Oleh
MuFe El-Bageloka[1]
Pintu Ruang; Sekedar Pengantar
Mengkaji Muhammadiyah tidak lekang oleh zaman karena organisasi ini membawa sesuatu yang baru atau dengan istilah tajdid baik di tataran sosial, pendidikan dan ibadah. Ibaratnya Muhammadiyah bukan warung kecil yang menghidangkan satu jenis makanan tetapi Muhammadiyah itu merupakan restoran yang bisa menghidangkan berbagai macam sajian makanan. Seperti geberakan di bidang pendidikan (intelektualisme, kajian ilmiah dan akal), ibadah (aqidah, fiqh) yang kesemuanya ini bertujuan untuk memperbaiki dan memperbaharui pola pikir masyarakat Indonesia. Untuk itu, penulis tertarik untuk menyadurkan makalah-makalah tentang Muhammadiyah dari berbagai aspek yang ditulis oleh para tokoh Muhammadiyah. Seperti Ahmad Syafi’i Maarif, M. Mas’ud Said, Sugiarti, Moeslim Abdurrahman, Ahmad Juanda, Said Tuhuleley, Haedar Nashir dan M. Sa’ad Ibrahim.
Ruang Intelektualisme
Intellectualism means pluralism. Lack of pluralism mean decadence (Murad W. Hofmann). Menurut saya intelektualisme terletak pada kemejemukan/keragaman intelektual yang ada pada generasi muda kita. Menurut Ahmad Syafi’i Maarif bahwa pluralisme menjadi prasyarat bagi subur dan berkembangnya gerakan intelektual di muka bumi ini. Melemahnya gerakan intelektual di dunia Muslim sekitar lima-enam abad yang lalu disebabkan prasyarat yang tidak terpenuhi bahkan sampai batas yang jauh tertindas baik karena alasan agama yang dipahami secara sempit ataupun salah maupun alasan politik kekuasaan dalam upaya mengebiri kebebasan berfikir yang menjadi pilar intelektualisme.
Dalam AD (Anggaran Dasar) pertama Muhammadiyah tahun 1912 sudah dijumpai istilah “menyebarkan pengajaran” agama pada penduduk bumi putera, pesannya lebih bersifat praksis, bukan intelektual. Tetapi karena dalam artikel sudah terbaca “Menerbitkan serta membantu terbitnya kitab-kitab, surat kabar, semuanya yang muat perkara ilmu agama Islam dan ilmu ketertiban secara Islam”. Ini berarti Muhammadiyah telah melahirkan embrio intelektualisme meskipun masih dalam tataran syariat Islam. Ini wajar karena di Muhammadiyah masih dipimpin oleh para Kyai produk pesantren tradisional. Namun justru ini yang menguatkan pondasi Muhammadiyah dalam berkiprah. Karena pendirinya K.H. Ahmad Dahlan adalah orang yang berfikir modern atau dengan kata lain kyai yang berfikir tajdid (pembaru).
Fakta historis ini jarang diungkap yakni Ahmad Dahlan sangat menghargai kegiatan-kegiatan intelektualisme. Cuma dalam hal ini, K.H. Ahmad Dahlan lebih cocok disebut praktisi dari pada konseptor. Ini dapat dilihat terhadap apa yang dia lakukan pada murid-muridnya dengan langsung mengamalkan makna surat Al-Maun secara langsung. Selain itu, Dahlan juga terlibat dalam Sarekat islam, bahkan pernah menjabat sebagai penasehat urusan agama pada tahun 1915. Fakta ini sekaligus menjelaskan kepada kita bahwa radius pergaulan Ahmad Dahlan dan para pengikutnya yang mula itu cukup luas dan tanpa rasa gamang untuk terus belajar dengan siapapun. Maka tidak mengherankan jika hal ini menjadi daya tarik Muhammadiyah. Contohnya H. Agus Salim, tokoh intelektual SI, tercatat sebagai anggota Muhammadiyah No. 261 tertanggal 1 September 1920. Jika seorang Salim yang cerdas dan berfikir politis itu tertarik dengan Muhammadiyah, ini menandakan ada suatu pemikiran yang mendasar tentang Islam yang sedang ditawarkan oleh para kyai yang umumnya tidak mendapatkan pendidikan Barat.
Selama satu Abad Muhammadiyah masih lebih masyhur sebagai gerakan amal yang ekspansif di bidang pendidikan, kesehatan dan bidang-bidang sosial kemanusian lainnya. Semuanya ini dilakukan tanpa pamrih dan penuh keikhlasan karena dorongan iman sebagai sumber energi dan stamina yang tidak pernah kering. Karena kegiatan amal lebih menonjol dari pada kegiatan intelektual, maka tidak heran jika karya yang bercorak pemikiran mendasar dan mendalam belum banyak terbaca dalam dokumen resmi Muhammadiyah. Sehingga tidak heran jika istilah intelektualisme masih asing dalam tubuh Muhammadiyah.
Pada Muktamar Aceh tahun 1995, Majelis Tarjih diberi bobot tambahan dengan Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam dengan tujuan agar geliat intelektualisme akan semakin terasa dalam tubuh Muhammadiyah. Pemilihan Prof. Dr. M. Amin Abdullah sebagai ketua Majelis Tarjih pasca Muktamar Aceh bertujuan agar majelis ini semakin menampakkan wajah intelektualnya. Salah satu karyanya adalah Tafsir Tematik al-Quran (tapi diprotes oleh beberapa pihak). Sepuluh tahun kemudian dalam Muktamar malang tahun 2005, atribut pengembangan pemikiran Islam diganti dengan tadjid atau lengkapnya Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah.
Tajdid yang perlu dikembang dalam tajdid Muhammadiyah yakni Rintisan Tafsir Tematik sebagai wadah untuk pengembangan pemikiran Islam dan bisa melahirkan intelektualisme yang brilian. Adapun tipsnya antara lain; Pertama, terbuka terhadap pemikiran baru; Kedua, harus mengakses informasi-informasi kontemporer. Bagaimanapun Muhammadiyah dianggap dan diharapkan sebagai sumber mata air dan rumah bagi kajian-kajian ilmiah dengan penemuan-penemuan terbaru beserta inovasi berbagai bidang dalam pemikiran Islam dan tajdid. Sebagai gerakan tajdid islam, sudah tentu kiprah Muhammadiyah harus bisa menymbangkan pemikiran-pemikiran baru dan segar.
Intelektualisme Islam itu bisa digambarkan dengan keadaan dimana nilai-nilai dasar Islam bisa dipurifikasi sekaligus dikembangkan secara metodologis kemudian perjelas dengan bahasa yang sederhana bersumber dari al-Quran dan Sunnah sehingga melahirkan gagasan baru dan brillian. Salah satu sumbangan pemikiran pada pendahulu Muhammadiyah adalah Khazanah Ibadah sosial yang dibuktikan secara nyata sehingga dapat diterima oleh khalayak umum, contoh pada lembaga pendidikan Muhammadiyah itu sendiri yang melahirkan pemikir-pemikir Islam.
Semua organisasi sosial keagamaan memiliki road map sendiri sebagai ditulis oleh Azyumadi Azra, “Mengkaji Ulang Modernisme Muhammadiyah” dalam Kompas, 9 November 1990, dikatakan bahwa “Tradisi intelektual Muhammadiyah bersumber dari nabi, generasi para sahabat, Ibnu Taimiyah kemudian pembaru modern seperti Muhammad bin Abdul Wahab, Jamal al-Din al-Afgani, Muhammad Abduh dan sebagainya” Agak berbeda dengan tradisi organisasi Islam lainnya road map ini jelas. Dan pakemnya lebih kuat padahal untuk bisa memberi sumbangan yang lebih luas perlu ada pembebasan pemikiran dulu sebelum mengharapkan news inventions dalam pemikiran Islam. Selama satu Abad ada dua gerakan besar Muhammadiyah yaitu (1) Implementasi dan pelembagaan pemikiran K.H. Ahmad Dahlan; (2) Pengembangan pemikiran Kyai Achmad Dahlan.
Ruang Budaya
Budaya politik Indonesia yang menganut sistem demokrasi ternyata belum mampu mengajak rakyat untuk berpartisipasi secara penuh atau dengan kata lain rakyat hanya sebagai partisipasi politik yang menyentuh kulitnya saja. Contoh soal, di pemilu, apakah rakyat telah memilih wakilnya dengan kesadaran politik yang sungguh-sungguh? Apakah rakyat masuk ke bilik-bilik pemilihan didorong oleh adanya harapan perubahan politik, artinya, partisipasi rakyat “memilih atau “tidak memilih”, sungguh memiliki pengetahuan, gagasan dan cita-cita politik yang jelas.
Menyangkut partisipasi dua istilah yang perlu dimengerti adalah “partisipasi” dan “preferensi” ini yang sangat rental dengan manipulasi suara rakyat atau hak rakyat untuk berpolitik hanya terbuka ketika pemilu saja. Selebihnya, dalam memutuskan kebijaksaan publik, seolah-olah rakyat ikut saja tanpa melakukan petisi atau rakyat tanpa memiliki lagi mekanisme agar suara mereka ikut dipertimbangkan atau dengan kata lain rakyat hanya menjadi konstituen partai. Ini disebabkan rakyat sekarang masih miskin dengan berbagai civic forum yang dapat menyalurkan advokasi politik rakyat. Akibatnya, gerakan-gerakan sosial yang tumbuh di kalangan masyarakat dan civil society masih lemah melakukan mobilisasi untuk menuntut tujuan-tujuan politik yang dibutuhkan rakyat yang semestinya rakyat memiliki daya tekan politik di luar partai.
Harus diakui dalam dunia perpolitikan sebuah demokrasi harus dengan cita-cita politik sebab jika tanpa cita-cita politik yang jelas (khususnya ekonomi dan sosial), sudah tentu kita hanya melaksanakan prosedur dan jadwalnya saja. Sedangkan arah, visi dan tujuannya akan menjadi urusan para cendekiawan.
Para cendekiawan ini berfungsi sebagai gagasan untuk perubahan, perannya memang tidak bisa diabaikan. Mereka merupakan entitas yang satu dan monopolitik. Atau dengan kata lain mereka adalah yang memiliki visi, komitmen atau sebuah utopiah tentang apa yang mereka anggap sebagai “the good society” dengan peran legislator, atau perekayasa perubahan masyarakat. Adapun “cendekiawan istana” sangat berbeda dengan yang bekerja di kampus, mereka adalah orang yang diminta bertanggung jawab kepada kekuasaan, bahkan dalam hal-hal tertentu dipaksa memberikan pembenaran kekuasaan, yakni sebuah pilihan politik suka atau tidak suka oleh mereka.
Cendekiawan publik adalah siapa saja yang sekarang ini masih memiliki abstraksi moral terhadap ketidak-adilan dan mereka mempunyai cita-cita dan pemikiran alternatif untuk untuk masa depan. Yakni berfikir bagaimana menciptakan masyarakat yang lebih baik dan semakin baik. Sebuah cita-cita politik, tentu saja yang tidak berbicara pada tingkat makro-nasional atau sekedar yang umum saja sebagai the task of speaking for humanity, namun sebaliknya berani mengambil isu politik pada tingkat dan proses demokratisasi lokal mungkin yang spesifik yang barang kali terjadi di sebuah desa petani miskin yang jauh terpencil sekalipun. Berarti di sini seorang cendekiawan harus peduli dengan ketimpangan sosial.
Dari sudut teori gerakan, pada garis besarnya dapat digolongkan ada dua pendekatan. Pertama, adalah pengikut “the new orientalism”, yang melihat munculnya gerakan Islam sebagai wujud dari pengaruh karena adanya tafsiran baru mengenai ajaran agama. Ini yang menyebabkan melahirkan seorang tokoh yang kharismatik. Kedua, the new social history, merupakan gerakan yang muncil dari kesadaran kolektif di kalangan Islam lebih bermula dari pertanyaan sosiologis; mengapa gerakan itu muncul? Biarpun dalam retorika dan idiom-idiom gerakan itu menggunakan Islam, namun bagi kalangan ini yang penting harus dipahami, apakah ada kekuatan sejarah baru yang sungguh-sungguh menggerakkan di balik kemunculannya. Sebab, suatu gerakan biarpun “mengatas namakan nama Islam”, namun sesungguhnya faktor yang kuat mungkin sekali karena perasaan bersama tentang perlunya menghimpun diri untuk suatu kepentingan sosial, ekonomi atau politik.
Di sini Moeslim Abdurrahman memandang Muhammadiyah tidak hanya sebagai gerakan dakwah Islam tetapi juga gerakan dakwah sosial. Artinya harus berdakwah turun kepada tataran sosial masyarakat bawah untuk mengentaskan kemiskinan dan kebodohan. Selain itu, Muhammadiyah juga harus dapat berperan sebagai “cendekiawan publik” yang bisa mencegah kemungkaran sosial, yang telah menggurita dalam tataran masyarakat. Artinya ini harus berpijak pada konsep dakwah Muhammadiyah yakni “Dakwah Kultural”, sebuah konsep dakwah yang memasukkan nilai-nilai agama pada budaya masyarakat ini harus dilakukan secara kolektif-terstruktur. Berarti ini juga terkait dengan konsep kebudayaan, sedangkan kebudayaan itu sendiri diartikan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan miliki diri manusia melalui proses belajar.
Menurut HA. Gibb (ahli sejarah dan kebudayaan Barat) mengatakan Islam bukan hanya suatu sistem teologi yang mengajarkan ketuhanan tetapi Islam adalah ajaran yang dapat menghasilakn peradaban, kebudayaan yang paripurna. Abu A’la al-Maududi bahwa Islam bukan hanya kumpulan dogma dan ritual, tetapi merupakan suatu pandangan atau pedoman hidup yang lengkap, seperti firman Allah SWT “Carilah apa yang didatangkan oleh Allah untuk hidup di akhirat tetapi jangan lupa nasibmu terhadap dunia. Berbuatlah seperti Tuhan berbuat baik kepadamu sekalian dan janganlah kamu sekalian membuat kerusakan”.
Muhammadiyah memiliki ideologi untuk mewarnai perubahan budaya dengan kehasan gerakan Muhammadiyah “dakwah amar ma’ruf nahi mungkar” Benturan-benturan antara tradisi dan kemodernan hendaknya dapat dihindari tanpa harus kehilangan jati diri.
Sudah seharusnya Muhammadiyah menganjurkan bahwa dalam berkehidupan, manusia harus bersikap bijaksana untuk merespon segala sesuatu yang terjadi pada masyarakat baik secara proaktif, selektif maupun cerdas yang bersumber dari al-Quran dan Sunnah.
Ruang Ideologi
Pada dasarnya Muhammadiyah merupakan gerakan modernis yang menghargai segala macam perbedaan yang ada sehingga wajar jika Muhammadiyah memiliki kader dengan corak ideologi yang variatif. Muhammadiyah dikenal sebagai gerakan Islam modern atau modernis. Dalam konteks gerakan Islam sepertinya Muhammadiyah dilekatkan dengan modernisme Islam. Ini sependapat dengan pandangan Deliar Noer, Alfian, Achmad Jainuri, William Shepard dan lain sebagainya.
Pandangan sekuler “sekularisme Islam” atau “liberalisme Islam” berada dalam posisi bertentangan secara ekstrem dengan islamisme. Islam dipandang sebaga ajaran yang dipahami terbatas pada urusan ruhaniyah (ibadah, ketuhanan dan spiritual) semata dan berada di ranah pirbadi sehingga harus dipisahkan dengan area publik.
Secara tegas ini bertentangan dengan pandangan modernisme Islam, bahwa Islam mengandung ajaran yang menyeluruh namun konstruksi dan pelaksanaannya tidaklah tunggal. Bahwa aspek-aspek ajaran Islam perlu untuk diinterpretasi pelaksanaannya tidaklah tunggal. Aspek-aspek ajaran Islam perlu untuk diintrerpretasi ulang untuk dihadapkan dan dalam rangka menjawab tantangan zaman yang bersifat kekinian, dengan tetap berada dalam pondasi Islam. Islam tidak mengisyaratkan paham tentang negara secara tegas, tetapi nilai-nilai Islam menjadi pondasi dan membingkai kehidupan bernegara.
Bagaimana dengan wajah modernisme yang ditampilkan oleh Muhammadiyah, menurut Nakamura “Muhammadiyah adalah gerakan yang menampilkan banyak wajah. Dari jauh nampak doktriner. Tetapi dilihat dari dekat, kita menyadari ada sedikit sistematisasi teologis. Apa yang ada di sana agaknya merupakan suatu susunan ajaran moral yang diambil langsung dari Al-Quran dan Hadist. Nampak eksklusif bila dipandang dari luar, tetapi sesungguhnya tampak terbuka bila di pandang dari dalamnya. Secara organisatoris nampak membebani, akan tetapi sebenarnya Muhammadiyah merupakan kumpulan individu yang sangat menghargai pengabdian pribadi. Nampak sebagai organisasi yang sangat displin, akan tetapi sebenarnya tidak ada alat pendisplinan yang efektif selain kesadaran masing-masing. Nampak agresif dan fanatik, akan tetapi sesungguhnya cara penyiarannnya perlahan-lahan dan toleran. Dan akhirnya tetapi barangkali yang paling penting, nampak anti-Jawa, akan tetapi sebenarnya dalam banyak hal mewujudkan sifat baik orang Jawa. Barangkali kita bisa mengatakan di sini, kita mempunyai satu kasus dari agama universal seperti Islam yang menjadi tradisi agama yang hidup di lingkungan Jawa”.
Modernisme Islam seperti Muhammadiyah juga terjebak pada nalar instrumental. Sebagaimana alam pikiran modernisme pada umumnya. Nalar organik seperti memang memberikan tawaran bagi kepentingan-kepentingan hidup yang berorientasi pada efektivitas, efesiensi dan rasionalisasi. Tetapi selalu ada yang tercerabut dari alam pikiran instrumental moderni itu yakni hal-hal yang bersifat keruhanaian, komulanitas dan dalam makna yang wajar tradisionalitas. Dalam pemikiran keagamaan mislanya sangat berorientasi pada pendekatan bayani sekaligus kurang apresiatif pada hal-hal yang bersifat irfani. Banyak hal-hal yang disikapi secara organisatoris sekaligus ketarjihan, sehingga mengabaikan hal-hal yang bersifat sosiologis dalam kehidupan yang dihadapi oleh Muhammadiyah. Fenomena inilah yang sudah lama disuarakan oleh sementara kalangan sebagai kecenderungan Muhammadiyah yang kering dalam pemikiran dan apresiasi kebudayaan. Dan yang terpenting bahwa di Muhammadiyah tidak semua nash itu dapat diinterpretasikan secara kontekstual.
Sudah seharusnya Muhammadiyah melanjutkan untuk menafsirkan ayat-ayat Al-Quran secara kontekstual dan apliaktif sebagaimana yang telah dicantumkan oleh pendirinya yang dikenal dengan Teologi Al-Maun (penafsiran surat Al-Maun secara aplikatif). Selian itu umat Islam ingin maju, ia harus mengambil peradaban Islam terdahulu, yakni mempelajari sejarah peradaban islam, sirah nabawiyah dan nilai-nilai yang terkandung dalam Quran, karena nilai-nilai Quran itu sangat paripurna dari berbagai aspek.
Modernisme Muhammadiyah wajib digugat jika; (1) melakukan modernisasi yang meruntuhkan ideologi agamanya; (2) lambat bergerak sehingga ketinggalan akselerasi modernitas itu sendiri, dan; (3) Terjadi manipulasi penyandangan nama sebagai organisasi modern, sementara ideologi modernitas belum sepenuhnya menjadi urat nadi gerak aktivitasnya.
Kesimpulan
Pada dasarnya organisasi Muhammadiyah merupakan organisasi yang memiliki ruang yang menarik untuk dikaji, seperti ideologi, budaya, pendidikan dan sosial. Intinya Muhammadiyah adalah organisasi modern yang mempunyai ideologi serta konsep dakwah yang harus mengapresiasikan budaya Indonesia. Wallahu a’lam bis shawab.
[1] Nama dari M. Feri Firmansyah
S.PdI, penulis lepas dan pengamat pendidikan. Sang
Pemimpi dari Prof. Dr. M.
Feri Firmansyah M. PdI & King of Novelis (Sastrawan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mari kita membaca dengan hati plus mata