3 Apr 2014

Takrijul Hadist

Pendahuluan
Hadist merupakan sumber hukum kedua setelah al-Quran. Oleh karena itu, penting untuk diketahui permasalahan-permasalahan yang terkait dengan hadist. Salah satu hal yang paling penting adalah takhrijul hadist.

Ilmu ini merupakan bagian dari ilmu hadist yang perlu dan penting untuk diketahui oleh ummat Islam khususnya yang konsentrasi pada kajian hadist. Hal ini penting mengingat dalam takhrijul hadist banyak mengkaji berbagai kaidah untuk mengetahui dari mana sumber hadist berasal. Selain itu yang lebih penting dengan mengetahui takhrijul hadist seseorang mampu menentukan kualitas sanad hadist.
Dengan penjelasan singkat di atas, dalam makalah ini penulis memfokus penulisan pada beberapa hal, yaitu; Pertama, pengertian, takhrijul  hadist. Kedua, sejarah takhrijul hadist. Ketiga, manfaat mempelajari takhrijul hadist. Keempat, metode penggunaan takhrijul hadist.

Pembahasan
A.    Pengertian Takhrijul al-Hadist
Para ulama ahli hadist berpendapat beberapa defenisi, seperti di bawah ini;
Menurut satu defenisi, artinya takhrij sama dengan Al-ikhraj yaitu Ibraz Al-Hadist li an-nas bidzikri mahrajih (mengungkapkan atau mengeluarkan hadist kepada orang lain dengan menyebutkan para perawi yang berada dalam rangkaian sanadnya sebagai yang mengeluarkan hadist). Misalnya; hadza hadist akhrajahu al-bukhari. Artinya takrij menurut defenisi ini banyak dipakai oleh para ulama dalam mengutip atau menyebut suatu hadist.
Menurut defenisi yang lain, disebutkan bahwa kata takhrij berarti ikhraj al-ahadist min buthuni al-kutub wa riwayatuh (mengeluarkan sejumlah hadist dari kandungan kitab-kitabnya dan meriwayat kembali). Pengertian ini diantaranya dikemukakan oleh as-sakhawi, ia menambahkan bahwa orang yang mengeluarkan hadist tersebut kemudian meriwayatkannya atas namanya sendiri atau atas nama guru-gurunya, serta menyandarkan kepada penulis kitab yang dikutipnya.
Defenisi lainnya, kata takhrij berarti ad-dalalah ala mashdar al-hadist al-ashliyah wa azzuhu ilaihi (petunjuk yang menjelaskan kepada sumber-sumber asal hadist). Di sini dijelaskan siapa-siapa yang menjadi para perawi dan mudawwin yang menyusun hadist tersebut dalam suatu kitab. Menurut Mahmud ath-Thahhan, defenisi yang disebut ketiga ini yang banyak dipakai dan terkenal pada kalangan ulama ahli hadist. Berdasarkan defenisi ini, ia menyebutkan takhrij sebagai berikut:
“Petunjuk tentang tempat atau letak hadist pada sumber aslinya, yang diriwayatkan dengan menyebutkan sanadnya, kemudian dijelaskan martabat atau kedudukannya manakala diperlukan”. Berdasarkan defenisi di atas, maka mentakhrij berarti melakukan dua hal. Yaitu pertama berusaha menemukan para penulis hadist itu sendiri dengan rangakian silsilah sanadnya dan menunjukkannya pada karya-karya mereka. Kedua, mereka memberikan penilaian kualitas hadist apakah hadist itu shahih atau tidak.

B.    Sejarah Perkembangan Takhrij al-Hadist
Kegiatan mentakhrij hadist muncul dan diperlukan pada masa ulama Mutakhirin. Sedangkan sebelumnya, hal ini tidak pernah dibicarakan dan diperlukan sebab pada masa itu penugasan para ulama terhadap sumber-sumber As-Sunnah begitu luas dan kuat, sehingga mereka tidak merasa sulit jika disebutkan suatu hadist.
Selanjutnya ketika semangat belajar sudah melemah, mereka kesulitan untuk mengetahui tempat-tempat hadist yang dijadikan sebagai rujukan para ulama dalam ilmu-ilmu yang syar’i. Maka sebagian para ulama bangkit dan memperlihatkan hadist-hadist yang ada pada sebagian kitab dan menjelaskan sumbernya dari kitab-kitab As-Sunnah yang asli, menjelaskan metodenya, dan menerangkan hukumannya dari yang shahih atas yang dha’if. Lalu mencullah apa yang dinamakan dengan “Kutub At-Takhrij”. Menurut Al-Iraqi dalam mengutip hadist-hadist para ulama tidak pernah membicarakan dan menjelaskan dari mana hadist itu dikeluarkan serta bagaimana kualitas hadist itu-hadist tersebut, sampai kemudian datang Imam An-Nawawi yang melakukan hal itu.
Ulama yang pertama kali melakukan takhrij hadist menurut Mahmud At-thathan adalah Al-Khatib al-Bagdadi (463 H). Kemudian dilakukan pula oleh Muhammad bin Musa al-Hazimi (W. 584 H) dengan karyanya Takhrij Ahadist Al-Muhadzdzab. Ia men-takhrij kitab fiqh syafi’iyah karya Abu Ishaq Asy-Syirazi. Ada jugaa ulama lainnya, seperti Abu Al-Qasim Al-Husaini dan Abu Al-Qasim Al-Mahrawani. Karya kedua ulama ini hanya berupa manuskrip saja. Pada perkembangan selanjutnya, cukup banyak bermunculan kitab-kitab tersebut yang berupaya mentakhrij kitab-kitab dalam berbagai displin ilmu agama.
Yang termasyhur di antara kitab-kitab tersebut, selain karya Muhammad bin Musa Al-Hazimi di atas, ialah kitab takhrij Ahadist Al-Mukhtashar Al-Kabir karya Muhammad bin Ahmad Abd Al-Hadi Al-Maqdisi (w. 744 H), Nashb ar-rayah li ahadist al-hidayah dan takhrij ahadist al-kasyyaf, keduanya karya Abdullah bin Yusuf Al-Zaila’i (w. 762 H). Dam Al-Badr Al-Munir fi Takhrij Al-Ahadist wa Al-Atsaral-Waqi’ah fi Syarh Al-Kabir karya Ibn Al-Mulaqqin (w. 804 H).

C.    Manfaat Mempelajari Takhrijul al-Hadist
Ada beberapa manfafat dari mempelajari takhrijul hadist sebagai berikut:
1.    Memberikan informasi bahwa suatu hadist termasuk hadist shahih, hasan ataupun dhaif setelah diadakan penelitian dari segi matan maupun sanadnya.
2.    Memberikan kemudahan bagi orang yang mau mengamalkan setelah tahu bahwa suatu hadist adalah maqbul (dapat diterima). Dan sebaliknya tidak mengamalkannya apabila diketahui bahwa suatu hadist sanadnya adalah mardud (tertolak).
3.    Menguatkan keyakinan bahwa suatu hadist adalah benar-benar berasal dari Rasulullah SAW yang diikuti karena adanya bukti-bukti yang kuat tentang kebenaran hadist tersebut, baik dari segi sanad maupun matannya.
4.    Dapat mengetahui keadaan hadist sebagaimana yang diketahui keadaan hadist sebagaimana yang dikehendaki atau yang ingin dicapai pada tujuan pokoknya.
5.    Dapat mengetahui keadaan sanad hadist dan silsilahnya berapapun banyaknya sehingga dapat meningkatkan kualitas hadist.
6.    Dapat mengetahui pandangan para ulama tentang keshahih-an suatu hadist.
7.    Dapat membedakan mana para perawi yang ditinggalkan atau yang dipakai.
8.    Dapat menetapkan sesuatu hadist yang dipandang mubham menjadi tidak mubham kerana ditemukan beberapa jalan sanad, atau sebaliknya.
9.    Dapat menetapkan muttashil kepada hadist yang diriwayatkan dengan menggunakan adat at-tahamul wa al-ada’ (kata-kata yang dipakai dalam penerimaan dan periwatan hadist) dengan ‘an’anah (kata-kata ‘an/dari).
10.    Dapat memastikan identitas para perawi.

D.    Cara Pelaksanaan dan Metode Takhrij al-Hadist
Menurut at-Thahhan, kitab yang paling baik adalah kitab karya al-Zaila’i yang berjudul Nash bar Rayah li Ahadist al-Hidayah, di dalam kitab itu dijelaskan cara men-takhrij hadist yaitu;
1.    Disebutkannya nash hadist yang terdapat dalam kitab al-Hidayah (kitab yang ditakhrij-nya, karya al-Marginani).
2.    Disebutkan siapa saja dari penyusun kitab-kitab hadist yang dinilai sebagai sumber utama dari hadist yang telah diriwayatkannya dengan menyebutkan sanadnya secara lengkap.
3.    Disebutkan hadist-hadist yang memperkuat hadist dimaksud, disertai dengan menyebutkan perawinya.
4.    Jika terdapat perbedaan pendapat diantara para ulama, dikemukannya hadist-hadist yang dijadikan pegangan bagi pihak yang berselisih.
Dalam takhrij terdapat beberap macam metode yang diringkas dengan mengambil pokok-pokoknya sebagai berikut:
1.    Metode Pertama, takhrij dengan cara mengetahui perawi hadist dari para sahabat
Metode ini dikhususkan jika kita mengetahi nama sahabat yang meriwayatkan hadist, lalu kita mencari bantuan dari tiga macam karya hadist:
a.    Al-Masaanid (musnad-musnad: Dalam kitab ini disebutkan hadist-hadist yang diriwayatkan oleh setiap sahabat secara tersendiri. Selama kita telah mengetahui nama sahabat yang meriwayatkan hadist, maka kita mencari hadist tersebut dalam kitab al-masanid hingga mendapatkan petunjuk dalam satu musnad dari kumpulan musnad tersebut.
b.    Al-Ma’aajim (mu’jam-mu’jam): Susunan hadist di dalamnya berdasarkan urutan musnad para sahabat atau para guru atau bangsa (tempat asal) sesuai kamus (hijaiyah). Dengan mengetahui nama sahabat yang memudahkan untuk merujuk hadistnya.
c.    Kitab-Kitab Al-Athraf; Kebanyakan kitab-kitab al-athraf disusun berdasarkan musnad-musnad para sahabat dengan urutan nama mereka sesuai huruf kamus. Jika seorang peneliti mengetahui bagian dari hadist itu, maka dapat merujuk pada sumber-sumber yang ditunjukkan oleh kitab-kitab al-athraf taid untuk kemudian mengambil hadist secara lengkap.
2.    Metode Kedua, takhrij dengan mengetahui permulaan lafazh dari hadist
Cara ini dapat dibantu:
a.    Kitab-kitab yang berisi tentang hadist-hadist yang dikenal oleh orang banyak, misalnya: Ad-Durarul-Muntatsirah fil-Ahaaditsil-Musytaharah karya As-Suyuti; Al-Laali Al-Mantsuurah fil-Ahaadist-Masyhurah karya Ibnu Hajar; Al-Maqashidul-Hasanah fii Bayaani Katsiriin minal-Ahaaditsil-Musytahirah ‘alal-Alsinah karya As-Sakhawi; Tamyiizuth-Thayyibminal-Khabits fiima Yaduru ‘ala Alsinatin-Naas minal-Hadist karya Ibnu Ad-Dabi’ Asy-Syaibani; Kasyaful-Khafa wa Muziilul-Ilbas ‘amma Isytahra minal-Ahaadist ‘ala Alsinatin-Naas karya Al-‘Ajluni.
b.    Kitab-kitab hadist yang disusun berdasarkan urutan huruf kamus; misalnya: Al-Jami’ush-Shaghiir minal-Ahaaditsil-Basyir An-Nadzir karya As-Suyuthi.
c.    Petunjuk-petunjuk dan indeks yang disusun para ulama untuk kitab-kitab tertentu, misalnya: Miftah Ash-Shahihain karya At-Tauqadi; Miftah At-Tartiibi li Ahaaditsi Tarikh Al-Khathib karya Sayyid Ahmad Al-Ghumari; Al-Bughiyyah fii Tartibi Ahaaditsi Shahih Muslim karya Muhammad Fuad Abdul-Baqi; Miftah Muwathtah’ Malik karya Muhammad Fuad Abdul-Baqi.
3.    Metode Ketiga, takhrij dengan cara mengetahui kata yang jarang penggunaannya oleh orang dari bagian mana saja dari matan hadist.
Metode ini dapat dibantu dengan kitab Al-Mu’jam Al-Mufahras li Alfaadzil-Hadist An-Nabawi, berisi sembilan kitab yang paling terkenal diantara kitab-kitab hadist, yaitu: Kutubus-Sittah, Muwathatha’ Imam Malik, Musnad Ahmad dan Musnad Ad-Darimi. Kitab ini disusun oleh seorang orientalis, yaitu Dr. Vensink (Meninggal 1939 M), seorang guru bahasa Arab di Universitas Leiden Belanda; dan ikut dalam menyebarkan dan mengedarkannya kitab ini adalah Muhammad Fuad Abdul-Baqi.
4.    Metode Keempat, takhrij dengan cara mengetahui tema pembahasan hadist
Jika telah diketahui tema dan objek pembahasan hadist, maka bisa dibantu dalam takhrij-nya dengan karya-karya hadist yang disusun berdasarkan bab-bab dan judul-judul. Cara ini banyak dibantu dengan kitab Miftah kunuz As-Sunnah yang berisi daftar isi hadist yang disusun berdasarkan judul-judul pembasan. Kitab ini disusun oleh seorang orientali berkebangsaan Belanda yang bernama Dr. Arinjan Vensink, kitab ini mencakup daftar isi untuk 14 kitab hadist yang terkenal, yaitu:
a.    Shahih Bukhari
b.    Shahih Muslim
c.    Sunan Abu Dawud
d.    Jami’ At-Tarmidzi
e.    Sunan An-Nasai
f.    Sunan Ibnu Majah
g.    Muwattha’ Malik
h.    Musnad Ahmad
i.    Musnad Abu Daud Ath-Thayalisi
j.    Sunan Ad-Darimi
k.    Musnad Zaid bin ‘Ali
l.    Sirah Ibnu Hisyam
m.    Maghazi Al-Waqidi
n.    Thabaqat Ibnu Sa’ad
5.    Metode Kelima, takhrij dengan cara melalui pengamatan terhadap ciri-ciri tertentu pada matan atau sanad.
Metode ini dilihat dari ciri-ciri tertentu dalam matan maupun sanadnya (klasifikasi) maka akan ditemukan hadist itu berasal. Ciri-ciri yang dimaksud adalah ciri-ciri maudhu’, ciri-ciri hadist qudsi, ciri-ciri dalam periwayatan dengan silsilah sanad tertentu, dll.

Kesimpulan;
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa:
1.    Takhrijul berarti menunjukkan tempat hadist pada sumber aslinya
2.    Takhrijul hadist dalam sejarahnya dimulai pada masa ulama-ulama mutaakhirin.
3.    Beberapa manfaat yang diperoleh dari mempelajari takhrijul hadist diantaranya:
a.    Mengetahui kedudukan hadist,
b.    Dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas hadist
4.    Dalam melakukan takhrijul hadist ada beberapa metode yang dapat digunakan, diantaranya:
a.    Takhrij dengan cara mengetahui perawihadist dari sahabat
b.    Takhrij dengan mengetahui permulaan lafadzh dari hadist
c.    Takhrij dengan cara mengetahui kata yang jarang penggunaannya oleh orang dari bagian mana saja dari matan hadist
d.    Takhrij dengan cara mengetahui tema pembahasan hadist
e.    Takhrij dengan melalui pengamatan terhadap ciri-ciri tertentu pada matan atau sanad.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mari kita membaca dengan hati plus mata