11 Mei 2014

Tafsir al-Qur'an yang Absurd Mengenai Periode Penciptaan Alam Semesta; Ulama/Agamawan ternyata butuh Ilmuwan Sains Modern

Oleh Drs Agus Purwadi M.Si
Bukit Gris, Dusun Gris Sumbawa Besar


A. Pendahuluan
Ketika menafsirkan kalimat sittatu ayyam, yang tersebar dalam surat al-A'raf: 54; Yunus: 3; Hud:7; al-Furqan: 59; as-Sajdah: 4; Qaf: 38; dan al-Hadid: 4, Abi al-Fida' Ismail Ibn Katsir dalam Tafsir ul-Qur'an al-Azhiim (Tafsir Ibn Katsir) juz II, hal. 220, mengatakan bahwa sittatu ayyam adalah dimulai hari Ahad sampai dengan hari Jum'at. Untuk mendukung penafsirannya, Ibn Katsir membawakan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh an-Nasa'i, yang diterima dari Abu Hurairah, yang artinya:

"Bahwa Allah menciptakan semua langit dan bumi dan segala yang ada di antara keduanya dalam masa enam hari, dan di hari ketujuh, Tuhan pun bersemayam (istirahat) di atas 'Arsy; tanah diciptakan di hari Sabtu, gunung-gunung di hari Ahad, pohon-pohon di hari Senin, sesuatu yang buruk di hari Selasa, cahaya di hari Rabo, bintang-bintang di hari Kamis, dan Adam diciptakan pada hari Jum'at setelah Ashar".
Kalau memperhatikan hadits tersebut, alam diciptakan enam hari, mulai Sabtu sampai Kamis, dan hari Jum'at diciptakan manusia). Untuk diketahui, hadits yang sempat dikutip Ibn Katsir ini, pernah dikritik oleh Imam Bukhari dalam kitabnya at-Tarikh al-Kabiir. Imam Bukhari berkata bahwa Abu Hurairah menerima berita itu dari Ka'ab al-Ahbir, yang selalu meriwayatkan hadits-hadits yang banyak mendapat kritik dari ahli-ahli hadits dan ahli al-hafizh.

B. Proses Penciptaan Alam Semesta
Imam Jalaluddin al-Mahalliy dan Imam Jalaluddin as-Suyuthi dalam Tafsir Jalalain (terj.) juz IV hal. 2262 dan 2378, memberi komentar mengenai arti/maksud kalimat sittatu ayyam dalam surat Qaf:38, "....pada permulaannya adalah hari Ahad dan selesai pada hari Jum'at". Sedangkan komentarnya pada surat al-Hadit:4, "....yakni sebagaimana hari-hari di dunia; dimulai dari hari Ahad dan berakhir pada hari Jum'at".
Dari dua tafsir di atas, tergambarkan di benak kita bahwa proses penciptaan alam semesta yang digambarkan dalam al-Qur'an dengan ungkapan fii sittati ayyam, adalah proses penciptaan alam semesta dalam enam hari, dengan konsep atau pengertian hari yang sama dengan hari-hari yang kita kenal sekarang. Padahal saat tersusunnya sistem proto-galaksi untuk menjadi galaksi-galaksi, belumlah dikenal nama-nama hari sebagaimana hari-hari yang kita kenal selama ini. Lantas apa makna fii sittai ayam yang digunakan oleh Allah dalam al-Qur'an untuk menerangkan proses terjadi alam semesta? Nyaris tidak ada tafsir al-Qur'an yang benar-benar memadai untuk menjelaskan ihwal ini. Kalau toh pun ada, sungguh penafsirannya sangat absurd sebagaimana dua tafsir di atas.
Seharusnya tafsir-tafsir di atas tidak segera memberikan makna sittatu ayyam itu sebagai hari-hari sebagaimana hari di bumi (Ahad-Sabtu). Sebuah penafsiran yang agak bisa diterima adalah dari Sayyid Qutb dalam tafsirnya Dzilaali al-Qur'an juz III hal. 169. Beliau mengatakan, "...ada di antaranya yang mengartikannya dengan enam tahap, enam tahapan". Kemudian Syaich Makarim Zairazi dalam tafsir al-Amtsal, mengatakan, bahwa kata 'yaum' bisa diartikan dengan berbagai hal, dan sering kata 'yaum' dipakai dengan arti putaran/periode, atau masa, walaupun itu bisa memakan waktu selama sedetik, setahun, seratus tahun, atau jutaan tahun, bahkan milayaran tahun.
Untuk mencari kejelasan makna fii sittati ayyam, ada baiknya kita simak keterangan firman Allah dalam surat Fushshilat ayat 9-12. Kalau kita kaji empat ayat itu, akan terjelaskan kepada kita bahwa:
- ayat 9 menerangkan: bumi tercipta dalam dua periode.
- ayat 10 menerangkan: Rawasiya (partikel peneguh /gaya-gaya alam semesta) tercipta dalam empat periode.
- ayat 11 menerangkan: Langit dan Bumi tercipta secara bersama-sama.
- ayat 12 menerangkan: Langit tercipta dalam dua periode.
Oleh karena langit dan bumi diciptakan Allah secara bersama-sama (ayat 11), maka dua periode penciptaan bumi (ayat 9) identik dengan dua periode penciptaan langit (ayat 12). Dan dua periode penciptaan langit dan bumi itu harus berlangsung sesudah empat periode penciptaan gaya-gaya alam semesta atau rawasiya (ayat 10). Dalam istilah al-Qur'an disebut rawasiya tidak lain menurut pandangan saintis adalah gaya-gaya peneguh alam semesta yang terdiri dari gaya kuat, gaya elektromagnetik, gaya lemah, dan gaya gravitasi. Tapi konyolnya, dalam terjemahan al-Qur'an, rawasiya diartikan gunung).
Apa lantas makna periodesisi penciptaan alam semesta yang terbagi dalam enam periode itu? Di sini, saya tidak menemukan penjelasan yang memadai dari kitab-kitab tafsir yang ada. Justru saya menemukan pemaparan yang sungguh di luar dugaan saya, yakni dari hasil temuan para pakar fisika modern yang tidak pernah belajar al-Qur'an, tetapi hasil temuannya -setidaknya- dapat menjelaskan pengertian fii sittati ayyam.
Hasil temuan sains fisika modern, bahwa periodesasi penciptaan alam itu terbagi ke dalam enam periode yang meliputi:
1. Periode Pertama: Era Planck (t=0 s/d 10 pangkat min 43 dt)
2. Periode Kedua: Era Hadron (t=10 pangkat min 43dt s/d 7x10 pangkat min5 dt)
3. Periode Ketiga: Era Lepton (t=7x10 pangkat min 5 dt s/d t= 5 dt)
4. Periode Keempat: Era Radiasi (t= 5 dt s/d t=7x10 pangkat 5 tahun)
5. Periode Kelima: Era Materi Pertama, (t=7x10 pangkat 5 tahun s/d 3x10 pangkat 8 tahun)
6. Periode Keenam: Era Keruntuhan Protogalaksi (t= 3x10 pangkat 8 tahun s/d kini)

Apa saja yang terjadi dalam masing-masing periode itu, silakan baca buku saya Kosmologi Qurani. Dari paparan di atas, jelaslah bahwa karya-karya ulama (agamawan) itu tidaklah sudah final dan musti benar. Ternyata untuk menafsirkan ayat-ayat kauni dalam al-Qur'an sangat dibutuhkan disiplin lain yakni Sains modern. Karenanya, jangan menafikkan kerja ilmuwan eksakta dalam persoalan memahami alam.

C. Analisis tentang Agamawan yang Kurang Peka dengan Sains
Kalau semua ilmuwan/agamawan gak berani menta'wil, kebenaran "tanda-tanda" dari al-Qur'an tidak akan terungkap. Tentu, keterungkapan "tanda"/ayat itu selalu dalam kerelatifan, tapi bukan berarti harus mandeg tidak melakukan ta'wil. Dan siapa pun punya otoritas menta'wil "tanda-tanda" dari al-Qur'an sepanjang dia mempunyai kepakaran di bidangnya. Sebagai misal, seorang Dekan Farmasi di Thailand, masuk Islam gara-gara ia meneliti satu ayat, yakni ayat 56 surat an-Nisa', "...Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain,...". Dari ayat ini, ia menemukan fakta yg tak terbantahkan ihwal "perilaku" kulit manusia. Dan ia akhirnya masuk Islam krn takjubnya thd ayat Allah.
Kemunduran umat Islam, banyak disebabkan oleh bayang-bayang ketakutan, "dosa", "kuwalat", kalau menta'wilkan ayat Qur'an. Padahal dalam surat Ali Imran disebutkan, bahwa yang bisa menta'wilkan ayat-ayat mustasyabihat adalah Allah, dan orang-orang yang mendalam ilmunya (wa ar-raasikhuuna fii al-"ilmi). Jadi, orang2 yang mendalam ilmunya di bidang tertentu, juga punya otoritas menta'wilkan ayat-ayat Allah untuk mengungkap "misteri" alam ciptaan. Sebagaimana Allah juga sudah berjanji dalam surat al-An'aam ayat 67; "untuk tiap-tiap berita, ada fakta yang terukur, dan kelak kamu pasti akan mengetahuinya".
Tugas kita adalah menjemput janji Allah itu dengan mengembangkan ilmu poengetahuan guna menyibak "tanda-tanda" Allah yang terhampar di alam semesta, sebagaimana Allah juga berfirman, "Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda Kami di segenap penjuru (alam) dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Qur’an itu benar. Dan apakah Tuhanmu tidak cukup bahwa sesungguhnya Dia mempersaksikan segala sesuatu? (Fushshilat /41: 53)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mari kita membaca dengan hati plus mata