar Suparno. (Matan. 2011: 9).
Selain itu, sumber yang paling penting dalam pendidikan akhlak yang tidak dimilik oleh Pendidikan Karakter yakni Nabi Muhammad SAW karena Beliau SAW adalah sumber segala akhlak yang terpuji dan budi pekerti yang luhur, maka beliau pun membersihkan jiwa para pengikutnya dari akhlak-akhlak yang tercela. Dan itu beliau lakukan dengan memberi teladan dengan akhlaknya yang mulia dan budi pekertinya yang luhur. (M. Mujib Anshor. 2013: 115-116). Ini berarti keteladanan Rasulullah SAW adalah sumber pendidikan karakter yang hakiki.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis yang ditemukan oleh penulis, maka dapat ditarik kesimpulan beberapa kesimpulan, antara lain;
1) Pendidikan akhlak dan pendidkan karakter merupakan dua konsep pendidikan yang bermuara pada satu tujuan yakni membentuk peserta didik yang berakhlak mulia dan berkarakter kuat.
2) Selain itu, pendidikan karakter tidak ada bedanya dengan pendidikan akhlak baik secara subtansi, esensi dan manfaatnya.
3) Perbedaan yang mendasar antara pendidikan karakter dengan pendidikan akhlak adalah pendekatan dan sumber dari konsep pendidikan itu.
4) Pendidikan akhlak sumbernya dari al-Quran dan Al-Hadist sedangkan Pendidikan Karakter sumbernya dari norma dan moral yang berlaku dalam masayarakat setempat.
Saran
Setiap pendidik ataupun instansi pendidikan yang ada di Indonesia, sebaiknya menerapkan kurikulum yang berlandaskan pada sembilan karakter pendidikan karakter. Semoga penelitian ini bermanfaat dan menambah khazanah keilmuan bagi para mahasiswa maupun pakar pendidikan.
Daftar Pustaka
Adisusilo, J.R, Sutarjo. 2012. Pembelajaran Nilai Karakter; Konstruktivisme dan VCT sebagai Inovasi Pendekatan Pembelajaran Afektif. Jakarta: Rajawali Pers
Ansor, M. Mujib. 2013. Pendidikan Karakter Berbasis Sunnah Nabi SAW; Kunci Sukses Membangun Karakter Anak Bangsa. Malang: Pustaka al-Umm
An-Nawawi, Imam. 2012. Riyadhus Shalihin. Terj, Arif Rahman Hakim. Solo: Insan Kamil
___, dkk. 2011. Penjelasan Lengkap Hadist Arba’in Imam An-Nawawi. Solo: Arafah
Azzet, Akhmad Muhaimin. 2011. Urgensi Pendidikan Karakter di Indonesia; Revitalisasi Pendidikan Karakter terhadap Keberhasilan Belajar dan Kemajuan Bangsa. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
Barnawi & M. Arifin. 2012. Strategi & Kebijakan Pembelajaran Pendidikan Karakter. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
Fadlillah, Muhammad & Lilif Mualifatu Khorida. 2013. Pendidikan Karakter Anak Usia Dini;Konsep & Aplikasi dalam PAUD. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
Ilyas, Yunahar. 2001. Kuliah Akhlaq. Yogyakarta: Lembaga Pengkajian & Pengamalan Islam (LPPI)
Laila. 2008. Cara Islami Sukses Mendidik Buah Hati, Terj. Ibnu Muslih. Klaten: Inas
Lickona, Thomas. 2012. Mendidik untuk Membentuk Karakter; Bagaimana Sekolah dapat Memberikan Pendidikan tentang Sikap Hormat dan Bertanggung Jawab, Terj. Juma Abdu Wamaungo. Jakarta: Bumi Aksara
Matan, Edisi 58, Mei 2011 “Menggugah Pelajaran Character Building”. Surabaya: PWM Muhammadiyah
Mu’in, Fatchul. 2011. Pendidikan Karakter; Konstruksi Teoritik & Praktik. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
Mujib, Abdul & Jusuf Mudzakkir. 2008. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana
Nata, Abduddin. 2005. Tokoh-Tokoh Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Progresiva. Volume 5/Nomor 1/ Desember 2011 “Pemikiran Khomeini tentang Pendidikan Akhlak; Sebuah Kajian Ontologi dan Epistimologi” Malang: Tata Usaha Sri Wahyuni
Salim, Peter & Yenny Salim. 2009. Kamus Bersar Bahasa Indonesia Kontemporer. Jakarta: Modern Englis Press
Suwaid, Muhammad Ibn Hafidh. 2004. Cara Nabi Mendidik Anak. Jakarta: Al-I’tishom
Tim Fakultas Tarbiyah. 2009. Pendidikan Islam dari Paradigma Klasik hingga Kontemporer. Malang: UIN-Malang Press
Tobroni. 2008. Pendidikan Islam; Paradigma Teologis, Filosofis & Spiritualitas. Malang: UMM Press
Zubaedi. 2011. Desain Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga Pendidikan. Jakarta: Kencan
[1] M. Feri Firmansyah S. PdI,
alumnus dari Fakultas Agama Islam jurusan Tarbiyah. Penulis lepas, pengamat
pendidikan. Sang Pemimpi menjadi Prof. Dr. M. Feri Firmansyah M. PdI dan King of Novelis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mari kita membaca dengan hati plus mata